Berduka Karena Kematian Seseorang, Memakai Pakaian Hitam dan Mengadakan Acara Empat Puluh Harian atau Satu Tahunan (Haul) untuk Memperingati Orang yang Meninggal

JIKA TERDAPAT KESALAHAN/KEKELIRUAN DALAM ARTIKEL INI
DAPAT MENGHUBUNGI KAMI DENGAN CARA MENINGGALKAN PESAN... TERIMAKASIH

honan fatwa No. 738 tahun 2005, yang berisi:
    Apa hukum berduka karena kematian seseorang dan memakai pakaian berwarna hitam lebih dari satu tahun? Dan apa hukum mengadakan acara empat puluh harian atau satu tahunan untuk memperingati orang yang meninggal? Apa hukum agama mengenai acara mengkhatamkan Alquran –yaitu dengan cara setiap orang membaca satu juz— dan menghadiahkan pahalanya untuk orang yang meninggal?
Jawaban : Mufti Agung Prof. Dr. Ali Jum'ah Muhammad
    Allah SWT membolehkan seorang istri untuk berduka (al-ihdâd) atas kematian suaminya sebagai wujud ekspresi kesetiaan seorang istri dan untuk menjaga hak sang suami. Hubungan perkawinan merupakan hubungan pertalian yang sangat kuat. Seorang istri tidak dianggap setia kepada suaminya, bila ketika suaminya meninggal dia memakai perhiasan yang mencolok, pakaian yang menarik perhatian dan menggunakan parfum serta meninggalkan rumah duka, seakan tidak pernah ada hubungan di antara mereka.
    Pada awal era datangnya Islam, seorang istri yang ditinggal mati suaminya harus berduka selama satu tahun penuh dengan menunjukkan kedukaan dan kesedihan yang mendalam. Lalu Allah SWT menetapkan bahwa batas waktu untuk berduka adalah empat bulan sepuluh hari. Allah berfirman,
"Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari." (Al-Baqarah: 234).
    Ummu Habibah r.a. meriwayatkan bahwa Nabi saw. bersabda,
لاَ يَحِلُّ لاِمْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِـرِ أَنْ تُحِدَّ عَلَى مَيِّتٍ فَوْقَ ثَلاَثٍ إِلاَّ عَلَى زَوْجٍ، فَإِنَّهَا تُحِدُّ عَلَيْهِ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا
"Seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir tidak boleh berduka lebih dari tiga hari karena kematian seseorang. Kecuali karena kematian suaminya, maka dia boleh berduka selama empat bulan sepuluh hari." (HR. Bukhari).
    Hadis ini secara tegas menjelaskan bahwa selain istri, tidak boleh bagi siapapun untuk berduka lebih dari tiga hari.
    Adapun mengadakan acara empat puluh harian, satu tahunan (haul) atau acara-acara lainnya untuk memperingati kematian seseorang, yang dirancang seperti acara duka cita pada hari kematian seseorang, dengan mendirikan tenda-tenda acara (tarup), lalu para pentakziyah datang berbondong-bondong, dan dalam waktu bersamaan para pentakziyah perempuan juga melakukan serangkaian acara duka cita dengan menangis dan menampakkan kembali rasa kesedihan dan nestapa, maka acara seperti ini dilarang dalam agama. Hal itu karena acara seperti ini hanya akan mengingatkan kembali kepada kesedihan dan kenestapaan, disamping dapat membebani keluarga orang yang meninggal dengan hal-hal yang tidak sanggup mereka lakukan. Jumhur (mayoritas) ulama sendiri berpendapat bahwa batas waktu melakukan takziyah adalah tiga hari saja. Orang yang melakukan takziyah lebih dari tiga hari hukumnya adalah makruh. Mereka berargumen bahwa izin Allah untuk melakukan takziyah adalah sebatas tiga hari, sebagaimana disebutkan di dalam hadis Ummu Habibah r.a. di atas.
    Adapun membaca Alquran dan menghadiahkan pahalanya untuk orang yang meninggal, maka itu adalah perbuatan yang dibolehkan, bahkan dianjurkan. Syekh al-Utsmani menukil ijmak ulama (konsensus) mengenai masalah ini dalam kitabnya Rahmatul Ummah Fikhtilâfil Aimmah. Beliau mengatakan, "Para ulama berijmak bahwa istigfar, doa, sedekah, ibadah haji dan memerdekakan budak yang dihadiahkan untuk orang yang telah meninggal, dapat bermanfaat bagi orang yang meninggal tersebut. Pahala semua amalan ini akan sampai kepadanya. Dan membaca Alquran di atas kubur adalah hal yang dianjurkan."
    Para ulama pun mengambil pendapat ini, yaitu pendapat yang membolehkan melakukan ibadah haji untuk orang yang meninggal dan bahwa pahala haji tersebut sampai kepadanya. Karena ibadah haji mencakup amalan salat yang di dalamnya terdapat amalan membaca surat al-Fâtihah dan lainnya. Hal ini karena suatu ibadah yang seluruh amalannya dapat sampai ke orang yang telah meninggal, maka sebagiannya juga dapat sampai kepadanya.
    Dengan demikian, atas izin Allah SWT, pahala bacaan Alquran akan sampai kepada orang yang meninggal. Apalagi jika orang yang membacanya memohon kepada Allah untuk menghadiahkan pahala bacaan tersebut kepada orang yang meninggal. Masalah-masalah seperti ini sepatutnya tidak perlu diperselisihkan.
Wallahu subhânahu wa ta'âlâ a'lam.
Sumber : Dar al Iftaa ( Lembaga Fatwa Mesir)
Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tayangan Halaman