honan fatwa No. 324 tahun 2007 yang berisi:
Ada seorang laki-laki mengendarai
sebuah mikrobus menuju Aleksandriya, Mesir, dari arah Matruh. Tiba-tiba
ia dikejutkan dengan seorang perempuan yang menyeberang jalan bersama
kedua anaknya –laki-laki dan perempuan-- yang masih kecil. Lelaki
tersebut tidak dapat menghindari perempuan tersebut sehingga mereka
tertabrak. Mobil yang ia kendarai terbalik dan terpental ke jalur yang
lain. Lelaki itu selamat tapi perempuan dan kedua anaknya meninggal
seketika. Para wali korban itu bertanya, apa jenis pembunuhan ini?
Berapakah jumlah diyat yang harus dibayarkan dan dibebankan kepada
siapa? Apakah anggota kabilah korban juga berhak mendapatkan diyat
mereka?
|
||
|
||
Diyat adalah sejumlah harta yang wajib dibayarkan akibat tindakan
menghilangkan nyawa orang lain atau tindakan kekerasan lain terhadapnya.
Kewajiban ini berdasarkan firman Allah SWT,
"Dan tidak layak bagi seorang mukmin
membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak
sengaja), dan barang siapa membunuh seorang mukmin karena tersalah
(hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta
membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu),
kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah." (An-Nisâ`: 92).
Juga terdapat sejumlah hadis yang
menjelaskan masalah tersebut. Di antaranya adalah hadis yang
diriwayatkan oleh Abu Bakar bin Muhammad bin 'Amr bin Hazm dari ayahnya
dari kakeknya bahwa Rasulullah saw. menulis sebuah surat kepada penduduk
Yaman. Di antara isi surat tersebut adalah:
أَنَّ مَنِ اعْتَبَطَ مُؤْمِنًا قَتْلاً
عَنْ بَيِّنَةٍ فَإنَّهُ قَوَدٌ إِلاَّ أَنْ يَرْضَى أََوْلِيَاءُ
الْمَقْتُوْلِ، وَأَنَّ فِي النَّفْسِ الدِّيَةَ –مِائَةً مِنَ اْلإبِلِ
"Bahwa barang siapa yang membunuh
seorang mukmin tanpa alasan maka hukumannya adalah dibunuh pula.
Kecuali, jika para wali (keluarga) korban yang terbunuh merelakannya.
Dan bahwa diyat membunuh seseorang adalah seratus ekor unta."
Sampai dengan sabda beliau,
وَأَنَّ الرَّجُلَ يُقْتَلُ بِالْمَرأَةِ، وَعَلَى أَهْلِ الذَّهَبِ أَلْفَ دِيْنَارٍ
"Dan bahwa orang laki-laki dibunuh karena membunuh perempuan. Dan bagi pemilik emas seribu dinar."
Para ulama pun telah berijmak
mengenai kewajiban pembayaran diyat ini. Besar diyat yang wajib
dibayarkan dalam pembunuhan tidak sengaja adalah 1.000 dinar emas atau
12.000 dirham perak. Fatwa yang diambil di masa ini dan di negara kita
(Mesir) adalah yang kedua. Menurut jumhur (mayoritas) ulama, satu dirham
setara dengan dengan 2,975 gram perak, sehingga jumlah kewajiban diyat
dalam pembunuhan tidak sengaja ini adalah 35,700 kg perak. Seluruh perak
ini atau uang yang senilai dengannya (sesuai dengan harga pasar saat
ditetapkan kewajiban itu diserahkan kepada keluarga korban, baik secara
suka rela maupun melalui proses hukum. Diyat ini dibebankan pada
keluarga pelaku pembunuhan (al-'âqilah), yaitu para keluarganya yang
mewarisi secara ashabah. Diyat tersebut dibayar secara mencicil selama
tidak lebih dari tiga tahun, kecuali jika para keluarga pelaku tersebut
ingin membayarnya secara kontan. Jika para keluarga pelaku itu tidak
dapat memenuhinya, maka diyat tersebut dibebankan pada pelaku itu
sendiri. Dan jika ia tidak dapat memenuhinya juga maka boleh diambilkan
dari selain mereka, bahkan boleh juga diambilkan dari uang zakat.
Diyat seorang perempuan adalah
setengah dari besar diyat orang laki-laki, yaitu sebesar 17,850 kg perak
atau uang yang senilai dengannya.
Melakukan kesepakatan dalam masalah
pembayaran diyat, baik dengan menggugurkan keseluruhannya atau menerima
kurang dari jumlah yang diwajibkan adalah hal yang dibolehkan
berdasarkan nash Alquran. Syariat telah memberikan hak kepada keluarga
korban untuk menggugurkan keseluruhan atau sebagiannya guna meringankan
beban pelaku jika ia tidak dapat membayar kewajiban diyat itu sama
sekali atau ia hanya mampu membayar sebagiannya saja.
Kewajiban membayar diyat ini tidak
membedakan apakah pembunuhnya laki-laki atau perempuan, besar atau
kecil, karena pembunuhan bisa terjadi dalam semua kondisi. Menerima
diyat adalah perbuatan yang dibolehkan dalam syariat, karena itu
merupakan hak bagi keluarga korban, sehingga mereka boleh saja menerima,
menggugurkan atau bersepakat dengan nilai tertentu. Allah SWT
berfirman,
"Maka barang siapa yang mendapat suatu
pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan
cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada
yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah
suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat." (Al-Baqarah: 178).
Adapun berkaitan dengan kafarat yang
harus dilaksanakan, maka ketika membahas kasus bertumpuknya kewajiban
kafarat puasa Ramadhan karena bersenggama di siang harinya dengan
kewajiban kafarat yang lain, para ulama berbeda pendapat menjadi dua
kelompok:
Ulama Hanafiyah dan sebagian ulama
Hambali (al-Hiraqi dan Abu Bakar al-Marwadzi) berpendapat bahwa cukup
memenuhi satu kafarat saja, karena kafarat tersebut merupakan balasan
terhadap kemaksiatan yang penyebabnya terulang sebelum sempat memenuhi
kafarat untuk maksiat pertama, sehingga kafarat-kafarat itu saling
menggantikan, seperti beberapa hukuman had yang berkumpul menjadi satu.
Begitu juga, karena kafarat merupakan hak Allah yang berdiri di atas
prinsip toleransi.
Sedangkan ulama Malikiyah, Syafi'iyah
dan beberapa ulama Hambali –seperti Qadi Abu Ya'la— berpendapat bahwa
tidak cukup satu kafarat, tapi harus membayar seluruh kafarat sesuai
jumlah korban yang terbunuh. Karena, penyebab kafarat tersebut juga
lebih dari satu sehingga tidak dapat saling menggantikan. Hal ini
seperti melanggar kesucian bulan Ramadhan dengan bersenggama pada dua
bulan Ramadhan yang berbeda atau bersenggama pada dua hari yang berbeda
dalam satu Ramadhan. Begitu juga, seperti bersenggama dalam dua ibadah
haji yang berbeda, sehingga harus memenuhi seluruh kafarat sesuai dengan
jumlah penyebabnya.
Di zaman kita saat ini, pendapat yang
paling tepat untuk diterapkan adalah pendapat pertama, yaitu jika
terjadi sebuah kecelakan transportasi umum yang menyebabkan tewasnya
beberapa orang korban. Pendapat ini diambil karena lebih memberikan
kemudahan dibandingkan dengan pendapat kedua yang mewajibkan membayar
semua kafarat. Dan sebagaimana dinyatakan dalam sebuah kaidah fikih:
"al-Masyaqqatu Tajlibu at-Taysîr" (Kesulitan Mendatang Kemudahan).
Apalagi jika kecelakaan itu terjadi secara tidak sengaja.
Dengan demikian, berdasarkan
pertanyaan di atas, maka peristiwa kecelakaan tersebut dihukumi sebagai
pembunuhan tidak sengaja. Sehingga, para keluarga pelaku (al-'aqilah)
berkewajiban membayarkan diyat untuk para keluarga korban sesuai dengan
jumlah mereka, yaitu satu orang laki-laki dan dua orang perempuan.
Kewajiban itu dibagi rata kepada mereka sebagaimana yang telah
dijelaskan, kecuali jika keluarga korban menggugurkannya. Pelaku sendiri
berkewajiban untuk berpuasa selama dua bulan berturut-turut untuk
seluruh korban yang ia tabrak.
Diyat hanya diberikan kepada para
ahli waris korban saja. Sedangkan orang lain, termasuk anggota
kabilahnya, tidak berhak mendapatkannya sama sekali.
Meskipun berdasarkan pertanyaan kami
menetapkan bahwa insiden tersebut sebagai pembunuhan tidak sengaja,
namun kami ingin mengingatkan bahwa ketetapan kami ini adalah
berdasarkan peristiwa yang disebutkan dalam pertanyaan, yaitu tidak
adanya unsur kesengajaan atau perencanaan pembunuhan. Apabila terdapat
kedua unsur tersebut, maka insiden tersebut masuk dalam pembunuhan
sengaja atau pembunuhan serupa sengaja sesuai dengan kondisi yang ada
ketika insiden.
Di samping itu, ketetapan kami juga
berdasarkan pertimbangan tidak adanya kesalahan fatal dari pihak
pengendara, seperti mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi
melampaui batas yang dibolehkan atau orang tersebut tidak diizinkan
untuk mengendarai kendaraan karena suatu sebab tertentu. Jika ia
melakukan kesalahan fatal ini, maka di samping insiden itu adalah
pembunuhan tidak sengaja, juga harus ada intervensi dari pihak
pengadilan untuk memberikan keputusan kepada pelaku dan para ahli waris
korban yang sesuai dengan masing-masing kondisi.
Wallahu subhânahu wa ta'âlâ a'lam.
|
Sumber : Dar al Iftaa ( Lembaga Fatwa Mesir)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar