Aceh
(bahasa Belanda: Atchin atau Acheh, bahasa Inggris: Achin, bahasa Perancis:
Achen atau Acheh, bahasa Arab: Asyi, bahasa Portugis: Achen atau Achem, bahasa
Tionghoa: A-tsi atau Ache) yang sekarang dikenal sebagai provinsi Nanggröe Aceh
Darussalam memiliki akar budaya bahasa dari keluarga bahasa Monk Khmer proto
bahasa Melayu dengan pembagian daerah bahasa lain seperti bagian selatan
menggunakan bahasa Aneuk Jame sedangkan bagian Tengah, Tenggara, dan Timur
menggunakan bahasa Gayo untuk bagian tenggara menggunakan bahasa Alas
seterusnya bagian timur lebih ke timur lagi menggunakan bahasa Tamiang demikian
dengan kelompok etnis Klut yang berada bagian selatan menggunakan bahasa Klut
sedangkan di Simeulue menggunakan bahasa Simeulue akan tetapi masing-masing
bahasa setempat tersebut dapat dibagi pula menjadi dialek. Bahasa Aceh,
misalnya, adalah berbicara dengan sedikit perbedaan di Aceh Besar, di Pidie,
dan di Aceh Utara. Demikian pula, dalam bahasa Gayo ada Gayo Lut, Gayo Deret,
dan dialek Gayo Lues dan kelompok etnis lainnya Singkil yang berada bagian
tenggara (Tanoh Alas) menggunakan bahasa Singkil. sumber sejarah lainnya dapat
diperoleh antara lain seperti dari hikayat Aceh, hikayat rajah Aceh dan hikayat
prang sabii yang berasal dari sejarah narasi yang kemudian umumnya ditulis
dalam naskah-naskah aksara Jawi (Jawoe). Namun sebagaimana kelemahan dari
sejarah narasi yang berdasarkan pinutur ternyata menurut Prof. Ibrahim Alfian
bahwa naskah Hikayat Perang Sabil mempunyai banyak versi dan satu dengan yang lain
terdapat perbedaan demikian pula dengan naskah Hikayat Perang Sabil versi tahun
1710 yang berada di perpustakaan Universitas Leiden di negeri Belanda.
Awal
Aceh dalam sumber antropologi disebutkan bahwa asal-usul Aceh berasal dari suku
Mantir (atau dalam bahasa Aceh: Mantee) yang mempunyai keterkaitan dengan
Mantera di Malaka yang merupakan bagian dari bangsa Mon Khmer (Monk Khmer).
Menurut sumber sejarah narasi lainnya disebutkan bahwa terutama penduduk Aceh
Besar tempat kediamannya di kampung Seumileuk yang juga disebut kampung Rumoh
Dua Blaih (desa Rumoh 12), letaknya di atas Seulimeum antara kampung Jantho
dengan Tangse. Seumileuk artinya dataran yang luas dan Mantir kemudian menyebar
ke seluruh lembah Aceh tiga segi dan kemudian berpindah-pindah ke tempat-tempat
lain.
BUDAYA
Pengelompokan budaya dalam empat pembagian budaya berdasarkan kaum (kawom) atau disebut pula sebagai suku (sukee) besar mengikuti penelusuran antara lain melalui bahasa purba yakni;
Pengelompokan budaya dalam empat pembagian budaya berdasarkan kaum (kawom) atau disebut pula sebagai suku (sukee) besar mengikuti penelusuran antara lain melalui bahasa purba yakni;
Budaya
Lhee Reutoh (kaum/suku tiga ratus) yang berasal dari budaya Mantee sebagai
penduduk asli.
Budaya Imeum Peuet (kaum/suku imam empat) yang berasal dari India selatan yang beragama Hindu.
Budaya Imeum Peuet (kaum/suku imam empat) yang berasal dari India selatan yang beragama Hindu.
Budaya Tok Batee (kaum/suku yang mencukupi batu) yang datang kemudian berasal dari berbagai etnis Eurasian, Asia Timur dan Arab. Budaya Ja Sandang (kaum/suku penyandang) yaitu para imigran India yang umumnya telah memeluk agama Islam. Dalam keseluruhan budaya tersebut diatas berlaku penyebutan bagi dirinya sebagai Ureueng Aceh yang berarti orang Aceh.
SEJARAH AWAL
Dalam sumber buku kronik kerajaan Liang dan kerajaan Sui di Tiongkok pernah disebutkan sekitar tahun 506 sampai 581 Masehi terdapat kerajaan Poli yang wilayah kekuasaannya meliputi Aceh Besar sedangkan dalam Nāgarakṛtāgama di sebut sebagai Kerajaan Lamuri yang dalam sumber sejarah Arab disebut dengan Lamkrek, Lam Urik, Rami, Ramni sedangkan dan dalam sumber sejarah Tiongkok lainnya disebut pula dengan nama Lan Li, Lan-wuli atau Lan Wo Li dengan pelabuhan laut bernama Ilamuridesam sebagaimana juga pernah disingahi dan ditulis oleh Marco Polo (1292) asal Venesia dalam buku perjalanan pulang dari Tiongkok menuju ke Persia (Iran) saat itu masih berada dibawah pengaruh kedaulatan kerajaan Sriwijaya dibawah wangsa (dinasti) Syailendra dengan raja pertamanya Balaputera Dewa, yang berpusat di Palembang, Sumatera Selatan yang kuat dan daerah kekuasaannya meluas, meliputi Tulang Bawang, Pulau Bangka, Jambi, Genting Kra dan pulau Jawa yang kemudian membangun Borobudur.
Dalam sumber buku kronik kerajaan Liang dan kerajaan Sui di Tiongkok pernah disebutkan sekitar tahun 506 sampai 581 Masehi terdapat kerajaan Poli yang wilayah kekuasaannya meliputi Aceh Besar sedangkan dalam Nāgarakṛtāgama di sebut sebagai Kerajaan Lamuri yang dalam sumber sejarah Arab disebut dengan Lamkrek, Lam Urik, Rami, Ramni sedangkan dan dalam sumber sejarah Tiongkok lainnya disebut pula dengan nama Lan Li, Lan-wuli atau Lan Wo Li dengan pelabuhan laut bernama Ilamuridesam sebagaimana juga pernah disingahi dan ditulis oleh Marco Polo (1292) asal Venesia dalam buku perjalanan pulang dari Tiongkok menuju ke Persia (Iran) saat itu masih berada dibawah pengaruh kedaulatan kerajaan Sriwijaya dibawah wangsa (dinasti) Syailendra dengan raja pertamanya Balaputera Dewa, yang berpusat di Palembang, Sumatera Selatan yang kuat dan daerah kekuasaannya meluas, meliputi Tulang Bawang, Pulau Bangka, Jambi, Genting Kra dan pulau Jawa yang kemudian membangun Borobudur.
Ketika
kerajaan Sriwijaya sedang mencapai puncak kejayaannya dan kemakmurannya yang
memainkan peran penentu dengan menetapkan pola perdagangan terdiri atas tiga
lapisan yakni pelabuhan dan pergudangan utama pada Palembang sedangkan
pelabuhan dan pergudangan sub-regional seperti Ilamuridesam (Lamuri), Takuapa
(Kedah), Jambi dan Lampung selanjutnya diikuti Sungsang serta beberapa
pelabuhah kecil lainnya menggunakan alur sungai Musi dimana dalam hegemoni alur
perdagangan ini kerajaan mendapatkan upeti berkemakmuran ternyata mengundang
kedatangnya ekspedisi armada dari raja Rajendra Chola dari Chola India selatan
pada tahun 1025 dengan melakukan serangan kepada seluruh pelabuhan-pelabuhan di
Sriwijaya termasuk Ilamuridesam (Lamuri) dan Takuapa (Kedah) yang dihancurkan
menjadi sunyi seperti yang diriwayatkan dalam prasasti Tanjore 1030 di India
yang mengatakan bahwa dalam mengirimkan sejumlah kapal yang sangat besar ke
tengah-tengah laut lepas yang bergelombang sekaligus menghancurkan armada
gajahnya yang besar dari kerajaan melayu Sriwijaya dan merampas harta benda
yang sangat banyak berikut pintu gerbang ratna mutu manikam terhias sangat
permai, pintu gerbang batu-batu besar permata dan akhirnya Raja Sriwijaya yang
bernama Sanggrama Wijayatunggawarman dapat ditawan kemudian dilepas setelah
mengaku takluk, tak lama kemudian armada Chola kembali kenegerinya sedangkan
sejumlah lainnya menetap dan menjadi bagian dari penduduk, dari sini dapat
ditarik kesimpulan bahwa penyerangan tersebut lebih ditujukan untuk mengamankan
atau pengambil alihan jalur perdagangan pada selat Malaka yang pada waktu itu
sudah merupakan jalur perdagangan internasional yang penting daripada melakukan
sebuah pendudukan dikala kekuatan militer dan diplomasi Sriwijaya sedang
melemah karena lebih tertuju pada perkembangan perdagangan. Sejak kekalahan ini
kewibawaan kerajaan Sriwijaya mulai menurun dengan dratis yang memberikan
peluang bagi kerajaan-kerajaan yang dahulu berada dibawah kedaulatan Sriwijaya
mulai memperbesar dan memperoleh kembali kedaulatan penuh. Walaupun demikian
keberadaan Sriwijaya baru berakhir pada tahun 1377.
SAMUDERA PASAI
Kesultanan Samudera Pasai, juga dikenal dengan Samudera, Pasai, atau Samudera Darussalam, adalah kerajaan Islam yang terletak di pesisir pantai utara Sumatera, kurang lebih di sekitar Kota Lhokseumawe, Aceh Utara sekarang. Kerajaan ini didirikan oleh Marah Silu, yang bergelar Malik al-Saleh, pada sekitar tahun 1267 dan berakhir dengan dikuasainya Pasai oleh Portugis pada tahun 1521. Raja pertama bernama Sultan Malik as-Saleh yang wafat pada tahun 696 H atau 1297 M, kemudian dilanjutkan pemerintahannya oleh Sultan Malik at-Thahir.
Kesultanan Samudera Pasai, juga dikenal dengan Samudera, Pasai, atau Samudera Darussalam, adalah kerajaan Islam yang terletak di pesisir pantai utara Sumatera, kurang lebih di sekitar Kota Lhokseumawe, Aceh Utara sekarang. Kerajaan ini didirikan oleh Marah Silu, yang bergelar Malik al-Saleh, pada sekitar tahun 1267 dan berakhir dengan dikuasainya Pasai oleh Portugis pada tahun 1521. Raja pertama bernama Sultan Malik as-Saleh yang wafat pada tahun 696 H atau 1297 M, kemudian dilanjutkan pemerintahannya oleh Sultan Malik at-Thahir.
Kesultanan
Samudera-Pasai juga tercantum dalam kitab Rihlah ila l-Masyriq (Pengembaraan ke
Timur) karya Abu Abdullah ibn Batuthah (1304–1368), musafir Maroko yang singgah
di Samudera pada tahun 1345. Ibn Batuthah bercerita bahwa Sultan Malik az-Zahir
di negeri Samatrah menyambutnya dengan penuh keramahan. Menurut Ibn Batuthah,
penduduk Samatrah (Samudera) menganut mazhab Syafi`i.
Belum begitu banyak bukti dan berita tentang kerajaan ini untuk dapat digunakan sebagai bahan kajian sejarah.
Belum begitu banyak bukti dan berita tentang kerajaan ini untuk dapat digunakan sebagai bahan kajian sejarah.
Era
Malik Al Saleh
Sebelum Dinasti Usmaniyah di Turki berdiri pada tahun 699 H-1341 H atau bersamaan dengan tahun 1385 M-1923 M, ternyata nun jauh di belahan dunia sebelah timur, di dunia bagian Asia, telah muncul Kerajaan Islam Samudera-Pasai yang berada di wilayah Aceh yang didirikan oleh Meurah Silu (Meurah berarti Maharaja dalam bahasa Aceh) yang segera berganti nama setelah masuk Islam dengan nama Malik al-Saleh yang meninggal pada tahun 1297. Dimana penggantinya tidak jelas, namun pada tahun 1345 Samudera-Pasai diperintah oleh Malik Al Zahir, cucu Malik al-Saleh.
Sebelum Dinasti Usmaniyah di Turki berdiri pada tahun 699 H-1341 H atau bersamaan dengan tahun 1385 M-1923 M, ternyata nun jauh di belahan dunia sebelah timur, di dunia bagian Asia, telah muncul Kerajaan Islam Samudera-Pasai yang berada di wilayah Aceh yang didirikan oleh Meurah Silu (Meurah berarti Maharaja dalam bahasa Aceh) yang segera berganti nama setelah masuk Islam dengan nama Malik al-Saleh yang meninggal pada tahun 1297. Dimana penggantinya tidak jelas, namun pada tahun 1345 Samudera-Pasai diperintah oleh Malik Al Zahir, cucu Malik al-Saleh.
Politik
Samudera Pasai bertentangan dengan Politik Gajah Mada
Gajah Mada yang diangkat sebagai patih di Kahuripan (1319-1321) oleh Jayanagara dari Majapahit. Dan pada tahun 1331, naik pangkat Gajah Mada menjadi mahapatih Majapahit yang diangkat oleh Ratu Tribhuwana Wijayatunggadewi.
Ketika
pelantikan Gajah Mada menjadi mahapatih Majapahit inilah keluar ucapannya yang
disebut dengan sumpah palapa yang berisikan “dia tidak akan menikmati palapa
sebelum seluruh Nusantara berada dibawah kekuasaan kerajaan Majapahit”.
Ternyata dengan dasar sumpah palapanya inilah Gajah Mada merasa tidak senang
ketika mendengar dan melihat bahwa Samudera Pasai di Aceh makin berkembang dan
maju. Pada tahun 1350 Majapahit ingin menggempur Samudera Pasai, tetapi
Majapahit tidak pernah mencapai kerajaan Samudra Pasai karena di hadang askar
Sriwijaya. Selama 27 tahun Majapahit dendam terhadap kerajaan Sriwijaya dan
kemudian pada tahun 1377 giliran Sriwijaya digempurnya, sehingga habislah
riwayat Sriwijaya sebagai negara Budha yang berpusat di Palembang ini.
Kesultanan
Aceh
Era Sultan Iskandar Muda
Era Sultan Iskandar Muda
Aceh merupakan negeri yang amat kaya dan makmur pada masa kejayaannya. Menurut seorang penjelajah asal Perancis yang tiba pada masa kejayaan Aceh di zaman Sultan Iskandar Muda Meukuta Perkasa Alam, kekuasaan Aceh mencapai pesisir barat Minangkabau, Sumatera Timur, hingga Perak di semenanjung Malaysia.
Aceh
merupakan salah satu bangsa di pulau Sumatra yang memiliki tradisi militer, dan
pernah menjadi bangsa terkuat di Selat Malaka, yang meliputi wilayah Sumatra
dan Semenanjung Melayu, ketika dibawah kekuasaan Iskandar Muda.
Sultan
Iskandar Muda kemudian menikah dengan seorang putri dari Kesultanan Pahang.
Putri ini dikenal dengan nama Putroe Phang. Konon, karena terlalu cintanya sang
Sultan dengan istrinya, Sultan memerintahkan pembangunan Gunongan di tengah
Medan Khayali (Taman Istana) sebagai tanda cintanya. Kabarnya, sang puteri
selalu sedih karena memendam rindu yang amat sangat terhadap kampung halamannya
yang berbukit-bukit. Oleh karena itu Sultan membangun Gunongan untuk mengubati
rindu sang puteri. Hingga saat ini Gunongan masih dapat disaksikan dan
dikunjungi.
Aceh
melawan Portugis
Ketika Kesultanan Samudera Pasai dalam krisis, maka Kesultanan Malaka yang muncul dibawah Parameswara (Paramisora) yang berganti nama setelah masuk Islam dengan panggilan Iskandar Syah. Kerajaan Islam Malaka ini maju pesat sampai pada tahun 1511 ketika Portugis dibawah pimpinan Afonso d’Albuquerque dengan armadanya menaklukan Malaka.
Ketika Kesultanan Samudera Pasai dalam krisis, maka Kesultanan Malaka yang muncul dibawah Parameswara (Paramisora) yang berganti nama setelah masuk Islam dengan panggilan Iskandar Syah. Kerajaan Islam Malaka ini maju pesat sampai pada tahun 1511 ketika Portugis dibawah pimpinan Afonso d’Albuquerque dengan armadanya menaklukan Malaka.
Ketika
Malaka jatuh ke tangan Portugis, kembali Aceh bangkit dibawah pimpinan Sultan
Ali Mughayat Syah (1514-1528). Yang diteruskan oleh Sultan Salahuddin
(1528-1537). Sultan Alauddin Riayat Syahal Kahar (1537-1568). Sultan Ali Riyat
Syah (1568-1573). Sultan Seri Alam (1576. Sultan Muda (1604-1607). Sultan
Iskandar Muda, gelar marhum mahkota alam (1607-1636). Semua serangan yang
dilancarkan pihak Portugis dapat ditangkisnya.
Hubungan
dengan Barat
Inggris
Inggris
Pada abad ke-16, Ratu Inggris, Elizabeth I, mengirimkan utusannya bernama Sir
James Lancester kepada Kerajaan Aceh dan mengirim surat yang ditujukan: “Kepada
Saudara Hamba, Raja Aceh Darussalam.” serta seperangkat perhiasan yang tinggi
nilainya. Sultan Aceh kala itu menerima maksud baik “saudarinya” di Inggris dan
mengizinkan Inggris untuk berlabuh dan berdagang di wilayah kekuasaan Aceh. Bahkan
Sultan juga mengirim hadiah-hadiah yang berharga termasuk sepasang gelang dari
batu rubi dan surat yang ditulis di atas kertas yang halus dengan tinta emas.
Sir James pun dianugerahi gelar “Orang Kaya Putih”.
Sultan
Aceh pun membalas surat dari Ratu Elizabeth I. Berikut cuplikan isi surat
Sultan Aceh, yang masih disimpan oleh pemerintah kerajaan Inggris, tertanggal
tahun 1585:
“
Sayalah sang penguasa perkasa Negeri-negeri di bawah angin, yang terhimpun di
atas tanah Aceh dan atas tanah Sumatra dan atas seluruh wilayah wilayah yang
tunduk kepada Aceh, yang terbentang dari ufuk matahari terbit hingga matahari
terbenam. ”
Hubungan yang mesra antara Aceh dan Inggris dilanjutkan pada masa Raja James I dari Inggris dan Skotlandia. Raja James mengirim sebuah meriam sebagai hadiah untuk Sultan Aceh. Meriam tersebut hingga kini masih terawat dan dikenal dengan nama Meriam Raja James.
Belanda
Selain Kerajaan Inggris, Pangeran Maurits – pendiri dinasti Oranje– juga pernah
mengirim surat dengan maksud meminta bantuan Kesultanan Aceh Darussalam. Sultan
menyambut maksud baik mereka dengan mengirimkan rombongan utusannya ke Belanda.
Rombongan tersebut dipimpin oleh Tuanku Abdul Hamid. Rombongan inilah yang
dikenal sebagai orang Indonesia pertama yang singgah di Belanda. Dalam
kunjungannya Tuanku Abdul Hamid sakit dan akhirnya meninggal dunia. Ia
dimakamkan secara besar-besaran di Belanda dengan dihadiri oleh para
pembesar-pembesar Belanda. Namun karena orang Belanda belum pernah memakamkan
orang Islam, maka beliau dimakamkan dengan cara agama Nasrani di pekarangan
sebuah gereja. Kini di makam beliau terdapat sebuah prasasti yang diresmikan
oleh Mendiang Yang Mulia Pangeran Bernhard suami mendiang Ratu Juliana dan
Ayahanda Yang Mulia Ratu Beatrix.
Utsmaniyah
Pada masa Iskandar Muda, Kerajaan Aceh mengirim utusannya untuk menghadap
Sultan Utsmaniyah yang berkedudukan di Istanbul. Karena saat itu Sultan
Utsmaniyah sedang gering maka utusan Kerajaan Aceh terluntang-lantung demikian
lamanya sehingga mereka harus menjual sedikit demi sedikit hadiah persembahan
untuk kelangsungan hidup mereka. Lalu pada akhirnya ketika mereka diterima oleh
sang Sultan, persembahan mereka hanya tinggal Lada Sicupak atau Lada sekarung.
Namun sang Sultan menyambut baik hadiah itu dan mengirimkan sebuah meriam dan
beberapa orang yang cakap dalam ilmu perang untuk membantu kerajaan Aceh.
Meriam tersebut pula masih ada hingga kini dikenal dengan nama Meriam Lada
Sicupak. Pada masa selanjutnya Sultan Utsmaniyah mengirimkan sebuah bintang
jasa kepada Sultan Aceh.
Perancis
Kerajaan Aceh juga menerima kunjungan utusan Kerajaan Perancis. Utusan Raja
Perancis tersebut semula bermaksud menghadiahkan sebuah cermin yang sangat
berharga bagi Sultan Aceh. Namun dalam perjalanan cermin tersebut pecah.
Akhirnya mereka mempersembahkan serpihan cermin tersebut sebagai hadiah bagi
sang Sultan. Dalam bukunya, Denys Lombard mengatakan bahwa Sultan Iskandar Muda
amat menggemari benda-benda berharga. Pada masa itu, Kerajaan Aceh merupakan
satu-satunya kerajaan Melayu yang memiliki Balee Ceureumeen atau Aula Kaca di
dalam Istananya. Menurut Utusan Perancis tersebut, Istana Kesultanan Aceh
luasnya tak kurang dari dua kilometer. Istana tersebut bernama Istana Dalam
Darud Donya (kini Meuligo Aceh, kediaman Gubernur). Di dalamnya meliputi Medan
Khayali dan Medan Khaerani yang mampu menampung 300 ekor pasukan gajah. Sultan
Iskandar Muda juga memerintahkan untuk memindahkan aliran Sungai Krueng Aceh
hingga mengaliri istananya (sungai ini hingga sekarang masih dapat dilihat,
mengalir tenang di sekitar Meuligoe). Di sanalah sultan acap kali berenang
sambil menjamu tetamu-tetamunya.
Pasca-Sultan
Iskandar Thani
Kerajaan Aceh sepeninggal Sultan Iskandar Thani mengalami kemunduran yang terus
menerus. Hal ini disebabkan kerana naiknya empat Sultanah berturut-turut
sehingga membangkitkan amarah kaum Ulama Wujudiyah. Padahal, Seri Ratu
Safiatudin Seri Ta’jul Alam Syah Berdaulat Zilullahil Filalam yang merupakan
Sultanah yang pertama adalah seorang wanita yang amat cakap. Ia merupakan
puteri Sultan Iskandar Muda dan Isteri Sultan Iskandar Thani. Ia juga menguasai
6 bahasa, Spanyol, Belanda, Aceh, Melayu, Arab, dan Persia. Saat itu di dalam
Parlemen Aceh yang beranggotakan 96 orang, 1/4 di antaranya adalah wanita.
Perlawanan kaum ulama Wujudiyah berlanjut hingga datang fatwa dari Mufti Besar
Mekkah yang menyatakan keberatannya akan seorang wanita yang menjadi Sultanah.
Akhirnya berakhirlah masa kejayaan wanita di Aceh.
Datangnya
pihak kolonial
Kesultanan Aceh terlibat perebutan kekuasaan yang berkepanjangan sejak awal
abad ke-16, pertama dengan Portugal, lalu sejak abad ke-18 dengan Britania Raya
(Inggris) dan Belanda. Pada akhir abad ke-18, Aceh terpaksa menyerahkan
wilayahnya di Kedah dan Pulau Pinang di Semenanjung Melayu kepada Britania
Raya.
Pada
tahun 1824, Perjanjian Britania-Belanda ditandatangani: Britania menyerahkan
wilayahnya di Sumatra kepada Belanda. Pihak Britania mengklaim bahwa Aceh
adalah koloni mereka, meskipun hal ini tidak benar. Pada tahun 1871, Britania
membiarkan Belanda untuk menjajah Aceh, kemungkinan untuk mencegah Perancis
dari mendapatkan kekuasaan di kawasan tersebut.
Perang
Aceh
Tahun 1873 pecah perang Aceh melawan Belanda. Perang Aceh disebabkan karena:
Belanda
menduduki daerah Siak. Akibat dari perjanjian Siak 1858. Dimana Sultan Ismail
menyerahkan daerah Deli, Langkat, Asahan dan Serdang kepada Belanda, padahal
daerah-daerah itu sejak Sultan Iskandar Muda ada dibawah kekuasaan Aceh.
Belanda melanggar Siak, maka berakhirlah perjanjian London (1824). Dimana isi
perjanjian London adalah Belanda dan Inggris membuat ketentuan tentang
batas-batas kekuasaan kedua daerah di Asia Tenggara yaitu dengan garis lintang
Singapura. Keduanya mengakui kedaulatan Aceh.
Aceh menuduh Belanda tidak menepati janjinya, sehingga kapal-kapal Belanda yang lewat perairan Aceh ditenggelamkan Aceh. Perbuatan Aceh ini disetujui Inggris, karena memang Belanda bersalah.
Dibukanya Terusan Suez oleh Ferdinand de Lesseps menyebabkan perairan Aceh menjadi sangat penting untuk lalulintas perdagangan.
Aceh menuduh Belanda tidak menepati janjinya, sehingga kapal-kapal Belanda yang lewat perairan Aceh ditenggelamkan Aceh. Perbuatan Aceh ini disetujui Inggris, karena memang Belanda bersalah.
Dibukanya Terusan Suez oleh Ferdinand de Lesseps menyebabkan perairan Aceh menjadi sangat penting untuk lalulintas perdagangan.
Dibuatnya Perjanjian Sumatera 1871 antara Inggris dan Belanda, yang isinya,
Inggris memberika keleluasaan kepada Belanda untuk mengambil tindakan di Aceh.
Belanda harus menjaga keamanan lalulintas di Selat Sumatera. Belanda
mengizinkan Inggris bebas berdagang di Siak dan menyerahkan daerahnya di Guinea
Barat kepada Inggris.
Akibat perjanjian Sumatera 1871, Aceh mengadakan hubungan diplomatik dengan
Konsul Amerika, Italia, Turki di Singapura. Dan mengirimkan utusan ke Turki
1871.
Akibat hubungan diplomatik Aceh dengan Konsul Amerika, Italia dan Turki di Singapura, Belanda menjadikan itu sebagai alasan untuk menyerang Aceh. Wakil Presiden Dewan Hindia Frederik Nicolaas Nieuwenhuijzen dengan 2 kapal perangnya datang ke Aceh dan meminta keterangan dari Sultan Machmud Syah tentang apa yang sudah dibicarakan di Singapura itu, tetapi Sultan Machmud menolak untuk memberikan keterangan.
Akibat hubungan diplomatik Aceh dengan Konsul Amerika, Italia dan Turki di Singapura, Belanda menjadikan itu sebagai alasan untuk menyerang Aceh. Wakil Presiden Dewan Hindia Frederik Nicolaas Nieuwenhuijzen dengan 2 kapal perangnya datang ke Aceh dan meminta keterangan dari Sultan Machmud Syah tentang apa yang sudah dibicarakan di Singapura itu, tetapi Sultan Machmud menolak untuk memberikan keterangan.
Belanda menyatakan perang terhadap Aceh pada 26 Maret 1873 setelah melakukan
beberapa ancaman diplomatik. Sebuah ekspedisi dengan 3.000 serdadu yang
dipimpin Mayor Jenderal Johan Harmen Rudolf Köhler dikirimkan pada tahun 1874,
namun dikalahkan tentara Aceh, di bawah pimpinan Panglima Polem dan Sultan
Machmud Syah, yang telah memodernisasikan senjatanya. Köhler sendiri berhasil
dibunuh pada tanggal 10 April 1873.
Ekspedisi
kedua di bawah pimpinan Jenderal Jan van Swieten berhasil merebut istana
sultan. Ketika Sultan Machmud Syah wafat pada tanggal 26 Januari 1874,
digantikan oleh Tuanku Muhammad Dawood yang dinobatkan sebagai Sultan di masjid
Indragiri. Pada 13 Oktober 1880, pemerintah kolonial menyatakan bahwa perang
telah berakhir. Bagaimanapun, perang dilanjutkan secara gerilya dan perang
fi’sabilillah dikobarkan, di mana sistem perang gerilya ini dilangsungkan
sampai tahun 1904.
Pada
masa perang dengan Belanda, Kesultanan Aceh sempat meminta bantuan kepada
perwakilan Amerika Serikat di Singapura yang disinggahi Panglima Tibang
Muhammad dalam perjalanannya menuju Pelantikan Kaisar Napoleon III dari
Perancis. Aceh juga mengirim Habib Abdurrahman azh-Zhahir untuk meminta bantuan
kepada Kalifah Usmaniyah. Namun Turki Utsmani kala itu sudah mengalami masa
kemunduran. Sedangkan Amerika Serikat menolak campur tangan dalam urusan Aceh
dan Belanda.
Perang
kembali berkobar pada tahun 1883. Pasukan Belanda berusaha membebaskan para
pelaut Britania Raya yang sedang ditawan di salah satu wilayah kekuasaan
Kesultanan Aceh, dan menyerang kawasan tersebut. Sultan Aceh menyerahkan para
tawanan dan menerima bayaran yang cukup besar sebagai gantinya. Sementara itu,
Menteri Perang Belanda, August Willem Philip Weitzel, kembali menyatakan perang
terbuka melawan Aceh. Belanda kali ini meminta bantuan para pemimpin setempat,
di antaranya Teuku Umar. Teuku Umar diberikan gelar panglima perang besar dan
pada 1 Januari 1894 bahkan menerima dana bantuan Belanda untuk membangun
pasukannya. Ternyata dua tahun kemudian Teuku Umar malah menyerang Belanda
dengan pasukan baru tersebut. Dalam perang gerilya ini Teuku Umar bersama
Panglima Polem dan Sultan terus tanpa pantang mundur. Tetapi pada tahun 1899
ketika terjadi serangan mendadak dari pihak Van Der Dussen di Meulaboh Teuku
Umar gugur. Tetapi Cut Nya’ Dien istri Teuku Umar siap tampil menjadi komandan
perang gerilya.
Pada
tahun 1892 dan 1893, pihak Belanda menganggap bahwa mereka telah gagal merebut
Aceh. Dr. Christiaan Snouck Hurgronje, seorang ahli Islam dari Universitas
Leiden yang telah berhasil mendapatkan kepercayaan dari banyak pemimpin Aceh,
kemudian memberikan saran kepada Belanda agar serangan mereka diarahkan kepada
para ulama, bukan kepada sultan. Saran ini ternyata berhasil. Dr Snouck
Hurgronye yang menyamar selama 2 tahun di pedalaman Aceh untuk meneliti
kemasyarakatan dan ketatanegaraan Aceh. Hasil kerjanya itu dibukukan dengan
judul Rakyat Aceh (De Atjehers). Dalam buku itu disebutkan rahasia bagaimana
untuk menaklukkan Aceh.
Isi
nasehat Snouck Hurgronje kepada Gubernur Militer Belanda yang bertugas di Aceh
adalah:
Mengesampingkan
golongan Keumala (yaitu Sultan yang berkedudukan di Keumala) beserta
pengikutnya.
Senantiasa menyerang dan menghantam kaum ulama.
Jangan mau berunding dengan para pimpinan gerilya.
Mendirikan pangkalan tetap di Aceh Raya.
Menunjukkan niat baik Belanda kepada rakyat Aceh, dengan cara mendirikan langgar, masjid, memperbaiki jalan-jalan irigasi dan membantu pekerjaan sosial rakyat Aceh.
Jangan mau berunding dengan para pimpinan gerilya.
Mendirikan pangkalan tetap di Aceh Raya.
Menunjukkan niat baik Belanda kepada rakyat Aceh, dengan cara mendirikan langgar, masjid, memperbaiki jalan-jalan irigasi dan membantu pekerjaan sosial rakyat Aceh.
Pada tahun 1898, Joannes Benedictus van Heutsz dinyatakan sebagai gubernur Aceh
pada 1898-1904, kemudian Dr Snouck Hurgronye diangkat sebagai penasehatnya, dan
bersama letnannya, Hendrikus Colijn (kelak menjadi Perdana Menteri Belanda),
merebut sebagian besar Aceh.
Sultan
M. Daud akhirnya meyerahkan diri kepada Belanda pada tahun 1903 setelah dua
istrinya, anak serta ibundanya terlebih dahulu ditangkap oleh Belanda.
Kesultanan Aceh akhirnya jatuh seluruhnya pada tahun 1904. Istana Kesultanan
Aceh kemudian diluluhlantakkan dan diganti dengan bangunan baru yang sekarang
dikenal dengan nama Pendopo Gubernur. Pada tahun tersebut, hampir seluruh Aceh
telah direbut Belanda.
Taktik
perang gerilya Aceh ditiru oleh Van Heutz, dimana dibentuk pasukan marechaussee
yang dipimpin oleh Hans Christoffel dengan pasukan Colone Macannya yang telah
mampu dan menguasai pegunungan-pegunungan, hutan-hutan rimba raya Aceh untuk
mencari dan mengejar gerilyawan-gerilyawan Aceh.
Taktik
berikutnya yang dilakukan Belanda adalah dengan cara penculikan anggota
keluarga Gerilyawan Aceh. Misalnya Christoffel menculik permaisuri Sultan dan
Tengku Putroe (1902). Van der Maaten menawan putera Sultan Tuanku Ibrahim.
Akibatnya, Sultan menyerah pada tanggal 5 Januari 1902 ke Sigli dan berdamai.
Van der Maaten dengan diam-diam menyergap Tangse kembali, Panglima Polem dapat
meloloskan diri, tetapi sebagai gantinya ditangkap putera Panglima Polem, Cut
Po Radeu saudara perempuannya dan beberapa keluarga terdekatnya. Akibatnya
Panglima Polem meletakkan senjata dan menyerah ke Lhokseumawe (1903). Akibat
Panglima Polem menyerah, banyak penghulu-penghulu rakyat yang menyerah
mengikuti jejak Panglima Polem.
Taktik
selanjutnya, pembersihan dengan cara membunuh rakyat Aceh yang dilakukan di
bawah pimpinan Van Daalen yang menggantikan Van Heutz. Seperti pembunuhan di
Kuto Reh (14 Juni 1904) dimana 2922 orang dibunuhnya, yang terdiri dari 1773
laki-laki dan 1149 perempuan.
Taktik
terakhir menangkap Cut Nya’ Dien istri Teuku Umar yang masih melakukan
perlawanan secara gerilya, dimana akhirnya Cut Nya’ Dien dapat ditangkap dan
diasingkan ke Sumedang, Jawa Barat.
Surat
tanda penyerahan
Van Heutz telah menciptakan surat pendek penyerahan yang harus ditandatangani
oleh para pemimpin Aceh yang telah tertangkap dan menyerah, yang isinya: Raja
(Sultan) mengakui daerahnya sebagai bagian dari daerah Hindia-Belanda. Raja
berjanji tidak akan mengadakan hubungan dengan kekuasaan di luar negeri.
Berjanji akan mematuhi seluruh perintah-perintah yang ditetapkan Belanda. (RH
Saragih, J Sirait, M Simamora, Sejarah Nasional, 1987)
Bangkitnya
nasionalisme
Sementara pada masa kekuasaan Belanda, bangsa Aceh mulai mengadakan kerjasama
dengan wilayah-wilayah lain di Indonesia dan terlibat dalam berbagai gerakan
nasionalis dan politik. Sarekat Islam, sebuah organisasi dagang Islam yang
didirikan di Surakarta pada tahun 1912, tiba di Aceh pada sekitar tahun 1917.
Ini kemudian diikuti organisasi sosial Muhammadiyah pada tahun 1923.
Muhammadiyah membangun sebuah sekolah Islam di Kutaraja (kini bernama Banda
Aceh) pada tahun 1929. Kemudian pada tahun 1939, Partai Indonesia Raya
(Parindra) membukan cabangnya di Aceh, menjadi partai politik pertama di sana.
Pada tahun yang sama, para ulama mendirikan PUSA (Persatuan Ulama Seluruh
Aceh), sebuah organisasi anti-Belanda.
Perang
Dunia II
Aceh kian hari kian terlibat dalam gerakan nasionalis Indonesia. Saat Volksraad
(parlemen) dibentuk, Teuku Nyak Arif terpilih sebagai wakil pertama dari Aceh.
(Nyak Arif lalu dilantik sebagai gubernur Aceh oleh gubernur Sumatra pertama,
Moehammad Hasan).
Seperti
banyak penduduk Indonesia dan Asia Tenggara lainnya, rakyat Aceh menyambut
kedatangan tentara Jepang saat mereka mendarat di Aceh pada 12 Maret 1942,
karena Jepang berjanji membebaskan mereka dari penjajahan. Namun ternyata
pemerintahan Jepang tidak banyak berbeda dari Belanda. Jepang kembali merekrut
para uleebalang untuk mengisi jabatan Gunco dan Sunco (kepala adistrik dan
subdistrik). Hal ini menyebabkan kemarahan para ulama, dan memperdalam
perpecahan antara para ulama dan uleebalang. Pemberontakan terhadap Jepang
pecah di beberapa daerah, termasuk di Bayu, dekat Lhokseumawe, pada tahun 1942,
yang dipimpin Teungku Abdul Jalil, dan di Pandrah dan Jeunieb, pada tahun 1944.
Masa
Republik Indonesia
Kedudukan Aceh di dalam Republik Indonesia Serikat
41 tahun kemudian semenjak selesainya perang Aceh, Indonesia diproklamasikan oleh Soekarno pada tanggal 17 Agustus 1945. Ternyata perjuangan untuk bebas dari cengkraman Belanda belum selesai, sebelum Hubertus Johannes van Mook menciptakan negara-negara bonekanya yang tergabung dalam RIS (Republik Indonesia Serikat).
41 tahun kemudian semenjak selesainya perang Aceh, Indonesia diproklamasikan oleh Soekarno pada tanggal 17 Agustus 1945. Ternyata perjuangan untuk bebas dari cengkraman Belanda belum selesai, sebelum Hubertus Johannes van Mook menciptakan negara-negara bonekanya yang tergabung dalam RIS (Republik Indonesia Serikat).
Ternyata
Aceh tidak termasuk negara bagian dari federal hasil ciptaan Van Mook yang
meliputi seluruh Indonesia yang terdiri dari:
Negara
RI, yang meliputi daerah status quo berdasarkan Perjanjian Renville.
Negara Indonesia Timur.
Negara Pasundan, termasuk Distrik Federal Jakarta
Negara Jawa Timur
Negara Madura
Negara Sumatra Timur, termasuk daerah status quo Asahan Selatan dan Labuhan Batu
Negara Sumatra Selatan
Satuan-satuan kenegaraan yang tegak sendiri, seperti Jawa Tengah, Bangka-Belitung, Riau, Daerah Istimewa Kalimantan Barat, Dayak Besar, Daerah Banjar, Kalimantan Tenggara dan Kalimantan Timur.
Daerah-daerah Indonesia selebihnya yang bukan daerah-daerah bagian.
Sebagai gantinya, Aceh termasuk ke dalam Republik Indonesia, di mana Republik Indonesia adalah salah satu negara bagian dari Republik Indonesia Serikat. Sehingga dengan demikian, Aceh termasuk juga ke dalam sistem Republik Indonesia Serikat, meskipun tidak berwujud sebagai negara bagian yang terpisah.
Negara Indonesia Timur.
Negara Pasundan, termasuk Distrik Federal Jakarta
Negara Jawa Timur
Negara Madura
Negara Sumatra Timur, termasuk daerah status quo Asahan Selatan dan Labuhan Batu
Negara Sumatra Selatan
Satuan-satuan kenegaraan yang tegak sendiri, seperti Jawa Tengah, Bangka-Belitung, Riau, Daerah Istimewa Kalimantan Barat, Dayak Besar, Daerah Banjar, Kalimantan Tenggara dan Kalimantan Timur.
Daerah-daerah Indonesia selebihnya yang bukan daerah-daerah bagian.
Sebagai gantinya, Aceh termasuk ke dalam Republik Indonesia, di mana Republik Indonesia adalah salah satu negara bagian dari Republik Indonesia Serikat. Sehingga dengan demikian, Aceh termasuk juga ke dalam sistem Republik Indonesia Serikat, meskipun tidak berwujud sebagai negara bagian yang terpisah.
Yang
terpilih menjadi Presiden RIS adalah Soekarno dalam sidang Dewan Pemilihan
Presiden RIS pada tanggal 15-16 Desember 1949. Pada tanggal 17 Desember 1949
Presiden Soekarno dilantik menjadi Presiden RIS. Sedang untuk jabatan Perdana
Menteri diangkat Mohammad Hatta. Kabinet dan Perdana Menteri RIS dilantik pada
tanggal 20 Desember 1949.
Belanda
di bawah Ratu Juliana, Perdana Menteri Dr. Willem Drees, Menteri Seberang
Lautan Mr. Maan Sassen dan ketua Delegasi RIS Mohammad Hatta membubuhkan
tandatangannya pada naskah pengakuan kedaulatan RIS oleh Belanda dalam upacara
pengakuan kedaulatan RIS pada tanggal 27 Desember 1949. Pada tanggal yang sama,
di Yogyakarta dilakukan penyerahan kedaulatan RI kepada RIS. Sedangkan di
Jakarta pada hari yang sama, Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Wakil Tinggi
Mahkota Antonius Hermanus Johannes Lovink dalam suatu upacara bersama-sama
membubuhkan tandangannya pada naskah penyerahan kedaulatan. (30 Tahun Indonesia
Merdeka, 1945-1949, Sekretariat Negara RI, 1986).
Kembali
ke Negara Kesatuan
Tanggal 8 Maret 1950 Pemerintah RIS dengan persetujuan Parlemen (DPR) dan Senat
RIS mengeluarkan Undang-Undang Darurat No 11 tahun 1950 tentang Tata Cara
Perubahan Susunan Kenegaraan RIS. Berdasarkan Undang-Undang Darurat itu,
beberapa negara bagian menggabungkan ke RI, sehingga pada tanggal 5 April 1950
yang tinggal hanya tiga negara bagian yaitu, RI, NST (Negara Sumatera Timur), dan
NIT (Negara Indonesia Timur).
Pada
tanggal 14 Agustus 1950 Parlemen dan Senat RIS mengesahkan Rancangan
Undang-Undang Dasar Sementara Negara Kesatuan Republik Indonesia hasil panitia
bersama.
Pada
rapat gabungan Parlemen dan Senat RIS pada tanggal 15 Agustus 1950, Presiden
RIS Soekarno membacakan piagam terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pada hari itu juga Presiden Soekarno kembali ke Yogya untuk menerima kembali
jabatan Presiden RI dari Pemangku Sementara Jabatan Presiden RI Mr. Asaat. (30
Tahun Indonesia Merdeka, 1950-1964, Sekretariat Negara RI, 1986).
Maklumat
Negara Islam Indonesia Aceh
3 tahun setelah RIS bubar dan kembali menjadi RI, Daud Beureueh di Aceh
memaklumatkan Negara Islam Indonesia di bawah Imam Sekarmadji Maridjan
Kartosoewirjo pada tanggal 20 September 1953.
Isi
Maklumat NII di Aceh adalah:
“
Dengan lahirnja peroklamasi Negara Islam Indonesia di Atjeh dan daerah
sekitarnja, maka lenjaplah kekuasaan Pantja Sila di Atjeh dan daerah
sekitarnja, digantikan oleh pemerintah dari Negara Islam.Dari itu
dipermaklumkan kepada seluruh Rakjat, bangsa asing, pemeluk bermatjam2 Agama,
pegawai negeri, saudagar dan sebagainja:
Djangan menghalang2i gerakan Tentara Islam Indonesia, tetapi hendaklah memberi bantuan dan bekerdja sama untuk menegakkan keamanan dan kesedjahteraan Negara.
Pegawai2 Negeri hendaklah bekerdja terus seperti biasa, bekerdjalah dengan sungguh2 supaja roda pemerintahan terus berdjalan lantjar.
Para saudagar haruslah membuka toko, laksanakanlah pekerdjaan itu seperti biasa, Pemerintah Islam mendjamin keamanan tuan2.
Djangan menghalang2i gerakan Tentara Islam Indonesia, tetapi hendaklah memberi bantuan dan bekerdja sama untuk menegakkan keamanan dan kesedjahteraan Negara.
Pegawai2 Negeri hendaklah bekerdja terus seperti biasa, bekerdjalah dengan sungguh2 supaja roda pemerintahan terus berdjalan lantjar.
