honan fatwa No. 2036 tahun 2005 yang berisi:
Saya menikah dengan seorang janda
berkebangsaan Uni Emirat Arab yang telah berusia 37 tahun. Akad nikah
ini telah dilaksanakan di hadapan seorang pengacara dengan dihadiri para
saksi dan ketika itu mahar pun dibayarkan. Seluruh rukun pernikahan
telah dipenuhi kecuali persetujuan wali wanita yang menolak pernikahan
itu dengan alasan perbedaan kewarganegaraan. Setelah itu, saya
mencatatkan pernikahan saya tersebut dan mendapat pengesahan dari
pengadilan. Lalu saya melegalisir seluruh dokumen pernikahan di
Departemen Kehakiman, Departemen Luar Negeri dan Kedutaan Besar Uni
Emirat Arab. Lalu saya mengumumkan penikahan saya itu kepada semua orang
termasuk keluarga istri. Namun, ayahnya memperkarakan masalah itu ke
pengadilan di Uni Emirat Arab dengan alasan bahwa pernikahan itu tidak
sah karena tidak ada persetujuan dari wali. Mohon penjelasan apakah
pernikahan kami ini sah ataukah tidak?
|
||
|
||
Perwalian dalam pernikahan seorang wanita merupakan bentuk dari
perlindungan yang disyariatkan oleh agama demi menjaga hak-hak wanita
ketika ia memasuki fase penting dalam hidupnya. Ketika mensyariatkan
hukum perwalian ini, Islam sangat menjaga dan memperhatikan makna kasih
sayang terhadap wanita dan berusaha memberikan pertolongan padanya.
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa
orang perempuan yang telah balig dan dewasa tidak terikat dengan hak
perwalian ini. Oleh karena itu, ia boleh menikahkan dirinya dengan cara
melakukan akad nikah secara langsung, baik ia adalah wanita yang masih
perawan maupun telah menjadi janda. Ulama Hanafiyah hanya membatasi
perwalian terhadap anak perempuan yang belum balig. Mereka menjadikan
kuasa wali terhadap anak perempuan yang telah dewasa berbentuk hak
perwakilan (pemberian kuasa), bukan perwalian.
Undang-undang Mesir mengambil
pendapat mazhab Hanafi ini, sehingga membolehkan seorang perempuan yang
telah balig untuk menikahkan dirinya sendiri. Pernikahan ini dianggap
sah jika ia menikah dengan seorang yang sekufu dan dengan mahar yang
umum di masyarakat.
Syariat Islam menjadikan masa balig
sebagai batas dan tanda permulaan kesempurnaan akal seseorang. Islam
juga menjadikan usia tertentu sebagai batas masa balig tersebut jika
tidak ada tanda-tanda lain yang menunjukkan tercapainya usia tersebut.
Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan batas usia balig ini.
Para ulama Syafi'iyah, Hanabilah dan
kedua orang murid Abu Hanifah –Abu Yusuf dan Muhammad— berpendapat bahwa
batas usia balig adalah 15 tahun berdasarkan penanggalan qamariyah baik
laki-laki maupun perempuan. Sedangkan para ulama Malikiyah berpendapat
bahwa usia balig adalah 18 tahun. Namun dalam mazhab Maliki juga
terdapat pendapat-pendapat lain berkaitan dengan usia balig ini. Ada
yang mengatakan 15 tahun, 19 tahun atau 17 tahun. Adapun Abu Hanifah
berpendapat bahwa usia balig bagi anak laki-laki adalah 18 tahun
sedangkan bagi anak perempuan 17 tahun.
Dalam Undang-undang Mesir, urusan
Sipil diatur melalui UU nomor 56 tahun 1923 yang menjelaskan bahwa batas
minimal usia pernikahan adalah 16 tahun untuk perempuan dan 18 tahun
untuk laki-laki. Pengadilan akan menolak dakwaan yang berkaitan dengan
perkara pernikahan jika umur suami-istri itu kurang dari usia yang
ditetapkan kecuali terdapat eksepsi dari pemerintah. Lalu disahkan pula
UU nomor 78 tahun 1931 untuk memperkuat UU sebelumnya. Kemudian
dikeluarkan UU nomor 88 tahun 1951 guna merevisi pasal 99/5 dari UU itu
dengan memutuskan bahwa yang menjadi standar usia adalah penggunaan
kalender hijriah. Dan terakhir, dikeluarkan UU nomor 1 tahun 2000 yang
menjelaskan bahwa penentuan umur adalah didasarkan pada kalender masehi.
Dengan demikian, berdasarkan
pertanyaan di atas, akad nikah yang telah dilakukan antara kedua
pasangan itu adalah sah secara syarak jika sang suami sekufu dengan
perempuan yang ia nikahi serta memberikan mahar yang umum dalam
masyarakat bagi perempuan sepertinya.
Wallahu subhânahu wa ta'âlâ a'lam.
|
Sumber : Dar al Iftaa ( Lembaga Fatwa Mesir)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar