honan fatwa No. 724 tahun 2007, yang berisi:
Apakah pemberi hutang boleh
memanfaatkan tanah yang digadaikan kepadanya hingga pelunasan hutang?
Apakah keterlambatan pelunasan hutang bisa dianggap sebagai alasan bagi
pemberi hutang untuk memanfaatkan tanah itu hingga hutangnya dilunasi?
|
||
|
||
Transaksi gadai disyariatkan berdasarkan Alquran dan Sunnah. Allah ta'ala berfirman,
"Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang)". (al-Baqarah: 283).
Rasulullah saw. sendiri, ketika
meninggal dunia, baju perang beliau masih tergadai pada seorang Yahudi
sebagai jaminan hutang beliau sebesar tiga puluh sha' jelai. Hadis ini
diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim dan Ahmad dari Aisyah r.a.. Juga
diriwayatkan oleh Bukhari, Tirmidzi, Nasa`i dan Ahmad dari Ibnu Abbas
r.a.. Diriwayatkan pula oleh Ibnu Majah dan Ahmad dari Asma binti Yazid
r.a..
Adapun tentang penggunaan barang
gadaian oleh pemberi hutang, maka itu tidak dibolehkan kecuali jika dia
membayar nilai manfaat yang dia peroleh dari benda tersebut. Jika tidak,
maka berarti ia telah memakan harta orang lain secara batil yang
dilarang oleh Allah,
"Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil,
kecuai dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di
antara kami. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah
adalah Maha Penyayang kepadamu. Dan barang siapa berbuat demikian dengan
melanggar hak dan aniaya, maka Kami kelak akan memasukkannya ke dalam
neraka, yang demikian itu adalah mudah bagi Allah." (an-Nisâ`: 29-30).
Larangan tersebut juga karena hal itu masuk dalam masalah hutang yang mendatangkan manfaat, dan ini adalah riba.
Keterlambatan orang yang berhutang
untuk melunasi hutangnya juga tidak terhitung sebagai alasan bagi
pemberi hutang untuk memanfaatkan tanah gadaian hingga waktu pelunasan
hutang.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka
dibolehkan menggadaikan tanah. Jika orang yang memberi hutang itu
menanami tanah gadaian tersebut, maka dia harus membayar sewa tanah
tersebut kepada pemiliknya sesuai dengan harga yang umum kala itu, atau
dengan memotong hutangnya sesuai dengan nilai sewa tanah itu.
Jika orang yang berhutang terlambat
melunasi hutangnya, maka pemberi hutang hanya boleh menjual sebagian
tanah tersebut yang cukup untuk melunasi hutangnya. Namun, akan lebih
baik jika dia memberi waktu tenggang lagi kepada penghutang sampai dia
dapat melunasinya. Allah berfirman,
"Dan jika (orang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan." (al-Baqarah: 280).
Tentu akan jauh lebih jika dia bersedekah dengan menggugurkan hutang itu dari si penghutang, sebagaimana firman Allah,
"Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu". (al-Baqarah: 280).
Wallahu subhânahu wa ta'âlâ a'lam.
|
Sumber : Dar al Iftaa ( Lembaga Fatwa Mesir)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar