Tajak Tamasya ue Aceh barat, tapiyoeh siat di lamnoe jaya, Dara portugis...
Si
Mataa Biru " Keturunan PORTUGIS DI LAMNO JAYA ☺️😍 Tajak Tamasya ue
Aceh barat, tapiyoeh siat di lamnoe jaya, Dara portugis disinan tempat
sigadis barat yang cantik rupa 😊 Kurang lebih seperti itu sebait lagu
Sabirin Lamno yg diberi judul "dara portugis" 😄
Kurang
lebih seperti itu terjemahan sebait lagu Sabirin Lamno yang diberinya
judul Dara Portugis. Lagu itu dikumpulkan dalam sebuah kaset yang
diluncurkan oleh Kasgarecord. Oleh karena lagu itu, keberadaan dara
Portugis di Lamno, Aceh Jaya (dulu masih bergabung dengan Aceh Barat)
menjadi makin populer, baik di masyarakat Aceh maupun Indonesia. Bahkan,
orang asing yang datang pascatsunami ke Aceh juga bertanya tentang
keberadaan keturunan Eropa itu di Aceh Jaya. Apalagi, setelah
mengetahui Aceh Jaya adalah daerah terparah kena imbas ie beuna atau
Tsunami. Sebelum menelusuri lebih lanjut jejak si mata biru, kita
mengingat dulu sejarah Aceh. Seperti halnya bangsa lain yang mendatangi
Aceh, Portugis bertujuan menjalin kerja sama di bidang rempah-rempah.
Ketika itu Aceh memang terkenal dengan kekayaan rempah-rempahnya.
Namun, lambat-laun negeri berjulukan ‘Seramoe Makkah’ ini jadi jajahan.
Lantas, apa yang dapat kita petik dari peninggalan sejarah jajahan
tersebut setelah Aceh merdeka?
Sebelum
sampai ke jawaban dari pertanyaan itu, tanpa bermaksud mengungkit
perih, duka-lara, dan dendam yang tercerabut-berpagut hingga kini, saya
mencoba memaparkan sebuah sifat keacehan yang dimiliki orang Aceh
hingga kini. Karakteristik keacehan itu kerap disematkan pada narit
maja Aceh. Salah satunya, sipeut ureueng Aceh hanjeut teupeh. Meunyo
teupèh, bu leubèh hana meuteumè rasa; meunyo hana teupèh, boh krèh jeut
taraba. Apabila di-Indonesiakan, lebih kurang memiliki makna orang Aceh
tidak boleh disinggung (hatinya). Kalau tersinggung, nasi basi pun tak
diberikan; kalau tidak disinggung, kelamin pun boleh diraba.
Mungkin,
karena sifat itu, orang Aceh gampang dijajah, karena orang Aceh begitu
mudah akrab dengan orang asing saat hatinya sudah disentuh lembut.
Bermula menyentuh dengan sangat lembut hati orang Aceh, bangsa-bangsa
pendatang mencoba menjalin ikatan kerja sama perdagangan dengan bangsa
Aceh. Kemudian, orang Aceh yang sudah tersentuh hatinya, dengan gampang
dan gamblang menyerahkan yang dia punya kepada bangsa pendatang tadi.
Saat itu, tanpa disadari Aceh telah dijajah. Maka, ketika telah sadar
dirinya dijajah, orang Aceh yang lebih senang menyebut dirinya ureung
Aceh akan bangkit dengan segala daya dan upaya. Saat seperti inilah,
keacehan itu timbul kembali, yakni daripada hidup di bawah kaki
penjajah meski diberi pangkat dan harta berlimpah lebih baik mati
bersimbah darah atau mati berkalang tanah. Hal ini juga dinukilkan dalam
narit maja Aceh: daripada juléng göt buta; daripada capiek göt patah,
daripada singèt göt rhô meubalék (daripada juling lebih baik buta,
daripada pincang lebih baik patah, daripada miring lebih baik tumpah
semua). Yang lebih tegas lagi, daripada na göt hana (daripada ada,
lebih baik tidak ada).
Maka
dari itu, perjuangan dengan gencar melawan penjajah dilakukan ureueng
Aceh hingga akhirnya penjajah lari pulang tunggang-langgang ke asalnya,
mengakui keperkasaan Aceh. Lantas, setelah penjajah itu pulang ke
asalnya, apa yang tersisa dari sebuah peninggalannya? Sebut saja salah
satu penjajah Aceh adalah bangsa Portugis. Menurut catatan sejarah,
bangsa Eropa itu menjajah Aceh terutama di pantai barat Aceh, tepatnya
Lamno. Seperti bangsa Eropa penjajah lainnya (Belanda dan Inggris),
Portugis juga memainkan taktiknya dengan mencoba merebut hati orang
Aceh. Pembauran kedua etnis ini pun terjadi.
Orang
Aceh ada yang dinikahi oleh orang Portugis, lalu mempunyai keturunan.
Setelah Portugis berhasil dikalahkan Aceh hingga kembali ke asalnya,
yakni Eropa, keturunan Portugis itu ada yang tertinggal di Aceh.
Kendati ada orang Aceh yang dinikahi oleh bangsa Barat itu atas nama
cinta, istri dan keturunannya tetap ditinggalkan di Aceh. Peninggalan
inilah yang membuat Lamno atau disebut juga dengan Nanggroe Daya,
terkenal dengan si mata biru atau dara Portugis. Tak ayal, sebagian
orang berpendapat, jika ingin melihat bangsa Barat turunan, datang saja
ke Lamno, di samping ada pantai dan pemandangan yang indah di situ.
Umumnya, orang-orang mata biru ini sangat mirip dengan orang Eropa.
Bukan hanya matanya yang biru, kulitnya juga putih serupa kulit orang
Barat. Seiring waktu yang terus berjalan, perkawinan antarsuku semakin
meluas. Keturunan si mata biru pun menikah dengan orang Aceh dari daerah
lain dan mungkin dengan bukan orang Aceh. Pertanyaannya sekarang,
masihkah ada keturunan Portugis tersebut di Aceh?
keturunan
mata biru di Lamno banyak hilang saat musibah tsunami. Pasalnya,
tempat tinggal mereka persis di tepi laut. Di samping itu, perkawinan
antara keturunan mata biru dengan orang-orang pendatang semisal orang
Aceh dari daerah lain, juga menjadi salah satu penyebab keturunan
Portugis ini berkurang. Tempat-tempat yang banyak dihuni komunitas mata
biru, seperti daerah Kuala Onga, Kuala Daya, Lambeuso, dan Keuluang,
merupakan tempat yang disebutkan oleh seseorang sebagai kawasan imbas
tsunami paling parah. “Nyan ke nyan nyang tinggai, ka hana asli lé.
Kadang-kadang na aneuk mata biru, ôkjih itam. Leuh nyan, na cit nyang
hie ureueng Aceh mamandum rupajih,” katanya.
camat
Lamno, Jaddal Husaini, menuturkan bahwa keturunan bangsa Eropa itu
sebelum tsunami dapat ditemui di beberapa wilayah, yakni desa Lambeuso,
Alue Mie, Jeumarem, Janggot, Ujong Uloh, Kuala Ongan, dan Mukhan. Namun,
setelah tsunami, kata Jaddal, keturunan itu mulai sulit ditemukan.
Kendati demikian, katanya, pihak kecamatan tidak tinggal diam demi
menjaga dan melindungi mereka. Jaddal mulai melakukan pendataan penduduk
pascatsunami. Hanya saja, menurut Husaini, sulit melakukan pendataan
terhadap si mata biru. “Masalahnya adalah ketika kita masuk ke
kampung-kampung tempat keturunan Portugis itu, mereka lari. Entah
mengapa mereka selalu menghindar saat hendak didata,” tutur Husaini,
setengah bertanya.
“Dara
Portugis di Lamno pada umumnya berparas cantik. Namun, mereka pemalu.
Jika bertemu dengan orang di luar komunitas mereka, apalagi yang belum
mereka kenal sama sekali, mereka cenderung sembunyi.” Menurut Yahya,
karena sifat pemalu itulah membuat mereka terkesan eksklusif. Hal ini
pula, kata dia, yang menyebabkan komunitas Portugis di Lamno itu lebih
senang menikah dengan sesama komunitas mereka. “Namun, belakangan sudah
ada juga di antara mereka yang mau dipersunting orang luar,” lanjut
Yahya.
Photo : Google
Sumber : atjehgallery
Tidak ada komentar:
Posting Komentar