Kafarat Puasa untuk Orang yang telah Meninggal

JIKA TERDAPAT KESALAHAN/KEKELIRUAN DALAM ARTIKEL INI
DAPAT MENGHUBUNGI KAMI DENGAN CARA MENINGGALKAN PESAN... TERIMAKASIH

honan fatwa No. 1204 tahun 2007 yang berisi:
    Ketika masih hidup, ibu saya tidak mengqadha puasa Ramadhan yang dia tinggalkan karena dia selalu haid selama hidupnya. Hal ini diketahui oleh semua anaknya. Ibu kami juga meninggalkan harta, maka apakah kami membayar kafarat puasanya dengan harta tersebut?
    Apakah bacaan satu kali surat al-Fâtihah atau surat-surat lainnya hanya bisa dihadiahkan untuk satu orang yang telah meninggal, ataukah boleh untuk beberapa orang sekaligus?
Jawaban : Mufti Agung Prof. Dr. Ali Jum'ah Muhammad
    Jika seseorang mempunyai uzur sehingga ia tidak dapat berpuasa sampai ia meninggal, maka para ulama telah sepakat bahwa tidak perlu menggantikan puasanya atau membayar fidyah untuknya, karena tidak ada unsur kesengajaan di dalamnya. Orang itu pun tidak berdosa, karena puasa itu dianggap sebagai kewajiban yang tidak dapat dia lakukan sampai meninggal dunia, sehingga hukum kewajibannya pun menjadi gugur, seperti ibadah haji.
    Adapun jika uzur itu hilang sebelum dia meninggal dan ia mampu untuk mengqadha puasanya, tapi ia tidak sempat melakukannya hingga meninggal, maka terdapat dua pendapat dalam hal ini. Jumhur ulama dari kalangan Hanafiyah, Malikiyah, Syafi'i dalam al-qawl al-jadîd (pendapat yang baru) dan pendapat yang dipegangi dalam mazhab Hambali, berpandangan bahwa tidak perlu mengganti puasanya setelah ia meninggal, tapi cukup memberi makanan sejumlah satu mud ¬(+ 510 gram) untuk satu hari puasa yang ditinggalkan. Karena, puasa tidak dapat diwakilkan ketika seseorang masih hidup, maka begitu juga setelah meninggal, seperti salat.
    Sedangkan para ulama hadis dan beberapa ulama salaf, seperti Thawus, Hasan al-Bashri, Zuhri, Qatadah, Abu Tsaur, Imam Syafi'i dalam al-qawl al-qadîm (pendapat yang lama), berpendapat bahwa wali orang yang meninggal boleh berpuasa untuknya. Inilah pendapat yang dipegangi dalam mazhab Syafi'i serta dipilih oleh Imam Nawawi dan pendapat Abu Khattab dari kalangan Hambali. Menurut para ulama Syafi'iyah, puasa ini dapat menggantikan kewajiban memberi makan dan menggugurkan kewajiban orang yang meninggal itu. Wali orang yang meninggal tersebut tidak wajib untuk mengganti puasa itu, tapi melakukannya lebih baik daripada memberi makan. Hal ini sesuai dengan hadis Aisyah r.a. yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, bahwa Rasulullah saw. bersabda,
مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ
"Barang siapa yang meninggal dan mempunyai kewajiban berpuasa, maka hendaknya walinya berpuasa untuk dirinya."
    Diriwayatkan pula oleh Ibnu Abbas r.a., ia berkata, "Seorang laki-laki mendatangi Rasulullah saw. dan berkata, "Wahai Rasulullah, ibuku meninggal dan ia mempunyai kewajiban puasa Ramadan, apakah saya wajib mengganti puasanya?" Beliau lalu balik bertanya, "Jika ibumu mempunyai hutang, apakah kamu akan membayarnya?" Orang itu menjawab, "Ya." Maka beliau pun bersabda,
فَدَيْنُ اللهِ أَحَقُّ أَنْ يُقْضَى
"Maka hutang Allah lebih utama untuk dipenuhi." (HR. Bukhari dan Muslim).
