Perluasan Lahan Wukuf dan Pemberangkatan Jamaah Haji dari Arafah Secara Bertahap

JIKA TERDAPAT KESALAHAN/KEKELIRUAN DALAM ARTIKEL INI
DAPAT MENGHUBUNGI KAMI DENGAN CARA MENINGGALKAN PESAN... TERIMAKASIH

nbsp;    Memperhatikan permintaan fatwa No. 1661 tahun 2007, yang berisi:
1. Dengan alasan bertambahnya jumlah jamaah haji, apakah boleh memperluas lahan khusus untuk wukuf di Arafah atau yang biasa dikenal dengan daerah perpanjangan Arafah?
2. Apakah boleh melakukan pemberangkatan jamaah haji dari Arafah secara bertahap guna mempermudah proses keluarnya jamaah haji yang jumlahnya sangat besar dari padang Arafah menuju Mina? Apakah ini termasuk dalam kategori merubah manasik haji?
 
Jawaban : Dewan Fatwa
Jawaban Pertanyaan Pertama:
    Syariat menetapkan bahwa batas-batas syiar manasik haji dan batas wilayah tanah halal dan haram termasuk dalam hal-hal yang sudah tetap berdasarkan ijmak kaum muslimin baik dahulu maupun sekarang. Hanya sedikit wilayah yang batasnya menjadi perbedaan para ulama. Batas-batas wilayah tersebut termasuk tsawâbit (hal yang tetap) yang mencerminkan identitas Islam dan tidak boleh diperselisihkan.
    Wukuf di Arafah merupakan rukun haji yang terbesar hingga Nabi saw. bersabda,
الْحَجُّ عَرَفَةَ
 
    "Haji adalah Arafah." (HR. Ahmad dan para penyusun kitab as-Sunan. Hadits ini dishahihkan oleh Ibnu Hibban dan Hakim).
    Batas awal padang Arafah adalah batas akhir wilayah tanah haram dan batas awal wilayah tanah halal. Batas-batas itu merupakan hal yang diketahui secara umum dan disepakati (ijmak) oleh para kaum muslimin, kecuali perbedaan kecil mengenai kawasan Namirah. Sebagian ulama fikih menyatakan bahwa masjid Ibrahim (saat ini disebut dengan masjid Namirah) tidak seluruhnya merupakan bagian dari Arafah. Tapi, bagian depan masjid itu merupakan salah satu tepi lembah Uranah dan bagian belakangnya merupakan bagian dari wilayah Arafah. Sehinga, mereka menyatakan bahwa jamaah haji yang melakukan wukuf di bagian depan masjid itu, maka wukufnya tidak sah, dan barang siapa yang melakukan wukuf di bagian akhir masjid, maka wukufnya sah.
    Para ulama telah berijmak atas keabsahan wukuf di seluruh bagian wilayah Arafah. Hal itu berdasarkan sabda Rasulullah saw. yang diriwayatkan oleh Jabir r.a.,
وَقَفْت هَاهُنَا، وَعَرَفَةُ كُلُّهَا مَوْقِفٌ
 
    "Saya melakukan wukuf di tempat ini dan seluruh bagian Arafah adalah tempat wukuf." (HR. Muslim).
    Para ulama juga berijmak bahwa jamaah haji yang melakukan wukuf di luar batas Arafah maka hajinya batal. Hanya saja diriwayatkan dari Imam Malik, dia berpendapat bahwa jamaah haji yang melakukan wukuf di lembah Uranah maka hajinya sah, tetapi dia harus membayar dam. Namun demikian, pendapat yang benar dalam mazhab Maliki, lembah Uranah bukan termasuk wilayah Arafah dan bukan termasuk Tanah Haram.
    Para ulama juga menegaskan bahwa barang siapa melakukan kesalahan ketika melakukan wukuf, sehingga dia melakukannya di luar batas Arafah, maka hajinya batal dan dia wajib mengqadhanya (menggantinya). Bahkan, meskipun hal itu secara kebetulan terjadi pada seluruh jamaah haji. Kewajiban mengqadha ini dikarenakan kesalahan melakukan wukuf di luar pada Arafah termasuk hal yang dapat dihindari, sehingga kesalahan tersebut tidak dapat dijadikan alasan untuk menggugurkan kewajiban mengqadha. Oleh karena itu, jika para jamaah haji melakukan kesalahan ketika wukuf dengan melakukannya di luar wilayah Arafah, maka mereka harus mengqadha haji, baik yang melakukan kesalahan itu seluruh jamaah haji atau sebagian kecil dari mereka. Hal ini karena ketika mengqadhanya kesalahan pada tempat wukuf dapat dihindari.
    Berdasarkan hal ini, maka tidak boleh melebarkan padang Arafah melampaui batas yang telah disepakati oleh umat Islam. Apalagi dalam rukun ini, jamaah haji hanya diminta untuk sekedar berada di bagian mana saja dari padang Arafah; buminya atau udaranya, berdiri atau duduk, menunggangi kendaraan atau berjalan, dan terbangun atau tidur. Mereka tidak dituntut harus singgah atau menetap di sana, karena rukun ini dapat tercapai dengan sekedar melewati padang Arafah saja.
    Adapun alasan sempitnya wilayah sehingga mengakibatkan kondisi desak-desakan dan aksi saling dorong, maka dapat diatasi dengan pengaturan menyeluruh terhadap arus keluar-masuk para jamaah haji dari dan ke padang Arafah. Meskipun hal itu dengan mengambil pendapat mazhab yang tidak mensyaratkan waktu tertentu untuk melakukan wukuf sebagaimana akan diterangkan dalam masalah yang kedua. Hal ini dilakukan demi menghindari bahaya yang dapat mucul akibat kepadatan dan desak-desakan itu.
Jawaban Pertanyaan Kedua:
    Para ulama berijmak bahwa setelah tergelincirnya matahari adalah waktu yang benar untuk melakukan wukuf di Arafah. Waktu wukuf ini berakhir dengan terbitnya fajar pada hari Nahr. Barang siapa melakukan wukuf dari setelah tergelincirnya matahari hingga malam hari, maka wukufnya sempurna.
    Namun para ulama berbeda pendapat dalam dua hal:
    Pertama: Hukum melakukan wukuf di padang Arafah dan keluar darinya sebelum matahari tergelincir; apakah hal itu dapat menggantikan wukuf setelah matahari tergelincir? Jumhur ulama menyatakan bahwa itu tidak bisa menggantikannya. Sehingga orang yang melakukannya harus kembali ke Arafah dan melakukan wukuf di dalamnya setelah tergelincirnya matahari, atau melakukan wukuf pada salah satu bagian waktu malamnya sebelum terbit fajar. Kalau dia tidak melakukan hal itu, maka hajinya tidak sah.
    Namun, para ulama mazhab Hambali bependapat bahwa hal itu bisa menggantikan wukuf setelah tergelincirnya matahari dan haji orang yang melakukannya tetap sah.
    Kedua: Apakah sah wukuf di arafah dan keluar darinya sebelum matahari tenggelam?
    Para ulama mazhab Hanafi dan para ulama yang sependapat dengan mereka mewajibkan wukuf di Arafah hingga matahari tenggelam.
    Namun, menurut para ulama mazhab Syafi`i dan para ulama yang sependapat dengan mereka, wukuf hingga matahari tenggelam adalah sunnah dan tidak wajib. Sehingga, menurut mereka jamaah haji yang melakukan wukuf sebeum tergelincirnya matahari boleh keluar dari Arafah sebelum Maghrib.
    Pendapat kedua dalam kedua masalah di atas berpijak pada riwayat Urwah bin al-Mudharris r.a., dia berkata, "Saya mendatangi Rasulullah saw. di Muzdalifah ketika beliau hendak melakukan shalat Shubuh. Lalu saya katakan kepada beliau, "Wahai Rasulullah, saya datang dari dua bukit Thayyi`. Perjalanan saya telah membuat lelah tunggangan saya dan diri saya sendiri. Demi Allah, tidak ada satu gundukan pasir pun yang saya lewati kecuali saya berhenti di sana. Apakah dengan ini saya telah menunaikan haji?" Maka Rasulullah saw. menjawab,
مَنْ شَهِدَ صَلاَتَنَا هَذِهِ وَوَقَفَ مَعَنَا حَتَّى نَدْفَعَ وَقَدْ وَقَفَ بِعَرَفَةَ قَبْلَ ذَلِكََ لَيْلاً أَوْ نَهَارًا فَقَدْ أَتَمَّ حَجَّهُ وَقَضَى تَفَثَهُ
 
    "Barang siapa menghadiri shalat kami ini dan bermalam bersama kami hingga kami berangkat nanti, sedangkan dia telah melakukan wukuf di Arafah sebelumnya baik di malam atau siang harinya, maka dia telah menyempurnakan hajinya dan dia telah menyelesaikan ibadah hajinya" (HR. Ahmad dan para penyusun sunan. Hadits ini dishahihkan oleh at-Tirmidzi, Ibnu Hibban, ad-Daruquthni dan al-Hakim).
    Abul Barakat Ibnu Taimiyah al-Hambali, dalam kitab Muntaqâ al-Akhbâr, setelah menyebutkan hadits di atas, menyatakan, "Ini merupakan hujjah bahwa seluruh siang hari Arafah adalah waktu untuk melakukan wukuf".
    Islam merupakan agama dengan ajaran dan sistem yang agung dan istimewa. Dalam ibadah-ibadah yang disyariatkan, Islam mengajarkan agar semua itu dilaksanakan oleh para mukallaf dengan cara yang dapat menjaga keamanan, ketenangan dan keselamatan mereka. Islam juga mendahulukan kepentingan umum dari kepentingan personal. Dan tidak ada larangan untuk tidak terikat dengan mazhab fikih tertentu jika suatu kemaslahatan dapat direalisasikan melalui mazhab yang lain. Hal ini seperti dalam masalah melempar jamrah. Melempar jamrah pada waktu tententu saja merupakan kesulitan yang besar bagi para jamaah haji. Dalam kaidah fikih ditetapkan bahwasanya Idzâ dhaqa al-amru ittasa' (Ketika suatu perkara menjadi sempit, maka dia akan menjadi lapang).
    Berdasarkan hal di atas, maka pihak-pihak yang bertanggung jawab boleh mengatur kedatangan dan keberangkatan jamaah haji ke dan dari Arafah dengan cara yang disesuaikan dengan jumlah jamaah haji untuk menghindari terjadinya desak-desakan karena kepadatan jumlah mereka. Dalam kaidah fikih dijelaskan bahwa pemimpin mempunyai kewenangan untuk membatasi sesuatu yang dibolehkan demi kepentingan umum. Seorang pemimpin juga boleh memilih salah satu mazhab ulama yang menurutnya dapat merealisasikan tujuan-tujuan syariah dan maslahat rakyat, karena seluruh kebijakannya terhadap rakyat berdasarkan kemashalatan mereka.
    Dengan demikian, para penguasa negara-negara Islam yang bertanggung jawab dalam pengaturan jamaah haji, hendaknya memilih mazhab fikih yang diakui yang menurut mereka paling sesuai dengan keselamatan para jamaah haji dan lebih dapat merealisasikan keamanan dan ketenangan mereka. Mereka juga boleh membagi jamaah haji sebanyak dua gelombang atau lebih ketika bertolak dari padang Arafah, sesuai dengan maslahat para jamaaah haji. Semua kebijakan ini sama sekali tidak dianggap sebagai tindakan yang merubah manasik haji.
Wallahu subhânahu wa ta'âlâ a'lam.

Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tayangan Halaman