Pembeli Tidak Menerima Barang dalam Akad Jual Beli

JIKA TERDAPAT KESALAHAN/KEKELIRUAN DALAM ARTIKEL INI
DAPAT MENGHUBUNGI KAMI DENGAN CARA MENINGGALKAN PESAN... TERIMAKASIH

honan fatwa No. 1716 tahun 2005, yang berisi:
    Lembaga Pertanian Sepuluh Ramadhan di Mesir menjual kepada saya sebidang tanah pertanian seluas 20 feddan (feddan adalah ukuran luas areal non metrik yang biasa digunakan di Mesir, Syiria dan Sudan. Di Mesir ukuran 1 feddan setara dengan 4200 meter persegi) dan sebidang tanah untuk bangunan dengan luas 728 meter persegi pada tahun 1978. Lalu pada tahun 1983, saya menjualnya kepada seorang wanita dengan uang muka yang dibayar secara cash sebesar Le. 30.000 ditambah kekurangan cicilan yang dibayarkan ke lembaga tersebut. Wanita tersebut telah melunasi uang muka itu, juga telah menandatangani akad dengan dihadiri oleh suaminya. Di antara poin dalam akad tersebut adalah sang pembeli harus datang ke Lembaga Pertanian Sepuluh Ramadhan untuk menyelesaikan urusan pemindahan kepemilikan, di samping melunasi kekurangan kredit.
    Namun, saya dikejutkan dengan terus adanya surat tagihan dari lembaga pertanian tersebut yang masih menganggap saya sebagai pemilik tanah dan meminta saya untuk membayar tagihan kredit yang belum terbayar, sehingga jumlahnya mencapai Le. 12.830. Kemudian saya juga menerima peringatan dari lembaga itu jika tidak melunasinya maka akad yang telah dilangsungkan antara lembaga tersebut dengan saya dianggap batal dan pihak lembaga akan menuntut melalui jalur hukum. Akhirnya, saya terpaksa membayar tagihan kredit tersebut, karena ibu yang membeli tanah tersebut dari saya sudah tidak diketahui keberadaannya.
    Pertanyaannya adalah apakah saya berdosa jika saya menjual tanah itu untuk melunasi tagihan dari lembaga tersebut dan mengambil pengganti uang saya yang telah saya gunakan untuk membayar tagihan kredit lalu menyimpan sisanya? Ataukah saya biarkan saja tanah tersebut, sehingga ia menjadi milik lembaga itu kembali, tanpa adanya tanggung jawab moral dari saya atas hilangnya harta wanita itu?
Jawaban : Mufti Agung Prof. Dr. Ali Jum'ah Muhammad
    Di antara tujuan syariat Islam adalah menjaga harta. Oleh karena itu, Allah 'azza wajalla melarang hamba-Nya untuk menyiakan-nyiakan harta dan memakannya secara batil. Allah berfirman,
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu." (An-Nisâ`: 29).
Dan Rasulullah saw. bersabda,
لاَ يَحِلُّ مَالُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ إِلاَّ بِطِيبِ نَفْسِهِ
"Tidak halal memakan harta seorang muslim kecuali dengan kerelaannya". (HR. Daruquthni).
    Di antara kaidah syariah yang telah ditetapkan adalah tidak boleh merugikan orang lain dan tidak boleh membalas kerugian yang disebabkan orang lain. Dalam kaidah lain dinyatakan bahwa mengambil kerugian yang lebih ringan harus dilakukan untuk menolak terjadinya kerugian yang lebih besar. Di samping itu, hendaknya seorang muslim menjaga harta orang lain sebagaimana menjaga hartanya sendiri. Hal ini berdasarkan sabda Nabi saw.,
لا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
"Tidaklah seseorang dari kalian beriman hingga dia mencintai saudaranya sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri". (HR. Bukhari).
Sehingga, apabila pemeliharaan harta orang lain tergantung pada orang tertentu, maka penjagaan harta itu menjadi fardhu ain baginya, tentunya dengan mempertimbangkan batas kemampuannya. Karena Allah berfirman,

"Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya." (Al-Baqarah: 286).
    Dengan demikian, berdasarkan pertanyaan di atas, apabila anda tidak mampu menemukan wanita yang sudah membeli tanah tersebut dari anda, maka hendaknya anda membayar sisa kredit yang menjadi tanggungan wanita itu dari hasil penjualan sebagian tanah tersebut sesuai dengan kadar yang dibutuhkan. Kemudian anda menyelesaikan akad jual beli atas nama wanita itu, karena tanah tersebut memang miliknya. Hal ini dilakukan jika menjual sebagian tanah tersebut dapat melunasi seluruh biaya kekurangannya, mengingat sesuatu yang dibolehkan karena kondisi darurat adalah diukur sesuai dengan kadar yang dibutuhkan. Hal ini berdasarkan firman Allah,
"Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya." (Al-Baqarah: 173).
Dan firman-Nya,
"Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa." (Al-Mâidah: 3).
    Namun, jika tidak memungkinkan untuk menjual sebagian dari tanah tersebut dan tidak ada jalan lain untuk melunasi tagihan kreditnya kecuali dengan menjual seluruh tanah itu, maka Anda boleh menjual seluruhnya untuk melunasi tagihan kredit itu dan juga mengambil uang pengganti dari uang Anda yang telah anda gunakan untuk membayar tagihan kredit selama ini, kemudian menyimpan sisa hasil penjualan tanah tersebut lalu menyerahkannya kepada wanita itu ketika dia datang. Hendaknya Anda juga menetapkan kepemilikan tanah tersebut atas nama wanita itu.

    Anda tidak boleh mengambil kembali tanah tersebut kecuali dengan kerelaan wanita itu ketika dia muncul, karena dia telah benar-benar membelinya dan telah memilikinya. Memang, dalam hukum sipil, wanita tersebut dianggap belum melakukan prosedur penetapan kepemilikannya terhadap tanah tersebut, namun secara hukum agama dia telah memilikinya. Dan dengan adanya pengakuan dari Anda sebagai penjual bahwa wanita itu telah membeli dari Anda, maka Anda tidak perlu menganggap harga tanah itu dan keuntungan penjualannya sebagai hutang Anda kepadanya. Hal ini karena tanah itu adalah milik wanita tersebut walaupun belum lembaga itu belum mengeluarkan dokumen resmi tentang akad tersebut, karena akad-akad dalam transaksi pada dasarnya adalah berlangsung dengan ucapan, sedangkan dokumen-dokumen hanyalah bukti penguat untuk menjaga hak agar tidak hilang begitu saja.
Wallahu subhânahu wa ta'âlâ a'lam.
Sumber : Dar al Iftaa ( Lembaga Fatwa Mesir)
Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tayangan Halaman