taan fatwa No. 2626 tahun 2005, yang berisi:
Mohon fatwa mengenai nafkah untuk istri yang dicerai tanpa alasan setelah masa iddah (nafkah mut'ah),
berkaitan dengan jumlahnya, lama masa pemberiannya, syarat-syarat
pengambilannya dari suami dan cara penyerahannya. Perlu kami sampaikan
bahwa masa perkawinan dalam kasus ini adalah tiga tahun. Saya berharap
penjelasan ini dilengkapi dengan dalil syar'inya.
|
||
|
||
Dalam undang-undang perkawinan Mesir No. 25 tahun 1929 pasal 18 yang
direvisi melalui undang-undang No. 100 tahun 1985 disebutkan bahwa:
"Seorang istri yang telah digauli dalam pernikahan yang sah, jika
dicerai oleh suaminya tanpa adanya kerelaan dan sebab dari sang istri,
maka dia berhak mendapatkan nafkah mut'ah disamping nafkah selama masa
iddahnya. Kadar nafkah mut'ah ini paling sedikit disamakan dengan nafkah
selama dua tahun dan disesuaikan dengan keadaan ekonomi suami,
sebab-sebab jatuhnya cerai dan lamanya masa perkawinan. Dalam memenuhi
kewajiban mut'ah ini sang suami boleh membayarnya secara mencicil."
Berdasarkan teks undang-undang
perkawinan di atas, kadar mut'ah bagi istri yang dicerai minimal adalah
uang yang jumlahnya cukup untuk nafkah dua tahun. Istri yang berhak
menerima nafkah mut'ah ini adalah istri yang telah digauli dalam akad
nikah yang sah serta yang dicerai tanpa kerelaannya atau tidak
disebabkan oleh dirinya. Nafkah mut'ah ini tidak termasuk dalam nafkah
pada masa iddah.
Dalam penjelas undang-undang
dinyatakan: "Sebagaimana diketahui bahwa secara syarak talak adalah hak
suami, dan bahwa undang-undang yang berlaku tidak mengharuskan pemberian
mut'ah kepada istri yang dicerai setelah digauli, melainkan dia hanya
mendapatkan mahar secara penuh dan nafkah selama masa iddah. Adapun
mut'ah maka ia hanya sebatas anjuran dan pengadilan tidak berhak
menetapkannya sebagai kewajiban. Namun, pada zaman ini, rasa tanggung
jawab telah memudar dan hilang, terutama antara suami istri ketika tali
perkawinan mereka putus. Sehingga istri yang telah dicerai memerlukan
bantuan materil yang lebih banyak dari nafkah iddah untuk membantunya
dalam menghadapi pengaruh negatif dari perceraian. Nafkah mut'ah ini
dapat membantu meringankan persoalan tersebut dan dalam waktu yang sama
mencegah orang-orang untuk menjatuhkan talak dengan tergesa-gesa. Dasar
dari pensyariatan nafkah mut'ah ini adalah untuk menghibur perasaan
istri yang dicerai. Dan menghibur hatinya adalah salah satu bentuk
tanggung jawab yang dianjurkan oleh syariat. Salah satu landasan
penetapannya adalah firman Allah SWT,
"Dan hendaklah kamu berikan suatu
mut'ah (pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu menurut kemampuannya
dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian
menurut yang patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi
orang-orang yang berbuat kebajikan." (Al-Baqarah: 236).
Kewajiban memberikan mut'ah merupakan pendapat Imam Syafi'i dalam pendapatnya yang baru (al-qawl al-jadîd).
Beliau mewajibkan seorang suami memberikan mut'ah untuk istri yang
dicerai, jika telah digauli dan dicerai tanpa sebab dari istri. Ini
adalah pendapat Ahmad yang dipilih oleh Ibnu Taimiyah. Pendapat inipun
dipilih oleh ulama Zhahiriyah dan Malik dalam salah satu pendapatnya.
Berdasarkan semua pertimbangan di
atas, maka ditetapkanlah pasal 18 dari undang-undang di atas, dengan
tetap memperhatikan kaidah-kaidah yang menjadi pijakan para ulama dalam
hal ini. Dalam hal ini, hakim boleh menentukan kadar jumlah harta untuk
nafkah mut'ah. Selain itu hakim juga berwenang untuk mempertimbangan
hal-hal yang berkaitan dengan penjatuhan talak tersebut, seperti
kemungkinan adanya penggunaan hak mut'ah ini secara tidak benar dari
pihak istri, di samping hal-hal yang telah disebutkan. Kadar mut'ah itu
tidak boleh kurang dari nafkah dua tahun. Guna meringankan suami yang
menjatuhkan talak, maka teks tersebut membolehkan suami untuk membayar
mut'ah dengan mencicil." Demikian isi penjelas undang-undang tersebut.
Sebenarnya, menamakan mut'ah ini
dengan nafkah adalah suatu kesalahan umum dalam masyarakat. Yang tepat
adalah pemberian ini dinamakan mut'ah saja, karena ia tidak termasuk
dalam jenis nafkah. Dasar kewajiban memberikan mut'ah ini –selain yang
telah disebutkan dalam penjelas undang-undang di atas – adalah firman
Allah SWT,
"Kepada wanita-wanita yang diceraikan
(hendaklah diberikan oleh suaminya) mut'ah menurut yang ma'ruf, sebagai
suatu kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa." (Al-Baqarah: 241).
Kata matâ' (mut'ah) dan haqqan (kewajiban) dalam ayat di atas merupakan bentuk maf'ul mutlaq
yang berfungsi sebagai penguat. Selain itu, keumuman ayat di atas
mengisyaratkan ketidakbolehan mengkhususkan hukum yang dikandungnya
kecuali dengan suatu dalil. Keumuman ayat ini pun menunjukkan keumuman
cakupan hukumnya pada setiap istri yang dicerai, baik talak jatuh
sebelum istri digauli atapun setelahnya, dan baik maharnya telah
ditentukan ataupun belum. Sedangkan jumhur (mayoritas) ulama berpendapat
bahwa hal itu merupakan anjuran saja, karena mewajibkan mut'ah itu
membutuhkan suatu perintah yang terang (jelas).
Berdasarkan penelusuran terhadap
pendapat para ahli fikih mengenai dalâlatun nushûsh (maksud nash) yang
berkaitan dengan ayat mut'ah, didapati bahwa di satu sisi mereka berbeda
pandangan mengenai obyek penerapan ayat ini, dan di sisi lain mereka
juga berselisih mengenai hukumnya antara wajib atau sunah –dikarenakan
ke-zhanni-an dalâlatun nash tersebut--. Karena itulah,
para penguasa dibolehkan berijtihad dalam menetapkan hukumnya melalui
sebuah undang-undang yang menerangkan dasar hukum kebolehannya dan
merinci syarat-syarat wanita yang berhak mendapatkannya, sehingga
undang-undang tersebut dapat dilaksanakan secara terpadu.
Adapun syarat-syarat untuk memperoleh mut'ah ini adalah:
Pertama: Hendaknya wanita yang dicerai tersebut telah digauli oleh suaminya dalam akad nikah yang sah.
Kedua: Hendaknya talak itu tidak dijatuhkan berdasarkan kerelaan istri atau karena sebab dari dirinya.
Kedua syarat ini masuk dalam kerangka umum syariah Islam dan tidak bertentangan dengan tujuan-tujuan mulianya.
Dari penjelasan di atas, dapat
diketahui bahwa masa nafkah mut'ah adalah tidak kurang dari nafkah dua
tahun dan tanpa ada batas maksimal. Di samping itu, juga harus
diperhatikan keadaan-keadaan yang mempengaruhi terjadinya talak
tersebut, lama masa perkawinan dan keadaan ekonomi suami yang
menjatuhkan talak. Nafkah mut'ah inipun boleh dibayar secara mencicil
dengan pengetahuan hakim. Penyerahan nafkah mut'ah ini juga harus
sepengetahuan hakim.
Semua hal di atas berlaku jika
permasalahan cerai tersebut diangkat ke pengadilan. Tapi jika kedua
belah pihak telah sepakat dalam masalah ini, maka kesepakatan tersebut
menjadi pedoman dan rujukan bagi kedua belah pihak. Dalam masalah mut'ah
ini, ketentuan yang berkembang dalam masayarakat kita (bangsa Mesir)
menuntut seorang suami harus membayar seperempat gajinya kepada istrinya
selama jangka waktu yang disepakati bersama.
Wallahu subhânahu wa ta'âlâ a'lam.
|
Home »
FATWA HUKUM ISLAM
» Nafkah untuk Istri Yang Dicerai Tanpa Alasan Setelah Masa Iddah (Nafkah Mut'ah)
Nafkah untuk Istri Yang Dicerai Tanpa Alasan Setelah Masa Iddah (Nafkah Mut'ah)
JIKA TERDAPAT KESALAHAN/KEKELIRUAN DALAM ARTIKEL INI
DAPAT MENGHUBUNGI KAMI DENGAN CARA MENINGGALKAN PESAN... TERIMAKASIH
DAPAT MENGHUBUNGI KAMI DENGAN CARA MENINGGALKAN PESAN... TERIMAKASIH
Tidak ada komentar:
Posting Komentar