ntaan fatwa No. 2783 tahun 2005 yang berisi:
Suami saya menjatuhkan talak (cerai)
yang ketiga. Namun, seseorang memberitahu saya bahwa talak tersebut
tidak sah, karena ketika itu saya sedang dalam keadaan haid. Karena
talak tersebut, saya mengalami tekanan batin yang berat. Apakah benar
pendapat orang tersebut?
|
||
|
||
Yang ditetapkan dalam ilmu fikih, talak sharîh (talak dengan kata-kata khusus untuk mentalak, Penj.)
yang dijatuhkan kepada istri dianggap sah hanya dengan keluarnya
kata-kata tersebut dari suami. Hukum ini berlaku umum, baik ketika sang
istri dalam kondisi suci ataupun dalam kondisi haid, selama talak itu
dijatuhkan oleh orang yang berhak melakukannya. Karena terjadinya talak
merupakan bentuk pemutusan hubungan dan pengguguran hak, sehingga tidak
dibatasi oleh waktu tertentu. Ayat-ayat yang berbicara mengenai talak
bersifat umum dan tidak dibatasi oleh syarat-syarat tertentu. Di samping
itu, tidak terdapat pula nash-nash agama yang membatasi makna ayat-ayat
tersebut, sehingga talak dalam keadaan haid itu harus dianggap sah.
Adapun dalil yang menunjukkan
larangan menjatuhkan talak ketika dalam kondisi haid, maka hal itu
dipengaruhi oleh faktor eksternal, yaitu karena talak tersebut
mengakibatkan istri menjadi sengsara disebabkan lamanya masa iddah. Dan
dalam kondisi ini, sang suami dianggap telah berbuat maksiat (berdosa).
Hal itu berdasarkan sabda Nabi saw. kepada Ibnu Umar r.a. yang
menjatuhkan talak atas istrinya yang sedang haid. Ibnu Umar berkata,
"Wahai Rasulullah, bagaimana jika saya mentalaknya dengan tiga talak
sekaligus?" Beliau menjawab, "Jika demikian, maka kamu telah durhaka
kepada Tuhanmu dan istrimu telah terpisah darimu."
Dengan demikian, perkataan seorang
suami pada istrinya, "Kamu saya talak," ketika istrinya dalam kondisi
haid adalah talak yang sah. Sehingga, dalam kasus yang ditanyakan, talak
tersebut merupakan talak yang ketiga jika dilihat dari dua talak
sebelumnya yang telah terjadi. Dengan talak ini, sang istri telah
terpisah dari suaminya secara penuh (bainûnah kubrâ). Istrinya tersebut
tidak lagi halal baginya, sampai dia dinikahi oleh laki-laki lain dengan
pernikahan yang benar dan digauli secara hakiki (menggauli secara tidak
hakiki adalah dengan berkhalwat/berdua-duaan saja tanpa berhubungan
badan, Penj.). Kemudian dia dicerai kembali oleh suaminya itu
atau suaminya itu meninggal dunia, dan masa iddahnya selesai. Saat
itulah, suaminya yang pertama boleh menikahinya kembali dengan akad dan
mahar baru serta dengan persetujuan dan kerelaan dari mantan istrinya
tersebut.
Wallahu subhânahu wa ta'âlâ a'lam.
|
Home »
FATWA HUKUM ISLAM
» Mencerai Istri di Masa Haid
Mencerai Istri di Masa Haid
JIKA TERDAPAT KESALAHAN/KEKELIRUAN DALAM ARTIKEL INI
DAPAT MENGHUBUNGI KAMI DENGAN CARA MENINGGALKAN PESAN... TERIMAKASIH
DAPAT MENGHUBUNGI KAMI DENGAN CARA MENINGGALKAN PESAN... TERIMAKASIH
Tidak ada komentar:
Posting Komentar