honan fatwa No. 912 tahun 2007 yang berisi:
Mohon pendapat Dâr al-Iftâ`
al-Mishriyyah (Lembaga Fatwa Mesir) berkaitan dengan kebijakan
Pemerintah Mesir yang mengganti hari libur dari hari Kamis dan Jumat
menjadi hari Jum'at dan Sabtu. Apakah pemilihan hari Sabtu ini tidak
dianggap menyerupai tindakan kaum kafir?
|
||
|
||
Sebagaimana ditetapkan dalam kaidah fikih bahwa Tasharruful-Imâm Manûthun bil-Mashlahah
(Tindakan penguasa terhadap rakyat harus didasarkan pada kemaslahatan).
Selain itu, penguasa juga berhak untuk membatasi hal yang dibolehkan
(mubah). Pemilihan hari libur tertentu adalah termasuk hal-hal mubah
yang hukumnya tidak dijelaskan oleh syariat secara khusus. Tidak ada
hubungan secara syar'i antara hari libur tersebut dengan hari raya,
karena tidak ada penjelasan sama sekali dari para salaf saleh kita bahwa
hari raya mingguan –yaitu hari Jum'at— atau hari raya tahunan –hari
raya Idul Fitri dan Idul Adha— merupakan hari libur. Semua itu hanya
kesepakatan atau kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat Arab atau
masyarakat Islam pada waktu atau tempat tertentu karena terdapat
kemaslahatan tertentu yang sesuai dengan waktu atau tempat itu.
Hari raya-hari raya dalam Islam
mengajak kita untuk tetap bekerja, bukan mengajak untuk bermalas-malasan
dan menganggur. Dalam hari raya, baik tahunan maupun mingguan, tidak
ada aktivitas yang berbeda dengan hari-hari yang lain, melainkan hanya
dianjurkan untuk melakukan salat ied atau Jum'at dan bersuci untuk
keduanya. Seorang muslim, karena dorongan tuntunan agama atau keimanan,
akan tetap bekerja selama hari raya sebagaimana pada hari-hari lainnya,
bukan menghentikannnya. Semua itu berlangsung berdasarkan pertimbangan
kemaslahatan pribadi atau umum. Adapun pengaturan kepentingan umum
adalah di tangan pemerintah berdasarkan jabatan yang diberikan kepadanya
oleh Allah.
Nash-nash syariat banyak menjelaskan
tentang hal di atas, seperti larangan Allah untuk melakukan jual beli
atau akad-akad lainnya setelah azan kedua dalam salat Jum'at. Hal ini
berdasarkan firman Allah SWT,
"Hai orang-orang yang beriman, apabila
diseru untuk menunaikan sembahyang pada hari Jumat, maka bersegeralah
kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli." (Al-Jum'ah: 9).
Ayat ini menunjukkan kebolehan
melakukan jual beli dan akad lainnya sebelum salat Jum'at, sehingga
hukum pengharaman ini hanya dikhususkan pada pelaksanaannya ketika salat
Jum'at dan hanya diwajibkan kepada orang yang wajib melaksanakan salat
Jum'at. Setelah itu, Allah melanjutkan firman-Nya,
"Apabila telah ditunaikan sembahyang, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah". (Al-Jum'ah: 10).
Maksudnya: kembalilah kepada
kehidupan kalian sehari-hari dan lanjutkan pekerjaan yang kalian pandang
baik bagi agama dan dunia kalian. Lakukan apa yang bermanfaat bagi
kalian sesuai dengan tujuan penciptaan kalian yaitu untuk beribadah dan
memakmurkan dunia. Dengan demikian, nash Alquran ini tidak menyuruh kita
–baik sebagai kewajiban ataupun sekedar anjuran— untuk libur pada hari
Jum'at atau untuk tetap tinggal di masjid.
Syaikhul Islam al-Baijuri, dalam Hâsyiyah 'alâ Ibni Qâsim pada bab al-Ijârah,
mengatakan, "Ketahuilah, jika seseorang disewa untuk melakukan suatu
perbuatan tertentu dalam waktu tertentu, maka waktu untuk bersuci dan
melaksanakan salat di dalamnya –meskipun salat sunah rawatib— adalah
waktu yang dikecualikan berdasarkan syariat. Upah tidak boleh dikurangi
karena melakukan hal itu. Begitu juga, hari Sabtu bagi orang Yahudi dan
hari Minggu bagi orang Nasrani."
Perkataan Baijuri yang masanya tidak
jauh dari kita ini –beliau meninggal tahun 1277 H— menunjukkan keadaan
kaum muslimin pada waktu itu yang tetap bekerja meskipun pada hari
Jum'at, sedangkan libur pada hari Sabtu dan Minggu adalah khusus bagi
non muslim. Hal ini menunjukkan bahwa libur pada hari Jum'at bukanlah
hal yang mengakar lama pada masyarakat Islam, tetapi hanya sesuatu yang
dibuat belakangan. Diperkirakan bahwa alasan pemilihan hari Jum'at
sebagai hari libur kembali pada tujuan yang disesuaikan dengan
masyarakat ketika itu.
Dari penjelasan di atas, dapat
dipahami bahwa jika muncul keperluan untuk menjadikan salah satu hari
dalam satu minggu sebagai hari libur, maka keputusan penentuan itu
diserahkan kepada kesepakatan orang-orang.
Adapun syubhat yang dilontarkan oleh
sebagian orang bahwa penetapan hari Sabtu sebagai hari libur merupakan
tindakan yang menyerupai orang non muslim adalah tidak bisa diterima.
Hal itu karena penyerupaan yang dilarang adalah yang berkaitan dengan
syiar-syiar agama dan memang bertujuan untuk menyerupai perbuatan mereka
itu. Sedangkan perbuatan yang sama sekali bukan syiar keagamaan –yang
membedakan pelakunya dari pemeluk agama lain—, atau perbuatan tersebut
tidak dimaksudkan untuk menyerupai non muslim, maka tidak apa-apa untuk
dilakukan. Hal ini seperti yang pernah dilakukan oleh Umar bin Khattab
r.a. ketika meniru bangsa Romawi dalam membuat kantor-kantor jawatan.
Jika ada seseorang yang menyatakan
bahwa hal itu adalah perbuatan bid'ah yang tercela, maka lihatlah para
sahabat yang salat dengan celana yang biasa dipakai orang-orang Persia
ketika berhasil menaklukkan wilayah mereka. Kaum muslimin saat ini
memakai pakaian yang mulanya merupakan pakaian non muslim, tapi saat ini
pakaian tersebut bukan lagi milik mereka atau ciri mereka, bahkan asal
muasal pakaian itu telah dilupakan sehingga tidak lagi menjadi ciri
khusus masyarakat yang memakainya pertama kali.
Dalam al-Fath al-Bârî, ketika
berbicara mengenai pakaian Thailasan, yaitu sebuah pakaian yang mulanya
dipakai oleh orang-orang Yahudi, dan ketika menjelaskan hadis: "Barang
siapa yang menyerupai suatu kaum maka ia adalah golongan mereka," Ibnu
Hajar berkata, "Dibolehkannya menjadikan kisah orang-orang Yahudi
tersebut sebagai alasan pengharaman pakaian Thailasan ini adalah jika ia
masih merupakan ciri khusus mereka. Namun saat ini pakaian tersebut
sudah tidak lagi menjadi ciri mereka, sehingga penggunaan pakaian itu
telah masuk dalam penggunaan barang yang dibolehkan secara umum. Ibnu
Abdis Salam telah menyebutkan hal ini dalam contoh-contoh bid'ah yang
dibolehkan."
Saat ini tidak ada seorang pun yang
dapat mengklaim bahwa hari Sabtu adalah syiar milik kaum Yahudi. Saat
ini seluruh dunia, dengan segala perbedaan agama dan pola pikirnya,
menggunakan hari Sabtu itu sebagai hari libur dengan alasan tertentu,
sehingga tidak lagi menjadi syiar khusus kaum Yahudi. Ditambah lagi,
kaum muslimin memandang adanya kemaslahatan dalam menjadikan hari Sabtu
sebagai hari libur karena lebih sesuai daripada hari-hari yang lain,
maka keputusan itu adalah benar karena telah berpijak pada kemaslahatan,
tanpa perlu melihat penyerupaan dengan tindakan orang-orang Yahudi atau
penghormatan terhadap ciri khas mereka.
Dapat disimpulkan bahwa penetapan
hari Jum'at dan Sabtu sebagai hari libur dikembalikan kepada
kemaslahatan, sehingga hendaknya difokuskan pada usaha untuk memastikan
ada atau tidaknya kemaslahatan di dalamnya. Lalu praktik di lapangan dan
pelaksanakan kebijakan itu akan menjadi pemutus apakah kebijakan
tersebut tepat atau tidak tepat. Pijakan penentuan hukum dalam masalah
ini dengan penyerupaan pada kaum tertentu atau merupakan bid'ah dan lain
sebagainya, merupakan tindakan yang sangat tidak tepat.
Wallahu subhânahu wa ta'âlâ a'lam.
|
Home »
FATWA HUKUM ISLAM
» Apakah Boleh Menjadikan Hari Sabtu sebagai Hari Libur Mingguan?
Apakah Boleh Menjadikan Hari Sabtu sebagai Hari Libur Mingguan?
JIKA TERDAPAT KESALAHAN/KEKELIRUAN DALAM ARTIKEL INI
DAPAT MENGHUBUNGI KAMI DENGAN CARA MENINGGALKAN PESAN... TERIMAKASIH
DAPAT MENGHUBUNGI KAMI DENGAN CARA MENINGGALKAN PESAN... TERIMAKASIH
Tidak ada komentar:
Posting Komentar