Salat Tasbih

JIKA TERDAPAT KESALAHAN/KEKELIRUAN DALAM ARTIKEL INI
DAPAT MENGHUBUNGI KAMI DENGAN CARA MENINGGALKAN PESAN... TERIMAKASIH

005, yang berisi:     Apa hukum melakukan salat Tasbih? Apakah Rasulullah saw. membolehkannya? Dan apa pahala bagi orang yang melakukannya pada malam 27 Ramadhan?
Jawaban : Mufti Agung Prof. Dr. Ali Jum'ah Muhammad
    Hadis yang menjelaskan salat Tasbih diriwayatkan melalui berbagai jalur dari beberapa orang sahabat. Hadis-hadis itu dikeluarkan oleh para ulama besar Islam dan para ulama hadis. 
Jalur hadis ini yang paling kuat adalah riwayat Ikrimah dari Ibnu Abbas r.a., dia berkata, "Rasulullah saw. bersabda kepada Abbas bin Abdul Muthalib,
يَا عَبَّاسُ يَا عَمَّاهُ! أَلاَ أُعْطِيْكَ! أَلاَ أَمْنَحُكَ! أَلاَ أَحْبُوْكَ! أَلاَ أَفْعَلُ لَكَ، عَشْرَ خِصَالٍ إِذَا أَنْتَ فَعَلْتَ ذَلِكَ غَفَرَ اللَّهُ لَكَ ذَنْبَكَ: أَوَّلَهُ وَآخِرَهُ، قَدِيْمَهُ وَحَدِيْثَهُ، خَطَأَهُ وَعَمْدَهُ، صَغِيْرَهُ وَكَبِيرَهُ، سِرَّهُ وَعَلاَنِيَتَهُ، عَشْرَ خِصَالٍ: أَنْ تُصَلِّيَ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ تَقْرَأُ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ فَاتِحَةَ الْكِتَابِ وَسُوْرَةً فَإِذَا فَرَغْتَ مِنَ الْقِرَاءَةِ فِي أَوَّلِ رَكْعَةٍ وَأَنْتَ قَائِمٌ قُلْتَ: " سُبْحَانَ اللَّهِ، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ، وَلاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ، وَاللَّهُ أَكْبَرُ"، خَمْسَ عَشْرَةَ مَرَّةً، ثُمَّ تَرْكَعُ فَتَقُولُهَا وَأَنْتَ رَاكِعٌ عَشْرًا، ثُمَّ تَرْفَعُ رَأْسَكَ مِنَ الرُّكُوعِ فَتَقُولُهَا عَشْرًا، ثُمَّ تَهْوِي سَاجِدًا فَتَقُولُهَا وَأَنْتَ سَاجِدٌ عَشْرًا، ثُمَّ تَرْفَعُ رَأْسَكَ مِنَ السُّجُودِ فَتَقُولُهَا عَشْرًا، ثُمَّ تَسْجُدُ فَتَقُولُهَا عَشْرًا، ثُمَّ تَرْفَعُ رَأْسَكَ فَتَقُولُهَا عَشْرًا، فَذَلِكَ خَمْسٌ وَسَبْعُونَ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ، تَفْعَلُ ذَلِكَ فِي أَرْبَعِ رَكَعَاتٍ. إِنِ اسْتَطَعْتَ أَنْ تُصَلِّيَهَا فِي كُلِّ يَوْمٍ مَرَّةً فَافْعَلْ، فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَفِي كُلِّ جُمُعَةٍ مَرَّةً، فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَفِي كُلِّ شَهْرٍ مَرَّةً، فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَفِي كُلِّ سَنَةٍ مَرَّةً، فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَفِي عُمُرِكَ مَرَّةً
"Wahai Abbas, wahai Paman. Ketahuilah, aku akan memberimu. Aku akan menghadiahimu. Aku akan membagimu. Aku akan melaksanakan untukmu. Ada sepuluh hal, jika kamu melakukannya maka Allah akan mengampuni dosamu, baik yang terdahulu maupun yang terakhir, baik yang lama maupun yang baru, baik yang tidak sengaja maupun yang sengaja, baik yang besar maupun yang kecil, baik yang tersembunyi maupun yang terang-terangan. Sepuluh hal itu adalah kamu melakukan salat sebanyak empat rakaat. Pada setiap rakaat kamu membaca surat al-Fatihah dan surat lain. Jika telah selesai membacanya dalam rakaat pertama, maka ucapkanlah sambil berdiri, "Subhânallah, wal hamdulillah, wa lâ ilâha illâllah, wallahu akbar," sebanyak lima belas kali. Lalu kamu melakukan rukuk dan mengucapkan zikir itu sebanyak sepuluh kali sambil rukuk. Lalu kamu berdiri dari rukuk dan mengucapkan zikir itu sebanyak sepuluh kali. Lalu kamu melakukan sujud dan mengucapkannya sambil sujud sebanyak sepuluh kali. Lalu kamu mengangkat kepalamu dari sujud dan membacanya sepuluh kali. Lalu kamu melakukan sujud dan membacanya sepuluh kali. Lalu kamu mengangkat kepalamu dan membacanya sepuluh kali. Itulah tujuh puluh lima kali dalam satu rakaat. Kamu melakukannya dalam empat rakaat. Jika kamu dapat melakukannya sekali dalam satu hari maka lakukanlah. Jika tidak maka sekali dalam satu Jum'at. Jika tidak maka sekali dalam satu bulan. Jika tidak maka sekali dalam satu tahun. Dan jika tidak maka sekali dalam seumur hidup."
    Hadis ini dikeluarkan oleh Bukhari dalam al-Qirâ`ah Khalfa al-Imâm, Abu Dawud, Ibnu Majah dan Ibnu Khuzaimah. Hadis inipun dishahihkan oleh beberapa ulama hadis, seperti Daruquthni yang menghimpun seluruh jalur periwayatan hadis ini dalam sebuah buku kecil, al-Hakim dalam al-Mustadrak, al-Hafizh Abu Bakar al-Ajurri, Ibnu Mandah (beliau mengarang sebuah kitab yang menjelaskan keshahihan hadis ini), al-Khatib al-Baghdadi yang mengumpulkan seluruh jalur periwayatan hadis ini dalam sebuah buku, Abu Sa'ad as-Sam'ani, al-Hafizh Abu Musa al-Madini dalam kitab Tashhîh Shalât at-Tasâbîh, Abu Muhammad Abdur Rahim al-Mishri, Abu Hasan al-Maqdisi, al-Hafizh al-Mundziri dan Imam Zarkasyi. Sedangkan para ulama yang menghukuminya hasan adalah Ibnu Shalah dan an-Nawawi dalam at-Tahdzîb.
    Imam Muslim berkata, "Tidak ada riwayat mengenai masalah ini yang lebih baik dari sanad hadis ini." Abu Dawud berkata, "Tidak ada hadis shahih mengenai salat Tasbih selain hadis ini." Tirmidzi berkata, "Ibnu Mubarak dan beberapa ulama memandang disyariatkannya salat Tasbih dan mereka menyebutkan keutamaannya." Hakim berkata dalam al-Mustadrak, "Para perawi hadis ini dari Ibnu Mubarak semuanya tsiqat dan atsbat. Abdullah tidaklah dicurigai mengajarkan sesuatu yang menurutnya tidak shahih sanadnya." Al-Baihaqi berkata, "Ibnu Mubarak melakukannya dan para shalihin saling meriwayatkannya di antara mereka. Hal ini merupakan penguat atas hadis yang marfû' ini." Ad-Dailami berkata dalam Musnad al-Firdaus, "Salat Tasbih adalah salat yang paling terkenal dan yang paling shahih sanadnya." Abdul Aziz bin Abu Ruwwad berkata, "Barang siapa yang menginginkan bau harum surga maka hendaknya dia melakukan salat ini."
    Pendapat yang menyatakan bahwa salat ini dianjurkan adalah pendapat para ulama Syafi'iyah dan Hanafiyah. Salah satu pendapat dalam mazhab Hambali menyatakan kebolehan melakukannya.
    Ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa salat ini tidak dianjurkan, karena mereka menilai bahwa hadis di atas adalah dhaif. Selain itu, tata cara salat ini berbeda dengan tata cara salat yang lain. Pendapat ini diriwayatkan dari Imam Ahmad. Ibnu Hajar pun condong kepada pendapat ini sebagaimana yang dia sebutkan dalam kitab Talkhîsh al-Habîr dan dia menukil kedhaifan hadis ini dari Ibnu Taimiyah dan al-Mizzi.
    Para pendukung pendapat pertama menjawab bahwa hadis ini diriwayatkan dari jalur yang banyak dan saling menguatkan. Ditambah lagi, kekuatan hadis itu didukung dengan perbuatan para ulama salaf yang selalu mengamalkannya. Perbedaan tata cara salat Tasbih dengan salat pada umumnya tidak mengurangi nilai pensyariatannya, sebagaimana dalam salat-salat sunah lainnya seperti salat Ied (hari raya), salat jenazah, salat gerhana matahari dan bulan serta salat dalam keadaan takut. Adapun riwayat yang menerangkan bahwa Imam Ahmad mengingkari hadis salat Tasbih ini, maka telah dinukil riwayat lain yang menjelaskan bahwa beliau telah rujuk dari pendapat itu.
    Ibnu Hajar dalam kitab al-Ajwibah 'alâ Ahâdîts al-Mashâbîh menukil dari Ali bin Said an-Nasa`i, dia berkata, "Saya pernah bertanya kepada Ahmad mengenai salat Tasbih, dia menjawab, "Tidak ada hadis shahih mengenai hal itu." Saya berkata, "Apa pendapatmu mengenai riwayat Mustamir bin Rayyan dari Abu Jawza` dari Abdullah bin 'Amr?" Ahmad berkata, "Siapa yang memberitahumu?" "Muslim bin Ibrahim," jawab saya. Ahmad berkata, "Mustamir adalah tsiqah." Dia sepertinya menganggap baik hal itu."
    Selanjutnya Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, "Kisah yang diriwayatkan dari Ahmad ini menunjukkan bahwa dia telah kembali kepada pendapat yang menganjurkan salat itu. Adapun pendapat yang dinukil darinya tentang tidak adanya hadis shahih tentang salat Tasbih, maka hal itu bertentangan dengan ulama yang menguatkan riwayat tersebut dan mengamalkannya. Para ulama telah sepakat bahwa tidak boleh mengamalkan hadis maudhu', tapi boleh mengamalkan hadis dhaif dalam fadhâil al-a'mâl (amalan-amalan yang utama) serta dalam masalah at-targhîb wat-tarhîb (anjuran dan peringatan)."
    Ibnu Hajar juga berkata, "Yang benar adalah bahwa hadis itu berada pada derajat hasan. Karena banyaknya jalur riwayat hadis ini sehingga memperkuat riwayat pertama."
    Dan sebagaimana ditetapkan dalam kaidah syariah bahwa tidak boleh mengingkari perbuatan yang masih diperselisihkan, yang boleh adalah mengingkari perbuatan yang telah disepakati keharamannya. Sehingga, barang siapa yang mengamalkan salat ini dan selalu melaksanakannya dalam hari-hari yang penuh berkah, seperti sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan, maka orang itu berada dalam kebaikan dan sesuai dengan Sunnah. Dan barang siapa yang enggan melaksanakannya karena mentaklid ulama yang mengingkari riwayat hadisnya, maka tidak apa-apa, dengan catatan tidak boleh mengingkari orang yang melakukannya.
Wallahu subhânahu wa ta'âlâ a'lam.
Sumber : Dar al Iftaa ( Lembaga Fatwa Mesir)
Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tayangan Halaman