honan fatwa No. 1835 tahun 2008 yang berisi:
Di Prancis, pernikahan membuat
seorang istri menambahkan nama suaminya di belakang namanya. Apa hukum
masalah ini? Apakah seorang muslim tercela kalau melakukannya?
|
||
Dalam tradisi masyarakat Barat, seorang anak perempuan jika belum
menikah maka di belakang namanya disebutkan nama ayah dan keluarganya.
Namun, setelah menikah maka ia harus menambahkan nama keluarga suaminya
setelah namanya. Selain itu, perempuan yang telah menikah juga harus
memberikan penjelasan di depan namanya bahwa ia telah menikah, yaitu
dengan meletakkan kata Mrs., Madam, dan lain sebagainya. Oleh karena
itu, dalam kebiasaan masyarakat Barat ini, penambahan nama keluarga
suami di belakang nama istri adalah seperti sebuah penjelasan bahwa
perempuan itu telah menikah dengan seseorang dari keluarga suaminya.
Menurut mereka, penggunaan model penjelasan seperti ini sama sekali
tidak memunculkan kesalahpahaman adanya hubungan darah.
Pemberian identitas bersifat lapang
dan fleksibel sehingga dapat diungkapkan melalui berbagai cara.
Contohnya penjelasan identitas dengan hak wala` --misalnya: Ikrimah
maula Ibnu Abbas--, dengan pekerjaan –misalnya: al-Ghazzali (tukang
tenun)—dan dengan gelar –seperti al-A'raj (si pincang), al-Jahizh (yang
matanya melotot), Abu Muhammad--. Terkadang seseorang juga dinisbatkan
kepada ibunya meskipun nama ayahnya diketahui, seperti Ismail ibnu
Ulayyah. Dapat pula dengan hubungan pernikahan, seperti dalam ayat:
"imra`atu Nuh dan imra`atu Luth" (at-Tahrîm: 10) dan ayat: "imra`atu
Fir'aun" (at-Tahrîm: 11). Makna asli imra`ah adalah perempuan, sehingga
makna asli dari kata-kata tersebut adalah "perempuan Nuh", "perempuan
Luth" dan "perempuan Fir'aun". Namun ketika kata "perempuan" ini
disandingkan dengan nama lelaki yang merupakan suaminya, maka maksudnya
adalah istrinya.
Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari
Abu Said al-Khudri r.a. bahwa Zainab istri Ibnu Mas'ud r.a. datang
kepada beliau dan meminta izin untuk bertemu. Lalu salah seorang yang
ada di rumah berkata, "Wahai Rasulullah, Zainab meminta izin untuk
bertemu." "Zainab siapa?" tanya beliau. "Istri Ibnu Mas'ud." Lalu beliau
berkata, "Ya, persilahkan dia masuk."
Yang dilarang dalam Islam adalah
menisbatkan diri kepada orang yang bukan ayahnya dengan menggunakan
kata-kata yang menunjukkan sebagai anak, seperti kata: anak, bin, binti
dan lain sebagainya. Jadi yang dilarang bukan seluruh penisbatan atau
penyebutan identitas. Penggunaan kata-kata tertentu untuk menjelaskan
identitas seseorang sehingga menjadi kebiasaan dalam suatu masyarakat
atau waktu tertentu adalah tidak apa-apa selama tidak menyeret pada
kesalahpahaman adanya hubungan kekerabatan yang dilarang oleh syariat
Islam. Hal itu pun tidak dapat dikategorikan dalam perbuatan menyerupai
orang kafir yang dicela dalam pandangan syarak, karena penyerupaan yang
dilarang adalah yang memenuhi dua syarat, yaitu perbuatan yang ditiru
itu adalah perbuatan yang diharamkan dan adanya maksud untuk menyerupai.
Jika salah satu syarat ini tidak ditemukan maka pelakunya tidak dapat
dicela. Hal ini sesuai dengan hadis yang diriwayatkan oleh Muslim dari
Jabir bin Abdullah radhiyallahu 'anhu, ia berkata, "Pada suatu ketika
Rasulullah saw. sakit. Lalu kami salat di belakang beliau yang melakukan
salat dalam keadaan duduk. Lalu beliau menoleh ke arah kami dan melihat
kami dalam keadaan bediri semua, maka beliau pun memberi isyarat kepada
kami agar kami duduk, sehingga kami semua pun duduk. Setelah salam,
beliau bersabda,
إِنْ كِدْتُمْ آنِفاً لَتَفْعَلُوْنَ
فِعْلَ فَارِسَ وَالرُّوْمِ، يَقُوْمُوْنَ عَلَى مُلُوْكِهِمْ وَهُمْ
قَعُوْدٌ، فَلاَ تَفْعَلُوْا، اِئْتَمُّوْا بِأَئِمَّتِكُمْ، إِنْ صَلَّى
قَائِماً فَصَلُّوْا قِيَاماً وَإِنْ صَلَّى قَاعِداً فَصَلُّوْا قُعُوْداً
"Sesungguhnya kalian tadi hampir saja melakukan perbuatan yang dilakukan oleh orang-orang Persia dan Romawi. Mereka berdiri di hadapan para raja mereka yang sedang duduk. Janganlah kalian melakukan itu. Ikutilah imam kalian. Jika ia melakukan salat dalam keadaan duduk maka salatlah dalam keadaan duduk juga dan jika ia salat dalam keadaan berdiri maka salatlah dalam keadaan berdiri juga."
Kata kidtum berasal dari akar kata
kâda (hampir). Kata ini ketika berada dalam kalimat positif menunjukkan
tidak terjadinya sesuatu yang menjadi khabarnya (predikatnya), meskipun
ia hampir saja terjadi. Perbuatan orang-orang Persia dan Romawi telah
benar-benar terjadi dan dilakukan oleh para sahabat, tapi karena mereka
tidak bermaksud untuk mengikuti atau menyerupai perbuatan tersebut maka
mereka tidak dianggap telah menyerupai orang-orang Persia dan Romawi.
Ibnu Nujaim, salah seorang ulama
Hanafi, berkata dalam kitabnya al-Bahr ar-Râiq, "Ketahuilah bahwa
perbuatan menyerupai Ahlul Kitab tidak diharamkan secara mutlak. Kita
makan dan minum seperti mereka. Yang diharamkan adalah menyerupai
tindakan yang tercela dan dengan maksud mengikuti mereka."
Menambahkan nama keluarga suami di
belakang nama istri tidaklah menafikan hubungan nasab dengan ayah sang
istri, karena hal ini hanya merupakan penjelas identitas saja. Munculnya
kekhawatiran terhadap haramnya hal tersebut adalah karena terdapat
kebiasan umum berupa penghapusan kata "bin" atau "binti" yang
menghubungkan antara nama seseorang dengan nama orang tuanya.
Meskipun penghapusan ini telah
menjadi kebiasaan umum untuk mempersingkat nama atau memudahkan
penyebutan, hanya saja penghapusan tersebut mengakibatkan kerancuan
dalam nama-nama yang tersusun dari dua kata atau lebih. Hal inilah yang
membuat berbagai instansi resmi di Mesir menolak penggunaan nama yang
tersusun dari dua kata atau lebih, karena memberikan kesan adanya
hubungan kekerabatan antar nama-nama itu disebabkan tradisi penghapusan
kata "bin" atau "binti" telah menjadi fenomena umum dalam masyarakat.
Semua ini dapat saja dijadikan alasan bagi pelarangan penambahan nama
keluarga suami di belakang nama istri di kalangan masyarakat tersebut.
Akan tetapi, masalah ini akan berbeda
dalam masyarakat yang mempunyai kebiasaan tersebut namun terdapat tanda
yang menafikan adanya hubungan kekerabatan antar nama-nama itu, yaitu
penyebutan perempuan yang bersuami dengan Mrs., Madam dan lain
sebagainya.
Selama kebiasaan ini tidak
bertentangan dengan syariat maka insyaallah penggunaannya dibolehkan.
Syariat Islam sendiri menjadikan kebiasaan yang tidak bertentangan
dengan syariat sebagai salah satu dalil. Dalam salah satu kaidah fikih
dinyatakan bahwa al-'âdah muhakkamah (adat kebiasaan dapat menjadi sumber hukum).
Syariat tidaklah menyerukan kaum
muslimin untuk keluar dari kebiasaan masyarakat mereka. Hal ini sebagai
upaya untuk membuat mereka dapat berasosiasi dengan masyarakat mereka
dan tidak terisolasi dari dunia luar. Sehingga, mereka dapat hidup
berdampingan dengan masyarakatnya dan dapat berdakwah kepada mereka
untuk mengikut agama yang benar tanpa terjadi bentrokan dan
persinggungan yang berefek negatif. Semua itu tentu saja selama
kebiasaan tersebut tidak bertentangan dengan dasar-dasar agama.
Wallahu subhânahu wa ta'âlâ a'lam.
|
Sumber : Dar al Iftaa ( Lembaga Fatwa Mesir)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar