honan fatwa nomor 218 tahun 2004 yang berisi:
Apakah orang yang melaksanakan haji Tamattu' boleh mendahulukan sa'i sebelum melakukan tawaf Qudum?
|
||
|
||
Salah satu syarat melaksanakan sai adalah dilakukan setelah tawaf yang
sah, meskipun tawaf tersebut merupakan tawaf sunnah menurut para ulama
Hanafiyah. Para ulama Malikiyah juga menyatakan hal ini, dan mereka
menyebutnya sebagai tartib untuk sai. Hanya saja para ulama Malikiyah
membedakan antara syarat dan kewajiban haji berkaitan dengan pelaksanaan
tawaf sebelum sai ini. Mereka berpendapat bahwa agar sai menjadi sah
maka harus dilakukan setelah tawaf. Tapi tawaf tersebut haruslah tawaf
fardu (atau wajib) dan meniatkannya atau meyakini kefarduannya. Tawaf
Qudum hukumnya adalah wajib menurut mereka, sehingga dibolehkan
mendahulukan sai daripada wukuf jika sai tersebut dilakukan setelah
tawaf Qudum.
Jika seseorang melakukan sai setelah
tawaf sunah, maka menurut ulama Hanafiyah, ia tidak mempunyai tanggungan
apapun karenanya. Sedangkan para ulama Malikiyah berpendapat bahwa jika
tawaf tersebut sunah atau orang itu meniatkannya sebagai tawaf sunnah,
atau sebagai tawaf mutlak tanpa meniatkannya sebagai apapun, atau ia
berkeyakinan bahwa tawaf tersebut tidak wajib karena ketidaktahuannya,
maka dalam semua keadaan tersebut ia wajib mengulangi tawafnya dan
meniatkannya sebagai tawaf fardu atau tawaf wajib itu (jika tawaf itu
wajib) lalu mengulangi sainya lagi selama ia masih berada di Mekah.
Namun jika ia telah kembali ke negaranya maka ia wajib membayar dam.
Dalam mazhab Syafi'i dan Hambali
dinyatakan bahwa sai harus dilaksanakan setelah tawaf rukun (tawaf
Ifadhah) atau tawaf Qudum. Tidak apa-apa jika terdapat perbuatan yang
memisahkan antara tawaf dan sai tersebut, kecuali jika yang memisahkan
adalah wukuf di Arafah. Jika tawaf dan sai dipisahkan oleh wukuf, maka
sai tidak boleh dilakukan kecuali setelah tawaf Ifadhah.
Dalil mereka adalah perbuatan Rasulullah saw. yang melakukan sai setelah tawaf. Dan beliau bersabda,
خُذُوْا عَنِّي مَنَاسِكَكُمْ
"Ambilah manasik haji kalian dariku." (HR. Muslim).
Sedangkan Atha', Dawud azh-Zhahiri
dan beberapa ulama hadis berpendapat bahwa sai tidak harus dilaksanakan
setelah tawaf. Imam Ahmad dalam salah satu riwayat menyatakan bahwa jika
seseorang melakukan sai sebelum tawaf karena lupa, maka sainya tersebut
adalah sah. Mereka berargumen dengan hadis yang diriwayatkan oleh Abu
Dawud dengan sanda shahih dari Usamah bin Syarik r.a., ia berkata, "Saya
pergi melaksanakan haji bersama Rasulullah saw.. Lalu ada di antara
mereka yang berkata kepada Rasulullah saw., "Wahai Rasulullah, saya
telah melaksanakan sai sebelum melakukan tawaf", atau ada juga yang
mengatakan, "Saya mendahulukan suatu perbuatan", atau "Saya telah
mengakhirkan suatu perbuatan." Untuk setiap pertanyaan itu beliau
menjawab,
لاَ حَرَجَ لاَ حَرَجَ إِلاَّ عَلَى رَجُلٍ اقْتَرَضَ عِرْضَ رَجُلٍ مُسْلِمٍ وَهُوَ ظَالِمٌ فَذَلِكَ الَّذِيْ حَرِجَ وَهَلَكَ
"Tidak apa-apa. Tidak apa-apa. Kecuali seseorang yang melecehkan kehormatan seorang muslim secara zalim, maka orang itulah yang berdosa dan celaka."
Jumhur ulama mengartikan hadis ini
bahwa maksud kalimat "saya melaksanakan sai sebelum melakukan tawaf",
sebagai tawaf Qudum dan sebelum tawaf Ifadah.
Dengan demikian, dibolehkan bagi
jamaah haji yang melaksanakan haji Tamattu' untuk mendahulukan sai
setelah tawaf Qudum. Bahkan jika ia melakukan sai sebelum melaksanakan
tawaf lalu pulang ke negaranya maka kami memandang bahwa sainya sah,
insyaallah. Hal ini didasarkan pada makna eksplisit hadis riwayat Abu
Dawud di atas dan berdasarkan keringanan (rukhshah) yang diberikan oleh sebagian ulama.
Wallahu subhânahu wa ta'âlâ a'lam.
|
Home »
FATWA HUKUM ISLAM
» Mendahulukan Sai Sebelum Tawaf Qudum bagi Orang yang Melaksanakan Haji Tamattu'
Mendahulukan Sai Sebelum Tawaf Qudum bagi Orang yang Melaksanakan Haji Tamattu'
JIKA TERDAPAT KESALAHAN/KEKELIRUAN DALAM ARTIKEL INI
DAPAT MENGHUBUNGI KAMI DENGAN CARA MENINGGALKAN PESAN... TERIMAKASIH
DAPAT MENGHUBUNGI KAMI DENGAN CARA MENINGGALKAN PESAN... TERIMAKASIH
Tidak ada komentar:
Posting Komentar