ntaan fatwa No. 2724 tahun 2004 , yang berisi:
Apa hukum meminta orang lain untuk
melakukan sesuatu dengan memakai ungkapan, "Demi Sayyidina Muhammad",
"Demi Ahlul bait", "Demi Ka'bah" dan "Demi mushaf Alquran."? Seperti
jika seseorang mengatakan kepada temannya, "Demi Nabi, lakukanlah hal
itu." Maksud dari kata-kata itu adalah menegaskan permintaan, bukan
sumpah. Apakah perbuatan itu termasuk dalam syirik? Sebagian orang
menyatakan bahwa hal itu adalah haram, syirik dan lain sebagainya.
|
||
|
||
Ketika Islam datang, para penduduk jahiliyah bersumpah dengan
berhala-berhala mereka dengan maksud beribadah dan mengagungkannya
dengan pengagungan yang serupa dengan pengagungan kepada Allah. Hal ini
sebagaimana dijelaskan Allah dalam Alquran,
"Dan di antara manusia ada orang-orang
yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya
sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat
sangat cintanya kepada Allah." (Al-Baqarah: 165).
Karena itulah, Nabi saw. melarang perbuatan tersebut guna menjaga kemurnian tauhid. Beliau bersabda,
مَنْ حَلَفَ فَقَالَ فِيْ حَلِفِهِ "وَاللاَّتِ وَالْعُزَّى" فَلْيَقُلْ: لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ
"Barang siapa yang bersumpah dan dalam sumpahnya dia mengatakan, "Demi Latta, demi Uzza," maka hendaknya dia mengucapkan, "Laa ilaaha illallah" (tiada tuhan selain Allah)." (Muttafaq alaih dari hadis Abu Hurairah r.a.).
Diriwayatkan pula dari Abdullah bin Umar r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda,
مَنْ حَلَفَ بِغَيْرِ اللَّهِ فَقَدْ كَفَرَ أَوْ أَشْرَكَ
"Barang siapa yang bersumpah dengan selain Allah, maka dia telah kafir atau berbuat syirik." (HR. Tirmidzi. Hadis ini dihasankan oleh Ibnu Hibban dan Hakim).
Maksudnya adalah bahwa orang itu
telah mengucapkan suatu perkataan yang menyebabkannya menyerupai
orang-orang musyrik, bukan orang itu telah keluar dari agama Islam dan
menjadi musyrik.
Para ulama sepakat bahwa orang yang
bersumpah dengan selain Allah tidaklah menjadi kafir kecuali jika dia
mengagungkan sesuatu yang dijadikan dasar sumpahnya itu sebagaimana dia
mengagungkan Allah. Sehingga, kekafirannya itu disebabkan pengagungannya
tersebut terhadap benda itu bukan disebabkan karena sumpahnya.
Nabi saw. juga telah melarang untuk
menyerupai orang-orang jahiliyah yang bersumpah dengan nama nenek moyang
mereka dengan maksud membangga-banggakan dan mengultuskan mereka serta
mengedepankan nasab mereka daripada ikatan ukhuwah islamiyah. Mereka
menjadikan nenek moyang mereka sebagai pijakan loyalitas dan permusuhan
terhadap orang lain. Mengenai hal ini, Rasulullah saw. bersabda,
أَلاَ إِنَّ اللَّهَ يَنْهَاكُمْ أَنْ
تَحْلِفُوْا بِآبَائِكُمْ، فَمَنْ كَانَ حَالِفًا فَلْيَحْلِفْ بِاللَّهِ
وَإِلاَّ فَلْيَصْمُتْ
"Ketahuilah bahwa Allah melarang kalian untuk bersumpah dengan nama nenek moyang kalian. Maka, barang siapa yang bersumpah hendaklah dia bersumpah dengan nama Allah, jika tidak maka sebaiknya dia diam saja." (Muttafaq alaih dari hadis Ibnu Umar).
Alasan hukum ('illat) masalah ini dijelaskan dalam hadis lain,
لَيَنْتَهِيَنَّ أَقْوَامٌ يَفْتَخِرُوْنَ
بِآبَائِهِمُ الَّذِينَ مَاتُوا إِنَّمَا هُمْ فَحْمُ جَهَنَّمَ أَوْ
لَيَكُونُنَّ أَهْوَنَ عَلَى اللَّهِ مِنَ الْجُعَلِ الَّذِي يُدَهْدِهُ
الْخِرَاءَ بِأَنْفِهِ، إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَذْهَبَ عَنْكُمْ عُبِّيَّةَ
الْجَاهِلِيَّةِ، إِنَّمَا هُوَ مُؤْمِنٌ تَقِيٌّ وَفَاجِرٌ شَقِيٌّ،
النَّاسُ كُلُّهُمْ بَنُو آدَمَ وَآدَمُ خُلِقَ مِنْ تُرَابٍ
"Hendaklah orang-orang berhenti membangga-banggakan nenek moyang mereka yang telah mati, karena mereka hanyalah arang Jahannam. Jika tidak maka mereka lebih hina bagi Allah daripada kumbang yang mengorek-ngorek kotoran dengan hidungnya. Sesungguhnya Allah telah menghilangkan kesombongan jahiliyah dari kalian. Sesungguhnya manusia terbagi menjadi dua golongan, yaitu orang mukmin yang bertakwa dan orang jahat yang celaka. Manusia adalah anak Adam dan Adam diciptakan dari tanah." (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi dari Abu Hurairah. Hadis ini dihasankan oleh Tirmidzi).
Sebagaimana pula firman Allah,
"Apabila kamu telah menyelesaikan
ibadah hajimu, maka berzikirlah (dengan menyebut) Allah, sebagaimana
kamu menyebut-nyebut (membangga-banggakan) nenek moyangmu, atau (bahkan)
berzikirlah lebih banyak dari itu." (Al-Baqarah: 200).
Para ahli tafsir menyatakan bahwa
dahulu pada zaman jahiliyah, ketika musim haji setiap orang berdiri
sambil mengatakan, "Dahulu ayahku memberi makan kepada orang-orang dan
membantu mengangkutkan barang." Mereka senantiasa hanya menyebut-nyebut
perbuatan-perbuatan nenek moyang mereka.
Adapun bersumpah dengan memakai nama
sesuatu yang diagungkan dalam agama, seperti Nabi saw. dan Ka'bah, maka
sama sekali tidak serupa dengan sumpah kaum musyrikin.
Para ulama yang melarang bersumpah
dengan hal-hal yang dimuliakan dalam agama, mengambil makna zahir dari
nas-nas yang melarang bersumpah dengan selain Allah. Sedangkan para
ulama yang membolehkannya, memberi alasan bahwa hal itu tidak menyerupai
pengagungan terhadap Allah, karena pengagungan terhadap mereka
bersumber dari pemuliaan Allah terhadap mereka. Di antara para ulama
yang membolehkan bersumpah dengan Nabi saw. adalah Imam Ahmad yang
menyatakan bahwa Nabi saw. adalah salah satu rukun syahadat yang tidak
sah suatu syahadat kecuali dengannya.
Makna zahir dari larangan bersumpah
dengan selain nama Allah jelas tidak dimaksudkan dalam nash itu, karena
para ulama telah berijmak mengenai kebolehan bersumpah dengan
sifat-sifat Allah. Dengan demikian, kata-kata itu adalah kata-kata umum
tapi yang dimaksud darinya adalah makna khusus.
Ibnu Mundzir berkata, "Para ulama
berbeda pendapat mengenai makna larangan dalam bersumpah dengan selain
Allah. Sebagian ulama menyatakan bahwa hal itu berkaitan dengan
sumpah-sumpah yang biasa dipakai oleh orang-orang jahiliyah sebagai
bentuk pengagungan terhadap selain Allah, seperti Latta, Uzza dan nenek
moyang mereka. Orang yang melakukan ini berdosa dan tidak ada kafarat
bagi perbuatan itu.
Adapun perbuatan yang mengantarkan
kepada pengagungan terhadap Allah, seperti ucapan, "Demi Nabi", "Demi
Islam", "Demi ibadah haji", "Demi ibadah umrah", "Demi ibadah kurban",
"Demi sedekah", "Demi pembebasan budak" dan lain sebagainya yang
merupakan perbuatan untuk mengagungkan dan mendekatkan diri kepada
Allah, maka seluruh perbuatan itu tidak masuk dalam larangan tersebut.
Di antara para ulama yang berpendapat demikian adalah Abu Ubaid dan
beberapa orang ulama yang pernah kami jumpai. Mereka menyandarkan
pendapat mereka itu dengan pendapat para sahabat yang mewajibkan
seseorang yang bersumpah dengan selain Allah untuk memerdekakan budak,
menyembelih kurban atau bersedekah, meskipun para sahabat itu telah
mendengar larangan bersumpah tersebut. Hal itu menunjukkan bahwa
larangan tersebut tidak dimaknai sesuai dengan keumuman lafalnya, karena
seandainya lafal itu bersifat umum tentu mereka akan melarangnya dan
tidak mewajibkan apapun atas orang yang bersumpah tersebut."
Adapun masalah mengharap orang lain
untuk melakukan sesuatu atau memperkuat suatu perkataan dengan menyebut
Nabi saw. atau hal-hal lainnya yang tidak diniatkan sebagai sumpah, maka
tidak masuk dalam larangan di atas. Ucapan-ucapan itu dibolehkan karena
hal itu pernah dilakukan Nabi saw. sendiri dan para sahabat.
Dalam sebuah hadis dari Abu Hurairah
r.a. yang diriwayatkan oleh Muslim, disebutkan bahwa seorang laki-laki
datang kepada Nabi saw. dan berkata, "Wahai Rasulullah, sedekah apakah
yang paling besar pahalanya?" Beliau menjawab,
أَمَا وَأَبِيْكَ لَتُنَبَّأَنَّهْ، أَنْ تَصَدَّقَ وَأَنْتَ صَحِيْحٌ شَحِيْحٌ تَخْشَى الْفَقْرَ وَتَأْمُلُ الْبَقَاءَ
"Demi ayahmu, sungguh engkau akan diberitahu. Yaitu bersedekah dalam keadaan sehat dan kikir, ketika engkau takut miskin dan berharap tetap kaya."
Muslim juga meriwayatkan dalam kitab
ash-Shahîh dari Thalhah bin Ubaidullah r.a. mengenai seorang lelaki dari
Nejd yang bertanya kepada Nabi saw. mengenai Islam. Di akhir hadis itu
disebutkan: "Rasulullah saw. bersabda,
أَفْلَحَ وَأَبِيْهِ إِنْ صَدَقَ، أَوْ: دَخَلَ الْجَنَّةَ وَأَبِيْهِ إِنْ صَدَقَ
"Demi ayahnya, dia akan beruntung jika dia berkata benar." Atau dalam riwayat lain: "Demi ayahnya, dia akan masuk surga jika dia berkata benar."
Dalam kitab as-Sunan, Ibnu Majah
meriwayatkan dari Abu Hurairah r.a., dia berkata, "Seorang lelaki
mendatangi Rasulullah saw. dan berkata, "Wahai Rasulullah, beritahulah
saya tentang orang yang paling berhak mendapatkan baktiku." Beliau
menjawab,
نَعَمْ وَأَبِيْكَ لَتُنَبَّأَنَّ؛ أُمُّكَ
"Ya. Demi ayahmu, kamu akan diberitahu, yaitu ibumu."
Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu
'Usyra` dari ayahnya, dia berkata, "Saya berkata, "Wahai Rasulullah,
bukankah menyembelih itu hanya pada tenggorokan dan pangkal leher?"
Beliau bersabda,
وَأَبِيكَ لَوْ طَعَنْتَ فِي فَخِذِهَا لأَجْزَأَكَ
"Demi ayahmu, kalau kamu menikamnya di pahanya maka itu telah cukup."
Imam Ahmad juga meriwayatkan dalam
al-Musnad bahwa Rasulullah saw. diberi makanan berupa roti dan daging.
