ntaan fatwa No. 1113 tahun 2006, yang berisi:
Pada tanggal 20 Maret 2006,
bertepatan dengan tanggal 20 Shafar 1427H, koran ar-Ra`yu memuat sebuah
wawancara dengan salah seorang Syaikh kami di Kuwait. Beliau pernah
menjabat sebagai dekan Fakultas Syari'ah di Universitas Kuwait. Dalam
wawancara tersebut beliau menjawab salah satu pertanyaan seputar
kemusyrikan. Beliau berkata, "Adapun berjalan mengelilingi kuburan maka
itu tidak dianjurkan menurut seluruh ulama, termasuk orang-orang sufi
sendiri. Namun mereka berbeda pendapat tentang hukumnya; apakah haram
atau makruh. Tidak seorang pun yang mengatakan bahwa hal itu adalah
kemusyrikan, kecuali beberapa orang yang jumlahnya sedikit dari
orang-orang yang dianggap berilmu."
Kata-kata beliau itu menimbulkan
reaksi keras seperti yang dituangkan dalam berbagai artikel yang ditulis
oleh sejumlah dosen ilmu syariah dan yang lainnya. Artikel-artikel
tersebut menyalahkan perkataan guru kami itu dan mencela beliau, bahkan
ada yang menuduh beliau secara tidak langsung dengan tuduhan mengajak
masyarakat untuk berbuat kemusyrikan.
Karena di hati kami Anda mempunyai
posisi yang tinggi dan perkataan Anda kami hormati, maka kami mohon
penjelasan hukum Allah dalam masalah ini, semoga penjelasan Anda
menghentikan keributan ini yang mengakibatkan efek tidak baik.
|
||
|
||
Ketika
berbicara dalam masalah ini dan sejenisnya, hendaknya terlebih dahulu
kita membicarakan tiga pokok permasalahan yang harus diperhatikan:
1. Pada dasarnya
perbuatan yang dilakukan orang muslim hendaknya dipahami sebagai sesuatu
yang tidak bertentangan dengan dasar tauhid. Kita tidak boleh
terburu-buru memvonisnya telah melakukan kekafiran atau kemusyrikan.
Karena keislamannya merupakan indikasi kuat yang mengharuskan kita tidak
memahami semua perbuatannya sebagai perbuatan yang mengakibatkan
kekafiran. Ini merupakan kaedah umum yang harus diterapkan oleh kaum
muslimin dalam setiap perbuatan yang dilakukan oleh kaum muslimin yang
lain.
Imam Malik, Imam Darul Hijrah rahimahullah
telah menyatakan hal itu dengan kata-kata beliau, "Barang siapa
melakukan sesuatu yang sembilan puluh sembilan persennya mengandung
kemungkinan sebagai kekafiran dan satu persennya sebagai keimanan, maka
tindakan itu harus dipahami sebagai keimanan."
Marilah kita contohkan
dalam perkatan dan perbuatan. Seorang muslim meyakini bahwa Nabi Isa
al-Masih a.s. dapat menghidupkan kembali orang yang telah mati, namun
dengan izin Allah. Nabi Isa a.s. tidak mampu melakukan hal itu sendiri
melainkan dengan kekuatan dan kekuasaan Allah. Sedangkan orang Nasrani
meyakini bahwa Nabi Isa a.s. mampu menghidupkan orang mati dengan
kekuatannya sendiri. Mereka berkeyakinan bahwa dialah Tuhan, putra
Tuhan, atau salah satu oknum Tuhan. Berdasarkan hal ini, jika kita
mendengar seorang muslim yang mengesakan Allah dan seorang beragama
Kristen keduanya berkata, "Saya yakin bahwa Isa al-Masih a.s. dapat
menghidupkan orang yang telah mati", maka hendaknya kita tidak menyangka
bahwa orang muslim itu telah menjadi Kristen karena kata-kata ini,
namun kita memahaminya dengan makna yang layak dengan statusnya sebagai
seorang muslim yang mengesakan Allah.
Seorang muslim juga
meyakini bahwa ibadah tidak boleh dipersembahkan kecuali untuk Allah
semata. Sedangkan orang musyrik berkeyakinan bahwa ibadah boleh
dipersembahkan kepada selain Allah. Oleh karena itu, jika kita melihat
seorang muslim melakukan suatu perbuatan yang ditujukan untuk selain
Allah tapi mempunyai kemungkinan sebagai suatu ibadah dan kemungkinan
yang lain, maka kita harus memahami perbuatannya itu sesuai dengan
akidahnya sebagai seorang muslim. Karena barang siapa yang benar-benar
telah menyatakan keislamannya dengan penuh keyakinan, maka keislamannya
itu tidak dapat hilang hanya dengan keraguan dan
kemungkinan-kemungkinan.
Oleh karena itu,
ketika Mu'adz bin Jabal r.a. bersujud kepada Nabi saw. –sebagaimana
diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan dishahihkan oleh Ibnu Hiban--, maka
beliau pun melarangnya. Namun beliau tidak menyebut perbuatan Muadz itu
sebagai sebuah kemusyrikan atau kekafiran. Mu'adz bin Jabal r.a.
–seorang sahabat yang paling tahu tentang halal dan haram— tentu bukan
tidak mengetahui bahwa sujud adalah ibadah, dan ibadah tidak boleh
dipersembahkan kepada selain Allah. Akan tetapi, ketika sujud mengandung
kemungkinan lain selain penyembahan kepada sesuatu yang disujudi, maka
tindakan itu tidak boleh dipahami sebagai sebuah penyembahan jika
dilakukan oleh seorang muslim, atau juga tidak boleh langsung
mengafirkannya.
Al-Hafzih adz-Dzahabi
berkata, "Tidakkah engkau melihat bahwa para sahabat karena kecintaan
mereka yang sangat mendalam kepada Nabi saw. maka mereka berkata,
"Apakah kami boleh bersujud kepadamu?" Beliau menjawab, "Jangan."
Seandainya beliau mengizinkan mereka untuk bersujud niscaya mereka
bersujud kepada beliau sebagai bentuk pemuliaan dan penghormatan, bukan
sujud ibadah. Hal ini sebagaimana sujudnya saudara-saudara Nabi Yusuf
a.s. kepadanya. Demikian juga tentang sujud seorang muslim ke kuburan
Nabi saw. untuk memuliakan dan mengagungkan beliau tidaklah membuatnya
kafir, melainkan dia hanya berbuat dosa (maksiat). Orang itu harus
diberitahu bahwa perbuatannya tersebut dilarang. Demikian juga salat ke
arah kuburan. (Dari Mu'jam asy-Syuyûkh, hlm. 56).
Menyalahi kaidah dasar
ini merupakan tipikal orang-orang Khawarij. Hal ini sebagaimana
dijelaskan oleh Ibnu Umar r.a. bahwa inilah sebab kesesatan mereka. Ibnu
Umar r.a. berkata, "Sesungguhnya mereka mengambil ayat-ayat yang turun
untuk orang-orang kafir, lalu menerapkannya untuk orang-orang mukmin."
Riwayat ini disebutkan oleh Bukhari secara mu'allaq di dalam Shahîh-nya. Dan ia disebutkan dengan sanad bersambung dan shahih oleh Ibnu Jarir ath-Thabari di dalam kitab Tahdzîb al-Âtsâr.
2. Terdapat perbedaan
besar antara menjadikan sesuatu sebagai wasilah dan kemusyrikan.
Mengambil wasilah diperintahkan secara syarak. Hal ini sebagaimana
disebutkan dalam firman Allah,
"Hai orang-orang
yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang
mendekatkan (wasilah) kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya
kamu mendapat keberuntungan." (Al-Mâidah [5]: 35).
Allah SWT juga memuji orang yang bertawassul (mencari jalan) kepada-Nya di dalam doa mereka. Allah berfirman,
"Orang-orang yang
mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka, siapa
di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan
rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya; seungguhnya azab Tuhanmu adalah
sesuatu yang (harus) ditakuti." (Al-Isrâ` [17]: 57).
Al-Wasîlah secara
bahasa artinya al-manzilah (kedudukan), al-washlah (penyambung) dan
al-qurbah (kedekatan). Makna penyatunya adalah pendekatan diri kepada
Allah dengan semua hal yang disyariatkan-Nya. Termasuk di dalamnya
adalah pengagungan terhadap semua yang diagungkan oleh Allah, baik
berupa tempat, waktu, sosok manusia dan keadaan. Oleh karena itu,
seorang muslim, misalnya, senantiasa berusaha untuk menunaikan salat di
Masjidil Haram serta berdoa di makam Nabi saw. dan Multazam sebagai
komitmennya untuk senantiasa memuliakan tempat-tempat yang dimuliakan
Allah. Orang muslim juga berusaha untuk melakukan salat malam pada malam
Lailatul Qadar serta berdoa di waktu-waktu mustajab pada hari Jumat dan
pada sepertiga malam terakhir, sebagai pemuliaannya terhadap
waktu-waktu yang dimuliakan Allah. Seorang muslim juga mendekatkan diri
kepada Allah dengan mencintai para nabi dan orang-orang saleh sebagai
pemuliaannya terhadap orang-orang yang dimuliakan Allah. Seorang muslim
pun berusaha untuk senantiasa berdoa ketika dalam perjalanan, ketika
hujan turun dan sebagainya sebagai pemuliaannya terhadap kondisi yang
dimuliakan Allah. Semua itu masuk dalam firman Allah,
"Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syi'ar-syi'ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati." (Al-Hajj [22]: 32).
Sedangkan tindakan
kemusyrikan adalah mempersembahkan ibadah kepada selain Allah dengan
cara yang tidak sepatutnya dilakukan kecuali untuk Allah. Bahkan
walaupun hal itu bertujuan mendekatkan diri kepada Allah. Hal ini
sebagaimana difirmankan oleh Allah,
"Dan orang-orang
yang mengambil pelindung selain Alah (berkata), "Kami tidak menyembah
mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengang
sedekat-dekatnya." (Az-Zumar [39]: 3).
Kalimat "dengan cara
yang tidak sepatutnya dilakukan kecuali untuk Allah", adalah untuk
mengeluarkan semua tindakan yang bertentangan dengan ibadah walaupun
dinamakan ibadah dan walaupun secara zahirnya sesuai dengan nama ibadah.
Karena ad-du'â` (berdoa) terkadang merupakan suatu ibadah yang
ditujukan kepada penerima doa (al-mad'û). Allah berfirman,
"Yang mereka sembah
(seru) selain Allah itu tidak lain hanyalah berhala, dan (dengan
menyembah berhala itu) mereka tidak lain hanyalah menyembah syaitan yang
durhaka." (An-Nisâ` [4]: 117).
Terkadang ad-du'â` bukan merupakan ibadah,
"Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul di antara kamu seperti panggilan sebahagian kamu kepada sebahagian (yang lain)." (An-Nûr [24]: 63).
As-su`âl (permohonan/permintaan) juga terkadang merupakan ibadah untuk pihak yang diminta,
"Dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya." (An-Nisâ` [4]: 32).
Namun terkadang as-su`âl juga bukan merupakan ibadah,
"Bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta)." (Al-Ma'ârij [70]: 25).
Al-Isti'ânah (meminta pertolongan) terkadang merupakan ibadah untuk pihak yang diminta pertolongannya,
"Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan." (Al-Fâtihah [1]: 5).
Allah juga berfirman,
"Musa berkata kepada kaumnya, "Mohonlah pertolongan kepada Allah dan bersabarlah." (Al-A'râf [7]: 128).
Terkadang juga meminta pertolongan bukan merupakan ibadah,
"Dan mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan salat." (Al-Baqarah [2]: 45).
Kecintaan juga
terkadang merupakan ibadah untuk yang dicintai dan terkadang bukan
merupakan ibadah. Nabi saw. pernah menggabungkan antara kedua makna itu
di dalam sabda beliau,
أَحِبُّوا اللهَ لِماَ يُغْدُوْكُمْ مِنْ نِعَمِهِ، وَأَحِبُّوْنِيْ بِحُبِّ اللهِ، وَأَحِبُّوْا أَهْلَ بَيْتِيْ بِحُبِّيْ
"Cintailah Allah karena berbagai kenikmatan yang Dia limpahkan untuk kalian. Cintailah aku karena kecintaan kepada Allah. Dan cintailah Ahlu Baitku karena kecintaah kepadaku." (HR. Tirmidzi dan dishahihkan oleh Hakim).
Jadi kemusyrikan
hanyalah terjadi pada pengagungan terhadap sesuatu sebagaimana
pengagungan terhadap Allah ta'ala. Hal ini sebagaimana firman Allah,
"Karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui." (Al-Baqarah [2]: 22).
Juga seperti firman Allah,
"Dan di antara
manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah;
mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun
orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah." (Al-Baqarah [2]: 165).
Dengan ini menjadi
jelas perbedaan antara menjadikan sesuatu sebagai wasilah dan
kemusyrikan. Karena dalam menjadikan sesuatu sebagai wasilah, kita
mengagungkan apa yang diagungkan oleh Allah, yang berarti merupakan
pengagungan karena Allah. Dan pengagungan terhadap sesuatu karena Allah
adalah pengangungan kepada Allah sendiri. Hal ini sesuai dengan firman
Allah,
"Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syi'ar-syi'ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati." (Al-Hajj [22]: 32).
Adapun kemusyrikan, ia
merupakan pengagungan terhadap sesuatu sebanding dengan pegagungan
terhadap Allah atau pengagungan kepada selain Allah. Oleh karena itulah
sujud para malaikat kepada Adam a.s. merupakan bentuk keimanan kepada
Allah dan pengesaan kepada-Nya. Sedangkan sujud orang-orang musyrik
kepada berhala adalah bentuk kekafiran dan kemusyrikan, padahal kedua
obyek sujud tersebut adalah sama-sama makhluk. Akan tetapi ketika sujud
para malaikat kepada Adam a.s. merupakan pengagungan kepada apa yang
diagungkan oleh Allah sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah, maka
itu merupakan wasilah yang dibolehkan dan pelakunya berhak mendapatkan
pahala. Sedangkan karena sujud orang-orang musyrik kepada berhala
merupakan pengagungan kepada makhluk seperti pengagungan kepada Allah,
maka itu adalah kemusyrikan yang tercela yang pelakunya pantas
mendapatkan siksa.
Berdasarkan perbedaan
mendasar antara menjadikan sesuatu sebagai wasilah dengan kemusyrikan
ini, para ulama menyatakan kebolehan untuk bersumpah dengan sesuatu yang
diagungkan dalam syariat, seperti Nabi saw., agama Islam dan Ka'bah. Di
antara ulama yang membolehkan adalah Imam Ahmad rahimahullah dalam
salah satu pendapatnya. Beliau membolehkan bersumpah dengan Nabi saw.,
dengan alasan bahwa Nabi saw. merupakan salah satu dari dua rukun
syahadat. Syahadat sendiri tidak akan sempurna kecuali dengannya. Di
samping itu, di dalam sumpah dengan Nabi saw. juga tidak terdapat unsur
penyamaan diri Nabi saw. dengan Allah, akan tetapi pengagungan terhadap
beliau adalah karena pengagungan kepada Allah. Sedangkan jumhur ulama
berpendapat dilarangnya bersumpah dengan Nabi saw. berdasarkan makna
eksplisit dari keumuman larangan untuk bersumpah dengan selain Allah.
Dalam penjelasan
alasan dan tarjih pendapat yang pertama –yang membolehkan bersumpah
dengan Nabi saw.--, Ibnul Mundzir rahimahullah berkata, "Para ulama
berbeda pendapat tentang makna larangan bersumpah dengan selain Allah.
Satu kelompok berpendapat larangan itu khusus untuk sumpah-sumpah yang
digunakan oleh orang-orang jahiliyah untuk mengagungkan selain Allah
ta'ala, seperti al-Lata dan Uzza serta para leluhur. Orang yang
bersumpah dengan hal-hal tersebut mendapatkan dosa dan tidak ada kafarah
untuk menebusnya. Adapun sumpah dengan sesuatu yang berujung pada
pengagungan terhadap Allah, seperti sumpah orang-orang yang berkata,
"Demi hak Nabi", "Demi Islam", "Demi ibadah haji", "Demi Umrah", "Demi
ibadah kurban", "Demi sedekah", "Demi pembebasan budak", dan sejenisnya
yang dimaksudkan untuk mengagungkan Allah dan mendekatkan diri
kepadanya, maka semua itu tidak masuk ke dalam larangan tersebut. Di
antara ulama yang berpendapat demikian adalah Abu Ubaid dan sejumlah
ulama yang kami temui. Mereka berhujjah dengan riwayat dari para sahabat
yang mewajibkan orang yang bersumpah dengan pembebasan budak, kurban
dan sedekah untuk melakukan apa yang dia sumpahi, padahal mereka
mengetahui adanya larangan tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa menurut
mereka larangan tersebut tidak bersifat umum. Karena sendainya larangan
itu bersifat umum, tentu para sahabat melarang penggunaan sumpah
tersebut dan tidak mengharuskan orang yang bersumpah untuk melaksanakan
sumpah mereka." Demikian paparan Ibnu al-Mundzir sebagaimana diinukil
oleh al-Hâfidz Ibnu Hajar dalam Fath al-Bârî.
Jika setelah itu
terjadi perbedaan pendapat tentang beberapa bentuk wasilah, seperti
tawassul dengan orang-orang saleh dan berdoa di kubur mereka, atau
terjadi kesalahan dari sebagian kaum muslimin dalam bertawassul dengan
melakukan hal-hal yang tidak disyariatkan, seperti sujud ke kuburan atau
berkeliling mengitarinya, maka kita tidak boleh memindahkan kesalahan
ini atau perbedaan pendapat tersebut dari lingkup permasalahan wasilah
ke dalam lingkup kemusyrikan dan kekafiran. Jika kita melakukan hal ini,
maka kita telah mencampuradukkan antar berbagai perkara dan menjadikan
pengagungan terhadap makhluk karena Allah (at-ta'zhîm billâh) seperti
pengagungan kepada makhluk yang disejajarkan dengan pengagungan kepada
Allah (at-ta'zhîm ma'al-Lâh). Padahal Allah telah berfirman,
"Maka apakah patut
Kami menjadikan orang-orang Islam itu sama dengan orang-orang yang
berdosa (orang-orang kafir)? Mengapa kamu (berbuat demikian), bagaimana
kamu mengambil keputusan?" (Al-Qalam [68]: 35-36).
3. Terdapat perbedaan
antara meyakini sesuatu sebagai sebab dan antara meyakininya sebagai
pencipta dan mempunyai pengaruh dengan sendirinya. Ini sama persis
dengan apa yang kami contohkan dalam poin pertama, yaitu tentang
keyakinan orang muslim bahwa Isa al-Masih a.s. merupakan sebab dari
hidupnya kembali orang yang telah mati dengan seizin Allah, berhadapan
dengan keyakinan orang Kristen bahwa Isa a.s. melakukan hal itu dengan
kemampuannya sendiri. Jika kita melihat seorang muslim memohon kepada
selain Allah, meminta pertolongannya, mengharapkan manfaat darinya atau
memohon dijauhkan dari bahaya, maka kita wajib memahami bahwa apa yang
dilakukan orang muslim itu adalah menjadikan makhluk tempatnya memohon
itu sebagai sebab (perantara) terkabulnya permintaannya, bukan yang
mengabulkan permintaan itu sendiri. Karena kita tahu bahwa setiap muslim
meyakini bahwa hanya Allah-lah yang mampu mendatangkan manfaat dan
kerugian, tapi terdapat mahluk-makhluk Allah yang dapat juga
mendatangkan manfaat dan kerugian dengan seizin Allah. Setelah itu yang
perlu dibahas lagi adalah tentang bisa tidaknya sesosok makhluk tertentu
menjadi sebab (perantara).
Setelah pemaparan ketiga kaidah dasar
di atas, maka kita akan menerapkannya dalam masalah hukum berkeliling
mengitari kuburan ini. Sekarang kita telah mengetahui bahwa kita sedang
membicarakan perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh sebagian kaum
muslimin. Kita juga telah mengetahui bahwa ziarah ke kuburan-kuburan
yang mereka lakukan itu berdasarkan keyakinan bahwa orang-orang yang
dikubur di dalamnya adalah orang-orang saleh dan dekat dengan Allah.
Kita juga mengetahui bahwa mereka meyakini ziarah kubur merupakan amal
saleh untuk mendekatkan diri kepada Allah dan menjadi wasilah kepada
Allah. Kita juga mengetahui bahwa permasalahan ini berkaitan dengan
hukum boleh tidaknya beberapa perbuatan yang dilakukan sebagian muslim
dan bahwa sebagian perbuatan mereka merupakan masalah yang masih menjadi
obyek perselisihan para ulama, sedangkan sebagian lainnya adalah
kesalahan murni yang tidak diperselisihkan lagi. Jika kita telah
mengetahui semua hal ini, maka menjadi jelas bagi kita bahwa tidak ada
alasan sama sekali untuk memvonis perbuatan kaum muslimin itu sebagai
tindakan kemusyrikan dan kekafiran. Yang ada hanyalah perbedaan dalam
hukum beberapa jenis wasilah serta kesalahan murni dalam menjadikan
beberapa hal sebagai wasilah. Semua ini tidak dapat dijadikan sebagai
alasan untuk mengafirkan orang yang keislamannya telah terbukti dengan
benar.
Setelah mengkaji pendapat para ulama
tentang hukum berkeliling mengitari kuburan, maka kami menyimpulkan
bahwa pendapat mereka berkisar antara keharaman dan kemakruhan.
Maksudnya di antara mereka ada yang berpendapat bahwa mengelilingi
kuburan merupakan wasilah yang diharamkan yang pelakunya berdosa. Dan
ada sebagian yang lain berpendapat bahwa seorang muslim dianjurkan untuk
tidak melakukan hal itu, akan tetapi jika ia melakukannya maka tidak
ada sangsi baginya.
Pendapat yang memakruhkannya adalah
yang menjadi pegangan dalam mazhab Hambali, sebagaimana disebutkan dalam
kitab Kasysyâf al-Qinâ' karya al-Allamah al-Buhuti, Penutup Para
Muhaqqiq dalam Mazhab Hambali. Sedangkan pendapat yang mengharamkan
adalah pendapat jumhur ulama, dan inilah yang difatwakan.
Adapun vonis kemusyrikan dan
kekafiran, maka tidak ada alasan untuk menerapkannya dalam masalah ini.
Kecuali jika orang yang mengitari kuburan itu benar-benar bermaksud
menyembah orang yang ada dalam kuburan, atau meyakini bahwa pemilik
kuburan itu dapat mendatangkan manfaat dan kerugian dengan sendirinya,
dan meyakini bahwa mengitari kuburan adalah ibadah yang disyariatkan
oleh Allah sebagaimana thawaf di Baitullah. Namun semua ini hanyalah
kemungkinan-kemungkinan yang tidak akan digunakan oleh orang yang
berilmu untuk menghukumi perbuatan orang muslim, sebagaimana telah
dipaparkan. Hal ini karena bentuk masalah yang dimaksud dalam pembahasan
ini adalah orang muslim yang berkeliling mengitari kuburan saja, tanpa
dikaitkan dengan masalah yang lain, seperti niat penyembahan terhadap
penghuni kuburan dan lain sebagainya.
Orang-orang muslim juga tidak
sepatutnya menyibukkan diri dengan masalah-masalah seperti ini dan
menjadikannya sebagai isu untuk menyerang pelakunya dengan kata-kata
kasar, karena itu merupakan jihad yang tidak pada tempatnya. Hal itu
juga merupakan penyebab terjadinya perpecahan dalam tubuh umat Islam dan
terceraiberainya usaha yang telah dilakukan, sehingga membuat kita
tidak sempat membangun dan menyatukan umat.
Semoga Allah menyatukan hati umat
muslim berdasarkan Alquran dan Sunnah serta memberikan pemahaman yang
baik mengenai agaman-Nya dan pengetahuan tentang maksud Allah dari
penciptaan-Nya. Amin.
Wallahu subhânahu wa ta'âlâ a'lam.
|
Home »
FATWA HUKUM ISLAM
» Berkeliling Mengitari Kuburan
Berkeliling Mengitari Kuburan
JIKA TERDAPAT KESALAHAN/KEKELIRUAN DALAM ARTIKEL INI
DAPAT MENGHUBUNGI KAMI DENGAN CARA MENINGGALKAN PESAN... TERIMAKASIH
DAPAT MENGHUBUNGI KAMI DENGAN CARA MENINGGALKAN PESAN... TERIMAKASIH
Tidak ada komentar:
Posting Komentar