honan fatwa No. 2342 tahun 2003 yang berisi:
Sejauh mana seorang narapidana boleh
berkhalwat dengan istrinya? Apakah terdapat batas waktu tertentu yang
ditetapkan syariat mengenai larangan dihalanginya suami untuk menggauli
istrinya? Berapakah waktu yang dibolehkan bagi istri untuk menuntut
cerai dari suaminya jika ia jauh darinya?
|
||
|
||
Dâr al-Iftâ` al-Mishriyyah (Lembaga Fatwa Mesir), sebelumnya pernah
mengeluarkan fatwa yang berkaitan dengan pertanyaan di atas. Isi fatwa
tersebut adalah:
Islam sangat memperhatikan masalah
pemenuhan kebutuhan manusia, baik yang bersifat lahir maupun batin, guna
menjaga ketentraman dan stabilitas masyarakat. Ini merupakan salah satu
bentuk wasatiyah (kemoderatan) dan tawazun (keseimbangan)
dalam syariat mulia ini. Salah satu prinsip Islam menyatakan bahwa
hukuman adalah bersifat personal, sehingga seseorang tidak dikenai
hukuman akibat kesalahan atau dosa yang dilakukan oleh orang lain apapun
bentuk hubungan antara mereka. Dalam hal ini, Allah berfirman,
"Dan orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain." (Fâthir: 18).
Allah juga berfirman,
"Barang siapa yang mengerjakan amal
yang saleh maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan barang siapa yang
berbuat jahat maka (dosanya) atas dirinya sendiri; dan sekali-kali
tidaklah Tuhanmu menganiaya hamba-hamba (Nya)." (Fushshilat: 46).
Allah SWT telah menetapkan hak dan
kewajiban masing-masing suami dan istri terhadap yang lain, salah
satunya adalah hak pemenuhan kebutuhan biologis. Jumhur ulama
berpendapat bahwa seorang istri berhak digauli satu kali dalam setiap
masa suci atau dalam masa satu bulan jika tidak terdapat halangan
syariat untuk melakukannya. Allah berfirman,
"Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu." (Al-Baqarah: 222).
Imam Syafi'i berpendapat bahwa
menggauli istri adalah hak suami seperti hak-haknya yang lain, ia tidak
wajib atasnya. Sedangkan Imam Ahmad bin Hambal menetapkan bahwa seorang
suami wajib menggauli istrinya dalam waktu empat bulan sekali. Hal ini
dengan mengkiyaskan kepada masalah ila' (sumpah suami untuk tidak
mendekati istrinya lebih dari empat bulan, Penj.). Allah berfirman,
"Kepada orang-orang yang meng-ilaa'
istrinya diberi tangguh empat bulan (lamanya). Kemudian jika mereka
kembali (kepada istrinya), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang. Dan jika mereka berazam (bertetap hati untuk) talak,
maka sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (Al-Baqarah: 226-227).
Jika seorang suami dalam perjalanan,
sedangkan ia tidak mempunyai alasan syar'i yang menghalanginya untuk
kembali kepada istrinya, maka Imam Ahmad berpendapat bahwa dalam kondisi
ini suami wajib menggauli istrinya dalam batas waktu maksimal enam
bulan sekali. Imam Ahmad pernah ditanya, "Berapakah lama seorang suami
boleh berpisah dari istrinya?" Beliau menjawab, "Enam bulan. Dan ia
harus diberitahu mengenai hal itu. Jika dalam jangka waktu tersebut ia
enggan untuk kembali kepada istrinya atau istrinya tidak mampu pergi
kepadanya bersama mahramnya, maka hakim boleh memisahkan keduanya".
Dalil beliau adalah atsar yang diriwayatkan bahwa Amirul Mukminin Umar
bin Khattab r.a. bertanya kepada anak perempuannya, Ummul Mukminin
Hafshah r.a., "Berapa lamakah seorang istri dapat bersabar ditinggal
suaminya?" Beliau menjawab, "Lima atau enam bulan." Maka beliau
menetapkan batas waktu enam bulan bagi para pasukannya. Satu bulan untuk
berangkat perang, empat bulan menetap di medan tempur dan satu bulan
untuk pulang ke rumah.
Dalam semua kondisi, seorang suami wajib menjaga dan membentengi istrinya sesuai dengan kebutuhannya. Dalam kitab Ihyâ` Ulûmuddîn, Imam Ghazali rahimahullah
berkata, "Seorang suami hendaknya menggauli istrinya setiap empat hari
sekali. Itulah batas waktu terbaik, karena jumlah istri adalah empat
orang sehingga [setiap orang] boleh untuk tidak digauli hingga batas
waktu tersebut. Ia boleh mengurangi atau menambah batas waktu tersebut
sesuai dengan kebutuhannya dalam menjaga istrinya, karena penjagaan itu
merupakan kewajibannya."
Karena pentingnya hal ini, Rasulullah
saw. menganggapnya sebagai sedekah yang mendapatkan pahala dari Allah.
Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dzar r.a., bahwa Rasulullah saw.
bersabda,
وَفِي بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ
"Menggauli istri kalian adalah sedekah." Para sahabat bertanya, "Wahai Rasulullah, bagaimana seseorang dari kami melampiaskan nafsunya lalu dia mendapatkan pahala?" Beliau menjawab,
أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِيْ حَرَامٍ
أَكَانَ عَلَيْهِ فِيهَا وِزْرٌ؟ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِي
الْحَلاَلِ كَانَ لَهُ أَجْرٌ
"Bagaimana pendapat kalian jika seseorang menyalurkan syahwatnya itu pada tempat yang haram, bukankah dia akan mendapatkan dosa? Begitu pula jika dia meletakkannya pada tempat yang halal, maka dia akan mendapatkan pahala." (HR. Muslim).
Dengan demikian, berdasarkan
pertanyaan di atas, secara syar'i seorang lelaki yang dipenjara boleh
untuk berkhalwat dengan istrinya. Begitu juga, istri yang dipenjara
boleh digauli oleh suaminya untuk melakukan hak-hak suami-istri. Hal itu
karena hukuman dalam Islam hanya bersifat personal sehingga hukuman
terhadap seseorang tidak boleh merugikan orang lain.
Adapun mengenai larangan seorang
suami untuk menggauli istrinya dan batas waktu dari hal tersebut, maka
para ulama fikih telah memberikan penjelasan bahwa bentuk hukuman ta'zir
(hukuman yang ditetapkan oleh hakim) hanya terbatas pada memukul,
menampar, mengurung, mengucilkan, mengusir dari majlis, membuka kepala,
mengotori wajah, menggundul bagi orang yang membencinya, menaikkan ke
atas keledai dengan badan menghadap ke belakang dan mengaraknya di
hadapan orang-orang atau mengancamnya dengan berbagai jenis hukuman.
Hukuman ta'zir tidak boleh dengan mencukur habis jenggot, memotong
anggota badan atau melukainya. Pembatasan bentuk-bentuk hukuman ta'zir
ini menunjukkan bahwa mereka sepakat tidak boleh memberikan hukuman
dengan melarang seseorang menggauli istrinya.
Dengan demikian, dalam syariat tidak
ada halangan untuk membolehkan seorang narapidana menggauli istri atau
suaminya. Sedangkan batas waktu yang membuat seorang istri boleh
menuntut cerai dari suaminya karena merasa dirugikan akibat tidak
digauli adalah satu tahun atau lebih. Hal ini berdasarkan hukum yang
diambil oleh undang-undang negara Mesir. Di dalam syariat Islam tidak
terdapat ta'zir dalam bentuk pelarangan seseorang untuk menggauli
istrinya. Khusus Rasulullah saw. saja yang boleh memberlakukan hukuman
tersebut dalam kisah orang-orang yang tidak ikut berperang Tabuk. Dan
dalam masalah ini, kebijakan diserahkan kepada pihak yang berwenang
untuk menetapkan hal-hal yang dianggap baik untuk masyarakat.
Wallahu subhânahu wa ta'âlâ a'lam.
|
Khalwat antara Seorang Narapidana dengan Istrinya
JIKA TERDAPAT KESALAHAN/KEKELIRUAN DALAM ARTIKEL INI
DAPAT MENGHUBUNGI KAMI DENGAN CARA MENINGGALKAN PESAN... TERIMAKASIH
DAPAT MENGHUBUNGI KAMI DENGAN CARA MENINGGALKAN PESAN... TERIMAKASIH
Mengeraskan Bacaan Basmalah Ketika Salat
JIKA TERDAPAT KESALAHAN/KEKELIRUAN DALAM ARTIKEL INI
DAPAT MENGHUBUNGI KAMI DENGAN CARA MENINGGALKAN PESAN... TERIMAKASIH
DAPAT MENGHUBUNGI KAMI DENGAN CARA MENINGGALKAN PESAN... TERIMAKASIH
ntaan fatwa No. 881 tahun 2005, yang berisi:
Apakah mengeraskan bacaan basmalah
dalam salat adalah wajib, sehingga tidak boleh menjadi makmum bagi orang
yang tidak mengeraskan bacaannya? Ataukah membaca basmalah secara keras
atau pelan (sirr) hukumnya adalah sama?
|
||
|
||
Permasalahan membaca basmalah dengan keras adalah salah satu
permasalahan yang diperdebatkan oleh para ulama fikih. Para ulama mazhab
Syafi'i berpendapat bahwa mengeraskan bacaan basmalah adalah sunah.
Sedangkan ulama-ulama yang lain berpendapat bahwa membacanya secara
pelan adalah lebih baik (afdal). Membaca basmalah dalam salat adalah
termasuk sunah hai`ah yang tidak mencapai derajat sunah muakkadah. Perbedaan pendapat tentang sunah hai`ah ini adalah hal biasa dan terbuka.
Dan sebagaimana ditetapkan dalam
syariat, bahwa sikap yang dicela adalah meninggalkan sesuatu yang
disepakati kewajibannya dan melakukan sesuatu yang disepakati
keharamannya. Adapun hal-hal yang masih diperdebatkan maka tidak boleh
mencela orang yang melakukan atau meninggalkannya.
Barang siapa yang membaca basmalah
dengan keras, maka itu adalah baik; dan barang siapa yang membaca dengan
pelan, maka itu adalah baik pula. Persoalan-persoalan yang masih
diperdebatkan seperti ini seyogyanya tidak menjadi penyebab
perselisihan, fitnah dan perpecahan antar kaum muslimin. Justru,
seharusnya kita harus mempraktikkan etika para salaf saleh ketika
berbeda pendapat dalam persoalan-persoalan fikih dan ijtihadi.
Wallahu subhânahu wa ta'âlâ a'lam.
|
Memakai Pakaian Ihram Setelah Memasuki Mekah
JIKA TERDAPAT KESALAHAN/KEKELIRUAN DALAM ARTIKEL INI
DAPAT MENGHUBUNGI KAMI DENGAN CARA MENINGGALKAN PESAN... TERIMAKASIH
DAPAT MENGHUBUNGI KAMI DENGAN CARA MENINGGALKAN PESAN... TERIMAKASIH
honan fatwa No. 291 tahun 2004 , yang berisi:
Apakah saya boleh masuk Mekah dengan
niat melaksanakan haji tapi saya memakai pakaian ihram ketika telah
sampai di Mekah? Hal ini saya lakukan karena saya khawatir para polisi
akan melarang saya memasuki Mekah tanpa surat izin melaksanakan haji,
padahal saya tidak dapat memperoleh surat izin tersebut. Kewajiban apa
yang harus saya lakukan dalam keadaan ini?
|
||
|
||
Jika keadaannya seperti yang digambarkan dalam pertanyaan, maka
sebagaimana ditetapkan dalam fikih Islam, orang yang mempunyai uzur dan
terpaksa melakukan salah satu larangan ihram, seperti memotong rambut,
memakai pakaian berjahit dan sebagainya, selain bersenggama, wajib
menyembelih seekor kambing atau memberi makan enam orang fakir miskin
masing-masing setengah sha' (satu sha' adalah 2,40 gram) atau berpuasa
tiga hari. Dia dipersilahkan untuk memilih salah satu dari tiga hal
tersebut. Haji yang dia lakukan tidak batal dengan melanggar salah satu
larangan ihram tersebut, kecuali jika melakukan senggama.
Diriwayatkan dari Abdurrahman bin Abi
Laila dari Ka'ab bin 'Ujrah, bahwa Rasulullah saw. mengunjunginya
ketika tahun Hudaibiyah. Beliau bertanya, "Apakah kutu di kepalamu itu
mengganggumu?" "Iya," jawabku. Beliau lalu bersabda,
احْلِقْ ثُمَّ اذْبَحْ شَاةًً نُسُكًا أَوْ
صُمْ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ أَوْ َأَطْعِمْ ثَلاَثَةَ أصُعٍ مِنْ تَمْرٍِ
عَلَى سِتَّةِ مَسَاكِيْنَ
"Cukurlah rambutmu, lalu sembelihlah seekor kambing, atau berpuasalah tiga hari, atau berilah makan tiga sha' kurma untuk enam orang fakir miskin." (HR. Bukhari, Muslim dan Abu Dawud).
Wallahu subhânahu wa ta'âlâ a'lam.
|
Jamaah Haji Langsung ke Arafah Pada Tanggal 8 Dzulhijjah, Tanpa ke Mina Terlebih Dahulu
JIKA TERDAPAT KESALAHAN/KEKELIRUAN DALAM ARTIKEL INI
DAPAT MENGHUBUNGI KAMI DENGAN CARA MENINGGALKAN PESAN... TERIMAKASIH
DAPAT MENGHUBUNGI KAMI DENGAN CARA MENINGGALKAN PESAN... TERIMAKASIH
ntaan fatwa No. 3189 tahun 2005 , yang berisi:
Pada tanggal 8 Dzulhijjah, apakah
seorang jamaah haji boleh berangkat langsung menuju Arafah bukannya ke
Mina terlebih dahulu, untuk menghindari kepadatan yang luar biasa ketika
memasuki wilayah Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah?
|
||
|
||
Tanggal 8 Dzulhijjah disebut juga dengan hari Tarwiyah. Dinamakan
demikian karena pada hari itu para jamaah haji beristirahat di Mina
serta mengistirahatkan hewan-hewan tunggangan dan kurban mereka, serta
memberinya minum sebelum mereka menuju Arafah dan melaksanakan
ibadah-ibadah lainnya, seperti mabit di Muzdalifah, ibadah-ibadah pada
hari Nahr dan hari-hari Tasyrik.
Pada tanggal 8 Dzulhijjah tersebut,
jamaah haji disunahkan (tidak diwajibkan) untuk berangkat menuju Mina
pada waktu dhuha. Selama berada di Mina, mereka melaksanakan salat
Zuhur, Asar, Magrib dan Isya dengan menqasharnya tanpa menjamaknya.
Mereka juga disunahkan untuk bermalam di sana dan melaksanakan salat
Subuh serta berangkat menuju Arafah ketika dhuha. Jika seorang jamaah
haji langsung pergi menuju Arafah pada tanggal 8 Dzulhijjah, tanpa mabit
di Mina terlebih dahulu guna menghindari kepadatan, maka tidak ada dosa
baginya dan hajinya tetap sah. Dia hanya dianggap telah meninggalkan
ibadah sunah. Bahkan, dia dianggap meninggalkan ibadah sunah karena
suatu uzur, sehingga semoga dia tetap akan memperoleh pahala ibadah yang
akan dia lakukan jika tidak ada uzur.
Adapun pembayaran dam, maka hanya dilakukan jika seorang jamaah haji meninggalkan ibadah wajib, bukan ibadah sunah.
Wallahu subhânahu wa ta'âlâ a'lam.
|
Melaksanakan Thawaf Ifadhah sebelum Melempar Jumrah Aqabah
JIKA TERDAPAT KESALAHAN/KEKELIRUAN DALAM ARTIKEL INI
DAPAT MENGHUBUNGI KAMI DENGAN CARA MENINGGALKAN PESAN... TERIMAKASIH
DAPAT MENGHUBUNGI KAMI DENGAN CARA MENINGGALKAN PESAN... TERIMAKASIH
005 , yang berisi:
Apakah seorang jamaah haji boleh meninggalkan Muzdalifah dan
langsung menuju Mekkah guna melaksanakan thawaf Ifadhah sebelum melempar
jumrah Aqabah?
|
||
|
||
Pada hari Nahr (tanggal 10 Dzulhijjah) terdapat beberapa amalan yang
harus dilakukan oleh seorang jamaah haji. Amalan-amalan tersebut adalah
melempar jumrah Aqabah, memendekkan atau menggundul rambut, melakukan
thawaf Ifadhah dan sa'i antara Shafa dan Marwa –jika dia belum
melaksanakannya setelah thawaf Qudum—, serta menyembelih hewan hadyu
bagi jamaah haji yang melaksanakan haji Tamattu' dan Qiran jika bukan
penduduk Mekah.
Seorang jamaah haji boleh
mendahulukan salah satu ibadah di atas, termasuk mendahulukan thawaf
Ifadhah sebelum melempar jumrah Aqabah. Hal ini didasarkan pada hadis
Abdullah bin Amr bin Ash r.a. bahwa dia menyaksikan Rasulullah saw.
berkhutbah pada hari Nahr. Lalu salah seorang laki-laki berdiri dan
berkata, "Saya mengira bahwa ibadah ini dilaksanakan sebelum yang ini."
Lalu ada yang lain juga berkata, "Saya juga mengira bahwa ibadah ini
dilaksanakan sebelum yang ini." "Saya menyembelih sebelum melempar." Dan
perkataan-perkataan lain sejenisnya. Lalu Rasulullah saw. menjawab
masing-masing dari mereka dengan bersabda,
افْعَلْ وَلاَ حَرَجَ
"Lakukanlah, dan itu tidak apa-apa bagimu."
Kata-kata itu merupakan jawaban
beliau untuk semua pengaduan di atas. Tidaklah beliau ditanya pada hari
itu mengenai suatu masalah, kecuali beliau mengatakan, "Lakukanlah, dan
itu tidak apa-apa bagimu." (Muttafaq Alaih).
Wallahu subhânahu wa ta'âlâ a'lam.
|
Meninggalkan Muzdalifah Setelah Tengah Malam
JIKA TERDAPAT KESALAHAN/KEKELIRUAN DALAM ARTIKEL INI
DAPAT MENGHUBUNGI KAMI DENGAN CARA MENINGGALKAN PESAN... TERIMAKASIH
DAPAT MENGHUBUNGI KAMI DENGAN CARA MENINGGALKAN PESAN... TERIMAKASIH
intaan fatwa No. 3334 tahun 2005, yang berisi:
Apakah seorang jamaah haji boleh meninggalkan Muzdalifah setelah tengah malam?
|
||
|
||
Mabit (bermalam) di Muzdalifah adalah salah satu ibadah wajib dalam
haji menurut pendapat jumhur (mayoritas) ulama. Kewajiban ini dianggap
telah terlaksana dengan berdiam walaupun sejenak setelah pertengahan
malam. Karena dengan demikian, seorang jamaah haji telah menghabiskan
lebih dari setengah malam di tempat itu, sehingga dapat dikatakan bahwa
dia telah bermalam di sana. Meskipun demikian, yang disunahkan adalah
tetap tinggal dan bermalam sampai melakukan salat Subuh. Setelah itu,
dia berhenti sejenak di Masy'aril Haram untuk berdoa sebelum terbitnya
matahari. Kemudian dia berangkat menuju Mina guna melempar jumrah
Aqabah.
Disebutkan dalam sebuah hadis bahwa
Nabi saw. memberikan rukhshah (keringanan) bagi orang-orang lemah, para
wanita dan orang-orang yang mempunyai pekerjaan mendesak untuk
meninggalkan Muzdalifah setelah tengah malam guna memberi keringanan
kepada mereka dan memperhatikan kondisi mereka. Dalam hal ini, orang
yang tidak mampu berdesak-desakan dapat dimasukkan ke dalam kategori
golongan yang mendapatkan keringanan itu. Imam Bukhari meriwayatkan dari
Ibnu Abbas r.a. bahwa dia berkata, "Saya termasuk orang yang
diberangkatkan terlebih dahulu oleh Rasulullah saw. pada malam
Muzdalifah bersama para kerabatnya yang lemah."
Wallahu subhânahu wa ta'âlâ a'lam.
|
Membaca Alquran Sebelum Khutbah Jum'at
JIKA TERDAPAT KESALAHAN/KEKELIRUAN DALAM ARTIKEL INI
DAPAT MENGHUBUNGI KAMI DENGAN CARA MENINGGALKAN PESAN... TERIMAKASIH
DAPAT MENGHUBUNGI KAMI DENGAN CARA MENINGGALKAN PESAN... TERIMAKASIH
ntaan fatwa No. 2163 tahun 2004 yang berisi:
Apa hukum membaca Alquran dengan dilagukan sebelum khutbah pada hari Jum'at? Apakah ini dibolehkan?
|
||
|
||
Allah SWT memberikan para pembaca Alquran tempat yang sangat tinggi dan
mulia. Allah juga memerintahkan kaum muslimin untuk membacanya dan
mentadaburi (merenungi) makna-makna yang terkandung di dalamnya. Allah
berfirman,
"Sesungguhnya Rabbmu mengetahui
bahwasanya kamu berdiri (salat) kurang dari dua pertiga malam, atau
seperdua malam atau sepertiganya dan (demikian pula) segolongan dari
orang-orang yang bersama kamu. Dan Allah menetapkan ukuran malam dan
siang. Allah mengetahui bahwa kamu sekali-kali tidak dapat menentukan
batas-batas waktu-waktu itu, maka Dia memberi keringanan kepadamu,
karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Alqur'an. Dia mengetahui
bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang
yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan
orang-orang yang lain lagi yang berperang di jalan Allah, maka bacalah
apa yang mudah (bagimu) dari Alqur'an dan dirikanlah salat, tunaikanlah
zakat dan berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik. Dan
kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh
(balasan)nya di sisi Allah sebagai balasan yang paling baik dan yang
paling besar pahalanya. Dan mohonlah ampunan kepada Allah; sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Al-Muzammil: 20).
Nabi saw. juga bersabda,
اِقْرَءُوْا الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ يَأْتِيْ
يَوْمَ الْقِيَامَةِ شَفِيْعًا لِأَصْحَابِهِ، اِقْرَءُوْا
الزَّهْرَاوَيْنِ الْبَقَرَةَ وَسُوْرَةَ آلِ عِمْرَانَ فَإِنَّهُمَا
تَأْتِيَانِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ كَأَنَّهُمَا غَمَامَتَانِ أَوْ
كَأَنَّهُمَا غَيَايَتَانِ، أَوْ كَأَنَّهُمَا فِرْقَانِ مِنْ طَيْرٍ
صَوَافٍّ تُحَاجَّانِ عَنْ أَصْحَابِهِمَا، اِقْرَءُوْا سُوْرَةَ
الْبَقَرَةِ فَإِنَّ أَخْذَهَا بَرَكَةٌ وَتَرْكَهَا حَسْرَةٌ وَلاَ
تَسْتَطِيْعُهَا الْبَطَلَةُ
"Bacalah Alquran, karena pada hari Kiamat ia akan datang sebagai pemberi syafaat bagi para pembacanya. Bacalah az-Zahrawain, yaitu surat al-Baqarah dan surat Ali 'Imrân, karena pada hari Kiamat pahala dari membaca keduanya akan datang seperti dua awan yang menaungi. Atau, pahala keduanya akan datang bagaikan sekumpulan burung yang berbaris untuk membela orang yang membacanya. Bacalah surat al-Baqarah, karena dengan senantiasa membacanya akan mendatangkan keberkahan, sedangkan meninggalkannya adalah kerugian, dan para penyihir tidak akan mampu membacanya." (HR. Muslim dan Ahmad).
Dan beliau juga bersabda,
اِقْرَءُوْا الْقُرْآنَ فَإِنَّ اللهَ لاَ يُعَذِّبُ قَلْباً وَعَى الْقُرْآنَ
"Bacalah Alquran, karena Allah tidak akan mengazab hati yang memahami Alquran." (HR. Tamam dari Abi Umamah r.a. dalam kitab al-Fawâid).
Bahkan, Allah SWT menjadikan
perbuatan mendengarkan Alquran sebagai suatu ibadah dan memberikan
pahala yang besar baginya. Imam Ahmad meriwayatkan dalam kitab al-Musnad
dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda,
مَنِ اسْتَمَعَ إِلَى آيَةٍ مِنْ كِتَابِ
اللهِ تَعَالَى كُتِبَ لَهُ حَسَنَةٌ مُضَاعَفَةٌ وَمَنْ تَلاَهَا كَانَتْ
لَهُ نُوْرًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ
"Barang siapa yang mendengarkan satu ayat dari Kitabullah maka diberikan baginya sebuah pahala yang berlipat ganda. Dan barang siapa yang membacanya maka ayat itu akan menjadi cahaya baginya pada hari Kiamat."
Islam sangat menganjurkan umatnya
untuk membaca Alquran setiap hari, terutama pada hari Jum'at dengan
membaca surat al-Kahfi. Rasulullah saw. bersabda,
مَنْ قَرَأَ سُوْرَةَ الْكَهْفِ يَوْمَ الْجُمْعَةِ أَضَاءَ لَهُ النٌّوْرُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْبَيْتِ الْعَتِيْقِ
"Barang siapa yang membaca surat al-Kahfi pada hari Jum'at niscaya cahaya akan meneranginya antara dirinya dan Baitul 'Atiq (Ka'bah)." (HR. Al-Baihaqi dalam Syu'ab al-Îmân).
Membaca Alquran dengan suara yang indah dan ucapan yang fasih adalah dianjurkan. Rasulullah saw. bersabda,
زِيْنُوْا الْقُرْآنَ بِأَصْوَاتِكُمْ فَإِنَّ الصَّوْتَ الْحَسَنَ يَزِيْدُ الْقُرْآنَ حَسَناً
"Hiasilah Alquran dengan suaramu, karena suara yang indah menambah keindahan Alquran." (HR. Hakim).
Dengan demikian, berdasarkan
pertanyaan di atas, tidak apa-apa membaca Alquran di masjid sebelum
khutbah Jum'at, karena hal itu adalah perbuatan baik dan dapat membuat
para hadirin berkonsentrasi pada bacaan Alquran tersebut serta
mempersiapkan mereka untuk melaksanakan rangkaian ibadah salat Jum'at.
Wallahu subhânahu wa ta'âlâ a'lam.
|
Membasuh Kaus Kaki Ketika Berwudu
JIKA TERDAPAT KESALAHAN/KEKELIRUAN DALAM ARTIKEL INI
DAPAT MENGHUBUNGI KAMI DENGAN CARA MENINGGALKAN PESAN... TERIMAKASIH
DAPAT MENGHUBUNGI KAMI DENGAN CARA MENINGGALKAN PESAN... TERIMAKASIH
ntaan fatwa No. 719 tahun 2005, yang berisi:
Banyak orang memakai kaus kaki yang
terbuat dari bahan kain tipis, sehingga jika terkena air maka airnya
akan sampai ke permukaan kulit. Apakah boleh membasuh kaus kaki seperti
itu ketika berwudu kemudian melakukan salat dengan wudu tersebut?
|
||
|
||
Jumhur (mayoritas) ulama membolehkan membasuh kaus kaki jika ia terbuat
dari kulit yang dapat digunakan sebagai alas kaki untuk berjalan dan
dipakai ketika dalam keadaan tidak berhadas atau suci. Dalil bagi
kebolehan membasuh kaus kaki seperti ini adalah hadis Mughirah bin
Syu'bah radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah saw. membasuh kedua kaus
kaki dan kedua sandalnya. (HR. Ahmad, Abu Dawud dan Tirmidzi dan dia menshahihkannya).
Jumhur ulama membatasi keumuman makna
hadis tentang membasuh kaus kaki dengan batasan yang disebutkan dalam
hadis-hadis membasuh khuf (kaus kaki dari kulit). Sehingga, dalam membasuh kaus kaki, mereka mensyaratkan hal-hal yang disyaratkan dalam membasuh khuf.
Namun, sebagian ulama, seperti
beberapa ulama mazhab Hambali, seperti juga al-Qasimi dan Ahmad Syakir
dari kalangan ulama belakangan, mengambil makna zahir dari nash-nash
tersebut. Mereka memperbolehkan seseorang membasuh semua jenis kaus kaki
yang dipakainya ketika berwudu, tanpa ada batasan apakah kainnya tipis
atau tebal, dan apakah kaus kaki itu menutup seluruh permukaan kulit
atau tidak.
Dengan demikian, membasuh kaus kaki
yang tipis adalah tidak boleh menurut jumhur ulama dan boleh menurut
sebagian kecil ulama yang lain.
Wallahu subhânahu wa ta'âlâ a'lam.
|
Salat Qiyamul Lail Berjamaah
JIKA TERDAPAT KESALAHAN/KEKELIRUAN DALAM ARTIKEL INI
DAPAT MENGHUBUNGI KAMI DENGAN CARA MENINGGALKAN PESAN... TERIMAKASIH
DAPAT MENGHUBUNGI KAMI DENGAN CARA MENINGGALKAN PESAN... TERIMAKASIH
honan fatwa No. 589 tahun 2005 yang berisi:
Apa hukum melakukan salat dua rakaat
di masjid setelah salat Isya' guna mengingatkan kepada orang-orang
tentang kesunahan salat Qiyamul Lail dan memotivasi mereka agar
melaksanakannya di rumah?
|
||
|
||
Sebagaimana ditetapkan dalam syariat, bahwa salat yang tidak disunahkan
untuk dilakukan secara berjamaah –karena didasarkan pada perbuatan
Rasulullah saw. yang selalu melakukannya sendiri—, tidak apa-apa untuk
dilakukan secara berjamaah, tanpa ada kemakruhan sama sekali.
Hal ini didasarkan pada perbuatan
Ibnu Abbas r.a. yang menjadi makmum Nabi saw. dalam salat Tahajud di
rumah bibinya, Ummul Mukminin Maimunah r.a.. Hadis ini diriwayatkan oleh
Bukhari dan Muslim.
Ibnu Mas'ud r.a. dan yang lainnya
juga pernah salat Qiyamul Lail di belakang Nabi saw., padahal
sebagaimana diketahui bahwa salat Qiyamul Lail tidak disunahkan untuk
dilaksanakan secara berjamaah kecuali pada bulan Ramadan, tapi hal itu
dibolehkan sebagaimana telah disebutkan.
Jika ada sejumlah orang berkumpul
untuk melaksanakan salat Tahajud secara bersama-sama, maka hal itu
dibolehkan selama tidak mewajibkannya kepada orang-orang. Jika terdapat
pemaksaan maka perbuatan itu dimasukkan ke dalam perbuatan bid'ah,
karena memaksakan sesuatu yang tidak diwajibkan oleh syariat. Oleh
karena itulah, ketika pada suatu malam Nabi saw. melakukan salat Tahajud
di masjid, lalu ada seseorang yang menjadi makmum beliau dan hal itu
terulang-ulang, maka beliau pun meninggalkannya pada malam keempat.
Setelah salat Shubuh, beliau menghadap kepada para jamaah dan
mengucapkan syahadat lalu bersabda,
أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّهُ لَمْ يَخْفَ عَلَىَّ مَكَانُكُمْ وَلَكِنِّىْ خَشِيْتُ أَنْ تُفْتَرَضَ عَلَيْكُمْ فَتَعْجِزُوا عَنْهَا
"Amma ba'du. Sebenarnya aku mengetahui keberadaan kalian, tapi aku takut kebiasaan itu dianggap wajib sehingga kalian tidak mampu melaksanakannya." (Muttafaq alaih dari hadis Aisyah).
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan
dari Abdullah bin Umar r.a., ia berkata, "Nabi saw. mendatangi masjid
Quba setiap hari Sabtu terkadang dengan berjalan kaki dan terkadang
menaiki tunggangan." Abdullah bin Umar pun melakukan hal yang sama.
Al-Hafizh Ibnu Hajar, dalam
Fathul-Bâri, mengatakan, "Hadis ini, dalam semua jalurnya yang
berbeda-beda, menunjukkan kebolehan mengkhususkan sebagian hari untuk
melakukan beberapa amal saleh dan membiasakannya secara terus menerus."
Dengan demikian, berdasarkan
pertanyaan di atas, maka salat dua rakaat habis salat Isya adalah
dibolehkan dan tidak dimakruhkan sama sekali, dengan syarat tidak ada
keyakinan tentang keharusan untuk melakukannya. Jika salat tersebut
dilakukan dengan mengharuskan orang lain untuk melaksanakannya dan
menganggap orang yang menolaknya telah berbuat dosa, maka perbuatan itu
dianggap sebagai perbuatan bid'ah yang tercela, karena dengan hal itu
dia telah mewajibkan sesuatu yang tidak diwajibkan oleh Allah dan
Rasul-Nya saw..
Wallahu subhânahu wa ta'âlâ a'lam.
|
Salat Tasbih
JIKA TERDAPAT KESALAHAN/KEKELIRUAN DALAM ARTIKEL INI
DAPAT MENGHUBUNGI KAMI DENGAN CARA MENINGGALKAN PESAN... TERIMAKASIH
DAPAT MENGHUBUNGI KAMI DENGAN CARA MENINGGALKAN PESAN... TERIMAKASIH
005, yang berisi:
Apa hukum melakukan salat Tasbih? Apakah Rasulullah saw.
membolehkannya? Dan apa pahala bagi orang yang melakukannya pada malam
27 Ramadhan?
|
||
|
||
Hadis yang menjelaskan salat Tasbih diriwayatkan melalui berbagai jalur
dari beberapa orang sahabat. Hadis-hadis itu dikeluarkan oleh para
ulama besar Islam dan para ulama hadis.
Jalur hadis ini yang paling kuat adalah
riwayat Ikrimah dari Ibnu Abbas r.a., dia berkata, "Rasulullah saw.
bersabda kepada Abbas bin Abdul Muthalib,
يَا عَبَّاسُ يَا عَمَّاهُ! أَلاَ
أُعْطِيْكَ! أَلاَ أَمْنَحُكَ! أَلاَ أَحْبُوْكَ! أَلاَ أَفْعَلُ لَكَ،
عَشْرَ خِصَالٍ إِذَا أَنْتَ فَعَلْتَ ذَلِكَ غَفَرَ اللَّهُ لَكَ
ذَنْبَكَ: أَوَّلَهُ وَآخِرَهُ، قَدِيْمَهُ وَحَدِيْثَهُ، خَطَأَهُ
وَعَمْدَهُ، صَغِيْرَهُ وَكَبِيرَهُ، سِرَّهُ وَعَلاَنِيَتَهُ، عَشْرَ
خِصَالٍ: أَنْ تُصَلِّيَ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ تَقْرَأُ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ
فَاتِحَةَ الْكِتَابِ وَسُوْرَةً فَإِذَا فَرَغْتَ مِنَ الْقِرَاءَةِ فِي
أَوَّلِ رَكْعَةٍ وَأَنْتَ قَائِمٌ قُلْتَ: " سُبْحَانَ اللَّهِ،
وَالْحَمْدُ لِلَّهِ، وَلاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ، وَاللَّهُ أَكْبَرُ"،
خَمْسَ عَشْرَةَ مَرَّةً، ثُمَّ تَرْكَعُ فَتَقُولُهَا وَأَنْتَ رَاكِعٌ
عَشْرًا، ثُمَّ تَرْفَعُ رَأْسَكَ مِنَ الرُّكُوعِ فَتَقُولُهَا عَشْرًا،
ثُمَّ تَهْوِي سَاجِدًا فَتَقُولُهَا وَأَنْتَ سَاجِدٌ عَشْرًا، ثُمَّ
تَرْفَعُ رَأْسَكَ مِنَ السُّجُودِ فَتَقُولُهَا عَشْرًا، ثُمَّ تَسْجُدُ
فَتَقُولُهَا عَشْرًا، ثُمَّ تَرْفَعُ رَأْسَكَ فَتَقُولُهَا عَشْرًا،
فَذَلِكَ خَمْسٌ وَسَبْعُونَ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ، تَفْعَلُ ذَلِكَ فِي
أَرْبَعِ رَكَعَاتٍ. إِنِ اسْتَطَعْتَ أَنْ تُصَلِّيَهَا فِي كُلِّ يَوْمٍ
مَرَّةً فَافْعَلْ، فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَفِي كُلِّ جُمُعَةٍ مَرَّةً،
فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَفِي كُلِّ شَهْرٍ مَرَّةً، فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ
فَفِي كُلِّ سَنَةٍ مَرَّةً، فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَفِي عُمُرِكَ مَرَّةً
"Wahai Abbas, wahai Paman. Ketahuilah, aku akan memberimu. Aku akan menghadiahimu. Aku akan membagimu. Aku akan melaksanakan untukmu. Ada sepuluh hal, jika kamu melakukannya maka Allah akan mengampuni dosamu, baik yang terdahulu maupun yang terakhir, baik yang lama maupun yang baru, baik yang tidak sengaja maupun yang sengaja, baik yang besar maupun yang kecil, baik yang tersembunyi maupun yang terang-terangan. Sepuluh hal itu adalah kamu melakukan salat sebanyak empat rakaat. Pada setiap rakaat kamu membaca surat al-Fatihah dan surat lain. Jika telah selesai membacanya dalam rakaat pertama, maka ucapkanlah sambil berdiri, "Subhânallah, wal hamdulillah, wa lâ ilâha illâllah, wallahu akbar," sebanyak lima belas kali. Lalu kamu melakukan rukuk dan mengucapkan zikir itu sebanyak sepuluh kali sambil rukuk. Lalu kamu berdiri dari rukuk dan mengucapkan zikir itu sebanyak sepuluh kali. Lalu kamu melakukan sujud dan mengucapkannya sambil sujud sebanyak sepuluh kali. Lalu kamu mengangkat kepalamu dari sujud dan membacanya sepuluh kali. Lalu kamu melakukan sujud dan membacanya sepuluh kali. Lalu kamu mengangkat kepalamu dan membacanya sepuluh kali. Itulah tujuh puluh lima kali dalam satu rakaat. Kamu melakukannya dalam empat rakaat. Jika kamu dapat melakukannya sekali dalam satu hari maka lakukanlah. Jika tidak maka sekali dalam satu Jum'at. Jika tidak maka sekali dalam satu bulan. Jika tidak maka sekali dalam satu tahun. Dan jika tidak maka sekali dalam seumur hidup."
Hadis ini dikeluarkan oleh Bukhari dalam al-Qirâ`ah Khalfa al-Imâm,
Abu Dawud, Ibnu Majah dan Ibnu Khuzaimah. Hadis inipun dishahihkan oleh
beberapa ulama hadis, seperti Daruquthni yang menghimpun seluruh jalur
periwayatan hadis ini dalam sebuah buku kecil, al-Hakim dalam al-Mustadrak,
al-Hafizh Abu Bakar al-Ajurri, Ibnu Mandah (beliau mengarang sebuah
kitab yang menjelaskan keshahihan hadis ini), al-Khatib al-Baghdadi yang
mengumpulkan seluruh jalur periwayatan hadis ini dalam sebuah buku, Abu
Sa'ad as-Sam'ani, al-Hafizh Abu Musa al-Madini dalam kitab Tashhîh Shalât at-Tasâbîh,
Abu Muhammad Abdur Rahim al-Mishri, Abu Hasan al-Maqdisi, al-Hafizh
al-Mundziri dan Imam Zarkasyi. Sedangkan para ulama yang menghukuminya
hasan adalah Ibnu Shalah dan an-Nawawi dalam at-Tahdzîb.
Imam Muslim berkata, "Tidak ada
riwayat mengenai masalah ini yang lebih baik dari sanad hadis ini." Abu
Dawud berkata, "Tidak ada hadis shahih mengenai salat Tasbih selain
hadis ini." Tirmidzi berkata, "Ibnu Mubarak dan beberapa ulama memandang
disyariatkannya salat Tasbih dan mereka menyebutkan keutamaannya."
Hakim berkata dalam al-Mustadrak, "Para perawi hadis ini dari
Ibnu Mubarak semuanya tsiqat dan atsbat. Abdullah tidaklah dicurigai
mengajarkan sesuatu yang menurutnya tidak shahih sanadnya." Al-Baihaqi
berkata, "Ibnu Mubarak melakukannya dan para shalihin saling
meriwayatkannya di antara mereka. Hal ini merupakan penguat atas hadis
yang marfû' ini." Ad-Dailami berkata dalam Musnad al-Firdaus,
"Salat Tasbih adalah salat yang paling terkenal dan yang paling shahih
sanadnya." Abdul Aziz bin Abu Ruwwad berkata, "Barang siapa yang
menginginkan bau harum surga maka hendaknya dia melakukan salat ini."
Pendapat yang menyatakan bahwa salat
ini dianjurkan adalah pendapat para ulama Syafi'iyah dan Hanafiyah.
Salah satu pendapat dalam mazhab Hambali menyatakan kebolehan
melakukannya.
Ada sebagian ulama yang berpendapat
bahwa salat ini tidak dianjurkan, karena mereka menilai bahwa hadis di
atas adalah dhaif. Selain itu, tata cara salat ini berbeda dengan tata
cara salat yang lain. Pendapat ini diriwayatkan dari Imam Ahmad. Ibnu
Hajar pun condong kepada pendapat ini sebagaimana yang dia sebutkan
dalam kitab Talkhîsh al-Habîr dan dia menukil kedhaifan hadis ini dari Ibnu Taimiyah dan al-Mizzi.
Para pendukung pendapat pertama
menjawab bahwa hadis ini diriwayatkan dari jalur yang banyak dan saling
menguatkan. Ditambah lagi, kekuatan hadis itu didukung dengan perbuatan
para ulama salaf yang selalu mengamalkannya. Perbedaan tata cara salat
Tasbih dengan salat pada umumnya tidak mengurangi nilai pensyariatannya,
sebagaimana dalam salat-salat sunah lainnya seperti salat Ied (hari
raya), salat jenazah, salat gerhana matahari dan bulan serta salat dalam
keadaan takut. Adapun riwayat yang menerangkan bahwa Imam Ahmad
mengingkari hadis salat Tasbih ini, maka telah dinukil riwayat lain yang
menjelaskan bahwa beliau telah rujuk dari pendapat itu.
Ibnu Hajar dalam kitab al-Ajwibah 'alâ Ahâdîts al-Mashâbîh
menukil dari Ali bin Said an-Nasa`i, dia berkata, "Saya pernah bertanya
kepada Ahmad mengenai salat Tasbih, dia menjawab, "Tidak ada hadis
shahih mengenai hal itu." Saya berkata, "Apa pendapatmu mengenai riwayat
Mustamir bin Rayyan dari Abu Jawza` dari Abdullah bin 'Amr?" Ahmad
berkata, "Siapa yang memberitahumu?" "Muslim bin Ibrahim," jawab saya.
Ahmad berkata, "Mustamir adalah tsiqah." Dia sepertinya menganggap baik
hal itu."
Selanjutnya Al-Hafizh Ibnu Hajar
berkata, "Kisah yang diriwayatkan dari Ahmad ini menunjukkan bahwa dia
telah kembali kepada pendapat yang menganjurkan salat itu. Adapun
pendapat yang dinukil darinya tentang tidak adanya hadis shahih tentang
salat Tasbih, maka hal itu bertentangan dengan ulama yang menguatkan
riwayat tersebut dan mengamalkannya. Para ulama telah sepakat bahwa
tidak boleh mengamalkan hadis maudhu', tapi boleh mengamalkan hadis
dhaif dalam fadhâil al-a'mâl (amalan-amalan yang utama) serta dalam masalah at-targhîb wat-tarhîb (anjuran dan peringatan)."
Ibnu Hajar juga berkata, "Yang benar
adalah bahwa hadis itu berada pada derajat hasan. Karena banyaknya jalur
riwayat hadis ini sehingga memperkuat riwayat pertama."
Dan sebagaimana ditetapkan dalam
kaidah syariah bahwa tidak boleh mengingkari perbuatan yang masih
diperselisihkan, yang boleh adalah mengingkari perbuatan yang telah
disepakati keharamannya. Sehingga, barang siapa yang mengamalkan salat
ini dan selalu melaksanakannya dalam hari-hari yang penuh berkah,
seperti sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan, maka orang itu berada
dalam kebaikan dan sesuai dengan Sunnah. Dan barang siapa yang enggan
melaksanakannya karena mentaklid ulama yang mengingkari riwayat
hadisnya, maka tidak apa-apa, dengan catatan tidak boleh mengingkari
orang yang melakukannya.
Wallahu subhânahu wa ta'âlâ a'lam.
|