Memperthatikan permohonan fatwa dengan No. 763 tahun 2008, yang berisi :
Kami meletakkan sebuah kasur busa
tipis yang panjangnya empat meter dan lebarnya satu meter seperempat di
salah satu bagian di dalam mushalla dekat rumah kami. Kasur busa yang
ketebalannya tidak lebih dari satu setengah centimeter atau bahkan
mungkin lebih tipis lagi itu, kami buat sebagai alas ketika melakukan
shalat. Kasur ini dapat menampung delapan orang yang melakukan shalat di
tempat itu. Jika orang yang hendak shalat jumlahnya lebih banyak, maka
sisanya akan shalat di atas permadani biasa yang sudah usang. Kasur itu
tentu saja membuat kami lebih nyaman, terutama bagi orang lanjut usia
seperti saya yang biasanya mempunyai masalah pada lutut. Banyak orang
telah melihat kasur itu dan senang melaksanakan shalat di atasnya.
Tiba-tiba kami dikejutkan dengan seseorang yang menyalahkan hal itu.
Karena itulah, kami memohon penjelasan yang benar mengenai hal ini.
|
||
|
||
Para ahli fikih dari kalangan Ahlussunnah sepakat tentang
ketidakharusan melakukan shalat di atas benda yang berasal dari unsur
bumi, seperti debu, krikil dan lain sebagainya. Salah seorang ulama
Syafi'iyah, Syekh al-Khatib asy-Syarbini, dalam kitab Mughnil-Muhtâj
menyatakan, "Kaum muslimin, selain kelompok Syiah, berijmak atas
kebolehan melakukan shalat di atas wol atau benda yang terbuat darinya.
Tidak ada kemakruhan sama sekali untuk melakukan shalat di atasnya,
kecuali Malik yang berpendapat bahwa itu adalah makruh tanzihi.
Sedangkan Syiah berpandangan bahwa tidak boleh melakukan shalat di
atasnya karena wol bukan berasal dari unsur tumbuhan bumi."
Keabsahan shalat pun tidak
terpengaruh dengan tebal tipisnya alas yang digunakan untuk shalat,
selama dahi dapat menempel sempurna dan tidak bergerak-gerak di atas
alas tersebut ketika bersujud.
Imam Bukhari meriwayatkan dari Aisyah
r.a. bahwa Rasulullah saw. pernah melaksanakan shalat di atas alas
ketika Aisyah sedang berbaring di atasnya seperti posisi jenazah antara
beliau dengan kiblat." Bukhari membuat judul untuk bab yang berisi
hadits tersebut dengan nama Bab Shalat di Atas Alas. Al-Hafizh Ibnu
Hajar, dalam Fathul-Bârî, berkata, "Dengan judul ini, Bukhari
hendak mengisyaratkan kepada hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi
Syaibah dengan sanad shahih dari Ibrahim an-Nakha'i dari al-Aswad dan
sahabat-sahabatnya, bahwa mereka tidak suka (menganggap makruh)
melakukan shalat di atas permadani, karpet yang terbuat dari kulit
binatang dan pakaian yang tebuat dari bahan kasar. Ibnu Abi Syaibah
sendiri juga meriwayatkan dari beberapa orang sahabat dan tabi'in
mengenai kebolehan hal itu."
Diriwayatkan dari Mughirah bin
Syu'bah r.a., dia berkata, "Rasulullah saw. melakukan shalat –atau suka
untuk melakukan shalat– di atas alas yang terbuat dari kulit binatang
yang telah disamak." (HR. Ahmad, Abu Dawud dan Thabrani dalam al-Mu'jam al-Kabîr.
Ini adalah redaksi Ahmad. Ibnu Khuzaimah dan Hakim menshahihkan hadits
ini. Hakim berkata, "Ini adalah hadits shahih sesuai dengan syarat
Syaikhain (Bukhari dan Muslim), tapi keduanya tidak meriwayatkannya
dengan menyebutkan alas dari kulit. Hanya saja, Muslim meriwayatkan
hadits serupa dari Abu Said mengenai shalat di atas tikar." Imam Dzahabi
berkata, "Hadits ini sesuai dengan syarat Muslim.").
Hadits di atas, meskipun terdapat
beberapa ulama yang mendhaifkan sanadnya, hanya saja ia terangkat ke
derajat hasan karena terdapat beberapa riwayat lain yang mempunyai makna
serupa. Diantaranya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad bin
Hambal dari Muhammad bin Abdurrahman bin Abi Laila, bahwa seorang
laki-laki bertanya kepada Rasulullah saw., "Wahai Rasulullah, apakah
saya boleh shalat di atas alas yang terbuat dari kulit?" Maka beliau pun
menjawab, "Kalau tidak boleh, untuk apa kulit disamak?"
Syekh as-Sindi dalam Hasyiyah 'al-Musnad
menjelaskan, "Maksudnya adalah jika kamu tidak boleh shalat di atas
alas kulit, tentu penyamakan kulit akan sia-sia, padahal tujuannya
adalah untuk membersihkan kulit sehingga dapat digunakan sebagai alas
shalat. Jika tidak boleh melakukan shalat di atasnya, maka tidak ada
gunanya menyamak kulit."
Al-Hafizh ath-Thuyuri (salah seorang ulama Hambali), dalam kitab ath-Thuyûriyyât, meriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. bahwa Rasulullah saw. melakukan shalat di atas permadani.
Kebolehan ini pun diriwayatkan dari
sejumlah orang sahabat dan para ulama kalangan salaf. Mereka juga pernah
melakukan shalat di atas alas yang tebal, seperti kasur, bantal untuk
bersandar, bantal biasa, bantal tempat duduk penunggang binatang,
permadani, bantal untuk pelana unta, permadani tebal, karpet kulit,
pakaian kasar terbuat dari bulu, kain yang diletakkan di atas punggung
hewan di bawah pelana, kain tebal dari bahan wol dan lain sebagainya.
Imam Abu Bakar Ibnu Abi Syaibah, dalam al-Mushannaf,
pada bab tentang orang sakit yang melakukan sujud di atas bantal untuk
tidur atau untuk bersandar, meriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a., dia
berkata, "Orang sakit boleh melakukan sujud di atas bantal dan pakaian
yang bersih."
Imam Abu Bakar Ibnu Abi Syaibah juga
meriwayatkan dari Ummu Salamah bahwa ketika dia sakit radang mata, dia
melakukan shalat di atas bantal kulit. Anas bin Malik r.a. juga pernah
bersujud di atas bantal yang digunakan untuk bersandar. Sedangkan Abu
Aliyah, ketika sakit dia bersujud di atas bantal yang disiapkan
untuknya. Begitu juga Hasan al-Bashri, dia membolehkan seseorang
bersujud di atas bantal ketika berada di atas perahu.
Adapun mengenai shalat di atas kasur,
Imam Abu Bakar Ibnu Abi Syaibah juga meriwayatkan bahwa Anas r.a.
pernah shalat di atas kasurnya. Thawus juga melakukan hal yang sama
ketika sakit. Ia juga menyebutkan riwayat mengenai shalat di atas
pakaian kasar dari bulu. Hal ini diriwayatkan dari Ali, Jabir, Abu
Darda`, Ibnu Mas'ud dan Ibnu Abbas –radhiyallahu 'anhum—.
Sedangkan dari kalangan tabi'in diriwayatkan dari Umar bin Abdul Aziz
bahwa dia membolehkan shalat di atas pakaian kasar dari bulu. Namun,
sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa Abdurrahman bin al-Aswad dan
para sahabatnya tidak menyukai shalat di atas permadani, kulit dan kain
dari bulu.
Mengenai masalah shalat di atas
permadani, Imam Abu Bakar Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dari Abu Darda`
bahwa ia berkata, "Saya tidak peduli jika saya shalat di atas tumpukan
enam permadani." Said bin Jubair berkata, "Ibnu Abbas pernah melakukan
shalat Magrib bersama kami di atas permadani yang menutupi seluruh
lantai rumah."
Abdullah bin 'Ammar berkata, "Saya
melihat Umar melakukan shalat di atas permadani tebal." Hasan Bashri
berkata, "Tidak apa-apa shalat di atas permadani." Diriwayatkan pula
dari Hasan Bashri bahwa dia pernah melakukan shalat di atas permadani.
Kedua kaki dan lututnya di atas permadani tersebut sedangkan wajahnya
berada di tanah atau di tikar bambu. Diriwayatkan juga dari Qais bin
Abbad al-Qaisi bahwa dia pernah melakukan shalat di atas kain yang
terbuat dari wol. Hal itu juga diriwayatkan dari Murrah al-Hamdani.
Adapun tentang shalat di atas alas
kulit, maka Imam Abu Bakar Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dari Masruq
bahwa dia pernah menyembelih hewan kurban lalu menyamak kulitnya
kemudian memakainya untuk alas shalat. Hal ini juga diriwayatkan dari
Alqamah. Abdurrahman bin Aswad juga melakukan shalat di rumahnya di atas
alas yang terbuat dari kulit domba, sehingga bulu-bulunya muncul di
sela-sela kedua kakinnya. Sedangkan diriwayatkan dari al-Aswad dan para
sahabatnya bahwa mereka tidak menyukai shalat di atas alas kulit.
Dalam al-Muhallâ, Ibnu Hazm
berkata, "Melakukan shalat di atas alas kulit adalah boleh. Begitu juga
boleh shalat di atas wol dan semua benda yang boleh diduduki jika suci.
Seorang perempuan boleh melakukan shalat di atas kain sutra. Ini adalah
pendapat Abu Hanifah, Syafi'i, Abu Sulaiman dan lainnya. Atha` berkata,
"Tidak boleh shalat kecuali di atas tanah dan pasir." Malik berkata,
"Hukumnya makruh melakukan shalat di atas alas yang terbuat dari selain
unsur bumi atau tanaman yang ditumbuhkannya." Ali (Ibnu Hazm) berkata,
"Tidak ada dalil akan kebenaran pendapat ini. Sedangkan sujud wajib di
atas tujuh anggota tubuh, yaitu kedua kaki, kedua lutut, kedua tangan,
dahi dan hidung. Malik membolehkan meletakkan semua anggota ini –selain
dahi— di atas semua hal yang saya sebutkan di muka. Jadi apa yang
membedakan antara dahi dengan anggota tubuh yang lain? Tidak ada dalil
yang membedakan semua itu, baik dari Alquran, Sunnah yang shahih ataupun
yang tidak, ijmak, kiyas, perkataan sahabat maupun ulama. Kami telah
meriwayatkan dari Ibnu Mas'ud bahwa dia melakukan shalat di atas pakaian
kasar yang terbuat dari bulu, Umar pernah melakukan sujud di atas alas
yang terbuat dari wol, Ibnu Abbas bersujud di atas permadani dari wol,
begitu juga Abu Darda`. Pendapat Malik ini juga disetujui oleh Syuraih,
az-Zuhri dan Hasan. Sedangkan pendapat yang kami pilih maka tidak ada
seorang pun dari kalangan sahabat –radhiyallahu 'anhum— yang menentangnya."
Para fuqaha dari mazhab-mazhab yang
diikuti memberikan syarat sahnya tempat sujud yaitu tempat yang membuat
orang yang bersujud seakan merasakan kerasnya permukaan bumi, sehingga
dahinya dapat menempel dengan baik di atasnya dan tidak bergerak-gerak.
Di dalam Mazhab Hanafi, Imam Sarkhasi dalam al-Mabsûth
menyatakan, "Tidak apa-apa shalat di atas salju jika dahinya dapat
menempel dengan baik ketika melakukan sujud." Maksudnya adalah hendaknya
tempat sujudnya tersebut keras, karena dengan demikian dahinya tersebut
terasa menempel di tanah. Tapi, jika permukaannya tidak keras sehingga
tidak seperti menempel di tanah, maka tidak sah, karena itu seperti
melakukan sujud di udara. Dengan demikian, jika seseorang sujud di atas
rumput atau kapas jika dahinya terasa menempel di tanah, maka sujud
tersebut sah, jika tidak maka tidak sah. Begitu juga jika shalat di atas
permadani yang diisi sesuatu, maka shalat itu akan sah jika tempat
sujudnya kempal, kecuali menurut Malik. Diriwayatkan dari beberapa orang
sahabat bahwa mereka berkata, "Saya tidak peduli jika shalat di atas
sepuluh permadani atau lebih."
Dalam kitab Badâi'ush-Shanâi',
al-Kasani berkata, "Jika seseorang melakukan sujud di atas rumput atau
kapuk lalu dahinya masuk ke dalam sehingga merasakan permukaan tanah
maka shalatnya sah. Jika tidak maka tidak sah. Begitu juga, jika dia
shalat di atas permadani tebal, maka shalatnya sah jika permukaannya
kempal. Begitu juga, shalat di atas salju jika permukaannya keras, jika
tidak maka tidak sah."
Imam Kamal bin Humam, dalam Fath al-Qadîr,
menyatakan: "Seseorang boleh melakukan sujud di atas rumput, jerami,
kapas dan permadani jika dia merasakan permukaan bumi. Begitu juga,
boleh shalat di atas salju yang keras. Jika dia telah membenamkan
kepalanya ke dalam benda-benda tadi tapi tidak merasakan kerasnya
permukaan tanah, maka tidak sah. Begitu juga, boleh shalat di atas
gerobak yang menempel di tanah, sebagaimana halnya ranjang. Namun tidak
sah jika gerobak itu berada di atas sapi, seperti kain yang diikat di
antara beberapa pohon. Boleh juga shalat dan bersujud di rumah kecil
yang dibuat di atas pohon, di atas gandum dan jelai, tapi tidak boleh di
atas jewawut dan beras karena kepala tidak bisa menetap."
Dalam al-Fatâwâ al-Hindiyyah
disebutkan: "Jika seseorang bersujud di atas rumput, jerami, kapas,
permadani atau salju, lalu dahi dan hidungnya stabil serta merasakan
lapisan keras pada benda-benda itu, maka dibolehkan. Jika tidak maka
tidak boleh."
Ketika menjelaskan perkataan asy-Syurunbulali yang berbunyi, "Syarat sujud adalah menetapnya dahi," Ibnu 'Abidin dalam Hasyiyah-nya
berkata, "Maksudnya seseorang diharuskan bersujud di atas sesuatu yang
dapat dia rasakan lapisan yang keras padanya. Sehingga, jika orang yang
bersujud itu ingin terus membenamkan kepalanya, maka dia tidak dapat
membenamkannya lebih dalam lagi dari yang dia lakukan saat itu. Dengan
demikian, tidak boleh bersujud di atas benda seperti beras dan jagung,
kecuali jika berada di dalam karung. Tidak boleh juga bersujud di atas
kapas, salju dan kasur kecuali jika dia merasakan kerasnya permukaan
bumi ketika menekannya."
Ibnu 'Abidin juga mengatakan, "Maksud
merasakan kerasnya permukaan bumi adalah bahwa orang yang bersujud jika
terus membenamkan kepalanya, maka dia tidak akan dapat menambah lebih
dalam dari keadaannya itu. Dengan demikian, boleh shalat dengan bersujud
di atas permadani, tikar, gandum, jelai, tempat tidur dan gerobak jika
menempel di tanah. Tetapi tidak sah shalat dengan bersujud di atas tandu
yang ada di atas punggung hewan, kain yang terbentang antara beberapa
pohon serta beras dan jagung kecuali jika ada dalam karung. Begitu juga,
tidak boleh bersujud di atas salju jika tidak kempal yang membuat
seseorang tidak dapat merasakan permukaan tanah ketika membenamkan
kepalanya. Begitu juga, tidak boleh bersujud pada rumput kecuali jika
merasakan lapisannya yang keras. Dari sini dipahami kebolehan melakukan
shalat dengan bersujud di atas kain yang terbuat dari kapas jika dapat
merasakan lapisan yang keras padanya."
Pengarang Marâqîyual-Falâh
mengatakan, "Salah satu syarat sahnya sujud adalah melakukannya di atas
sesuatu yang dapat dirasakan lapisannya yang keras, dimana dia tidak
dapat terus membenamkan kepalanya lebih dalam dari posisinya itu. Dengan
demikian, tidak boleh melakukan sujud di atas kapas, salju, jerami,
beras, jagung dan biji rami. Sedangkan gandum dan jelai, maka dahi
seseorang dapat stabil di atasnya sehingga boleh sujud di atasnya,
karena biji-bijinya saling mengokohkan disebabkan permukaannya yang
kasar dan tidak keras."
Menjelaskan pernyataan pengarang Marâqil-Falâh di atas, ath-Thahawi dalam al-Hâsyiyah 'alâ Marâqil-Falâh,
mengatakan, "Maksud larangan bersujud di atas kapas adalah jika tidak
merasakan lapisannya yang keras. Begitu juga setiap benda yang diisi
kapuk, seperti kasur dan bantal. Sedangkan larangan besujud di atas
beras dan jagung adalah karena permukaan benda tersebut halus dan
bentuknya keras sehingga tidak dapat diam (selalu bergerak) yang
mengakibatkan dahi seseorang terus bergerak masuk ke dalam tanpa
terhenti pada bagian yang diam. Kecuali jika benda tersebut diletakkan
disebuah wadah tertentu."
Sedangkan menurut Mazhab Maliki,
makruh hukumnya melakukan shalat dengan bersujud di atas permadani dan
sejenisnya jika tidak di masjid atau tidak ada keperluan untuk
melakukannya. Jika terdapat kedua alasan tersebut maka tidak ada
kemakruhan sama sekali.
Syekh ad-Dardir dalam asy-Syarh al-Kabîr
mengatakan, "Hukumnya makruh bersujud di atas kain atau karpet yang
tidak digunakan untuk menutupi lantai masjid. Sedangkan bersujud di atas
tikar yang tidak mewah maka tidak makruh, tapi akan lebih baik jika
tidak melakukannya.Apabila tikar itu lembut, maka hukumnya tetap
makruh."
Dalam Hâsyiyah atas kitab asy-Syarh al-Kabîr,
Syekh Dasuqi menjelaskan, "Maksud bahwa alas shalat tersebut tidak
digunakan untuk menutupi lantai masjid adalah tidak adanya keperluan
untuk menggunakan karpet tersebut karena suhu panas atau dingin atau
kasarnya lantai tempat bersujud. Jika terdapat alasan-alasan tersebut,
maka tidak makruh bersujud di atasnya. Sebagaimana tidak makruh bersujud
di atas karpet masjid, baik karpet tersebut merupakan wakaf, hasil dari
barang wakaf atau dari orang lain yang menjadikan karpet tersebut
seperti wakaf untuk masjid."
Adapun dalam mazhab Syafi'i, maka Imam Syafi'i dalam kitab al-Umm pada Bab Pakaian dan Karpet untuk Shalat, berkata, "Rasulullah saw. melakukan shalat di atas namirah. Namirah
adalah alas yang terbuat dari wol. Sehingga, tidak apa-apa shalat
dengan memakai wol, bulu dan bulu unta atau menjadikannya sebagai alas
shalat. Rasulullah saw. bersabda,
أَيُّمَا إِهَابٍ دُبِغَ فَقَدْ طَهُرَ
"Kulit apa saja yang telah disamak maka ia suci."
Tidak apa-apa pula melakukan shalat
dengan memakai kulit yang telah disamak baik berasal dari bangkai,
binatang buas ataupun setiap sesuatu yang mempunyai ruh kecuali anjing
dan babi. Dan boleh melakukan shalat dengan memakai kulit binatang yang
disembelih dan boleh dimakan dagingnya meskipun kulit itu tidak
disamak." Demikian penjelasan Imam Syafi'i.
Imam Nawawi dalam al-Majmû'
menyatakan, "Jika seseorang bersujud di atas kapas, rumput atau sesuatu
yang diisi dengan kedua benda tersebut, maka dia harus menekan kepalanya
sehingga terbenam di dalamnya dan merasakan tangannya jika tangan orang
itu diletakkan di bawah benda tersebut. Jika orang tersebut tidak
melakukannya maka shalatnya tidak sah. Imam Haramain berkata, "Menurut
saya orang tersebut cukup meletakkan kepalanya saja tanpa perlu
menekannya, sebagaimana yang diharuskan dalam gerakan sujud." Pendapat
yang diambil oleh mazhab adalah yang pertama. Dan ini pulalah yang
ditegaskan oleh Syekh Abu Muhammad al-Juwaini dan pengarang kitab at-Tatimmah serta at-Tahdzîb."
Dalam Mughnîl-Muhtâj,
al-Khatib asy-Syarbini mengatakan, "Hendaknya berat kepala orang yang
bersujud benar-benar mengena pada tempat sujudnya. Hal ini sesuai dengan
hadits yang telah disebutkan,
وَإِذَا سَجَدْتَ فَمَكِّنْ جَبْهَتَكَ
"Jika kamu bersujud, maka mantapkan dahimu."
Maksud berat kepala orang yang
bersujud adalah hendaknya dia menekan kepalanya sehingga jika terdapat
kapas atau rumput maka kepalanya akan terbenam dan dia dapat merasakan
tangannya jika dia letakkan di bawah kapas atau rumput tersebut. Imam
Haramain berpendapat bahwa meletakkan kepala saja sudah cukup. Dia
menyatakan bahwa itu lebih dekat dengan sikap tawadhu daripada
memaksakan untuk menekan kepala."
Dalam Mazhab Hambali, Ibnu Taimiyah berkata dalam al-Fatâwâ al-Kubrâ,
"Tidak ada perbedaan antara para ulama mengenai kebolehan melakukan
shalat dan sujud di atas kasur jika terbuat dari unsur bumi, seperti
tikar dari pelepah pohon kurma, tikar dari duan papirus dan sejenisnya.
Namun, mereka berselisih mengenai kemakruhan melakukannya di atas alas
yang tidak berasal dari unsur bumi, seperti karpet dari kulit binatang
dan karpet yang dibuat dari wol. Sebagian besar ulama memberi keringanan
dalam hal ini. Ini adalah pendapat ulama hadits seperti Imam Syafi'i
dan Imam Ahmad, serta pendapat para ulama Kufah seperti Imam Abu Hanifah
dan lainnya. Mereka juga mendasarkan pendapat tersebut pada hadits
Aisyah. Karena, alas yang disebutkan dalam hadits tersebut tidak berasal
dari unsur bumi, tapi dari kulit atau wol."
Al-Mardawi dalam al-Inshâf
mengatakan, "Para ulama Hambali mengatakan, "Jika seseorang bersujud di
atas rumput, kapas, salju atau pakaian dan sejenisnya, tapi orang itu
tidak merasakan lapisannya yang keras maka tidak sah sujudnya tersebut.
Karena tidak terdapat tempat yang kokoh (tidak bergerak)."
Dalam Kasysyâful-Qinâ',
al-Buhuti menyatakan, "Hukumnya sah melakukan shalat di atas salju, baik
dengan alas atau tidak, jika dia merasakan lapisannya yang keras.
Karena, dengan itu anggota sujudnya dapat menempel dengan tetap. Begitu
juga sah melakukannya di atas rumput dan kapas jika dia merasakan
lapisannya yang keras. Jika dia tidak merasakan hal itu maka shalatnya
tidak sah karena dahinya tidak menetap di atas benda-benda tersebut."
Dengan demikian, kasur busa tipis
yang dibuat penanya boleh digunakan sebagai alas untuk shalat. Tidak ada
keharaman sama sekali menurut para ulama Ahlus Sunnah termasuk ulama
Mazhab Empat. Karena kasur itu tidak terlalu tebal sehingga tidak
mengakibatkan dahi seseorang bergerak dan dia dapat merasakan keras
permukaan tanah ketika sujud. Hal itupun tidak dianggap makruh dalam
Mazhab Maliki, karena hukum makruh tersebut, menurut mereka, jika alas
tersebut digunakan tanpa adanya keperluan atau di luar masjid. Dan kedua
hal ini ada dalam masalah ini.
Wallahu subhânahu wa ta'âlâ a'lam.
|
Home »
FATWA HUKUM ISLAM
» Shalat di Atas Kasur
Shalat di Atas Kasur
JIKA TERDAPAT KESALAHAN/KEKELIRUAN DALAM ARTIKEL INI
DAPAT MENGHUBUNGI KAMI DENGAN CARA MENINGGALKAN PESAN... TERIMAKASIH
DAPAT MENGHUBUNGI KAMI DENGAN CARA MENINGGALKAN PESAN... TERIMAKASIH
Tidak ada komentar:
Posting Komentar