honan fatwa No. 135 tahun 2008 yang berisi:
Mohon penjelasan hukum penggunaan SIS
(Small Intestinal Submucosa) atau UBM (Urinary Bladder Matrix) –yaitu
serat jaringan ikat (connective tissue) setelah dipisahkan dari selnya—
yang diambil dari tubuh babi untuk digunakan pada hewan-hewan percobaan
–seperti kelinci— agar dapat diketahui pengaruhnya dalam memperbaharui
jaringan-jaringan yang masih hidup di dalam tubuh. Ini merupakan langkah
awal terhadap riset penggunaan jaringan ikat yang diambil dari hewan
lain (bukan babi) untuk pengobatan manusia, sebagai pengganti dari
jaringan ikat yang diambil dari babi yang telah tersebar luas di
pasar-pasar Amerika.
|
||
|
||
Allah SWT berfirman,
"Dan Dia menundukkan untukmu apa yang
ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya, (sebagai rahmat)
daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berpikir." (Al-Jâtsiyah: 13).
Allah juga berfirman,
"Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu." (Al-Baqarah: 29).
Kedua ayat ini dan nash-nash syariat
yang lainnya menjelaskan bahwa Allah –yang telah menciptakan manusia
untuk menyembah-Nya dan memakmurkan bumi-Nya, serta memuliakannya dengan
menciptakan mereka dengan kekuasaan-Nya, meniupkan ruh-Nya kepadanya
dan memerintahkan malaikat untuk bersujud padanya--, telah menundukkan
semua yang ada di langit dan bumi untuk makhluk istimewa ini guna
melaksanakan tugasnya penting dan mulia.
Jika demikian, maka makhluk yang hina
–seperti babi yang dianggap najis oleh jumhur ulama— adalah lebih
ditundukkan untuk manusia ketimbang makhluk-makhluk yang lain. Maka
apabila terdapat manfaat bagi manusia dari riset yang menggunakan tubuh
atau jaringan babi itu, sementara manfaat itu tidak dapat diperoleh jika
menggunakan obyek yang lain yang lain, atau dapat diperoleh tapi dengan
kualitas yang rendah, maka hal ini dapat dijadikan alasan untuk
menaikkan derajat hukumnya dari dibolehkaan menjadi dianjurkan atau
diharuskan.
Agama Islam sangat mendorong untuk
memajukan ilmu dan memuliakan para ulama dalam berbagai ayat dan hadis.
Diantaranya adalah firman Allah,
"Sesungguhnya yang takut kepada Allah diantara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama." (Fâthir: 28).
Dan firman-Nya,
"Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui." (Ar-Rûm: 22).
Allah juga berfirman,
"Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi." (Yûnus: 101).
Diriwayatkan dari Abu Darda` r.a. bahwa Nabi saw. bersabda,
مَنْ سَلَكَ طَرِيْقاً يَطْلُبُ فِيْهِ
عِلْمًا سَلَكَ اللهُ بِهِ طَرِيْقًا مِنْ طُرُقِ الْجَنَّةِ، وَإِنَّ
الْمَلاَئِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا رِضًى لِطَالِبِ الْعِلْمِ، وَإِنَّ
الْعَالِمَ لَيَسْتَغْفِرُ لَهُ مَنْ فِيْ السَّمَوَاتِ وَمَنْ فِيْ
اْلأَرْضِ وَالْحِيْتَانُ فِيْ جَوْفِ الْمَاءِ، وَإِنَّ فَضْلَ الْعَالِمِ
عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ عَلَى سَائِرِ
الْكَوَاكِبِ، وَإِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ اْلأَنْبِيَاءِ، وَإِنَّ
اْلأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوْا دِيْنَارًا وَلاَ دِرْهَمًا، وَرَّثُوْا
العِلمَ، فمَن أَخَذَه أَخَذَ بحظّ وافِر
"Barangsiapa menempuh perjalanan untuk mencari ilmu, maka Allah akan menjadikan baginya jalan menuju surga karenanya. Sesungguhnya para malaikat akan meletakkan sayap-sayapnya karena senang kepada penuntut ilmu. Sesungguhnya seluruh makhluk yang ada di langit dan di bumi, hingga ikan-ikan di lautan, memohonkan ampunan baginya. Dan keutamaan seorang alim dari seorang ahli ibadah, seperti keutamaan bulan dari seluruh bintang-bintang di langit. Sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi. Sesungguhnya para nabi tidak mewariskan uang dinar atau dirham, akan tetapi mereka mewariskan ilmu. Barangsiapa mendapatkan ilmu maka dia telah mengambil bagian yang sempurna". (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi).
Adalah mustahil menetapkan hukum
terhadap suatu perkara tanpa mengetahui deskripsinya terlebih dahulu.
Dan pendeskripsian ini tidak mungkin dicapai kecuali dengan adanya ilmu.
Mengetahui manfaat atau bahaya dari seekor hewan, tidak mungkin
dilakukan kecuali dengan berhubungan dan berinteraksi secara langsung
dengannya. Seandainya pun penggunaan babi sebagai obyek riset hanya
bertujuan untuk mengetahui hikmah pengharamannya, maka hal itu telah
cukup menjadi tujuan mulia yang menjadikan riset tersebut dimasyrukkan.
Dengan demikian, berdasarkan
pertanyaan di atas, tidak ada halangan secara syarak untuk melakukan
riset yang dijelaskan dalam pertanyaan. Hal itu dengan sedapat mungkin
tidak menyentuhnya secara langsung jika benda tersebut atau tangan orang
yang menyentuhnya dalam keadaan basah atau lembab. Karena babi adalah
najis sebagaimana pendapat jumhur ulama, dan memegang atau melumuri
anggota badan dengan najis adalah tidak boleh. Jika riset itu
mengharuskan menyentuh bagian yang najis itu, maka hendaknya peneliti
tersebut mentaklid (mengikuti) pendapat Imam Malik yang berpendapat
bahwa babi adalah tidak najis. Hal itu guna keluar dari kesulitan.
Wallahu subhânahu wa ta'âlâ a'lam.
|
Sumber : Dar al Iftaa ( Lembaga Fatwa Mesir)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar