Berjabat Tangan setelah Melaksanakan Shalat

JIKA TERDAPAT KESALAHAN/KEKELIRUAN DALAM ARTIKEL INI
DAPAT MENGHUBUNGI KAMI DENGAN CARA MENINGGALKAN PESAN... TERIMAKASIH

Memperhatikan permohonan fatwa nomor 1144 tahun 2007 yang berisi:
    Apa hukum berjabat tangan setelah selesai melaksanakan shalat?
 
Jawaban : Dewan Fatwa
    Hukum berjabat tangan setelah melakukan shalat adalah berkisar antara mubah (boleh) dan mustahab (dianjurkan). Hal itu karena ia termasuk dalam keumuman anjuran untuk bersalaman antar kaum muslimin. Bersalaman ini sendiri merupakan salah satu sebab turunnya ridha Allah SWT kepada orang-orang muslim yang melakukannya, penyebab hilangnya kedengkian dan kebencian dari mereka, serta penyebab gugurnya dosa-dosa mereka. 
    Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah saw.,
إِذَا الْتَقَى الْمُسْلِمَانِ فَتَصَافَحَا وَحَمِدَا اللهَ وَاسْتَغْفَرَاهُ غَفَرَ اللهُ لَهُمَا
    "Jika dua orang muslim bersalaman lalu bertahmid dan beristigfar kepada Allah maka Allah akan mengampuni keduanya." (HR. Abu Dawud dan lainnya dari Barra' bin 'Azib r.a.).
    Dalam kitab al-Majmû', Imam Nawawi (w. 676 H) berpendapat bahwa bersalaman dengan seseorang yang sebelum shalat telah bersamanya adalah mubah. Dan bersalaman dengan orang yang sebelum shalat tidak bersamanya adalah sunah.
    Sedangkan dalam kitab al-Adzkâr, beliau berkata, "Ketahuilah, bahwa bersalaman adalah dianjurkan pada setiap perjumpaan. Adapun kebiasaan orang-orang yang bersalaman setelah shalat Shubuh dan Ashar, maka dilihat dari sisi ini, ia tidak ada dasarnya dalam syariat. Tapi, hal itu tidak apa-apa dilakukan, karena hukum asal bersalaman adalah sunah. Sedangkan sikap mereka yang senantiasa melakukannya dalam waktu-waktu tertentu, namun tidak melakukannya dalam banyak kesempatan atau dalam kebanyakan kesempatan lainnya, maka hal itu tidak mengeluarkan hukum bersalaman dalam waktu-waktu tertentu tersebut dari bersalaman yang dibolehkan oleh syariat."
    Selain dari pada itu, dinukilkan dari Imam al-'Izz bin Abdus Salam (w. 660 H) bahwa berjabat tangan setelah shalat Shubuh dan Ashar termasuk dalam bid'ah yang mubah.
    Di samping itu, kaum muslimin diperintahkan untuk mengucapkan salam ketika selesai shalat dengan menengok ke kanan dan ke kiri. Imam Baijuri dalam Hâsyiyah-nya terhadap kitab Syarah Ibnu Qasim atas Matan Abi Syuja' berkata, "Hendaknya ia berniat mengucapkan salam kepada makhluk yang ada di arahnya ketika ia menengok, baik itu para malaikat maupun kaum mukminin dan jin yang beriman hingga ujung dunia. Ia juga hendaknya berniat menjawab salam dari orang yang mengucapkan salam kepadanya baik imam maupun makmum."
    As-Safarini dalam kitab Ghidzâul Albâb Syarh Mandzûmatil Âdâb berkata, "Pernyataan eksplisit dari al-'Izz bin Abdus Salam, salah seorang ulama Syafi'iyah, adalah bahwa berjabat tangan termasuk bid'ah yang dibolehkan. Sedangkan pernyataan eksplisit dari Imam Nawawi adalah bahwa berjabat tangan adalah sunah. Dalam Syarah Shahih Bukhari, al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, "Nawawi berkata, "Hukum asal berjabat tangan adalah sunah. Sementara kebiasaan masyarakat yang melakukannya pada kesempatan-kesempatan tertentu tidak mengeluarkannya dari hukum asalnya yaitu sunah."
    Dalam kitab Fatâwâ ar-Ramlî yang merupakan salah seorang ulama Syafi'iyah, disebutkan, "(Beliau ditanya) tentang kebiasaan masyarakat yang melakukan jabat tangan setelah shalat. Apakah hal itu adalah perbuatan sunah atau tidak? (Beliau menjawab) bahwa jabat tangan yang dilakukan oleh masyarakat setelah shalat adalah perbuatan yang tidak memiliki dalil, tapi tidak apa-apa untuk dilakukan."
    Adapun pendapat sebagian ulama yang memakruhkan berjabat tangan setelah melakukan shalat, maka mereka memandang bahwa membiasakan hal itu akan menyebabkan orang bodoh mengira bahwa perbuatan tersebut termasuk dari kesempurnaan shalat atau salah satu amalan sunah dalam shalat yang berasal dari Nabi saw.. Karena alasan inilah maka mereka berpendapat demikian, guna menghindari munculnya keyakinan yang salah tersebut. Selain itu, ada sebagian ulama yang beralasan bahwa Nabi saw. tidak melakukannya sehingga hal itu menunjukkan bahwa bersalaman setelah shalat adalah tidak dianjurkan.
    Meskipun demikian, para ulama yang memakruhkan tersebut menegaskan –sebagaimana dikatakan oleh al-Qari dalam kitab Mirqâh al-Mafâtîh— bahwa jika seorang muslim mengulurkan tangannya untuk bersalaman, maka tidak sepantasnya menolak untuk menyalami tangan tersebut, karena hal itu dapat menyakiti hati kaum muslimin dan melukai perasaan mereka. Hal ini diistilahkan sebagai mujâbarah atau saling menjaga perasaan orang. Menghindari tersakitinya perasaan kaum muslimin lebih diutamakan daripada menjaga adab yang berupa menjauhi perbuatan yang makruh. Karena, sebagaimana ditetapkan dalam syariat, bahwa mencegah kemudaratan lebih didahulukan dari pada mengambil kemaslahatan (dar`ul mafâsid muqaddamun 'ala jalbil mashâlih).
    Hanya saja jumhur ulama dan para ulama muhaqqiqin membatasi penggunaan dalil saddudz dzarî'ah (menutup jalan keharaman), karena jika ia digunakan tanpa batasan maka dapat mengakibatkan kesulitan bagi manusia. Sedangkan penggunaan dalil bahwa Nabi saw. tidak pernah melakukannya (at-tarku), maka penggunaannya sebagai dalil larangan masih diperdebatkan oleh para ulama Ushul Fikih. Hal itu karena hukum asal dari segala sesuatu adalah boleh. Selain itu, telah diriwayatkan dari Nabi saw. bahwa beliau pernah berjabat tangan dengan para sahabat setelah melaksanakan shalat. Imam Bukhari meriwayatkan dari Abu Juhaifah r.a., dia berkata, "Ketika tengah hari, Rasulullah saw. pergi ke bathhâ` (sebuah tempat yang berpasir). Beliau lalu berwudhu. Setelah itu, beliau melakukan shalat Zhuhur dan Ashar masing-masing dua rakaat di hadapan sebuah tombak. Lalu orang-orang memegang tangan beliau (menyalaminya) dan mengusapkannya ke wajah mereka. Maka, saya pun ikut memegang tangan beliau dan meletakkannya di wajah saya. Ternyata tangan beliau lebih dingin dari es dan lebih harum dari minyak misk (kasturi)."
    Al-Muhib ath-Thabari (w. 694 H) mengatakan, "Hadits ini dapat dijadikan isti`nâs (penguat) bagi kebiasaan orang-orang yang berjabat tangan setelah melakukan shalat jamaah, terutama shalat Ashar dan Maghrib, jika dilakukan dengan niat baik, seperti mencari keberkahan (tabaruk), menambah keakraban atau hal-hal sejenisnya."
    Adapun keumuman anjuran berjabat tangan sebagaimana disebutkan dalam hadits,
إِذَا الْتَقَى الْمُسْلِمَانِ فَتَصَافَحَا وَحَمِدَا اللهَ وَاسْتَغْفَرَاهُ غَفَرَ اللهُ لَهُمَا
    "Jika dua orang muslim bersalaman lalu bertahmid dan beristighfar kepada Allah maka Allah akan mengampuni keduanya." (HR. Abu Dawud dan lainnya dari Barra' bin 'Azib r.a.).
    Maka keumuman ini tidak dapat dibatasi pada waktu-waktu tertentu kecuali jika terdapat dalil. Hal itu karena huruf idzâ (jika) dalam bahasa Arab merupakan kata yang menunjukkan waktu di masa mendatang. Sehingga, klaim bahwa keumumam hadits ini khusus pada waktu-waktu selain setelah shalat wajib adalah klaim yang tidak didasarkan pada dalil. Bahkan, terdapat riwayat hadits shahih yang bertentangan dengan hal itu.
    Dengan demikian, secara hukum dasar, berjabat tangan adalah disyariatkan. Melakukannya seusai shalat tidak keluar dari lingkup pensyariatan tersebut. Sehingga, hukumnya adalah mubah atau sunnah sebagaimana pendapat sebagian ulama, atau disesuaikan dengan keadaan sebagaimana pendapat Imam Nawawi. Hal ini dengan catatan tidak adanya keyakinan bahwa bersalaman tersebut merupakan amalan penyempurna shalat ataupun salah satu sunah yang diajarkan oleh Nabi saw. yang selalu beliau dilakukan.
    Oleh karena itu, orang yang mentaklid (mengikuti) pendapat yang memakruhkan harus memperhatikan batasan ini dan harus menjaga sopan santun dalam berselisih serta menghindari sikap provokatif dan permusuhan antar kaum muslimin. Hendaknya diketahui pula bahwa menghormati perasaan orang lain, bersikap lemah lembut dan berusaha menyatukan perpedaan pandangan adalah lebih dicintai oleh Allah dari pada menjauhi perbuatan yang dimakruhkan oleh sebagian ulama, apalagi jika hal itu dibolehkan atau disunnahkan oleh para ulama muhaqqiqin.
    Wallahu subhânahu wa ta'âlâ a'lam.
Sumber : Dar al Iftaa ( Lembaga Fatwa Mesir)
Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tayangan Halaman