Wakaf yang Dikaitkan dengan Kematian

JIKA TERDAPAT KESALAHAN/KEKELIRUAN DALAM ARTIKEL INI
DAPAT MENGHUBUNGI KAMI DENGAN CARA MENINGGALKAN PESAN... TERIMAKASIH

Memperhatikan permohonan fatwa nomor 118 tahun 2006 yang berisi:
    Suami saya meninggal dunia dan meninggalkan saya serta saudara-saudaranya sekandung. Sebelum meninggal, ia sempat menulis catatan di selembar kertas yang isinya:
    "Dengan penuh kesadaran dan kerelaan serta harapan pahala dari Allah SWT, saya mewakafkan seluruh manfaat sebuah rumah saya baik yang berbentuk barang maupun uang –seperti uang hasil penyewaan rumah berdasarkan undang-undang terbaru— bagi panti asuhan yang ada di masjid distrik ini. Wakaf ini berlaku setelah saya meninggal dunia hingga datangnya hari Kiamat. Hal ini setelah istri saya mendapatkan hak warisnya berdasarkan prinsip syariat Islam, karena ia memiliki sepertiga hak kepemilikan atas rumah dan tanah. Semua ini dengan ketentuan bahwa para pengurus panti asuhan tersebut adalah orang-orang baik dan ikhlas kepada Allah. Merekalah yang memiliki hak untuk mengurus penyewaan rumah tersebut dan memanfaatkan pemasukannya untuk anak-anak yatim piatu yang menghuni panti asuhan tersebut hingga hari Kiamat. Tidak ada seorang pun –siapa pun dia— yang dapat menghentikan wakaf ini atau menuntut sesuatu darinya. Wakaf dari saya ini bagaikan jual beli yang saya lakukan dengan Allah. Dan Allah adalah saksi atas apa yang saya ucapkan."
    Wakaf ini tidak dipersaksikan kepada seorang pun atau dicatatkan pada kantor pemerintah. Pertanyaannya adalah apa hukum perbuatan suami saya tersebut? Perlu diketahui bahwa ia telah menjual sepertiga rumah itu untuk saya.
Jawaban : Dewan Fatwa
    Wakaf yang pemberlakuannya dikaitkan oleh pewakaf dengan kematiannya mempunyai status hukum wasiat, sehingga yang terlaksana hanya dalam batas sepertiga harta saja. Adapun pelaksanaan kelebihannya adalah tergantung pada izin dari ahli waris. Para ulama Syafi'iyah juga memasukkan ke dalam wakaf model ini wakaf yang diberlakukan ketika pewakaf masih hidup tapi pemberiannya ditunda hingga setelah ia meninggal dunia. Hal ini berbeda dengan hukum menarik kembali wakaf tersebut dengan akad jual beli atau akad lainnya. Semua ini setelah kebenaran wakaf itu terbukti dengan hal-hal yang dapat menetapkan kepemilikan hak secara hukum.
    Dalam kitab Fathul-Qadîr –salah satu kitab fikih Mazhab Hanafi—dinyatakan, "Adapun mengaitkan berlakunya wakaf dengan waktu setelah kematian, maka pendapat yang shahih adalah hak kepemilikan pewakaf atas barang wakaf itu tidak hilang. Hanya saja, dengan tindakannya itu maka ia telah menyedekahkan manfaat barang wakaf itu untuk selama-lamanya. Jadi, akad itu seperti mewasiatkan manfaat suatu barang untuk selama-lamanya, sehingga akadnya sah dan mengikat meskipun barang itu tidak lepas dari kepemilikannya. Hal itu karena kedua akad itu (wakaf dan wasiat) adalah akad yang mirip, dimana tidak mungkin dilakukan jual beli atasnya karena hal itu mengakibatkan batalnya akad wasiat. Oleh karena itu, orang tersebut boleh menarik kembali wasiat tersebut sebelum ia meninggal sebagaimana bentuk-bentuk wasiat lain yang mengikat setelah terjadinya kematian. Pendapat inilah yang tepat, karena jika tidak demikian maka akan mengakibatkan kebolehan mengaitkan tercapainya wakaf dengan sesuatu, padahal wakaf merupakan akad yang tidak dapat dikaitkan dengan syarat tertentu."
    Ketika mengomentari perkataan Imam Nawawi dalam al-Minhâj, "Tidak boleh mengaitkan wakaf dengan syarat, seperti jika seseorang berkata, "Jika Zaid datang maka saya akan mewakafkan...", al-Khatib asy-Syarbini asy-Syafi'i di dalam kitab Mughnil-Muhtâj berkata, "Bentuk lainnya adalah wakaf yang tidak dikaitkan dengan datangnya kematian. Jika ia mengaitkannya dengan kematian dengan mengatakan, 'Saya mewakafkan rumah saya kepada para fakir miskin setelah saya mati,' maka wakaf tersebut sah. Syaikhani –Nawawi dan Rafi'i— menyatakan bahwa hal itu seperti wasiat. Hal ini sebagaimana penjelasan al-Qaffal, 'Jika pewakaf menjual barang tersebut maka tindakannya itu merupakan pembatalan terhadap akad wakaf.' Jika akad wakaf itu langsung diberlakukan tetapi mengaitkan penyerahannya dengan datangnya kematian, maka hal itu dianggap sah sebagaimana dinukil oleh Zarkasyi dari Qadhi Husain."
    Syekh Ibnu Hajar al-Haitami dalam kitab Tuhfatul-Muhtâj dan Syekh ar-Ramli dalam Nihâyatul-Muhtâj menyatakan, "Dengan demikian, maka secara eksplisit (zhahir) wakaf tersebut seperti wasiat."
Muwaffaquddin Ibnu Qudamah al-Hanbali dalam al-Mughnî berkata, "Adapun jika seseorang berkata, 'Barang itu saya wakafkan setelah kematian saya,' maka secara eksplisit dari pernyataan al-Khiraqi dapat difahami bahwa akad itu adalah sah, tetapi hanya berlaku pada sepertiga harta seperti wasiat. Ini adalah pendapat eksplisit Imam Ahmad. Argumen kami tentang keabsahan wakaf yang dikaitkan dengan kematian adalah dalil yang digunakan oleh Imam Ahmad –radhiyallahu 'anhu— bahwa Umar r.a. pernah berwasiat yang isinya, 'Ini adalah wasiat Hamba Allah, Umar, Amirul Mukminin, bahwa jika terjadi sesuatu pada dirinya (meninggal dunia) maka kebun Tsamgh adalah sedekah.... (dan seterusnya hingga akhir atsar ini). Ini adalah nash (dalil pasti yang tidak memiliki makna lain) dalam masalah kita ini. Umar mewakafkan kebun tersebut atas perintah Nabi saw.. Selain itu, tindakan Umar itu cukup terkenal di kalangan para sahabat tanpa ada seorang pun yang mengingkarinya, sehingga kebolehan hal tersebut merupakan ijmak dari mereka. Demikian pula, wakaf seperti itu merupakan akad tabarru' (akad menyumbang secara suka rela) yang dikaitkan dengan masa setelah kematian sehingga ia dibolehkan seperti hibah dan sedekah yang bersifat mutlak, atau juga ia merupakan sedekah yang dikaitkan dengan kematian, sehingga ia serupa dengan akad selain wakaf. Hal ini berbeda dengan wakaf yang dikaitkan dengan syarat yang terwujud ketika pemberi masih hidup (yang hukumnya tidak sah), terbukti dengan hibah yang mutlak, sedekah dan lain sebagainya (yang hukumnya juga tidak sah jika dikaitkan dengan sesuatu yang terwujud ketika pemberi masih hidup). Hal ini karena status akad wakaf yang dikaitkan dengan kematian pewakaf tersebut menjadi wasiat, dan wasiat lebih bersifat umum dari sekedar akad yang dilakukan ketika masih hidup. Dengan bukti bahwa wasiat boleh dilakukan atas barang yang tidak jelas atau barang yang tidak ada. Selain itu, juga boleh diberikan kepada pihak yang tidak jelas, pada janin yang masih dalam kandungan, dan lain sebagainya."
    Dengan demikian, berdasarkan pertanyaan di atas, jika para ahli waris mengakui kebenaran wakaf itu, atau jika wakaf tersebut memiliki bukti yang dapat menunjukkan kebenarannya di pengadilan, maka wakaf itu –di luar sepertiga rumah yang dijual untuk istrinya— merupakan wasiat yang berlaku pada batas sepertiga harta warisan yang tersisa setelah pelunasan hutang. Dalam masalah ini, baik kita mengambil pendapat bahwa akad di atas merupakan wakaf yang dikaitkan dengan kematian, maupun pendapat yang mengatakan bahwa itu merupakan akad wakaf yang telah berlaku tetapi penyerahannya dikaitkan dengan kematian, maka kedua pendapat ini tetap dihukumi sebagai akad wasiat. Ini jika tidak ada wasiat lainnya. Dengan demikian, wakaf tersebut diberlakukan pada sepertiga harta warisan saja tanpa perlu mendapatkan izin dari para ahli waris. Sedangkan kelebihannya dapat pula diberlakukan tetapi dengan izin para ahli waris sesuai dengan bagian masing-masing.
    Adapun pernyataan pewakaf bahwa pemberlakuan wakaf itu setelah pemberian hak warisan istrinya, maka nampak hal itu merupakan penegasan agar hak waris istrinya tidak dihilangkan. Karena, pemberian harta warisan hanya dilakukan setelah pelunasan hutang dan pelaksanaan wasiat, bukan sebelumnya.
    Namun jika para ahli waris mengingkari keabsahan wakaf tersebut dan wakaf itu sendiri tidak memiliki bukti yang dapat membuktikan kebenarannya di pengadilan, maka mereka tidak wajib melaksanakan wakaf tersebut. Jika ada ahli waris yang mengakui kebenaran wasiat itu, maka wakaf itu berlaku pada harta ahli waris yang mengakuinya tersebut bukan pada harta ahli waris yang lain yang tidak mengakuinya.
    Wallahu subhânahu wa ta'âlâ a'lam>
Sumber : Dar al Iftaa ( Lembaga Fatwa Mesir)
Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tayangan Halaman