• SEJARAH ISLAM...Dari Zaman Rasulullah SAW sampai Zaman Khalifah

    Sejarah Islam dari zaman nabi Muhammad hingga masa turki usmani – Perkembangan islam sudah berlangsung ribuan tahun dan mungkin saja sobat merahitam ada yang belum paham sejarah perkembangan islam itu sendiri.

  • SEJARAH ACEH

    Aceh (bahasa Belanda: Atchin atau Acheh, bahasa Inggris: Achin, bahasa Perancis: Achen atau Acheh, bahasa Arab: Asyi, bahasa Portugis: Achen atau Achem, bahasa Tionghoa: A-tsi atau Ache) yang sekarang dikenal sebagai provinsi Nanggröe Aceh Darussalam

  • SEJARAH INDONESIA

    ejarah Indonesia meliputi suatu rentang waktu yang sangat panjang yang dimulai sejak zaman prasejarah berdasarkan penemuan "Manusia Jawa" yang berusia 1,7 juta tahun yang lalu

  • Menghilangkan Bulu Alis Yang Berlebihan dan Yang Tumbuh di Antara Dua Alis

    Apakah menghilangkan bulu alis yang berlebihan adalah haram? Dan apakah menghilangkan bulu yang tumbuh di antara kedua alis juga haram?

Khalwat antara Seorang Narapidana dengan Istrinya

JIKA TERDAPAT KESALAHAN/KEKELIRUAN DALAM ARTIKEL INI
DAPAT MENGHUBUNGI KAMI DENGAN CARA MENINGGALKAN PESAN... TERIMAKASIH

honan fatwa No. 2342 tahun 2003 yang berisi:
    Sejauh mana seorang narapidana boleh berkhalwat dengan istrinya? Apakah terdapat batas waktu tertentu yang ditetapkan syariat mengenai larangan dihalanginya suami untuk menggauli istrinya? Berapakah waktu yang dibolehkan bagi istri untuk menuntut cerai dari suaminya jika ia jauh darinya?
Jawaban : Mufti Agung Prof. Dr. Ali Jum'ah Muhammad
    Dâr al-Iftâ` al-Mishriyyah (Lembaga Fatwa Mesir), sebelumnya pernah mengeluarkan fatwa yang berkaitan dengan pertanyaan di atas. Isi fatwa tersebut adalah:
    Islam sangat memperhatikan masalah pemenuhan kebutuhan manusia, baik yang bersifat lahir maupun batin, guna menjaga ketentraman dan stabilitas masyarakat. Ini merupakan salah satu bentuk wasatiyah (kemoderatan) dan tawazun (keseimbangan) dalam syariat mulia ini. Salah satu prinsip Islam menyatakan bahwa hukuman adalah bersifat personal, sehingga seseorang tidak dikenai hukuman akibat kesalahan atau dosa yang dilakukan oleh orang lain apapun bentuk hubungan antara mereka. Dalam hal ini, Allah berfirman,
"Dan orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain." (Fâthir: 18).
Allah juga berfirman,
"Barang siapa yang mengerjakan amal yang saleh maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan barang siapa yang berbuat jahat maka (dosanya) atas dirinya sendiri; dan sekali-kali tidaklah Tuhanmu menganiaya hamba-hamba (Nya)." (Fushshilat: 46).
    Allah SWT telah menetapkan hak dan kewajiban masing-masing suami dan istri terhadap yang lain, salah satunya adalah hak pemenuhan kebutuhan biologis. Jumhur ulama berpendapat bahwa seorang istri berhak digauli satu kali dalam setiap masa suci atau dalam masa satu bulan jika tidak terdapat halangan syariat untuk melakukannya. Allah berfirman,
"Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu." (Al-Baqarah: 222).
    Imam Syafi'i berpendapat bahwa menggauli istri adalah hak suami seperti hak-haknya yang lain, ia tidak wajib atasnya. Sedangkan Imam Ahmad bin Hambal menetapkan bahwa seorang suami wajib menggauli istrinya dalam waktu empat bulan sekali. Hal ini dengan mengkiyaskan kepada masalah ila' (sumpah suami untuk tidak mendekati istrinya lebih dari empat bulan, Penj.). Allah berfirman,
"Kepada orang-orang yang meng-ilaa' istrinya diberi tangguh empat bulan (lamanya). Kemudian jika mereka kembali (kepada istrinya), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan jika mereka berazam (bertetap hati untuk) talak, maka sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (Al-Baqarah: 226-227).
    Jika seorang suami dalam perjalanan, sedangkan ia tidak mempunyai alasan syar'i yang menghalanginya untuk kembali kepada istrinya, maka Imam Ahmad berpendapat bahwa dalam kondisi ini suami wajib menggauli istrinya dalam batas waktu maksimal enam bulan sekali. Imam Ahmad pernah ditanya, "Berapakah lama seorang suami boleh berpisah dari istrinya?" Beliau menjawab, "Enam bulan. Dan ia harus diberitahu mengenai hal itu. Jika dalam jangka waktu tersebut ia enggan untuk kembali kepada istrinya atau istrinya tidak mampu pergi kepadanya bersama mahramnya, maka hakim boleh memisahkan keduanya". Dalil beliau adalah atsar yang diriwayatkan bahwa Amirul Mukminin Umar bin Khattab r.a. bertanya kepada anak perempuannya, Ummul Mukminin Hafshah r.a., "Berapa lamakah seorang istri dapat bersabar ditinggal suaminya?" Beliau menjawab, "Lima atau enam bulan." Maka beliau menetapkan batas waktu enam bulan bagi para pasukannya. Satu bulan untuk berangkat perang, empat bulan menetap di medan tempur dan satu bulan untuk pulang ke rumah.
    Dalam semua kondisi, seorang suami wajib menjaga dan membentengi istrinya sesuai dengan kebutuhannya. Dalam kitab Ihyâ` Ulûmuddîn, Imam Ghazali rahimahullah berkata, "Seorang suami hendaknya menggauli istrinya setiap empat hari sekali. Itulah batas waktu terbaik, karena jumlah istri adalah empat orang sehingga [setiap orang] boleh untuk tidak digauli hingga batas waktu tersebut. Ia boleh mengurangi atau menambah batas waktu tersebut sesuai dengan kebutuhannya dalam menjaga istrinya, karena penjagaan itu merupakan kewajibannya."
    Karena pentingnya hal ini, Rasulullah saw. menganggapnya sebagai sedekah yang mendapatkan pahala dari Allah. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dzar r.a., bahwa Rasulullah saw. bersabda,
وَفِي بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ
"Menggauli istri kalian adalah sedekah."

