Memperhatikan permohonan fatwa No. 1662 tahun 2006 yang berisi:
Apa hukum mewakafkan sejumlah uang
untuk sebuah sekolah percontohan yang berafiliasi kepada al-Azhar,
dengan menyimpannya di sebuah bank atas nama sekolah tersebut dengan
sistem deposito syariah yang keuntungannya digunakan untuk memenuhi
keperluan para siswanya, seperti uang sekolah, tempat tinggal, sarana
pendidikan, seragam sekolah dan lain sebagainya?
|
||
|
||
Para ulama Malikiyah membolehkan wakaf uang (dinar dan dirham). Al-Kharasyi dalam Syarh Mukhtashar Khalîl berkata,
"Pendapat yang dipegangi mazhab (mazhab Maliki) adalah kebolehan
mewakafkan sesuatu yang tidak dilihat berdasarkan benda itu sendiri
(tapi berdasarkan nilainya), seperti makanan, dinar dan dirham,
sebagaimana dipahami dari penjelasan kitab asy-Syâmil, dimana setelah menyebutkan pendapat yang membolehkan ia lalu menyebutkan pendapat yang memakruhkannya dengan menggunakan kata qîla.
Sedangkan pendapat yang melarang adalah pendapat yang paling lemah.
Pendapat yang kuat ini didukung dengan perkataan pengarang (Khalil)
dalam bab Zakat, "Benda yang diwakafkan untuk dipinjamkan harus
dizakati."
Syaikh Ali bin Ahmad ash-Sha'idi al-'Adawi dalam Hâsyiyah 'alâ al-Harasyi di atas menyatakan, "Dinar dan dirham serta yang lainnya boleh diwakafkan untuk dipinjamkan."
Sebagaimana diketahui, tujuan syariat
dalam wakaf adalah tidak ditasharrufkannya harta yang diwakafkan
tersebut dan terus berlangsungnya pemanfaatan terhadapnya selama
mungkin. Ketika para ulama Malikiyah mendapati adanya manfaat dari
dirham dan dinar yang tidak membuatnya hilang melainkan hanya
menghilangkan benda aslinya (dinar atau dirham yang pertama), maka
mereka membolehkan wakaf dinar dan dirham untuk dipinjamkan. Karena,
dengan dipinjamkan, dinar dan dirham itu tetap ada secara hukum,
meskipun dinar dan dirham yang pertama itu menjadi hilang dan diganti
dengan dinar serta dirham yang lain yang sama nilainya.
Dalam Hâsyiyah 'alâ al-Kharasyi,
Syaikh ash-Sha'idi al-'Adawi menukil dari al-Laqqani bahwa: "Wakaf
adalah sesuatu yang dapat dimanfaatkan dengan tetap utuhnya benda yang
diwakafkan, baik secara hakiki maupun hukmi, seperti dirham dan dinar."
Demikian penjelasannya. Sedangkan ad-Dasuqi dalam Hâsyiyah 'alâ asy-Syarh al-Kabîr menyatakan, "Pengembalian pengganti barang wakaf adalah seperti tetapnya benda itu."
Di zaman ini, jika seorang ahli fikih
memperhatikan masalah wakaf uang dan pemanfaatan keuntungannya, niscaya
ia akan menemukan bahwa di dalamnya juga terdapat 'illat yang dijadikan
sandaran para ulama Malikiyah untuk membolehkan (dengan kemakruhan)
wakaf dinar dan dirham. Mereka memakruhkan hal tersebut –hukum makruh
sendiri tercakup dalam keumuman hukum boleh— karena adanya kemungkinan
benda wakaf itu bisa hilang. Namun, berdasarkan penelitian terhadap
kondisi perbankan yang diatur oleh undang-undang dan dengan sistem yang
berlaku saat ini, dapat diketahui bahwa harta yang disimpan melalui
deposito syari'ah seperti ini dapat bertahan lama yang terkadang
mencapai lebih dari lima puluh tahun. Sehingga, dengan demikian, secara
nisbi telah tercapai maksud syariat dalam akad wakaf ini. Hal inilah
yang menjadi landasan kami untuk membolehkan wakaf harta yang
didepositokan melalui wadi'ah dan memanfaatkan keuntungannya.
Wallahu subhânahu wa ta'âlâ a'lam.
|
Home »
FATWA HUKUM ISLAM
» Wakaf Harta yang Disimpan di Bank Melalui Sistem Deposito Syariah
Wakaf Harta yang Disimpan di Bank Melalui Sistem Deposito Syariah
JIKA TERDAPAT KESALAHAN/KEKELIRUAN DALAM ARTIKEL INI
DAPAT MENGHUBUNGI KAMI DENGAN CARA MENINGGALKAN PESAN... TERIMAKASIH
DAPAT MENGHUBUNGI KAMI DENGAN CARA MENINGGALKAN PESAN... TERIMAKASIH
Tidak ada komentar:
Posting Komentar