Khalwat antara Seorang Narapidana dengan Istrinya

JIKA TERDAPAT KESALAHAN/KEKELIRUAN DALAM ARTIKEL INI
DAPAT MENGHUBUNGI KAMI DENGAN CARA MENINGGALKAN PESAN... TERIMAKASIH

honan fatwa No. 2342 tahun 2003 yang berisi:
    Sejauh mana seorang narapidana boleh berkhalwat dengan istrinya? Apakah terdapat batas waktu tertentu yang ditetapkan syariat mengenai larangan dihalanginya suami untuk menggauli istrinya? Berapakah waktu yang dibolehkan bagi istri untuk menuntut cerai dari suaminya jika ia jauh darinya?
Jawaban : Mufti Agung Prof. Dr. Ali Jum'ah Muhammad
    Dâr al-Iftâ` al-Mishriyyah (Lembaga Fatwa Mesir), sebelumnya pernah mengeluarkan fatwa yang berkaitan dengan pertanyaan di atas. Isi fatwa tersebut adalah:
    Islam sangat memperhatikan masalah pemenuhan kebutuhan manusia, baik yang bersifat lahir maupun batin, guna menjaga ketentraman dan stabilitas masyarakat. Ini merupakan salah satu bentuk wasatiyah (kemoderatan) dan tawazun (keseimbangan) dalam syariat mulia ini. Salah satu prinsip Islam menyatakan bahwa hukuman adalah bersifat personal, sehingga seseorang tidak dikenai hukuman akibat kesalahan atau dosa yang dilakukan oleh orang lain apapun bentuk hubungan antara mereka. Dalam hal ini, Allah berfirman,
"Dan orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain." (Fâthir: 18).
Allah juga berfirman,
"Barang siapa yang mengerjakan amal yang saleh maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan barang siapa yang berbuat jahat maka (dosanya) atas dirinya sendiri; dan sekali-kali tidaklah Tuhanmu menganiaya hamba-hamba (Nya)." (Fushshilat: 46).
    Allah SWT telah menetapkan hak dan kewajiban masing-masing suami dan istri terhadap yang lain, salah satunya adalah hak pemenuhan kebutuhan biologis. Jumhur ulama berpendapat bahwa seorang istri berhak digauli satu kali dalam setiap masa suci atau dalam masa satu bulan jika tidak terdapat halangan syariat untuk melakukannya. Allah berfirman,
"Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu." (Al-Baqarah: 222).
    Imam Syafi'i berpendapat bahwa menggauli istri adalah hak suami seperti hak-haknya yang lain, ia tidak wajib atasnya. Sedangkan Imam Ahmad bin Hambal menetapkan bahwa seorang suami wajib menggauli istrinya dalam waktu empat bulan sekali. Hal ini dengan mengkiyaskan kepada masalah ila' (sumpah suami untuk tidak mendekati istrinya lebih dari empat bulan, Penj.). Allah berfirman,
"Kepada orang-orang yang meng-ilaa' istrinya diberi tangguh empat bulan (lamanya). Kemudian jika mereka kembali (kepada istrinya), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan jika mereka berazam (bertetap hati untuk) talak, maka sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (Al-Baqarah: 226-227).
    Jika seorang suami dalam perjalanan, sedangkan ia tidak mempunyai alasan syar'i yang menghalanginya untuk kembali kepada istrinya, maka Imam Ahmad berpendapat bahwa dalam kondisi ini suami wajib menggauli istrinya dalam batas waktu maksimal enam bulan sekali. Imam Ahmad pernah ditanya, "Berapakah lama seorang suami boleh berpisah dari istrinya?" Beliau menjawab, "Enam bulan. Dan ia harus diberitahu mengenai hal itu. Jika dalam jangka waktu tersebut ia enggan untuk kembali kepada istrinya atau istrinya tidak mampu pergi kepadanya bersama mahramnya, maka hakim boleh memisahkan keduanya". Dalil beliau adalah atsar yang diriwayatkan bahwa Amirul Mukminin Umar bin Khattab r.a. bertanya kepada anak perempuannya, Ummul Mukminin Hafshah r.a., "Berapa lamakah seorang istri dapat bersabar ditinggal suaminya?" Beliau menjawab, "Lima atau enam bulan." Maka beliau menetapkan batas waktu enam bulan bagi para pasukannya. Satu bulan untuk berangkat perang, empat bulan menetap di medan tempur dan satu bulan untuk pulang ke rumah.
    Dalam semua kondisi, seorang suami wajib menjaga dan membentengi istrinya sesuai dengan kebutuhannya. Dalam kitab Ihyâ` Ulûmuddîn, Imam Ghazali rahimahullah berkata, "Seorang suami hendaknya menggauli istrinya setiap empat hari sekali. Itulah batas waktu terbaik, karena jumlah istri adalah empat orang sehingga [setiap orang] boleh untuk tidak digauli hingga batas waktu tersebut. Ia boleh mengurangi atau menambah batas waktu tersebut sesuai dengan kebutuhannya dalam menjaga istrinya, karena penjagaan itu merupakan kewajibannya."
    Karena pentingnya hal ini, Rasulullah saw. menganggapnya sebagai sedekah yang mendapatkan pahala dari Allah. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dzar r.a., bahwa Rasulullah saw. bersabda,
وَفِي بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ
"Menggauli istri kalian adalah sedekah."

    Para sahabat bertanya, "Wahai Rasulullah, bagaimana seseorang dari kami melampiaskan nafsunya lalu dia mendapatkan pahala?"
Beliau menjawab,
أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِيْ حَرَامٍ أَكَانَ عَلَيْهِ فِيهَا وِزْرٌ؟ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِي الْحَلاَلِ كَانَ لَهُ أَجْرٌ
"Bagaimana pendapat kalian jika seseorang menyalurkan syahwatnya itu pada tempat yang haram, bukankah dia akan mendapatkan dosa? Begitu pula jika dia meletakkannya pada tempat yang halal, maka dia akan mendapatkan pahala." (HR. Muslim).
    Dengan demikian, berdasarkan pertanyaan di atas, secara syar'i seorang lelaki yang dipenjara boleh untuk berkhalwat dengan istrinya. Begitu juga, istri yang dipenjara boleh digauli oleh suaminya untuk melakukan hak-hak suami-istri. Hal itu karena hukuman dalam Islam hanya bersifat personal sehingga hukuman terhadap seseorang tidak boleh merugikan orang lain.
    Adapun mengenai larangan seorang suami untuk menggauli istrinya dan batas waktu dari hal tersebut, maka para ulama fikih telah memberikan penjelasan bahwa bentuk hukuman ta'zir (hukuman yang ditetapkan oleh hakim) hanya terbatas pada memukul, menampar, mengurung, mengucilkan, mengusir dari majlis, membuka kepala, mengotori wajah, menggundul bagi orang yang membencinya, menaikkan ke atas keledai dengan badan menghadap ke belakang dan mengaraknya di hadapan orang-orang atau mengancamnya dengan berbagai jenis hukuman. Hukuman ta'zir tidak boleh dengan mencukur habis jenggot, memotong anggota badan atau melukainya. Pembatasan bentuk-bentuk hukuman ta'zir ini menunjukkan bahwa mereka sepakat tidak boleh memberikan hukuman dengan melarang seseorang menggauli istrinya.
    Dengan demikian, dalam syariat tidak ada halangan untuk membolehkan seorang narapidana menggauli istri atau suaminya. Sedangkan batas waktu yang membuat seorang istri boleh menuntut cerai dari suaminya karena merasa dirugikan akibat tidak digauli adalah satu tahun atau lebih. Hal ini berdasarkan hukum yang diambil oleh undang-undang negara Mesir. Di dalam syariat Islam tidak terdapat ta'zir dalam bentuk pelarangan seseorang untuk menggauli istrinya. Khusus Rasulullah saw. saja yang boleh memberlakukan hukuman tersebut dalam kisah orang-orang yang tidak ikut berperang Tabuk. Dan dalam masalah ini, kebijakan diserahkan kepada pihak yang berwenang untuk menetapkan hal-hal yang dianggap baik untuk masyarakat.
Wallahu subhânahu wa ta'âlâ a'lam.
Sumber : Dar al Iftaa ( Lembaga Fatwa Mesir)
Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tayangan Halaman