    Imam Ahmad, Laits, Ishaq dan Abu Ubaid berpendapat tidak perlu mengganti puasa orang yang telah meninggal kecuali puasa nazar. Keumuman hadis Aisyah diartikan dengan makna khusus yang disebutkan dalam hadis Ibnu Abbas yang dalam beberapa riwayat lainnya dinyatakan bahwa puasa yang dimaksud dalam hadis itu adalah puasa nazar.
    Dan yang dimaksud dengan wali orang yang telah meninggal adalah anggota keluarganya. Orang lain yang bukan anggota keluarganya juga boleh berpuasa untuk orang yang meninggal dengan izin terlebih dahulu dari wali orang yang meninggal tersebut.
    Dalam Syarh Muslim, Imam Nawawi berkata, "Pendapat ini –pendapat yang menyatakan boleh mengganti puasa wajib untuk mayit— adalah pendapat yang benar, yang kami pilih dan kami yakini. Dan itulah yang dikuatkan oleh para ulama muhaqqiqîn mazhab kami yang menguasai hadis dan fikih berdasarkan hadis-hadis yang shahih yang secara jelas memaparkan masalah ini. Adapun hadis yang mengatakan, "Barang siapa yang meninggal dan mempunyai kewajiban berpuasa, maka [dibayarkan fidyah untuknya dengan] memberi makan atas namanya", maka hadis ini tidak kuat. Jika hadis ini dianggap kuat maka dapat disinkronkan dengan hadis-hadis yang shahih itu dengan mengartikan bolehnya melakuan kedua hal tersebut. Para ulama yang memperbolehkan berpuasa untuk mayit, juga memperbolehkan memberi makanan sebagai penggantinya. Sehingga, pendapat yang tepat adalah membolehkan puasa dan memberi makanan. Wali mayit dipersilahkan untuk memilih di antara keduanya. Yang dimaksud dengan wali di sini adalah para kerabat, baik dari para ahli waris, ashabah ataupun yang lain. Ada juga yang mengatakan bahwa maksud wali ini adalah ahli waris saja. Yang lain mengatakan para ashabah saja. Yang benar adalah pendapat pertama. Jika ada orang asing yang berpuasa untuknya maka puasanya sah jika ia telah diizinkan oleh wali tersebut, jika tidak maka puasanya tidak sah. Seorang wali tidak wajib berpuasa untuk mayit tersebut, namun hanya dianjurkan."
     Berdasarkan penjelasan dan pertanyaan di atas, maka kalian boleh memilih antara berpuasa untuk ibu kalian atau memberi makan kepada satu orang miskin untuk setiap hari Ramadhan yang ibu kalian tinggalkan dan tidak dia qadha. Adapun kadar kafarat tersebut, menurut para ulama dalam Mazhab Syafi'i adalah satu mud untuk setiap harinya, atau sekitar setengah kilo gram gandum, kurma atau bahan makanan pokok daerah setempat. Dengan demikian kalian bisa menghitung jumlah hari Ramadhan yang di dalamnya ibu kalian tidak berpuasa dan membaginya kepada masing-masing kalian, baik akan diganti dengan puasa atau dengan memberi bahan makan pokok. Tidak apa-apa membayar fidyah tersebut dalam bentuk nilai dari bahan makanan pokok tersebut.

     Adapun membaca al-Fâtihah dan menghadiahkan pahalanya untuk orang yang telah meninggal dunia, maka tidak apa-apa membaca satu kali Fâtihah untuk satu orang yang meninggal dunia atau untuk beberapa orang. Semua itu insyaallah dibolehkan.
Wallahu subhânahu wa ta'âlâ a'lam.
Sumber : Dar al Iftaa ( Lembaga Fatwa Mesir)
Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tayangan Halaman