Memperhatikan permohonan fatwa No. 207 tahun 2007 yang berisi:
Apakah saya boleh merubah mushalla
yang telah saya bangun di lantai bawah rumah saya menjadi tempat tinggal
karena keperluan keluarga kami yang sangat mendesak?
|
||
|
||
Ya, boleh. Ini adalah pendapat jumhur ulama baik dahulu maupun
sekarang. Pendapat inilah yang ditunjukkan oleh nash-nash syarak. Bahkan
ada yang menukil bahwa para ulama sepakat dalam masalah ini. Karena,
terdapat perbedaan antara masjid yang diwakafkan untuk Allah dengan
mushalla atau tempat shalat, meskipun masing-masing boleh dijadikan
sebagai tempat shalat dan disyarakatkan keduanya dalam keadaan suci.
Masjid mempunyai hukum-hukum khusus
yang berkaitan dengannya, seperti fungsinya tidak boleh diubah untuk
keperluan lain, tidak boleh digunakan untuk tempat transaksi jual beli,
tidak boleh dimasuki oleh wanita yang sedang haid, dianjurkannya
melakukan shalat Tahiyyatul Masjid ketika memasukinya dan lain
sebagainya. Hal ini berbeda dengan mushalla atau tempat shalat lainnya
yang tidak memiliki hukum-hukum tersebut meskipun diwakafkan untuk
tempat shalat. Berikut ini penjelasan para ulama dalam masalah di atas:
Ibnu Hazm azh-Zhahiri dalam
al-Muhallâ berkata, "Tidak boleh membangun masjid dengan rumah milik
pribadi di atasnya yang bukan bagian dari masjid itu. Juga tidak boleh
membangun masjid dengan rumah milik pribadi di bawahnya yang bukan
merupakan bagian dari masjid itu. Jika ada orang yang membangun masjid
tapi dengan membangun rumah di bawah atau di atasnya, maka itu bukan
masjid sama sekali. Dan tempat itu masih tetap milik orang yang
membangunnya seperti semula. Alasan akan hal ini adalah bahwa ruang
udara tidaklah bisa dimiliki oleh siapapun, karena ia tidak bisa
dikendalikan dan tidak bisa menetap. Dan Allah berfirman,
"Dan sesungguhnya mesjid-mesjid itu adalah kepunyaan Allah." (al-Jinn [72]: 18).
Maka, suatu bangunan tidak menjadi
masjid kecuali jika ia bukan milik siapapun melainkan milik Allah
semata, tanpa ada pemilik yang lain. Jika tidak demikian, maka hukumnya
juga berbeda. Oleh karena itu, jika sebuah rumah dimiliki oleh
seseorang, maka ia boleh meninggikannya sesuai dengan keinginannya dan
dia pun tidak mampu untuk mengeluarkan ruang udara yang ada di atasnya
dari kepemilikannya. Dan hukum tetap bagi ruang udara itu adalah
miliknya, bukan milik orang lain.
Demikian juga jika seseorang
membangun sebuah masjid di sebidang tanah dan dia mensyaratkan agar
ruangan udara di atasnya tetap menjadi miliknya agar bisa dia gunakan
untuk keperluan apa saja, maka dia belum melepaskan bangunan itu dari
kepemilikannya kecuali dengan syarat yang tidak sah. Padahal Rasulullah
saw. telah bersabda,
كلُّ شَرطٍ لَيْسَ فِيْ كِتَابِ اللهِ فَهُوَ باَطِلٌ
"Semua syarat yang tidak ada di dalam Kitab Allah adalah tidak sah."
Di samping itu, jika seseorang
membangun masjid di atas sebidang tanah namun dia tetap menjadikan ruang
udara di atasnya sebagai miliknya, maka jika atap masjid itu adalah
miliknya berarti masjid itu tidak memiliki atap, padahal sebuah bangunan
tidak mungkin disebut sebagai bangunan jika tidak memiliki atap. Namun,
jika atapnya adalah milik masjid, maka orang tersebut tidak boleh
menggunakannya dengan membuat bangungan di atasnya. Sedangkan jika
masjid itu terletak di atas bangunan sehingga atapnya adalah milik
masjid, maka masjid tersebut berarti tidak memiliki lantai. Dan ini
tidaklah mungkin diterima. Namun, jika lantai itu adalah milik masjid
maka orang itu tidak memiliki hak terhadapnya, sehingga dia membuat
rumah tanpa atap dan ini adalah mustahil.
Demikian juga jika posisi masjid itu
berada di bawah rumahnya, maka orang tersebut tidak boleh membangun
apapun di atas ujung-ujung dinding masjid itu. Mensyaratkan kebolehan
untuk membuat bangunan di atas masjid itu adalah tidak sah, karena itu
adalah syarat yang tidak ada di dalam Kitab Allah. Dan jika masjid itu
berada di atas rumahnya, maka dia berhak untuk menghancurkan
dinding-dinding rumahnya kapan saja, dan ini berarti menghancurkan
seluruh masjid dan merobohkannya. Sedangkan orang lain tidak boleh
melarangnya untuk melakukan hal itu, karena melarangnya melakukan hal
itu berarti melarangnya untuk mempergunakan harta kekayaan miliknya. Dan
ini tidak boleh." Demikian penjelasan Ibnu Hazm.
Dalam mazhab Hanafi, an-Nasafi dalam
kitab Kanz al-Daqâ`iq berkata, "Barang siapa membangun sebuah masjid dan
membuat ruangan kosong miliknya pribadi di bawahnya atau membuat rumah
di atasnya, lalu menjadikan pintu masjid itu langsung menghadap ke jalan
dan terpisah dari pintu rumahnya, atau membuat masjid di dalam rumahnya
dan mengizinkan orang-orang untuk masuk ke dalamnya, maka dia boleh
menjual masjid itu dan boleh mewariskannya kepada keluarganya."
Ibnu Nujaim ketika memaparkan
kata-kata tersebut dalam kitab al-Bahr al-Râ`iq, berkata, "Hal ini
karena dia tidak mengikhlaskan tempat tersebut sepenuhnya untuk Allah
Ta'ala, disebabkan hak hamba masih terkait dengannya. Kesimpulannya,
bahwa syarat bagi suatu tempat untuk menjadi masjid adalah jika ruangan
di bawah dan di atasnya merupakan bagian dari masjid tersebut, agar hak
hamba benar-benar terlepas darinya. Hal ini berdasarkan firman Allah,
"Dan sesungguhnya mesjid-mesjid itu adalah kepunyaan Allah." (al-Jinn [72]: 18).
Berbeda jika ruangan di bawah masjid
tersebut atau ruangan di atasnya itu diwakafkan untuk keperluan masjid,
maka hal itu dibolehkan, karena ruangan-ruangan itu bukan milik seorang
pun, melainkan bagian dari masjid tersebut. Ruangan di bawah masjid
tersebut adalah seperti ruangan di bawah masjid Baitul Maqdis. Dan
pendapat ini merupakan zhâhir al-mazhab. Terdapat juga pendapat-pendapat
yang diriwayatkan secara lemah dari Imam Abu Hanifah sebagaimana
disebutkan dalam kitab al-Hidâyah". Demikian penjelasan Ibnu Nujaim.
Dalam mazhab Maliki, disebutkan dalam
kitab al-Mudawwanah, "Kami pernah bertanya kepada Malik mengenai masjid
yang dididirikan oleh seseorang lalu ia mendirikan rumah di atasnya
untuk dia tempati. Beliau menjawab, "Saya tidak suka hal itu." Beliau
melanjutkan, "Umar bin Abdul Aziz yang merupakan pemimpin panutan pernah
bermalam di atas sebuah masjid, yaitu masjid Nabi saw., maka beliau
tidak mendekati istrinya sama sekali. Dan jika rumah dibangun di atas
sebuah masjid, maka masjid itu menjadi tempat tinggal yang di dalamnya
seseorang boleh menggauli istrinya dan makan makanannya." Demikian
penjelasan al-Mudawwanah.
Dalam kitab Anwâr al-Burûq fî Anwâ`
al-Furûq, Imam al-Qarafi al-Maliki berkata, "Perbedaan kedua ratus dua
belas: perbedaan antara ruang udara di atas bangunan dan pondasi yang
berada di bawahnya. Ketahuilah, hukum ruang udara di atas sebuah
bangunan adalah seperti hukum pondasi di bawahnya. Ruang udara di atas
bangunan wakaf adalah wakaf. Ruang udara tanah kosong adalah termasuk
tanah kosong tersebut. Ruang udara tanah tak bertuan adalah seperti
hukum tanah tak bertuan itu. Ruang udara tanah milik seseorang adalah
seperti tanah itu. Dan ruang udara masjid adalah seperti hukum masjid,
sehingga tidak boleh didekati oleh orang yang sedang junub. Berdasarkan
kaidah ini, maka dilarang menjual ruang udara masjid dan tanah wakaf
–dan seterusnya ke atas langit— kepada orang yang akan menanam
tiang-tiang pondasi di sekitarnya dan membangun di atas tiang-tiang itu
lantai sebagai dasar bangunan di atasnya." Demikian penjelasan
al-Qarafi.
Ibnu Rusyd al-Maliki berkata, "Tidak
ada perbedaan bahwa kesucian ruang di atas masjid adalah seperti
kesucian masjid. Masjid dan bangunan di atasnya tidak boleh diwariskan,
tapi boleh mewariskan bangunan yang berada di bawahnya. Namun, para
ulama berbeda pendapat mengenai hukum melaksanakan shalat Jum'at di
tempat itu: apakah hukumnya makruh tapi shalatnya tetap sah jika telah
dilakukan, ataukah shalat itu tidak sah dan tidak dianggap sama sekali?"
Ibnu al-Hajj al-Maliki dalam
al-Madkhal berkata dalam bab yang menjelaskan tentang bid'ah-bid'ah yang
dilakukan pada masjid, "Pasal: termasuk dalam masalah ini adalah
membangun rumah di atas masjid. Perbuatan itu merupakan perampasan dan
penguasaan terhadap tempat-tempat milik kaum muslimin di masjid, serta
membuat sesuatu yang baru pada barang wakaf tanpa keperluan mendesak.
Perbuatan itu mengandung berbagai hal yang tidak bisa dibenarkan yang
telah disebutkan sebelumnya, seperti keadaan orang-orang yang tinggal di
sana dan tindakan mereka merampas tempat yang mereka tempati itu.
Bahkan, masalah ini lebih berat lagi, karena rumah-rumah yang berada di
atas atap masjid itu akan digunakan selamanya untuk tempat tinggal. Hal
ini berbeda dengan yang sebelumnya. Terdapat mudarat lain selain
berbagai mudarat yang disebutkan di atas, yaitu tinggalnya orang yang
membangun rumah itu di masjid tersebut, yang terkadang ia dalam keadaan
junub, sebagaimana telah disebutkan.
Ada seorang hakim yang dikenal dengan
Ibnu Binti al-A'az –wallahu a'lam-- ketika diangkat menjadi hakim, ia
bersama beberapa orang mendatangi masjid jami' di Mesir dan merobohkan
rumah-rumah yang dibangun di atas atapnya hingga bersih. Ia tidak
bertanya tentang siapakah pemilik rumah tersebut atau siapakah pemilik
pakaian yang ada di dalamnya. Tapi, ia langsung mengambil apa yang dia
dapati dan membuangnya ke halaman masjid. Hal itu terus berlangsung
cukup lama. Tapi, lalu orang-orang kembali membangun tempat tinggal di
atas masjid jami' setelah tidak ada yang melarang atau yang menyinggung
masalah itu.
Menurut Imam Malik rahimahullah,
melakukan shalat Jum'at di atas atap masjid yang hanya boleh dimasuki
oleh orang-orang tertentu adalah tidak sah. Karena, salah satu syarat
shalat Jum'at adalah diadakan di masjid yang mempunyai atap. Dan salah
satu sifat masjid adalah boleh dimasuki tanpa izin dan hak semua orang
di dalamnya adalah sama. Sedangkan atap masjid pada umumnya tidaklah
demikian, ia hanya boleh dimasuki oleh sebagian orang. Dan shalat Jum'at
di ruangan di dalam masjid yang hanya boleh dimasuki oleh sebagian
orang adalah tidak sah, sebagaimana tidak sah shalat Jum'at di baitul
qanâdil (sebuah ruangan di dalam masjid-masjid model zaman dahulu yang
menjadi tempat penyimpanan dan perawatan lampu-lampu masjid, Penj.).
Karena, keduanya sama-sama dibatasi untuk sebagian orang sebagaimana
kami sebutkan. Seandainya pun kita katakan bahwa bagian atas masjid
tidak dibatasi untuk orang-orang tertentu, namun menurut mazhab Malik
rahimahullah hukumnya adalah sesuai dengan keadaan yang umum. Dan
keadaan yang umum dalam masalah ini adalah bahwa bagian atas masjid
adalah dibatasi untuk sebagian orang saja sebagaimana dijelaskan."
Demikian penjelasan Ibnu al-Hajj.
Dalam Hâsyiyah Syaikh ad-Dasuqi atas
kitab asy-Syarh al-Kabîr, dinukil dari an-Nashir al-Laqqani bahwa
kemakruhan tinggal di rumah yang dibangun di atas masjid maksudnya
adalah larangan, baik masjid tersebut didirikan untuk shalat atau untuk
disewakan, dan baik pewakafan masjid itu sebelum dibangunnya rumah di
atasnya atau sesudahnya."
Syaikh Muhammad Ahmad 'Alisy, dalam
Minah al-Jalîl Syarh Mukhtashar Khalil, menukil dari Ibnul Hajib,
al-Qarafi dan Ibnu Syas bahwa seseorang boleh menjadikan bagian di atas
rumahnya sebagai masjid, tapi tidak boleh menjadikan bawahnya sebagai
masjid. Bagian atas dapat dijadikan sebagai masjid karena ia mempunyai
kesucian yang sama seperti masjid. Hal serupa disebutkan dalam
ad-Dzakhîrah dan al-Jawâhir fî at-Tawdhih. Begitu juga dalam
al-Mudawwanah dan al-Wâdhihah.... Dalam kitab ringkasannya disebutkan
bahwa Malik membolehkan seseorang yang mempunyai bangunan dengan ruangan
di bawah dan di atas untuk menjadikan ruangan di atas tersebut sebagai
masjid dan ia menempati bagian bawahnya. Tapi, ia tidak boleh menjadikan
ruangan bawahnya sebagai masjid lalu ia tinggal di ruangan atasnya.
Perbedaan antara keduanya adalah jika orang itu menjadikan ruangan
bawahnya sebagai masjid, maka ruangan di atas masjid itu memiliki
kesucian seperti kesucian masjid. ... Adapun jika ia memiliki sebuah
rumah yang terdapat tambahan ruangan di atasnya dan di bawahnya, lalu
dia ingin mewakafkan ruangan yang ada di bawah rumahnya sebagai masjid
sedangkan ruangan di atas rumahnya tetap menjadi miliknya, maka hal ini
tidak dibolehkan berdasarkan penjelasan eksplisit (zhâhir) dari kitab
al-Wâdhihah dan Ibnul Hajib serta ulama yang mengikuti keduanya dan
penjelasan pengarang dalam al-Ihyâ`."
Zarkasyi, salah seorang ulama Mazhab
Syafi'i, dalam I'lâm as-Sâjid bi Ahkâm al-Masâjid, berkata, "Malik
memakruhkan membangun masjid dan membuat tempat tinggal di atasnya yang
ia tempati bersama keluarganya. Dalam fatwa al-Baghawi pun disebutkan
penjelasan larangan orang junub untuk berdiam di tempat itu. Karena, ia
menganggap rumah itu sebagai ruang udara milik masjid. Dan hukum ruang
udara masjid adalah seperti hukum masjid."
Ibnu Muflih al-Hambali menukil dari
kitab al-Furû' dari Imam Ahmad melalui jalur Hambal, bahwa tidak boleh
memanfaatkan rumah yang di bawahnya terdapat masjid, tapi jika ia
menjadikan masjid itu di atasnya maka ia boleh memanfaatkan bagian
bawahnya, karena bagian atas tidak membutuhkan bagian bawahnya."
Perkataan para ulama dari berbagai
mazhab yang kami sebutkan di atas merupakan fatwa yang diambil oleh Dâr
al-Iftâ' al-Mishriyyah (Lembaga Fatwa Mesir). Yang Mulia Syaikh Abdul
Majid Salim, mantan mufti Dâr al-Iftâ' al-Mishriyyah, pernah
mengeluarkan fatwa yang berkenaan dengan masalah ini pada tanggal 04
Dzulhijjah 1363 H yang bertepatan dengan 20 November 1944. Isi fatwa
tersebut adalah:
"Pendapat yang dipegangi dalam mazhab
Abu Hanifah adalah bahwa sebuah bangunan yang tidak sepenuhnya
berstatus sebagai masjid, maka ia tidak dapat disebut sebagai masjid
hingga seluruh bagiannya terlepas dari hak-hak manusia. Jika ada
seseorang yang mendirikan sebuah masjid dan di bawahnya dia membuat toko
yang bukan milik masjid, atau ada seseorang yang mendirikan rumah
pribadi atau untuk orang lain di atas sebuah masjid yang dia bangun,
maka bangunan itu bukanlah masjid. Karena, bangunan yang dikehendaki
menjadi masjid tersebut belum terpisah dari hak-hak manusia. Namun, jika
di bawah masjid itu dibangun ruangan kosong atau rumah untuk keperluan
dan fasilitas masjid, atau didirikan di atasnya sebuah rumah untuk
keperluan masjid, maka bangunan itu dapat disebut sebagai masjid dan
terlepas dari kepemilikan orang yang mewakafkannya setelah terpenuhi
syarat-syarat lainnya yang disebutkan oleh para ulama.
Perincian tentang hukum kebolehan
membuat bangunan tambahan untuk kepentingan masjid di atas berlaku jika
bangunan tersebut belum sempurna menjadi masjid. Namun, jika bangunan
tersebut telah sempurna menjadi masjid, maka tidak boleh mendirikan
bangunan di atasnya meskipun untuk keperluan masjid. Dengan demikian,
pembedaan hukum tentang bangunan tambahan di atas masjid yang digunakan
untuk kepentingan masjid tersebut dan yang bukan untuk kepentingannya
adalah jika masjid itu belum sepenuhnya menjadi masjid. Namun, jika
bangunan itu telah sempurna menjadi masjid maka tidak boleh sama sekali
menambah bangunan lagi di atasnya. Bahkan, sebagian ulama secara tegas
menyatakan bahwa tidak boleh meletakkan batang pohon di dindingnya
meskipun itu adalah bagian dari barang wakaf.
Menurut Ibnu Abidin dalam Radd
al-Muhtâr, status sebuah bangunan sempurna menjadi masjid dengan ucapan
orang yang mewakafkannya –berdasarkan pendapat yang dijadikan sebagai
fatwa— atau dengan melakukan shalat di dalamnya –berdasarkan pendapat
keduanya (Abu Hanifah dan Muhammad bin Hasan). Yang dimaksud pendapat
yang dijadikan sebagai fatwa adalah pendapat Imam Abu Yusuf yang tidak
mensyaratkan agar sebuah bangunan menjadi masjid dilaksanakannya shalat
dalam masjid tersebut setelah mendapatkan izin dari pemiliknya, tapi
cukup perkataannya saja, yaitu dengan mengatakan, "Saya menjadikan
bangunan ini sebagai masjid," meskipun belum dilakukan shalat di
dalamnya. Namun, yang dipahami dari pendapat para ulama Hanafiyah bahwa
perkataan pemilik bangunan pun tidak diharuskan, bahkan pendirian
bangunan dalam bentuk masjid telah cukup menjadikannya masjid secara
sempurna menurut Abu Yusuf. Karena, dalam kebiasaan masyarakat,
pembuatan bangunan itu dalam bentuk masjid menunjukkan bahwa bangunan
itu adalah untuk masjid. Semua ini tentu saja jika tidak terdapat
hal-hal lain yang menafikan tanda-tanda tersebut.
Kesimpulannya adalah jika penanya
mendirikan rumah di atas bangunan yang ia dirikan, maka jika pembangunan
itu dilakukan sebelum bangunan itu menjadi masjid, maka bangunan itu
bukanlah masjid. Tapi, jika pembangunan rumah itu dilakukan setelah
bangunan itu selesai menjadi masjid, maka rumah itu telah didirikan
tanpa dasar yang benar sehingga harus dihancurkan.
Juga telah dikeluarkan fatwa tentang
hal di atas oleh Syaikh Hasanain Makhluf, mantan Mufti Mesir, pada
tanggal 14 Shafar 1369 H/5 Desember 1949M. Isi fatwa tersebut adalah:
"Kami sampaikan bahwa masjid wajib benar-benar murni untuk Allah ta'ala.
Hal ini berdasarkan firman Allah 'Azza wajalla,
"Dan sesungguhnya mesjid-mesjid itu adalah kepunyaan Allah." (al-Jinn [72]: 18).
Dalam ayat ini Allah menyatakan bahwa
masjid-masjid itu adalah milik-Nya, padahal segala sesuatu adalah
milik-Nya. Hal ini adalah untuk menunjukkan bahwa masjid wajib milik
Allah semata".
Berangkat dari hal ini, menurut para
ulama Mazhab Hanafi Zhahir Riwayat menyatakan bahwa jika seseorang
membangun masjid lalu ia juga membuat ruangan di atas atau di bawahnya
untuk dia manfaatkan sendiri, maka bangunan itu bukanlah masjid sama
sekali. Dan dia pun boleh menjual dan mewariskannya. Adapun jika
bangunan tambahan itu adalah untuk kepentingan masjid, maka hal itu
dibolehkan dan bangunan itu pun menjadi masjid. Hal ini sebagaimana
disebutkan dalam ad-Durrul Mukhtâr dan hasyiyahnya, juga al-Fatâwâ
al-Hindiyah dan yang lainnya. Penambahan ruangan untuk kepentingan
masjid ini dibolehkan jika bangunan itu belum sepenuhnya menjadi masjid.
Sedangkan jika sudah sempurna menjadi masjid, maka secara mutlak
seseorang tidak boleh membuat bangunan tambahan pada masjid itu walaupun
untuk kepentingan masjid tersebut.
Ibnu Abidin menukil pernyataan dari
al-Bahr yang isinya, "Kesimpulannya bahwa syarat suatu bangunan menjadi
masjid adalah jika bangunan yang ada di atas dan di bawahnya adalah
masjid, sehingga hak hamba dari bangunan itu benar-benar terputus. Hal
ini berdasarkan firman Allah ta'ala,
"Dan sesungguhnya mesjid-mesjid itu adalah kepunyaan Allah." (al-Jinn [72]: 18).
Ini berbeda jika bagian bawah dan
atasnya adalah bangunan yang diwakafkan untuk kemaslahatan masjid,
seperti ruangan bawah tanah di masjid Baitul Maqdis (Masjidil Aqsha).
Dan ini merupakan pendapat yang sesuai dengan Zhahir Riwayat".
Namun, Ibnu Abidin juga menukil dari
Shahibain (Dua Sahabat Abu Hanifah, yaitu Abu Yusuf dan Muhammad bin
Hasan) bahwa dalam keadaan darurat seseorang boleh membuat ruangan
pribadi di atas atau di bawah masjid yang dia bangun. Hal ini seperti di
daerah-daerah yang berpenduduk padat yang penuh dengan bangunan rumah.
Dengan demikian, jika terdapat
kondisi darurat maka tidak apa-apa mengambil pendapat Shahibain yang
telah disebutkan di atas. Hal itu karena pendapat ini sesuai dengan
kaidah-kaidah umum mazhab, seperti kaidah adh-Dharûrât Tubîh
al-Mahzhûrât (Keadaan Darurat Membolehkan Hal-hal yang Dilarang), kaidah
al-Masyaqqah Tajlib at-Taysîr (Kesulitan Mendatangkan Kemudahan) dan
kaidah-kaidah lainnya. Semua ini sesuai dengan firman Allah SWT,
"Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan". (Al-Hajj [22]: 78).
Wallahu a'lam.
Demikian fatwa Syaikh Hasanain Muhammad Makhluf.
Wallahu subhânahu wa ta'âlâ a'lam.
|
Home »
FATWA HUKUM ISLAM
» Perbedaan antara Masjid dan Mushala dari Sudut Kepemilikan
Perbedaan antara Masjid dan Mushala dari Sudut Kepemilikan
JIKA TERDAPAT KESALAHAN/KEKELIRUAN DALAM ARTIKEL INI
DAPAT MENGHUBUNGI KAMI DENGAN CARA MENINGGALKAN PESAN... TERIMAKASIH
DAPAT MENGHUBUNGI KAMI DENGAN CARA MENINGGALKAN PESAN... TERIMAKASIH
Tidak ada komentar:
Posting Komentar