Memperhatikan permohonan fatwa nomor 625 tahun 2008 yang berisi:
Seseorang benazar dan mengucapkan,
"Jika anak saya sembuh dari sakitnya maka saya akan memberi makan
seluruh jamaah yang shalat Jumat di masjid ini." Pertanyaannya: apakah
orang-orang yang kaya juga dibolehkan makan makanan tersebut?
Atau dia berkata, "Jika anak saya
sembuh dari sakitnya maka saya akan menyembelih seekor kambing pada hari
raya Idul Adha." Apakah orang-orang kaya juga dibolehkan memakan daging
ini?
Mohon jawaban berdasarkan mazhab Hanafi.
|
||
|
||
Nazar adalah amalan ibadah yang masyru'. Menurut ulama Hanafiyah, nazar
tidak sah kecuali jika obyek nazar tersebut adalah ibadah maqshûdah,
yaitu ibadah yang merupakan cabang (turunan) dari ibadah yang wajib.
Oleh karena itulah, menurut mereka, dibolehkan bernazar untuk
bersedekah, karena sedekah merupakan cabang atau turunan dari zakat yang
merupakan ibadah wajib. Mengingat zakat tidak dibolehkan untuk
orang-orang kaya, maka sedekah yang dikeluarkan berdasarkan nazar ini
tidak boleh pula untuk mereka. Karena nazar yang mengandung maksud
pemberian sesuatu kepada orang kaya, baik dalam hal ini orang kaya
tersebut adalah obyek langsung dari nazar tersebut ataupun tidak (hanya
mengikuti), maka nazar ini adalah untuk makhluk sehingga tidak sah untuk
orang kaya tersebut. Selain itu, nazar sedekah untuk orang kaya ini
juga bukan ibadah maqshûdah, yaitu bukan merupakan turunan dari ibadah
wajib, seperti zakat.
Dalam kitabnya ad-Durr al-Mukhtâr syarah kitab Tanwîr al-Abshâr,
al-'Allamah al-Hashkafi berkata, "[Barang siapa bernazar dan
menyatakannya secara mutlak, atau mengaitkannya dengan syarat, sementara
jenis asal ibadah itu adalah wajib] maksudnya adalah ibadah fardu
sebagaimana ditegaskan oleh pengarang sendiri mengikuti kitab al-Bahr
dan ad-Durar [dan ia merupakan ibadah maqshûdah] batasan ini
mengeluarkan wudhu dan mengkafani mayit [lalu didapati syarat itu] yaitu
syarat yang dijadikan pijakan dalam nazarnya tersebut, [maka orang itu
wajib melakukan nazarnya]. Hal ini berdasarkan hadits,
مَنْ نَذَرَ وَسَمَّى فَعَلَيْهِ الْوَفَاءُ بِمَا سَمَّى
"Barang siapa yang bernazar dan menyebutkan nazarnya maka ia harus memenuhi apa yang disebutnya."
[yaitu seperti puasa, shalat, sedekah] juga wakaf [dan i'tikaf], serta memerdekakan budak dan melaksanakan haji, walaupun dengan berjalan kaki. Karena ibadah-ibadah tersebut merupakan ibadah maqashûdah dan jenis asalnya adalah ibadah wajib, karena memerdekakan budak diwajibkan dalam kafarat, dan berjalan kaki untuk pergi haji adalah wajib bagi penduduk Mekah yang mampu. Demikian juga, duduk tahiyat akhir dalam shalat yang merupakan tindakan berdiam adalah seperti i'tikaf. Juga mendirikan masjid untuk kaum muslimin adalah wajib atas penguasa yang dananya diambilkan dari baitul mal, jika tidak maka diwajibkan atas kaum muslimin. [Tidak wajib] bagi orang yang bernazar [untuk melakukan nazarnya yang bukan turunan dari ibadah fardu, seperti menjenguk orang sakit, mengantar jenazah dan masuk ke dalam masjid], meskipun ke dalam masjid Rasulullah saw. dan Masjidil Aqsha. Karena masuk masjid bukan ibadah yang jenis asalnya adalah ibadah fardu. Inilah kriteria nazar sebagaimana disebutkan dalam kitab ad-Durar... Menurut saya (al-Hashkafi), perlu ditambahkan kriteria lain sebagaimana yang disebutkan dalam kitab Zawâhir al-Jawâhir, yaitu nazar tersebut tidak mustahil dalam hukum alam, seperti jika bernazar puasa kemarin atau i'tikaf kemarin maka nazarnya tidak sah. Dalam kitab al-Qun-yah disebutkan bahwa nazar bersedekah untuk orang kaya adalah tidak sah jika tidak diniatkan untuk para ibnu sabil (orang yang kehabisan bekal di perjalanan)."
Penjelasan kitab al-Qun-yah sebagaimana dinukil oleh Ibnu Nujaim dalam al-Bahr ar-Raiq adalah:
"Nazar bersedekah dengan satu dinar untuk diberikan kepada orang-orang
kaya sepatutnya tidak sah. Menurut saya (Ibnu Nujaim), sepatutnya sah
jika diniatkan untuk para ibnu sabil, karena mereka adalah orang yang
berhak mendapatkan zakat. Jika seseorang berkata, "Jika si fulan datang,
maka saya bernazar untuk menjamu orang-orang itu," sementara mereka itu
adalah orang-orang kaya maka nazar tersebut tidak sah."
Ibnu Abidin dalam Radd al-Muhtâr 'alâ ad-Durr al-Mukhtâr berkata,
"Menurut saya, alasan tidak sahnya nazar pada keadaan pertama (sedekah
untuk orang kaya) adalah karena ia bukan ibadah, atau ia mustahil secara
hukum alam karena tidak mungkin terwujud, mengingat sedekah untuk orang
kaya dinamakan hibah dan hibah untuk orang miskin dinamakan sedekah."
Dalam hasyiyah atas kitab ad-Durr al-Mukhtâr,
"[Pernyataan penulis: nazar sedekah bagi orang-orang kaya adalah tidak
sah] karena jenis asalnya bukan ibadah wajib. [Pernyataannya: selama
tidak diniatkan untuk para ibnu sabil] karena mereka adalah salah satu
orang yang berhak mendapat zakat. Dalam kitab al-Hindiyyah
dinyatakan, "Nazar bersedekah satu dinar untuk diberikan kepada
orang-orang kaya sepatutnya tidak sah. Ada yang mengatakan, "Sepatutnya
sah jika diniatkan untuk ibnu sabil."
Dalam al-Bahr ar-Râiq, Ibnu
Nujaim menukil dari Syaikh Qasim bahwa ia berkata dalam Syarh ad-Durar,
"Adapun nazar yang banyak dilakukan oleh orang awam sebagaimana banyak
terlihat, seperti jika ada seseorang yang memiliki anggota keluarganya
yang hilang atau sanak yang sakit, atau dia memiliki kebutuhan mendesak,
maka ia mendatangi kuburan para shalihin lalu menutup kepalanya dengan
kain dan berkata, "Tuanku, jika keluargaku yang pergi kembali, atau
saudaraku sembuh dari sakitnya, atau terpenuhi hajatku, maka kamu akan
saya beri emas sekian, perak sekian, makanan sekian, air sekian, lilin
sekian atau minyak sekian, maka nazar ini tidak sah berdasarkan ijmak
para ulama. Hal itu dikarenakan beberapa sebab, diantaranya adalah
karena nazar itu ditujukan untuk makhluk, sementara nazar untuk makhluk
adalah tidak boleh. Karena nazar adalah ibadah, sementara ibadah tidak
sah ditujukan untuk makhluk. Sebab lainnya adalah karena nazar ini
ditujukan kepada orang mati, sementara orang mati tidak dapat memiliki.
Selain itu, karena jika orang yang bernazar mengira bahwa orang mati
dapat melakukan sesuatu tanpa izin Allah dan meyakininya maka itu adalah
bentuk kekafiran. Kecuali jika ia berkata, "Ya Allah, saya bernazar
kepada-Mu jika Engkau menyembuhkan keluargaku yang sakit, mengembalikan
keluargaku yang pergi, atau memenuhi hajatku, maka aku akan memberi
makan kepada para fakir miskin di pintu masjid Sayyidah Nafisah, fakir
miskin di pintu masjid Imam Syafi'i atau Imam Laits, atau saya akan
membeli tikar untuk masjid-masjid tersebut atau minyak untuk lampu
penerangnya, atau memberikan uang dirham kepada orang-orang yang
mengurusnya, dan amalan-amalan lain yang memberikan manfaat bagi fakir
miskin, maka ini dibolehkan. Nazar hanya ditujukan kepada Allah 'azza wa
jalla. Dan maksud penyebutan nama syekh pemilik masjid dalam nazar ini
adalah menjadikannya sebagai tempat penyaluran nazar yang diberikan
kepada orang-orang yang berhak yang tinggal di sekitarnya atau di dalam
masjidnya, sehingga nazar itu sah jika dilihat dari sisi ini. Hal itu
karena obyek penyaluran nazar adalah orang-orang fakir, dan hal itu
terwujud di sini. Nazar ini tidak boleh diberikan kepada orang kaya yang
tidak membutuhkan atau kepada pejabat, karena dia tidak boleh
mengambilnya jika tidak membutuhkan atau fakir. Nazar juga tidak boleh
diberikan kepada orang yang memiliki nasab tinggi karena nasabnya,
kecuali dia seorang fakir. Jika tidak boleh diberikan kepada ulama
karena ilmunya kecuali dia adalah seorang fakir. Di dalam syariat tidak
ada dalil yang membolehkan penyaluran nazar bagi orang kaya. Hal ini
berdasarkan ijmak para ulama yang mengharamkan nazar untuk makhluk, di
samping itu nazar tersebut tidak sah serta tidak mengakibatkan seseorang
wajib menunaikannya. Hal itu karena nazar itu adalah harta haram,
bahkan harta hina. Pelayan syaikh pemilik masjid tersebut juga tidak
boleh mengambil, memakan atau menggunakan harta dari nazar itu untuk
keperluan apapun, kecuali jika dia adalah orang fakir, atau dia memiliki
keluarga miskin yang tidak dapat bekerja dan mereka terpaksa mengambil
harta itu sebagai sedekah murni untuk mereka. Namun mengambil harta dari
nazar itu juga makruh jika orang bernazar tidak meniatkan nazarnya itu
sebagai ibadah kepada Allah, tidak bermaksud menyalurkannya pada
orang-orang fakir serta bermaksud bernazar untuk syekh pemilik masjid.
Jika Anda telah mengetahui hal ini, maka mengambil dirham, lilin, minyak
dan barang lainnya yang diberikan kepada makam para wali untuk
mendekatkan diri pada mereka adalah haram berdasarkan ijmak kaum
muslimin selama tidak diniatkan untuk diberikan kepada fakir miskin yang
masih hidup".
Dengan demikian, menurut kesepakatan
para ulama Hanafiyah, orang kaya tidak boleh makan makanan dari nazar
yang diberikan untuk para jamaah masjid secara umum, baik orang yang
kaya maupun miskin. Berkaitan dengan sah dan tidaknya nazar untuk
orang-orang secara umum namun dengan tetap menyalurkannya kepada
orang-orang miskin terdapat dua pendapat:
Pertama, sebagian ulama Hanafiyah
berpendapat bahwa nazar ini tidak sah, sebagaimana apa yang dipahami
secara eksplisit (zhahir) dari penjelasan di atas, yaitu bahwa nazar
memberi sedekah kepada orang kaya adalah tidak sah. Dalam kitab Tanqîh al-Fatâwâ al-Hâmidiyyah
karya Ibnu Abidin disebutkan: "Pertanyaan: seseorang bersaksi bahwa
rekannya telah bernazar jika dapat mengambil anak perempuannya dari
kakeknya maka ia berjanji akan memberikan sejumlah uang untuk keperluan
dapur penguasa negerinya. Maka, jika ia berhasil mengambil anak
perempuannya itu, apakah ia tidak wajib melaksanakan nazarnya itu?
Jawaban: Ya, dia tidak wajib melaksanakan nazarnya, karena nazar tidak
boleh untuk makhluk. Dan tuntutan yang diajukan terhadapnya terkait
dengan nazarnya itu juga tidak perlu didengar. Hakim juga tidak boleh
memutuskan bahwa orang itu wajib memenuhi nazarnya, meskipun nazarnya
itu sah sebagaimana disebutkan dalam kitab al-Khairiyyah dan lainnya."
Kedua, sebagian ulama Hanafiyah yang
lainnya berpendapat bahwa nazar itu sah dan hanya diberikan kepada fakir
miskin saja, tanpa melibatkan orang-orang kaya. Al-'Allamah ar-Rafi'i,
dalam taqrîratnya atas kitab Ibnu Abidin menyatakan, "[Pernyataan
Ibnu Abidin: Menurut saya, alasan tidak sahnya nazar pada keadaan
pertama...], menurut saya nazar orang tersebut untuk bersedekah satu
dinar adalah sah. Sedangkan pernyataannya "untuk orang-orang kaya"
adalah ungkapan pembatalan terhadap nazarnya itu, sehingga membuat
nazarnya tidak sah. Hal ini seperti permasalahan tentang seseorang yang
bernazar untuk melaksanakan shalat dua rakaat dalam keadaan hadas."
Pendapat kedua ini lebih sesuai
dengan tujuan dan maksud syariat dalam rangka membawa perkataan
seseorang kepada makna yang benar selama hal itu memungkinkan, apalagi
kalau hal itu didukung dengan kebiasaan umum masyarakat. Hal itu sesuai
dengan kaidah "I'malul kalâm awlâ min ihmâlih" (memberlakukan perkataan
lebih baik daripada membatalkannya). Dan inilah yang kami fatwakan
berkaitan dengan masalah nazar memberi makan jamaah shalat Jum'at di
masjid. Karena, dalam lafal nazar itu tidak disebutkan "orang-orang
kaya", sehingga ia memperkuat pendapat yang menganggap sah nazar
tersebut berdasarkan konsep "âm urîda bihî khushûsh" (lafal umum tapi bermakna khusus) atau konsep "âm makhshûsh"
(lafal umum yang dikhususkan). Dengan demikian, lafal nazar itu adalah
kata-kata umum namun maknanya dikhususkan untuk orang-orang miskin, dan
dikeluarkan darinya orang-orang yang tidak boleh menerima nazar, yaitu
orang-orang kaya. Oleh karena itu, makanan nazar tersebut harus
disalurkan kepada pada orang-orang miskin yang shalat Jum'at di masjid
itu dan diharamkan atas orang-orang kaya untuk ikut memakannya.
Begitu pula dalam masalah nazar untuk
berkurban. Para ulama sepakat bahwa nazar berkurban menjadikan ibadah
kurban wajib atas orang yang bernazar, baik orang yang bernazar tersebut
kaya atau miskin. Sedangkan menurut ulama Hanafiyah, jika seseorang
bernazar untuk berkurban maka ia wajib menyembelih dua ekor kambing.
Seekor kambing diwajibkan berdasarkan kewajiban syarak (ibadah kurban
itu sendiri) dan seekor yang lain diwajibkan berdasarkan nazar. Hanya
saja, jika orang tersebut mengucapan nazarnya pada hari Nahr dan
nazarnya itu dimaksudkan untuk memberitahu tentang kewajiban yang harus
ia laksanakan (kewajiban berkurban), maka status nazar itu adalah ibadah
kurban yang murni wajib karena syarak.
Ibnu Abidin berkata dalam Hâsyiyah Radd al-Muhtâr 'alâ Durar al-Mukhtâr, "[Obyek nazar tidak boleh sesuatu yang diwajibkan sebelum adanya nazar tersebut]. Dalam kitab al-Badâ`i'
bab Ibadah Kurban dinyatakan: "Jika seseorang bernazar menyembelih
seekor kambing –pada hari Nahr dan orang tersebut adalah orang kaya—
maka menurut kami (ulama Hanafiyah) ia harus menyembelih dua ekor
kambing. Seekor kambing untuk nazar dan seekor lainnya diwajibkan
berdasarkan kewajiban syarak, yaitu berkurban. Kecuali jika orang yang
bernazar untuk menyembelih kurban itu bermaksud dengan pernyataan
nazarnya itu sekedar memberitahu orang-orang mengenai kewajibannya, maka
tidak diwajibkan atasnya kecuali seekor kambing saja. Jika nazarnya itu
diucapkan sebelum hari Nahr maka ia wajib menyembelih dua ekor kambing,
tidak ada perbedaan ulama dalam masalah ini. Hal itu karena lafal nazar
ketika itu tidak memungkinkan untuk diartikan sebagai pemberitahuan
mengenai kewajibannya, karena tidak ada pembebanan kewajiban sebelum
masuk waktunya. Begitu pula, jika orang yang bernazar tersebut adalah
orang yang tidak mampu lalu menjadi mampu ketika hari Nahr, maka dia
wajib menyembelih dua ekor kambing."
Dengan demikian, nazar berkurban
adalah sah, tapi kurban yang disembelih berdasarkan nazarnya itu bukan
yang diwajibkan berdasarkan kewajiban syarak (ibadah kurban). Kecuali
jika pernyataan nazar orang itu dimaksudkan untuk memberitahu
orang-orang tentang adanya kewajiban berkurban atas dirinya dan ia
ucapkan pada hari kewajiban itu."
Kurban yang disembelih berdasarkan
nazar itu tidak boleh dimakan oleh orang kaya maupun orang yang
bernazar. Pendapat ini juga diambil oleh para ulama Syafi'iyah.
Al-'Allamah Ibnu Nujaim berkata dalam al-Bahr ar-Râiq Syarh Kanz ad-Daqâiq,
"Jika menyembelih kurban itu asalnya tidak wajib tapi menjadi wajib
karena nazar maka orang yang bernazar tidak boleh memakannya atau
memberikannya kepada orang kaya, baik orang yang bernazar itu kaya atau
tidak. Hal itu karena hewan tersebut disembelih dalam kategori sebagai
sedekah, sementara orang yang bersedekah tidak boleh memakan harta yang
ia sedekahkan dan tidak boleh memberikannya kepada orang kaya."
Wallahu subhânahu wa ta'âlâ a'lam.
|
Home »
FATWA HUKUM ISLAM
» Orang Kaya Ikut Menikmati Sedekah dari Nazar
Orang Kaya Ikut Menikmati Sedekah dari Nazar
JIKA TERDAPAT KESALAHAN/KEKELIRUAN DALAM ARTIKEL INI
DAPAT MENGHUBUNGI KAMI DENGAN CARA MENINGGALKAN PESAN... TERIMAKASIH
DAPAT MENGHUBUNGI KAMI DENGAN CARA MENINGGALKAN PESAN... TERIMAKASIH
Tidak ada komentar:
Posting Komentar