Beliau lalu berkata, "Berikan padaku bagian lengannya." Beliau lalu
memakan daging bagian lengan yang diberikan kepada beliau. Beliau lalu
berkata lagi, "Berikan padaku bagian lengannya." Lalu disodorkan lagi
bagian lengannya dan beliau memakannya. Kemudian beliau berkata lagi,
"Berikan padaku bagian lengannya." Seorang sahabat yang di dekat situ
berkata, "Wahai Rasulullah, lengan binatang itu cuma ada dua." Maka
Rasulullah saw. menjawab,
وَأَبِيْكَ لَوْ سَكَتَّ مَا زِلْتُ أُنَاوَلُ مِنْهَا ذِرَاعًا مَا دَعَوْتُ بِهِ
"Demi ayahmu, seandainya kamu diam niscaya aku akan terus mendapatkan bagian lengan sebanyak permintaanku."
Imam Malik meriwayatkan dalam al-Muwaththa`
kisah Aftha` yang mencuri kalung milik Asma` bintu 'Umais r.a.. Dalam
kisah itu Abu Bakar r.a. berkata, "Demi ayahmu, malam itu kau tidak
nampak melakukan sesuatu seperti perbuatan seorang pencuri."
Asy-Syaikhani (Bukhari dan Muslim)
meriwayatkan bahwa istri Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. berkata kepadanya,
"Demi dambaan hatiku, makanan itu sekarang telah berlipat tiga kali dari
sebelumnya." Maksudnya makanan yang disuguhkan kepada para tamunya.
Dalam Syarh Muslim, Imam Nawawi berkata, "Ini bukan sumpah, tapi
sebuah kalimat yang biasa disisipkan oleh bangsa Arab dalam pembicaraan
mereka tanpa berniat sumpah sama sekali. Larangan dalam masalah ini
adalah jika berniat mengucapkannya sebagai sumpah, sehingga di dalamnya
terkandung maksud pengagungan sesuatu yang dijadikan sumpah dan
penyerupaan terhadap hak Allah. Dan inilah jawaban yang dapat diterima."
Imam Baidhawi berkata, "Kata ini
termasuk salah satu kata yang biasa disisipkan dalam pembicaraan sebagai
penguat tanpa meniatkannya sebagai sumpah. Hal ini seperti penambahan
kata panggilan untuk sekedar mengkhususkan (al-ikhtishâsh), bukan untuk memanggil."
Dengan demikian, penggunaan kalimat
"Demi sayyidina Muhammad", "Demi Ahlul bait", atau yang lainnya dalam
pembicaraan, dengan maksud memperkuat ucapan atau untuk mengharap
sesuatu –tanpa bermaksud bersumpah— adalah sesuatu yang dibolehkan dan
tidak apa-apa melakukannya. Karena, hal itu terdapat dalam perkataan
Nabi saw. dan para sahabat serta menjadi kebiasaan masyarakat Arab yang
tidak bertentangan dengan tuntunan syariat, sehingga perbuatan itu tidak
haram dan bukan termasuk perbuatan syirik. Seorang muslim hendaknya
tidak berkata mengenai syariat Allah tanpa ilmu sebagaimana ditegaskan
dalam Alquran,
"Dan janganlah kamu mengaakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta." (An-Nahl: 116).
Seorang muslim yang berpikiran lurus
tidak sepatutnya menuduh saudara seimannya dengan tuduhan kafir atau
syirik yang menyebabkannya masuk dalam ancaman Rasulullah saw.,
إِذَا كَفَّرَ الرَّجُلُ أَخَاهُ فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا
"Jika seseorang mengkafirkan saudaranya, maka kekafiran itu kembali kepada salah satu dari keduanya." (HR. Muslim dari hadis Abdullah bin Umar r.a.).
Wallahu subhânahu wa ta'âlâ a'lam.
|
Home »
FATWA HUKUM ISLAM
» Meminta Sesuatu kepada Orang Lain dengan Memakai Ungkapan, "Demi Sayyidina Muhammad saw.."
Meminta Sesuatu kepada Orang Lain dengan Memakai Ungkapan, "Demi Sayyidina Muhammad saw.."
JIKA TERDAPAT KESALAHAN/KEKELIRUAN DALAM ARTIKEL INI
DAPAT MENGHUBUNGI KAMI DENGAN CARA MENINGGALKAN PESAN... TERIMAKASIH
DAPAT MENGHUBUNGI KAMI DENGAN CARA MENINGGALKAN PESAN... TERIMAKASIH
Tidak ada komentar:
Posting Komentar