honan fatwa No. 1047 tahun 2006 yang berisi:
Apakah seorang non-muslim boleh
memberikan sumbangan untuk kepentingan umat Islam, seperti mengasuh
anak-anak yatim, membangun masjid, rumah sakit, sekolah dan lain
sebagainya?
|
||
|
||
Dasar hukum hubungan antara kaum muslimin dan non-muslim adalah firman Allah,
"Allah tiada melarang kamu untuk
berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada
memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil." (Al-Mumtahanah: 8).
Hal ini mencakup semua hubungan
sosial, seperti tolong-menolong, takaful, baik pada tataran personal
maupun kelompok. Dalam beberapa hadis disebutkan bahwa Rasulullah saw.
pernah menerima pemberian non-muslim. Diriwayatkan dari Ali r.a., ia
berkata, "Kisra (Khosrau) memberi Rasulullah saw. hadiah dan beliau
menerimanya. Caesar juga memberinya hadiah dan beliau menerimanya.
Bagitu juga para raja-raja yang lain memberinya hadiah dan beliau
menerimanya." (HR. Ahmad dan Tirmidzi serta dihasankannya).
Diriwayatkan dari Anas bin Malik r.a.
bahwa Ukaidir Daumah memberi Rasulullah saw. hadiah berupa sebuah jubah
dari sutra." (Muttafaq alaih).
Diriwayatkan pula dari Anas bahwa
Raja Dzu Yazan memberi hadiah kepada Rasulullah saw. sehelai pakaian
yang telah dia beli seharga tiga puluh tiga unta, lalu Rasulullah saw.
menerimanya." (HR. Abu Dawud).
Dan diriwayatkan dari 'Amir bn
Abdullah bin Zubair, ia berkata, "Qutailah binti Abdil Uzza bin Abdi
As'ad dari kabilah bani Malik bin Hasal mengunjungi anaknya, Asma` binti
Abu Bakar, dengan membawa beberapa jenis hadiah, seperti kadal Arab,
susu kering dan minyak samin. Ketika itu dia dalam keadaan musyrik,
sehingga Asma` menolak untuk menerima hadiah darinya atau mengizinkannya
masuk ke dalam rumahnya. Lalu Aisyah bertanya kepada Rasulullah saw.
mengenai hal itu, maka Allah menurunkan ayat, "Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama". (Al-Mumtahanah: 8).
Rasulullah saw. akhinya menyuruh Asma` untuk menerima hadiah ibunya dan mengizinkannya masuk ke rumahnya." (HR. Ahmad).
Selain itu, Rasulullah saw. juga
pernah menerima hadiah dari Salman al-Farisi sebelum ia masuk Islam. Di
dalam kitab Tharh at-Tatsrîb, al-Hafizh al-'Iraqi berkata, "Hadis ini
berisi penjelasan mengenai kebolehan menerima hadiah orang kafir, karena
ketika itu Salman r.a. belum masuk Islam. Ia baru masuk Islam setelah
melihat ketiga tanda kenabian yang ia ketahui."
Tidak dibedakan antara hadiah yang
diberikan untuk tujuan urusan dunia maupun untuk urusan akhirat.
Berangkat dari sini, para ulama Syafi'iyah membolehkan wakaf non-muslim
untuk kepentingan kaum muslimin, baik yang berkaitan dengan urusan agama
maupun urusan dunia. Karena, wakaf itu sendiri merupakan ibadah, tanpa
memandang niat pemberi wakaf. Pendapat mereka ini berbeda dengan
pendapat para ulama Malikiyah yang hanya membolehkan wakaf non-muslim
untuk hal-hal yang berkaitan dengan urusan dunia saja. Sedangkan ulama
Hanafiyah membolehkan wakaf dari Ahlu Zimmah jika ditujukan untuk
sesuatu yang dalam Islam maupun dalam pandangan agama si pemberi
dianggap sebagai ibadah.
Syaikh ad-Dasuqi al-Maliki berkata,
"Wakaf tidak sah diberikan kepada kafir harbi (musuh). Wakaf orang kafir
tidak sah untuk sesuatu seperti masjid, tempat berjaga-jaga di wilayah
perbatasan Islam dan kepentingan umum yang berkaitan dengan urusan agama
yang di antaranya adalah pendirian masjid, karena ibadah tidak sah
dilakukan oleh orang kafir. Imam Malik pernah menolak dinar dari orang
Kristen yang diberikan untuk Ka'bah. Adapun urusan keduniaan, seperti
pembangunan jembatan, irigasi air dan sejenisnya, maka hal itu
dibolehkan."
Ibnu Nujaim al-Hanafi berkata dalam al-Bahr ar-Râiq Syarh Kanz ad-Daqâiq,
"Redaksi: "Disyaratkan dalam wakaf hendaknya pewakafannya itu merupakan
ibadah menurut kita dan mereka." Kalimat ini, secara zahir, merupakan
syarat untuk wakaf Ahlu Dzimmah saja. Hal itu guna tidak memasukkan
sesuatu yang dianggap ibadah dalam agama kita saja, seperti wakaf untuk
haji dan masjid. Atau juga untuk mengeluarkan sesuatu yang dianggap
ibadah dalam agama mereka saja, seperti wakaf untuk sinagog. Hal ini
berbeda dengan wakaf yang diberikan untuk Masjidil Aqsha, karena itu
adalah ibadah baik menurut kita maupun menurut mereka, sehingga wakaf
ini adalah sah."
Al-Khatib asy-Syarbini asy-Syafi'i
mengatakan, "Redaksi: "Syarat orang yang memberi wakaf adalah
kata-katanya harus benar", di dalam redaksi ini masuk juga orang kafir,
sehingga wakafnya adalah sah meskipun untuk masjid walau ia tidak
menganggapnya sebagai ibadah. Tapi, wakaf itu diterima dengan
pertimbangan niat kita (kaum muslimin)."
Adapun firman Allah,
"Tidaklah pantas orang-orang musyrik itu memakmurkan masjid-masjid Allah, sedang mereka mengakui bahwa mereka sendiri kafir." (At-Taubah: 17).
Maksud dari "memakmurkan" yang
dilarang dalam ayat ini adalah jika orang kafir itu mempunyai kekuasaan
penuh atas urusan masjid, atau dikhawatirkan akan dilaksanakannya
perbuatan syirik di dalam masjid. Sebagaimana firman Allah dalam ayat
lainnya,
"Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allah." (Al-Jinn: 18)
Dengan demikian, berdasarkan
pertanyaan di atas, maka tidak ada halangan secara syarak menerima
sumbangan non-muslim untuk kepentingan umat Islam secara umum, baik yang
berkaitan dengan urusan agama maupun urusan keduniaan, selama hal itu
tidak mengakibatkan hal negatif. Pendapat ini didasarkan pada mazhab
Syafi'i.
Wallahu subhânahu wa ta'âlâ a'lam.
|
Home »
FATWA HUKUM ISLAM
» Sumbangan Non-Muslim untuk Kaum Muslimin
Sumbangan Non-Muslim untuk Kaum Muslimin
JIKA TERDAPAT KESALAHAN/KEKELIRUAN DALAM ARTIKEL INI
DAPAT MENGHUBUNGI KAMI DENGAN CARA MENINGGALKAN PESAN... TERIMAKASIH
DAPAT MENGHUBUNGI KAMI DENGAN CARA MENINGGALKAN PESAN... TERIMAKASIH
Tidak ada komentar:
Posting Komentar