    Para sahabat bertanya, "Wahai Rasulullah, bagaimana seseorang dari kami melampiaskan nafsunya lalu dia mendapatkan pahala?"
Beliau menjawab,
أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِيْ حَرَامٍ أَكَانَ عَلَيْهِ فِيهَا وِزْرٌ؟ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِي الْحَلاَلِ كَانَ لَهُ أَجْرٌ
"Bagaimana pendapat kalian jika seseorang menyalurkan syahwatnya itu pada tempat yang haram, bukankah dia akan mendapatkan dosa? Begitu pula jika dia meletakkannya pada tempat yang halal, maka dia akan mendapatkan pahala." (HR. Muslim).
    Dengan demikian, berdasarkan pertanyaan di atas, secara syar'i seorang lelaki yang dipenjara boleh untuk berkhalwat dengan istrinya. Begitu juga, istri yang dipenjara boleh digauli oleh suaminya untuk melakukan hak-hak suami-istri. Hal itu karena hukuman dalam Islam hanya bersifat personal sehingga hukuman terhadap seseorang tidak boleh merugikan orang lain.
    Adapun mengenai larangan seorang suami untuk menggauli istrinya dan batas waktu dari hal tersebut, maka para ulama fikih telah memberikan penjelasan bahwa bentuk hukuman ta'zir (hukuman yang ditetapkan oleh hakim) hanya terbatas pada memukul, menampar, mengurung, mengucilkan, mengusir dari majlis, membuka kepala, mengotori wajah, menggundul bagi orang yang membencinya, menaikkan ke atas keledai dengan badan menghadap ke belakang dan mengaraknya di hadapan orang-orang atau mengancamnya dengan berbagai jenis hukuman. Hukuman ta'zir tidak boleh dengan mencukur habis jenggot, memotong anggota badan atau melukainya. Pembatasan bentuk-bentuk hukuman ta'zir ini menunjukkan bahwa mereka sepakat tidak boleh memberikan hukuman dengan melarang seseorang menggauli istrinya.
    Dengan demikian, dalam syariat tidak ada halangan untuk membolehkan seorang narapidana menggauli istri atau suaminya. Sedangkan batas waktu yang membuat seorang istri boleh menuntut cerai dari suaminya karena merasa dirugikan akibat tidak digauli adalah satu tahun atau lebih. Hal ini berdasarkan hukum yang diambil oleh undang-undang negara Mesir. Di dalam syariat Islam tidak terdapat ta'zir dalam bentuk pelarangan seseorang untuk menggauli istrinya. Khusus Rasulullah saw. saja yang boleh memberlakukan hukuman tersebut dalam kisah orang-orang yang tidak ikut berperang Tabuk. Dan dalam masalah ini, kebijakan diserahkan kepada pihak yang berwenang untuk menetapkan hal-hal yang dianggap baik untuk masyarakat.
Wallahu subhânahu wa ta'âlâ a'lam.
Sumber : Dar al Iftaa ( Lembaga Fatwa Mesir)
Share:

Mengeraskan Bacaan Basmalah Ketika Salat

JIKA TERDAPAT KESALAHAN/KEKELIRUAN DALAM ARTIKEL INI
DAPAT MENGHUBUNGI KAMI DENGAN CARA MENINGGALKAN PESAN... TERIMAKASIH

ntaan fatwa No. 881 tahun 2005, yang berisi:
    Apakah mengeraskan bacaan basmalah dalam salat adalah wajib, sehingga tidak boleh menjadi makmum bagi orang yang tidak mengeraskan bacaannya? Ataukah membaca basmalah secara keras atau pelan (sirr) hukumnya adalah sama?
Jawaban : Mufti Agung Prof. Dr. Ali Jum'ah Muhammad
    Permasalahan membaca basmalah dengan keras adalah salah satu permasalahan yang diperdebatkan oleh para ulama fikih. Para ulama mazhab Syafi'i berpendapat bahwa mengeraskan bacaan basmalah adalah sunah. Sedangkan ulama-ulama yang lain berpendapat bahwa membacanya secara pelan adalah lebih baik (afdal). Membaca basmalah dalam salat adalah termasuk sunah hai`ah yang tidak mencapai derajat sunah muakkadah. Perbedaan pendapat tentang sunah hai`ah ini adalah hal biasa dan terbuka. 
    Dan sebagaimana ditetapkan dalam syariat, bahwa sikap yang dicela adalah meninggalkan sesuatu yang disepakati kewajibannya dan melakukan sesuatu yang disepakati keharamannya. Adapun hal-hal yang masih diperdebatkan maka tidak boleh mencela orang yang melakukan atau meninggalkannya.
    Barang siapa yang membaca basmalah dengan keras, maka itu adalah baik; dan barang siapa yang membaca dengan pelan, maka itu adalah baik pula. Persoalan-persoalan yang masih diperdebatkan seperti ini seyogyanya tidak menjadi penyebab perselisihan, fitnah dan perpecahan antar kaum muslimin. Justru, seharusnya kita harus mempraktikkan etika para salaf saleh ketika berbeda pendapat dalam persoalan-persoalan fikih dan ijtihadi.
Wallahu subhânahu wa ta'âlâ a'lam.
Sumber : Dar al Iftaa ( Lembaga Fatwa Mesir)
Share:

Memakai Pakaian Ihram Setelah Memasuki Mekah

JIKA TERDAPAT KESALAHAN/KEKELIRUAN DALAM ARTIKEL INI
DAPAT MENGHUBUNGI KAMI DENGAN CARA MENINGGALKAN PESAN... TERIMAKASIH

honan fatwa No. 291 tahun 2004 , yang berisi:
    Apakah saya boleh masuk Mekah dengan niat melaksanakan haji tapi saya memakai pakaian ihram ketika telah sampai di Mekah? Hal ini saya lakukan karena saya khawatir para polisi akan melarang saya memasuki Mekah tanpa surat izin melaksanakan haji, padahal saya tidak dapat memperoleh surat izin tersebut. Kewajiban apa yang harus saya lakukan dalam keadaan ini?
Jawaban : Mufti Agung Prof. Dr. Ali Jum'ah Muhammad
    Jika keadaannya seperti yang digambarkan dalam pertanyaan, maka sebagaimana ditetapkan dalam fikih Islam, orang yang mempunyai uzur dan terpaksa melakukan salah satu larangan ihram, seperti memotong rambut, memakai pakaian berjahit dan sebagainya, selain bersenggama, wajib menyembelih seekor kambing atau memberi makan enam orang fakir miskin masing-masing setengah sha' (satu sha' adalah 2,40 gram) atau berpuasa tiga hari. Dia dipersilahkan untuk memilih salah satu dari tiga hal tersebut. Haji yang dia lakukan tidak batal dengan melanggar salah satu larangan ihram tersebut, kecuali jika melakukan senggama. 
    Diriwayatkan dari Abdurrahman bin Abi Laila dari Ka'ab bin 'Ujrah, bahwa Rasulullah saw. mengunjunginya ketika tahun Hudaibiyah. Beliau bertanya, "Apakah kutu di kepalamu itu mengganggumu?" "Iya," jawabku. Beliau lalu bersabda,
احْلِقْ ثُمَّ اذْبَحْ شَاةًً نُسُكًا أَوْ صُمْ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ أَوْ َأَطْعِمْ ثَلاَثَةَ أصُعٍ مِنْ تَمْرٍِ عَلَى سِتَّةِ مَسَاكِيْنَ
"Cukurlah rambutmu, lalu sembelihlah seekor kambing, atau berpuasalah tiga hari, atau berilah makan tiga sha' kurma untuk enam orang fakir miskin." (HR. Bukhari, Muslim dan Abu Dawud).
Wallahu subhânahu wa ta'âlâ a'lam.
Sumber : Dar al Iftaa ( Lembaga Fatwa Mesir)
Share:

Jamaah Haji Langsung ke Arafah Pada Tanggal 8 Dzulhijjah, Tanpa ke Mina Terlebih Dahulu

JIKA TERDAPAT KESALAHAN/KEKELIRUAN DALAM ARTIKEL INI
DAPAT MENGHUBUNGI KAMI DENGAN CARA MENINGGALKAN PESAN... TERIMAKASIH

ntaan fatwa No. 3189 tahun 2005 , yang berisi:
    Pada tanggal 8 Dzulhijjah, apakah seorang jamaah haji boleh berangkat langsung menuju Arafah bukannya ke Mina terlebih dahulu, untuk menghindari kepadatan yang luar biasa ketika memasuki wilayah Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah?
Jawaban : Mufti Agung Prof. Dr. Ali Jum'ah Muhammad
    Tanggal 8 Dzulhijjah disebut juga dengan hari Tarwiyah. Dinamakan demikian karena pada hari itu para jamaah haji beristirahat di Mina serta mengistirahatkan hewan-hewan tunggangan dan kurban mereka, serta memberinya minum sebelum mereka menuju Arafah dan melaksanakan ibadah-ibadah lainnya, seperti mabit di Muzdalifah, ibadah-ibadah pada hari Nahr dan hari-hari Tasyrik. 
    Pada tanggal 8 Dzulhijjah tersebut, jamaah haji disunahkan (tidak diwajibkan) untuk berangkat menuju Mina pada waktu dhuha. Selama berada di Mina, mereka melaksanakan salat Zuhur, Asar, Magrib dan Isya dengan menqasharnya tanpa menjamaknya. Mereka juga disunahkan untuk bermalam di sana dan melaksanakan salat Subuh serta berangkat menuju Arafah ketika dhuha. Jika seorang jamaah haji langsung pergi menuju Arafah pada tanggal 8 Dzulhijjah, tanpa mabit di Mina terlebih dahulu guna menghindari kepadatan, maka tidak ada dosa baginya dan hajinya tetap sah. Dia hanya dianggap telah meninggalkan ibadah sunah. Bahkan, dia dianggap meninggalkan ibadah sunah karena suatu uzur, sehingga semoga dia tetap akan memperoleh pahala ibadah yang akan dia lakukan jika tidak ada uzur.
    Adapun pembayaran dam, maka hanya dilakukan jika seorang jamaah haji meninggalkan ibadah wajib, bukan ibadah sunah.
Wallahu subhânahu wa ta'âlâ a'lam.
Sumber : Dar al Iftaa ( Lembaga Fatwa Mesir)
Share:

Melaksanakan Thawaf Ifadhah sebelum Melempar Jumrah Aqabah

JIKA TERDAPAT KESALAHAN/KEKELIRUAN DALAM ARTIKEL INI
DAPAT MENGHUBUNGI KAMI DENGAN CARA MENINGGALKAN PESAN... TERIMAKASIH

005 , yang berisi:     Apakah seorang jamaah haji boleh meninggalkan Muzdalifah dan langsung menuju Mekkah guna melaksanakan thawaf Ifadhah sebelum melempar jumrah Aqabah?
Jawaban : Mufti Agung Prof. Dr. Ali Jum'ah Muhammad
    Pada hari Nahr (tanggal 10 Dzulhijjah) terdapat beberapa amalan yang harus dilakukan oleh seorang jamaah haji. Amalan-amalan tersebut adalah melempar jumrah Aqabah, memendekkan atau menggundul rambut, melakukan thawaf Ifadhah dan sa'i antara Shafa dan Marwa –jika dia belum melaksanakannya setelah thawaf Qudum—, serta menyembelih hewan hadyu bagi jamaah haji yang melaksanakan haji Tamattu' dan Qiran jika bukan penduduk Mekah.
    Seorang jamaah haji boleh mendahulukan salah satu ibadah di atas, termasuk mendahulukan thawaf Ifadhah sebelum melempar jumrah Aqabah. Hal ini didasarkan pada hadis Abdullah bin Amr bin Ash r.a. bahwa dia menyaksikan Rasulullah saw. berkhutbah pada hari Nahr. Lalu salah seorang laki-laki berdiri dan berkata, "Saya mengira bahwa ibadah ini dilaksanakan sebelum yang ini." Lalu ada yang lain juga berkata, "Saya juga mengira bahwa ibadah ini dilaksanakan sebelum yang ini." "Saya menyembelih sebelum melempar." Dan perkataan-perkataan lain sejenisnya. Lalu Rasulullah saw. menjawab masing-masing dari mereka dengan bersabda,
افْعَلْ وَلاَ حَرَجَ
"Lakukanlah, dan itu tidak apa-apa bagimu."
    Kata-kata itu merupakan jawaban beliau untuk semua pengaduan di atas. Tidaklah beliau ditanya pada hari itu mengenai suatu masalah, kecuali beliau mengatakan, "Lakukanlah, dan itu tidak apa-apa bagimu." (Muttafaq Alaih).
Wallahu subhânahu wa ta'âlâ a'lam.
Sumber : Dar al Iftaa ( Lembaga Fatwa Mesir)
Share:

Meninggalkan Muzdalifah Setelah Tengah Malam

JIKA TERDAPAT KESALAHAN/KEKELIRUAN DALAM ARTIKEL INI
DAPAT MENGHUBUNGI KAMI DENGAN CARA MENINGGALKAN PESAN... TERIMAKASIH

intaan fatwa No. 3334 tahun 2005, yang berisi:
    Apakah seorang jamaah haji boleh meninggalkan Muzdalifah setelah tengah malam?
 
Jawaban : Mufti Agung Prof. Dr. Ali Jum'ah Muhammad
    Mabit (bermalam) di Muzdalifah adalah salah satu ibadah wajib dalam haji menurut pendapat jumhur (mayoritas) ulama. Kewajiban ini dianggap telah terlaksana dengan berdiam walaupun sejenak setelah pertengahan malam. Karena dengan demikian, seorang jamaah haji telah menghabiskan lebih dari setengah malam di tempat itu, sehingga dapat dikatakan bahwa dia telah bermalam di sana. Meskipun demikian, yang disunahkan adalah tetap tinggal dan bermalam sampai melakukan salat Subuh. Setelah itu, dia berhenti sejenak di Masy'aril Haram untuk berdoa sebelum terbitnya matahari. Kemudian dia berangkat menuju Mina guna melempar jumrah Aqabah. 
    Disebutkan dalam sebuah hadis bahwa Nabi saw. memberikan rukhshah (keringanan) bagi orang-orang lemah, para wanita dan orang-orang yang mempunyai pekerjaan mendesak untuk meninggalkan Muzdalifah setelah tengah malam guna memberi keringanan kepada mereka dan memperhatikan kondisi mereka. Dalam hal ini, orang yang tidak mampu berdesak-desakan dapat dimasukkan ke dalam kategori golongan yang mendapatkan keringanan itu. Imam Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. bahwa dia berkata, "Saya termasuk orang yang diberangkatkan terlebih dahulu oleh Rasulullah saw. pada malam Muzdalifah bersama para kerabatnya yang lemah."
Wallahu subhânahu wa ta'âlâ a'lam.
Sumber : Dar al Iftaa ( Lembaga Fatwa Mesir)
Share:

Membaca Alquran Sebelum Khutbah Jum'at

JIKA TERDAPAT KESALAHAN/KEKELIRUAN DALAM ARTIKEL INI
DAPAT MENGHUBUNGI KAMI DENGAN CARA MENINGGALKAN PESAN... TERIMAKASIH

ntaan fatwa No. 2163 tahun 2004 yang berisi:
    Apa hukum membaca Alquran dengan dilagukan sebelum khutbah pada hari Jum'at? Apakah ini dibolehkan?
Jawaban : Mufti Agung Prof. Dr. Ali Jum'ah Muhammad
    Allah SWT memberikan para pembaca Alquran tempat yang sangat tinggi dan mulia. Allah juga memerintahkan kaum muslimin untuk membacanya dan mentadaburi (merenungi) makna-makna yang terkandung di dalamnya. Allah berfirman,
"Sesungguhnya Rabbmu mengetahui bahwasanya kamu berdiri (salat) kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam atau sepertiganya dan (demikian pula) segolongan dari orang-orang yang bersama kamu. Dan Allah menetapkan ukuran malam dan siang. Allah mengetahui bahwa kamu sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas waktu-waktu itu, maka Dia memberi keringanan kepadamu, karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Alqur'an. Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi yang berperang di jalan Allah, maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Alqur'an dan dirikanlah salat, tunaikanlah zakat dan berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik. Dan kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh (balasan)nya di sisi Allah sebagai balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya. Dan mohonlah ampunan kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Al-Muzammil: 20).
Nabi saw. juga bersabda,
اِقْرَءُوْا الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ يَأْتِيْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ شَفِيْعًا لِأَصْحَابِهِ، اِقْرَءُوْا الزَّهْرَاوَيْنِ الْبَقَرَةَ وَسُوْرَةَ آلِ عِمْرَانَ فَإِنَّهُمَا تَأْتِيَانِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ كَأَنَّهُمَا غَمَامَتَانِ أَوْ كَأَنَّهُمَا غَيَايَتَانِ، أَوْ كَأَنَّهُمَا فِرْقَانِ مِنْ طَيْرٍ صَوَافٍّ تُحَاجَّانِ عَنْ أَصْحَابِهِمَا، اِقْرَءُوْا سُوْرَةَ الْبَقَرَةِ فَإِنَّ أَخْذَهَا بَرَكَةٌ وَتَرْكَهَا حَسْرَةٌ وَلاَ تَسْتَطِيْعُهَا الْبَطَلَةُ
"Bacalah Alquran, karena pada hari Kiamat ia akan datang sebagai pemberi syafaat bagi para pembacanya. Bacalah az-Zahrawain, yaitu surat al-Baqarah dan surat Ali 'Imrân, karena pada hari Kiamat pahala dari membaca keduanya akan datang seperti dua awan yang menaungi. Atau, pahala keduanya akan datang bagaikan sekumpulan burung yang berbaris untuk membela orang yang membacanya. Bacalah surat al-Baqarah, karena dengan senantiasa membacanya akan mendatangkan keberkahan, sedangkan meninggalkannya adalah kerugian, dan para penyihir tidak akan mampu membacanya." (HR. Muslim dan Ahmad).
Dan beliau juga bersabda,
اِقْرَءُوْا الْقُرْآنَ فَإِنَّ اللهَ لاَ يُعَذِّبُ قَلْباً وَعَى الْقُرْآنَ
"Bacalah Alquran, karena Allah tidak akan mengazab hati yang memahami Alquran." (HR. Tamam dari Abi Umamah r.a. dalam kitab al-Fawâid).
    Bahkan, Allah SWT menjadikan perbuatan mendengarkan Alquran sebagai suatu ibadah dan memberikan pahala yang besar baginya. Imam Ahmad meriwayatkan dalam kitab al-Musnad dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda,
مَنِ اسْتَمَعَ إِلَى آيَةٍ مِنْ كِتَابِ اللهِ تَعَالَى كُتِبَ لَهُ حَسَنَةٌ مُضَاعَفَةٌ وَمَنْ تَلاَهَا كَانَتْ لَهُ نُوْرًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ
"Barang siapa yang mendengarkan satu ayat dari Kitabullah maka diberikan baginya sebuah pahala yang berlipat ganda. Dan barang siapa yang membacanya maka ayat itu akan menjadi cahaya baginya pada hari Kiamat."
    Islam sangat menganjurkan umatnya untuk membaca Alquran setiap hari, terutama pada hari Jum'at dengan membaca surat al-Kahfi. Rasulullah saw. bersabda,
مَنْ قَرَأَ سُوْرَةَ الْكَهْفِ يَوْمَ الْجُمْعَةِ أَضَاءَ لَهُ النٌّوْرُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْبَيْتِ الْعَتِيْقِ
"Barang siapa yang membaca surat al-Kahfi pada hari Jum'at niscaya cahaya akan meneranginya antara dirinya dan Baitul 'Atiq (Ka'bah)." (HR. Al-Baihaqi dalam Syu'ab al-Îmân).
    Membaca Alquran dengan suara yang indah dan ucapan yang fasih adalah dianjurkan. Rasulullah saw. bersabda,
زِيْنُوْا الْقُرْآنَ بِأَصْوَاتِكُمْ فَإِنَّ الصَّوْتَ الْحَسَنَ يَزِيْدُ الْقُرْآنَ حَسَناً
"Hiasilah Alquran dengan suaramu, karena suara yang indah menambah keindahan Alquran." (HR. Hakim).
    Dengan demikian, berdasarkan pertanyaan di atas, tidak apa-apa membaca Alquran di masjid sebelum khutbah Jum'at, karena hal itu adalah perbuatan baik dan dapat membuat para hadirin berkonsentrasi pada bacaan Alquran tersebut serta mempersiapkan mereka untuk melaksanakan rangkaian ibadah salat Jum'at.
Wallahu subhânahu wa ta'âlâ a'lam.
Sumber : Dar al Iftaa ( Lembaga Fatwa Mesir)
Share:

Membasuh Kaus Kaki Ketika Berwudu

JIKA TERDAPAT KESALAHAN/KEKELIRUAN DALAM ARTIKEL INI
DAPAT MENGHUBUNGI KAMI DENGAN CARA MENINGGALKAN PESAN... TERIMAKASIH

ntaan fatwa No. 719 tahun 2005, yang berisi:
    Banyak orang memakai kaus kaki yang terbuat dari bahan kain tipis, sehingga jika terkena air maka airnya akan sampai ke permukaan kulit. Apakah boleh membasuh kaus kaki seperti itu ketika berwudu kemudian melakukan salat dengan wudu tersebut?
Jawaban : Mufti Agung Prof. Dr. Ali Jum'ah Muhammad
    Jumhur (mayoritas) ulama membolehkan membasuh kaus kaki jika ia terbuat dari kulit yang dapat digunakan sebagai alas kaki untuk berjalan dan dipakai ketika dalam keadaan tidak berhadas atau suci. Dalil bagi kebolehan membasuh kaus kaki seperti ini adalah hadis Mughirah bin Syu'bah radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah saw. membasuh kedua kaus kaki dan kedua sandalnya. (HR. Ahmad, Abu Dawud dan Tirmidzi dan dia menshahihkannya).
    Jumhur ulama membatasi keumuman makna hadis tentang membasuh kaus kaki dengan batasan yang disebutkan dalam hadis-hadis membasuh khuf (kaus kaki dari kulit). Sehingga, dalam membasuh kaus kaki, mereka mensyaratkan hal-hal yang disyaratkan dalam membasuh khuf.
    Namun, sebagian ulama, seperti beberapa ulama mazhab Hambali, seperti juga al-Qasimi dan Ahmad Syakir dari kalangan ulama belakangan, mengambil makna zahir dari nash-nash tersebut. Mereka memperbolehkan seseorang membasuh semua jenis kaus kaki yang dipakainya ketika berwudu, tanpa ada batasan apakah kainnya tipis atau tebal, dan apakah kaus kaki itu menutup seluruh permukaan kulit atau tidak.
    Dengan demikian, membasuh kaus kaki yang tipis adalah tidak boleh menurut jumhur ulama dan boleh menurut sebagian kecil ulama yang lain.
Wallahu subhânahu wa ta'âlâ a'lam.
Sumber : Dar al Iftaa ( Lembaga Fatwa Mesir)
Share:

Salat Qiyamul Lail Berjamaah

JIKA TERDAPAT KESALAHAN/KEKELIRUAN DALAM ARTIKEL INI
DAPAT MENGHUBUNGI KAMI DENGAN CARA MENINGGALKAN PESAN... TERIMAKASIH

honan fatwa No. 589 tahun 2005 yang berisi:
    Apa hukum melakukan salat dua rakaat di masjid setelah salat Isya' guna mengingatkan kepada orang-orang tentang kesunahan salat Qiyamul Lail dan memotivasi mereka agar melaksanakannya di rumah?
Jawaban : Mufti Agung Prof. Dr. Ali Jum'ah Muhammad
    Sebagaimana ditetapkan dalam syariat, bahwa salat yang tidak disunahkan untuk dilakukan secara berjamaah –karena didasarkan pada perbuatan Rasulullah saw. yang selalu melakukannya sendiri—, tidak apa-apa untuk dilakukan secara berjamaah, tanpa ada kemakruhan sama sekali. 
    Hal ini didasarkan pada perbuatan Ibnu Abbas r.a. yang menjadi makmum Nabi saw. dalam salat Tahajud di rumah bibinya, Ummul Mukminin Maimunah r.a.. Hadis ini diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.
    Ibnu Mas'ud r.a. dan yang lainnya juga pernah salat Qiyamul Lail di belakang Nabi saw., padahal sebagaimana diketahui bahwa salat Qiyamul Lail tidak disunahkan untuk dilaksanakan secara berjamaah kecuali pada bulan Ramadan, tapi hal itu dibolehkan sebagaimana telah disebutkan.
    Jika ada sejumlah orang berkumpul untuk melaksanakan salat Tahajud secara bersama-sama, maka hal itu dibolehkan selama tidak mewajibkannya kepada orang-orang. Jika terdapat pemaksaan maka perbuatan itu dimasukkan ke dalam perbuatan bid'ah, karena memaksakan sesuatu yang tidak diwajibkan oleh syariat. Oleh karena itulah, ketika pada suatu malam Nabi saw. melakukan salat Tahajud di masjid, lalu ada seseorang yang menjadi makmum beliau dan hal itu terulang-ulang, maka beliau pun meninggalkannya pada malam keempat. Setelah salat Shubuh, beliau menghadap kepada para jamaah dan mengucapkan syahadat lalu bersabda,
أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّهُ لَمْ يَخْفَ عَلَىَّ مَكَانُكُمْ وَلَكِنِّىْ خَشِيْتُ أَنْ تُفْتَرَضَ عَلَيْكُمْ فَتَعْجِزُوا عَنْهَا
"Amma ba'du. Sebenarnya aku mengetahui keberadaan kalian, tapi aku takut kebiasaan itu dianggap wajib sehingga kalian tidak mampu melaksanakannya." (Muttafaq alaih dari hadis Aisyah).
    Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abdullah bin Umar r.a., ia berkata, "Nabi saw. mendatangi masjid Quba setiap hari Sabtu terkadang dengan berjalan kaki dan terkadang menaiki tunggangan." Abdullah bin Umar pun melakukan hal yang sama.
    Al-Hafizh Ibnu Hajar, dalam Fathul-Bâri, mengatakan, "Hadis ini, dalam semua jalurnya yang berbeda-beda, menunjukkan kebolehan mengkhususkan sebagian hari untuk melakukan beberapa amal saleh dan membiasakannya secara terus menerus."
    Dengan demikian, berdasarkan pertanyaan di atas, maka salat dua rakaat habis salat Isya adalah dibolehkan dan tidak dimakruhkan sama sekali, dengan syarat tidak ada keyakinan tentang keharusan untuk melakukannya. Jika salat tersebut dilakukan dengan mengharuskan orang lain untuk melaksanakannya dan menganggap orang yang menolaknya telah berbuat dosa, maka perbuatan itu dianggap sebagai perbuatan bid'ah yang tercela, karena dengan hal itu dia telah mewajibkan sesuatu yang tidak diwajibkan oleh Allah dan Rasul-Nya saw..
Wallahu subhânahu wa ta'âlâ a'lam.
Sumber : Dar al Iftaa ( Lembaga Fatwa Mesir)
Share:

Salat Tasbih

JIKA TERDAPAT KESALAHAN/KEKELIRUAN DALAM ARTIKEL INI
DAPAT MENGHUBUNGI KAMI DENGAN CARA MENINGGALKAN PESAN... TERIMAKASIH

005, yang berisi:     Apa hukum melakukan salat Tasbih? Apakah Rasulullah saw. membolehkannya? Dan apa pahala bagi orang yang melakukannya pada malam 27 Ramadhan?
Jawaban : Mufti Agung Prof. Dr. Ali Jum'ah Muhammad
    Hadis yang menjelaskan salat Tasbih diriwayatkan melalui berbagai jalur dari beberapa orang sahabat. Hadis-hadis itu dikeluarkan oleh para ulama besar Islam dan para ulama hadis. 
Jalur hadis ini yang paling kuat adalah riwayat Ikrimah dari Ibnu Abbas r.a., dia berkata, "Rasulullah saw. bersabda kepada Abbas bin Abdul Muthalib,
يَا عَبَّاسُ يَا عَمَّاهُ! أَلاَ أُعْطِيْكَ! أَلاَ أَمْنَحُكَ! أَلاَ أَحْبُوْكَ! أَلاَ أَفْعَلُ لَكَ، عَشْرَ خِصَالٍ إِذَا أَنْتَ فَعَلْتَ ذَلِكَ غَفَرَ اللَّهُ لَكَ ذَنْبَكَ: أَوَّلَهُ وَآخِرَهُ، قَدِيْمَهُ وَحَدِيْثَهُ، خَطَأَهُ وَعَمْدَهُ، صَغِيْرَهُ وَكَبِيرَهُ، سِرَّهُ وَعَلاَنِيَتَهُ، عَشْرَ خِصَالٍ: أَنْ تُصَلِّيَ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ تَقْرَأُ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ فَاتِحَةَ الْكِتَابِ وَسُوْرَةً فَإِذَا فَرَغْتَ مِنَ الْقِرَاءَةِ فِي أَوَّلِ رَكْعَةٍ وَأَنْتَ قَائِمٌ قُلْتَ: " سُبْحَانَ اللَّهِ، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ، وَلاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ، وَاللَّهُ أَكْبَرُ"، خَمْسَ عَشْرَةَ مَرَّةً، ثُمَّ تَرْكَعُ فَتَقُولُهَا وَأَنْتَ رَاكِعٌ عَشْرًا، ثُمَّ تَرْفَعُ رَأْسَكَ مِنَ الرُّكُوعِ فَتَقُولُهَا عَشْرًا، ثُمَّ تَهْوِي سَاجِدًا فَتَقُولُهَا وَأَنْتَ سَاجِدٌ عَشْرًا، ثُمَّ تَرْفَعُ رَأْسَكَ مِنَ السُّجُودِ فَتَقُولُهَا عَشْرًا، ثُمَّ تَسْجُدُ فَتَقُولُهَا عَشْرًا، ثُمَّ تَرْفَعُ رَأْسَكَ فَتَقُولُهَا عَشْرًا، فَذَلِكَ خَمْسٌ وَسَبْعُونَ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ، تَفْعَلُ ذَلِكَ فِي أَرْبَعِ رَكَعَاتٍ. إِنِ اسْتَطَعْتَ أَنْ تُصَلِّيَهَا فِي كُلِّ يَوْمٍ مَرَّةً فَافْعَلْ، فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَفِي كُلِّ جُمُعَةٍ مَرَّةً، فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَفِي كُلِّ شَهْرٍ مَرَّةً، فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَفِي كُلِّ سَنَةٍ مَرَّةً، فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَفِي عُمُرِكَ مَرَّةً
"Wahai Abbas, wahai Paman. Ketahuilah, aku akan memberimu. Aku akan menghadiahimu. Aku akan membagimu. Aku akan melaksanakan untukmu. Ada sepuluh hal, jika kamu melakukannya maka Allah akan mengampuni dosamu, baik yang terdahulu maupun yang terakhir, baik yang lama maupun yang baru, baik yang tidak sengaja maupun yang sengaja, baik yang besar maupun yang kecil, baik yang tersembunyi maupun yang terang-terangan. Sepuluh hal itu adalah kamu melakukan salat sebanyak empat rakaat. Pada setiap rakaat kamu membaca surat al-Fatihah dan surat lain. Jika telah selesai membacanya dalam rakaat pertama, maka ucapkanlah sambil berdiri, "Subhânallah, wal hamdulillah, wa lâ ilâha illâllah, wallahu akbar," sebanyak lima belas kali. Lalu kamu melakukan rukuk dan mengucapkan zikir itu sebanyak sepuluh kali sambil rukuk. Lalu kamu berdiri dari rukuk dan mengucapkan zikir itu sebanyak sepuluh kali. Lalu kamu melakukan sujud dan mengucapkannya sambil sujud sebanyak sepuluh kali. Lalu kamu mengangkat kepalamu dari sujud dan membacanya sepuluh kali. Lalu kamu melakukan sujud dan membacanya sepuluh kali. Lalu kamu mengangkat kepalamu dan membacanya sepuluh kali. Itulah tujuh puluh lima kali dalam satu rakaat. Kamu melakukannya dalam empat rakaat. Jika kamu dapat melakukannya sekali dalam satu hari maka lakukanlah. Jika tidak maka sekali dalam satu Jum'at. Jika tidak maka sekali dalam satu bulan. Jika tidak maka sekali dalam satu tahun. Dan jika tidak maka sekali dalam seumur hidup."
    Hadis ini dikeluarkan oleh Bukhari dalam al-Qirâ`ah Khalfa al-Imâm, Abu Dawud, Ibnu Majah dan Ibnu Khuzaimah. Hadis inipun dishahihkan oleh beberapa ulama hadis, seperti Daruquthni yang menghimpun seluruh jalur periwayatan hadis ini dalam sebuah buku kecil, al-Hakim dalam al-Mustadrak, al-Hafizh Abu Bakar al-Ajurri, Ibnu Mandah (beliau mengarang sebuah kitab yang menjelaskan keshahihan hadis ini), al-Khatib al-Baghdadi yang mengumpulkan seluruh jalur periwayatan hadis ini dalam sebuah buku, Abu Sa'ad as-Sam'ani, al-Hafizh Abu Musa al-Madini dalam kitab Tashhîh Shalât at-Tasâbîh, Abu Muhammad Abdur Rahim al-Mishri, Abu Hasan al-Maqdisi, al-Hafizh al-Mundziri dan Imam Zarkasyi. Sedangkan para ulama yang menghukuminya hasan adalah Ibnu Shalah dan an-Nawawi dalam at-Tahdzîb.
    Imam Muslim berkata, "Tidak ada riwayat mengenai masalah ini yang lebih baik dari sanad hadis ini." Abu Dawud berkata, "Tidak ada hadis shahih mengenai salat Tasbih selain hadis ini." Tirmidzi berkata, "Ibnu Mubarak dan beberapa ulama memandang disyariatkannya salat Tasbih dan mereka menyebutkan keutamaannya." Hakim berkata dalam al-Mustadrak, "Para perawi hadis ini dari Ibnu Mubarak semuanya tsiqat dan atsbat. Abdullah tidaklah dicurigai mengajarkan sesuatu yang menurutnya tidak shahih sanadnya." Al-Baihaqi berkata, "Ibnu Mubarak melakukannya dan para shalihin saling meriwayatkannya di antara mereka. Hal ini merupakan penguat atas hadis yang marfû' ini." Ad-Dailami berkata dalam Musnad al-Firdaus, "Salat Tasbih adalah salat yang paling terkenal dan yang paling shahih sanadnya." Abdul Aziz bin Abu Ruwwad berkata, "Barang siapa yang menginginkan bau harum surga maka hendaknya dia melakukan salat ini."
    Pendapat yang menyatakan bahwa salat ini dianjurkan adalah pendapat para ulama Syafi'iyah dan Hanafiyah. Salah satu pendapat dalam mazhab Hambali menyatakan kebolehan melakukannya.
    Ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa salat ini tidak dianjurkan, karena mereka menilai bahwa hadis di atas adalah dhaif. Selain itu, tata cara salat ini berbeda dengan tata cara salat yang lain. Pendapat ini diriwayatkan dari Imam Ahmad. Ibnu Hajar pun condong kepada pendapat ini sebagaimana yang dia sebutkan dalam kitab Talkhîsh al-Habîr dan dia menukil kedhaifan hadis ini dari Ibnu Taimiyah dan al-Mizzi.
    Para pendukung pendapat pertama menjawab bahwa hadis ini diriwayatkan dari jalur yang banyak dan saling menguatkan. Ditambah lagi, kekuatan hadis itu didukung dengan perbuatan para ulama salaf yang selalu mengamalkannya. Perbedaan tata cara salat Tasbih dengan salat pada umumnya tidak mengurangi nilai pensyariatannya, sebagaimana dalam salat-salat sunah lainnya seperti salat Ied (hari raya), salat jenazah, salat gerhana matahari dan bulan serta salat dalam keadaan takut. Adapun riwayat yang menerangkan bahwa Imam Ahmad mengingkari hadis salat Tasbih ini, maka telah dinukil riwayat lain yang menjelaskan bahwa beliau telah rujuk dari pendapat itu.
    Ibnu Hajar dalam kitab al-Ajwibah 'alâ Ahâdîts al-Mashâbîh menukil dari Ali bin Said an-Nasa`i, dia berkata, "Saya pernah bertanya kepada Ahmad mengenai salat Tasbih, dia menjawab, "Tidak ada hadis shahih mengenai hal itu." Saya berkata, "Apa pendapatmu mengenai riwayat Mustamir bin Rayyan dari Abu Jawza` dari Abdullah bin 'Amr?" Ahmad berkata, "Siapa yang memberitahumu?" "Muslim bin Ibrahim," jawab saya. Ahmad berkata, "Mustamir adalah tsiqah." Dia sepertinya menganggap baik hal itu."
    Selanjutnya Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, "Kisah yang diriwayatkan dari Ahmad ini menunjukkan bahwa dia telah kembali kepada pendapat yang menganjurkan salat itu. Adapun pendapat yang dinukil darinya tentang tidak adanya hadis shahih tentang salat Tasbih, maka hal itu bertentangan dengan ulama yang menguatkan riwayat tersebut dan mengamalkannya. Para ulama telah sepakat bahwa tidak boleh mengamalkan hadis maudhu', tapi boleh mengamalkan hadis dhaif dalam fadhâil al-a'mâl (amalan-amalan yang utama) serta dalam masalah at-targhîb wat-tarhîb (anjuran dan peringatan)."
    Ibnu Hajar juga berkata, "Yang benar adalah bahwa hadis itu berada pada derajat hasan. Karena banyaknya jalur riwayat hadis ini sehingga memperkuat riwayat pertama."
    Dan sebagaimana ditetapkan dalam kaidah syariah bahwa tidak boleh mengingkari perbuatan yang masih diperselisihkan, yang boleh adalah mengingkari perbuatan yang telah disepakati keharamannya. Sehingga, barang siapa yang mengamalkan salat ini dan selalu melaksanakannya dalam hari-hari yang penuh berkah, seperti sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan, maka orang itu berada dalam kebaikan dan sesuai dengan Sunnah. Dan barang siapa yang enggan melaksanakannya karena mentaklid ulama yang mengingkari riwayat hadisnya, maka tidak apa-apa, dengan catatan tidak boleh mengingkari orang yang melakukannya.
Wallahu subhânahu wa ta'âlâ a'lam.
Sumber : Dar al Iftaa ( Lembaga Fatwa Mesir)
Share:

Tayangan Halaman