Para saudagar haruslah membuka toko, laksanakanlah pekerdjaan itu seperti biasa, Pemerintah Islam mendjamin keamanan tuan2.
Rakjat seluruhnja djangan mengadakan Sabotage, merusakkan harta vitaal,
mentjulik, merampok, menjiarkan kabar bohong, inviltratie propakasi dan
sebagainja jang dapat mengganggu keselamatan Negara. Siapa sadja jang melakukan
kedjahatan2 tsb akan dihukum dengan hukuman Militer.
Kepada tuan2 bangsa Asing hendaklah tenang dan tentram, laksanakanlah kewadjiban tuan2 seperti biasa keamanan dan keselamatan tuan2 didjamin.
Kepada tuan2 yang beragama selain Islam djangan ragu2 dan sjak wasangka, jakinlah bahwa Pemerintah N.I.I. mendjamin keselamatan tuan2 dan agama jang tuan peluk, karena Islam memerintahkan untuk melindungi tiap2 Umat dan agamanja seperti melindungi Umat dan Islam sendiri. Achirnja kami serukan kepada seluruh lapisan masjarakat agar tenteram dan tenang serta laksanakanlah kewadjiban masing2 seperti biasa.
Negara Islam Indonesia
Gubernur Sipil/Militer Atjeh dan Daerah sekitarnja.
MUHARRAM 1373
Atjeh Darussalam
September 1953
Kepada tuan2 bangsa Asing hendaklah tenang dan tentram, laksanakanlah kewadjiban tuan2 seperti biasa keamanan dan keselamatan tuan2 didjamin.
Kepada tuan2 yang beragama selain Islam djangan ragu2 dan sjak wasangka, jakinlah bahwa Pemerintah N.I.I. mendjamin keselamatan tuan2 dan agama jang tuan peluk, karena Islam memerintahkan untuk melindungi tiap2 Umat dan agamanja seperti melindungi Umat dan Islam sendiri. Achirnja kami serukan kepada seluruh lapisan masjarakat agar tenteram dan tenang serta laksanakanlah kewadjiban masing2 seperti biasa.
Negara Islam Indonesia
Gubernur Sipil/Militer Atjeh dan Daerah sekitarnja.
MUHARRAM 1373
Atjeh Darussalam
September 1953
”
Daud Beureueh menyerah
Bulan Desember 1962, 7 bulan setelah Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo Imam NII tertangkap (4 Juni 1962) di atas Gunung Geber di daerah Majalaya oleh kesatuan-kesatuan Siliwangi dalam rangka Operasi Bratayudha, Daud Beureueh di Aceh menyerah kepada Penguasa Daulah Pancasila setelah dilakukan “Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh” atas prakarsa Panglima Kodam I/Iskandar Muda, Kolonel M.Jasin. (30 Tahun Indonesia Merdeka, 1950-1964, Sekretariat Negara RI, 1986).
Daud Beureueh menyerah
Bulan Desember 1962, 7 bulan setelah Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo Imam NII tertangkap (4 Juni 1962) di atas Gunung Geber di daerah Majalaya oleh kesatuan-kesatuan Siliwangi dalam rangka Operasi Bratayudha, Daud Beureueh di Aceh menyerah kepada Penguasa Daulah Pancasila setelah dilakukan “Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh” atas prakarsa Panglima Kodam I/Iskandar Muda, Kolonel M.Jasin. (30 Tahun Indonesia Merdeka, 1950-1964, Sekretariat Negara RI, 1986).
Hasan
Di Tiro mendeklarasi Negara Aceh Sumatera
14 tahun kemudian setelah Daud Beureueh pada masa Hasan Tiro pada tanggal 4 Desember 1976 mendeklarasikan kemerdekaan Aceh Sumatra. Bunyi deklarasi kemerdekaan Negara Aceh Sumatra itu adalah:”.
14 tahun kemudian setelah Daud Beureueh pada masa Hasan Tiro pada tanggal 4 Desember 1976 mendeklarasikan kemerdekaan Aceh Sumatra. Bunyi deklarasi kemerdekaan Negara Aceh Sumatra itu adalah:”.
“
“Kepada rakyat di seluruh dunia:Kami, rakyat Aceh, Sumatra melaksanakan hak
menentukan nasib sendiri, dan melindungi hak sejarah istimewa nenek moyang
negara kami, dengan ini mendeklarasikan bebas dan berdiri sendiri dari semua
kontrol politik pemerintah asing Jakarta dan dari orang asing Jawa.
Atas nama rakyat Aceh, Sumatra yang berdaulat.
Atas nama rakyat Aceh, Sumatra yang berdaulat.
Tengku
Hasan Muhammad di Tiro.
Ketua
National Liberation Front of Acheh Sumatra dan Presiden Aceh Sumatra,
4
Desember 1976″
”
Akhir konflik
Pada 15 Agustus 2005, GAM dan pemerintah Indonesia akhirnya berhasil mencapai kesepakatan damai untuk mengakhiri konflik berkepanjangan tersebut.
Akhir konflik
Pada 15 Agustus 2005, GAM dan pemerintah Indonesia akhirnya berhasil mencapai kesepakatan damai untuk mengakhiri konflik berkepanjangan tersebut.
Pada
26 Desember 2004, sebuah gempa bumi besar menyebabkan tsunami yang melanda
sebagian besar pesisir barat Aceh, termasuk Banda Aceh, dan menyebabkan
kematian ratusan ribu jiwa.
Di
samping itu telah muncul aspirasi dari beberapa wilayah NAD, khususnya di
bagian barat, selatan dan pedalaman untuk memisahkan diri dari NAD dan
membentuk 2 provinsi baru yang disebut Aceh Leuser Antara yang terdiri dari
Aceh Tengah, Bener Meriah, Gayo Lues, Aceh Tenggara dan Aceh Singkil, serta
Aceh Barat Selatan atau ABAS yang terdiri dari Nagan Raya, Aceh Barat Daya,
Aceh Selatan, Simeulue, Aceh Barat dan Aceh Jaya. 4 Desember 2005 diadakan
Deklarasi bersama di Gelora Bung Karno, Jakarta yang dihadiri ratusan orang dan
11 bupati yang ingin dimekarkan wilayahnya, dan dilanjutkan dengan unjukrasa
yang menuntut lepasnya 11 kabupaten tadi dari Aceh.
Pada
15 Agustus 2005, GAM dan pemerintah Indonesia akhirnya menandatangani
persetujuan damai sehingga mengakhiri konflik antara kedua pihak yang telah
berlangsung selama hampir 30 tahun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar