Nazar Puasa di Bulan Rajab

JIKA TERDAPAT KESALAHAN/KEKELIRUAN DALAM ARTIKEL INI
DAPAT MENGHUBUNGI KAMI DENGAN CARA MENINGGALKAN PESAN... TERIMAKASIH

onan fatwa nomor 1203 tahun 2007 yang berisi:     Seseorang pernah mengalami suatu kesulitan. Lalu dia bernazar jika Allah mengeluarkannya dari kesulitan tersebut maka dia akan selalu berpuasa di bulan Rajab selama hidupnya. Hingga kini dia sudah menjalani puasa di bulan Rajab selama sembilan tahun berturut-turut. Sekarang dia sudah tua dan khawatir tidak mampu menunaikan nazarnya itu, maka apa yang harus dia lakukan?
 
Jawaban : Dewan Fatwa

    Secara hukum asal, nazar untuk melakukan ketaatan adalah sah. Dengan nazar ini, ketaatan tersebut menjadi wajib dia lakukan sesuai dengan apa yang dia ucapkan. Perbuatan taat yang bisa dinazarkan adalah semua amalan ibadah yang awalnya tidak wajib namun menjadi wajib karena seseorang yang sudah mukallaf mewajibkannya atas dirinya sendiri.
    Hal ini berdasarkan firman Allah Ta'ala,
    "Dan hendaklah mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka." (al-Hajj [22]: 29).
    Dan firman-Nya,
    "Mereka menunaikan nazar." (al-Insân [76]: 7).

   Juga berdasarkan sabda Rasulullah saw.,

مَنْ نَذَرَ أَنْ يُطِيعَ اللَّهَ فَلْيُطِعْهُ، وَمَنْ نَذَرَ أَنْ يَعْصِيَهُ فَلاَ يَعْصِهِ

   "Barang siapa bernazar untuk melakukan ketaatan kepada Allah, maka hendaknya dia melakukannya. Dan barang siapa bernazar untuk melakukan maksiat, maka hendaknya dia tidak melakukannya". (HR. Bukhari dan yang lainnya dari Ummul Mukminin Aisyah r.a.).
    Jadi kewajiban tersebut berlaku walaupun hukum asal dari nazar itu sendiri adalah makruh, sebagaimana pendapat mayoritas ulama Mazhab Syafi'i, Maliki dan Hambali. Pendapat mereka ini berdasarkan hadits Abdullah bin Umar r.a., dia berkata, "Rasulullah saw. melarang orang bernazar dan bersabda,
إِنَّهُ لاَ يَرُدُّ شَيْئًا، وَإِنَّمَا يُسْتَخْرَجُ بِهِ مِنَ الْبَخِيلِ

    "Sesungguhnya nazar tidak bisa menolak apapun. Dan ia hanya dikeluarkan dari orang yang bakhil." (Muttafaq alai).
    Sekali lagi, walaupun hukum asal nazar adalah makruh, namun nazar dalam ketaatan wajib dipenuhi. Imam al-Khathabi di dalam I'lâmus-Sunan mengatakan, "Ini merupakan salah satu permasalahan yang tidak umum di dalam ilmu syariat: ada sesuatu yang dilarang untuk dilakukan, namun jika telah dilakukan maka ia menjadi wajib."

    Para ulama muhaqqiqîn mengartikan bahwa nazar yang dimakruhkan dalam hadits di atas adalah nazar mujâzâh. Yaitu melakukan suatu ibadah sebagai kompensasi dari mendapatkan nikmat atau tertolaknya bencana. Misalnya seseorang mengatakan, "Jika Allah menyembuhkan penyakit saya maka saya akan bersedekah dengan uang sekian".
    Adapun aspek kemakruhannya, sebagaimana dikatakan oleh al-Qurthubi di dalam al-Mufhim, adalah, "Ketika dia menggantungkan suatu amal ibadah yang akan dia lakukan dengan tercapainya keinginannya, maka nampak bahwa perbuatannya tersebut tidak murni diniatkan sebagai ibadah kepada Allah SWT. Akan tetapi dia menggunakan model pertukaran –seperti jual beli--. Hal ini semakin jelas jika sakitnya tidak sembuh, yaitu dia tidak memberikan sedekah tersebut, karena sedekahnya dia gantungkan pada kesembuhannya. Dan ini merupakan sifat orang yang bakhil, dimana dia tidak mengeluarkan sebagian hartanya kecuali jika terdapat balasan yang cepat (segera) yang umumnya lebih besar dari apa yang dia keluarkan. Makna inilah yang diisyaratkan dalam sabda beliau, "Namun ia hanya dikeluarkan dari orang yang bakhil." Demikian penjelasan al-Qurthubi.
    Di samping itu, kemakruhan tersebut berlaku pada seseorang yang menganggap bahwa nazar mempunyai pengaruh atas terjadinya sesuatu, sebagaimana diisyaratkan oleh hadits di atas. Atau kemakruhan tersebut juga bagi orang yang sedari awal sudah memprediksi bahwa kemungkinan besar dia tidak mampu melakukan apa yang dia nazarkan.
    Adapun nazar tabarrur atau nazar ibtidâ`, yaitu nazar untuk melakukan ketaatan tanpa mengaitkannya dengan sesuatu –seperti melakukan shalat fardhu--, maka ia tidaklah makruh, namun ia merupakan ibadah murni. Karena dalam hal ini, orang yang bernazar mempunyai tujuan yang benar, sebagaimana dikatakan al-Qadhi Husein, salah seorang ulama Mazhab Syafi'i. Orang yang melakukan nazar seperti ini akan diberi pahala ibadah wajib yang derajatnya di atas amalan sunnah.
    Ath-Thabari meriwayatkan dari Qatadah dengan sanad yang shahih –seperti dikatakan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar di dalam Fathul-Bârî— dari Qatadah tentang firman Allah Ta'ala, "Mereka menunaikan nazar." (al-Insân [76]: 7), dia berkata, "Dulu orang-orang bernazar untuk melakukan ketaatan kepada Allah berupa shalat, puasa, zakat, haji dan umrah serta hal-hal fardhu yang lain. Maka Allah menyebut mereka sebagai orang-orang yang berbakti (abrâr)".
    Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan, "Nampak jelas di sini bahwa pujian itu diberikan untuk nazar yang tidak berbentuk mujâzâh."
    Menurut para ulama Malikiyah, nazar untuk melakukan amalan yang berulang-ulang adalah makruh. Misalnya bernazar untuk berpuasa setiap hari Kamis atau setiap bulan Rajab. Hal ini karena nazar seperti itu memberatkan dan dikhawatirkan tidak dapat dipenuhi.
    Terdapat dua cara pendekatan dari para fukaha dalam hal nazar berpuasa pada waktu yang ditentukan, apakah itu menjadi wajib (terspesifikasi) karena penentuan itu atau tidak?
    Menurut para ulama Hanafiyah, nazar tersebut tidak wajib dilakukan pada waktu yang ditentukan itu, tapi dia boleh berpuasa pada hari atau bulan lain sebagai ganti hari atau bulan yang ia tentukan. Al-'Allamah Syurunbulali al-Hanafi di dalam Kitab Marâqil-Falâh berkata, "Kami tidak mengakui penentuan waktu, tempat, dirham dan orang fakir. Karena nazar adalah mewajibkan suatu perbuatan pada diri sendiri dengan melihat status perbuatan itu sebagai suatu ibadah, tanpa melihat waktu, tempat dan obyek (orang fakir) terjadinya. Penentuan itu hanyalah untuk memperkirakan waktu pelaksanaannya atau untuk menundanya hingga tiba waktu itu. Oleh karena itu, melakukan puasa di bulan Rajab dapat menggantikan nazarnya untuk berpuasa di bulan Sya'ban. Keabsahan amalan itu karena terdapat sebab amalan, yaitu nazar dan ibadah untuk menundukkan nafsu, bukan untuk dilakukan pada bulan itu sendiri. Dilaksanakannya nazar itu sebelum waktu yang diucapkan juga memiliki manfaat, yaitu mendapatkan pahala yang mungkin dapat hilang karena kematiannya atau karena terjadinya suatu yang menghalangi pelaksanaannya sebelum tibanya waktu yang telah ditentukan. Jika tujuan pengaitan dengan waktu itu adalah untuk mendapatkan keringanan, yaitu jika dia meninggal sebelum tiba waktu pelaksanaan, maka dia tidak mempunyai tanggungan kewajiban sama sekali dan menurut kami dia pun memperoleh tujuan yang dia niatkan."
    Menurut pendapat yang shahîh dalam Mazhab Syafi'i, orang yang bernazar tersebut wajib melakukan nazarnya sesuai dengan yang dia nazarkan. Hal ini berdasarkan pada konsep bahwa waktu yang telah ditentukan untuk melakukan puasa menjadi tertentu/spesifik dengan penentuan itu. Puasa itu juga harus dilakukan berturut-turut karena telah tertentunya hari-hari di dalam bulan itu. Dilakukannya puasa itu berturut-turut tidaklah merupakan kewajiban tersendiri, sehingga jika dia tidak berpuasa satu hari pada bulan itu, maka dia tidak wajib mengulangi dari awal puasa itu lagi. Ketika mengqadhanya, dia juga tidak harus melakukannya secara berturut-turut sebagaimana mengqadha puasa Ramadhan. Hal ini berdasarkan alasan bahwa kewajiban karena nazar tidak melebihi kewajiban karena syarak.
    Menurut para ulama Mazhab Hambali, waktu yang ditentukan dalam nazar tersebut menjadi tertentu, sehingga dia harus melakukannya sesuai dengan nazarnya. Akan tetapi jika dia tidak berpuasa beberapa hari dalam bulan yang ditentukan, maka dia harus mengqadhanya secara berturut-turut. Karena menurut mereka, qadha adalah seperti adâ`, sehingga harus dilakukan secara berturut-turut.
    Jika kondisi orang yang bernazar puasa tidak memungkinkan sama sekali untuk melakukannya, baik karena tua atau sakit yang tidak bisa diharapkan kesembuhannya, maka para ulama berbeda pendapat apakah dia wajib membayar fidyah untuk setiap satu hari puasa yang dia tinggalkan, ataukah dia cukup membayar kafarat untuk keluar dari nazarnya, ataukah dia sama sekali tidak dikenai kewajiban apapun? Adapun sebab dari perbedaan ini adalah perbedaan dalam menyikapi nazar, apakah ia diperlakukan seperti sebuah kewajiban syarak ataukah seperti hal-hal yang dibolehkan.
    Menurut pendapat jumhur ulama, yaitu dari kalangan Mazhab Hanafi dan Syafi'i, juga merupakan pendapat yang diambil dalam Mazhab Hambali, fidyah wajib atas orang tersebut. Yaitu memberi makan kepada satu orang miskin untuk setiap satu hari yang dia tinggalkan nazarnya. Hal ini seperti orang yang tidak mampu berpuasa pada bulan Ramadhan. Para ulama Hambali menambahkan bahwa orang tersebut juga harus membayar kafarat sumpah dan berdalil dengan sabda Rasulullah saw.,
كَفَّارَةُ النَّذْرِ كَفَّارَةُ الْيَمِينِ

    "Kafarat nazar adalah kafarat sumpah." (HR. Muslim dari Uqbah bin Amir r.a.).
    Mereka juga menggunakan dalil sabda Rasulullah saw. yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas r.a.,
مَنْ نَذَرَ نَذْرًا لَمْ يُسَمِّهِ فَكَفَّارَتُهُ كَفَّارَةُ يَمِيْنٍ، وَمَنْ نَذَرَ نَذْرًا فِى مَعْصِيَةٍ فَكَفَّارَتُهُ كَفَّارَةُ يَمِيْنٍ، وَمَنْ نَذَرَ نَذْرًا لاَ يُطِيْقُهُ فَكَفَّارَتُهُ كَفَّارَةُ يَمِيْنٍ

"Barang siapa bernazar namun tidak menyebutkan nazarnya itu, maka kafaratnya adalah kafarat sumpah. Barang siapa bernazar untuk melakukan perbuatan maksiat, maka kafaratnya adalah kafarat sumpah. Dan barang siapa bernazar sesuatu yang tidak mampu dia lakukan, maka kafaratnya adalah kafarat sumpah." (HR. Abu Dawud. Al-Hafizh Ibnu Hajar di dalam Bulûghul-Marâm mengatakan, "Sanad hadits ini adalah shahih, hanya saja para huffâzh menguatkan pendapat yang menyatakan bahwa hadits ini adalah mawquf).
    Menurut riwayat lain dalam Mazhab Hambali, orang tersebut hanya wajib membayar kafarat, karena amalan yang wajib akibat nazar adalah serupa dengan sesuatu yang diwajibkan akibat sumpah.
    Sedangkan para ulama Mazhab Syafi'i tidak mewajibkan kafarat kecuali dalam nazar al-lajjâj wal-ghadhab, yaitu nazar untuk menghalangi atau untuk mendorong diri sendiri agar melakukan sesuatu. Dan sebagian ulama yang lain ada yang mewajibkan kafarat di dalam nazar mutlak atau nazar maksiat saja.
    Adapun para ulama Mazhab Maliki, maka mereka menggugurkan kewajiban menunaikan nazar dari orang yang tidak mampu melaksanakannya jika uzurnya itu tidak mungkin (sulit) hilang. Menurut mereka, orang tersebut juga tidak wajib membayar kafarat dan fidyah.
    Imam Nawawi di dalam Syarah Shahîh Muslim, ketika menjelaskan hadits, "Kafarat nazar adalah kafarat sumpah", beliau menyebutkan pendapat para ulama mengenai kafarat nazar. Beliau berkata, "Para ulama berbeda pendapat tentang maksud dari nazar di sini. Jumhur ulama mazhab kami menafsirkannya sebagai nazar lajjaj. Yaitu seperti seseorang yang tidak ingin berbicara sama sekali kepada Zaid dan ia berkata, "Jika saya berbicara kepada Zaid, maka saya mewajibkan diri saya untuk menunaikan haji", atau menyebutkan perkataan lainnya. Namun ternyata dia kemudian berbicara kepada Zaid. Maka, dia mempunyai pilihan antara membayar kafarat sumpah atau membayar kafarat apa yang dia wajibkan pada dirinya. Ini adalah pendapat yang shahih dalam mazhab kami.
    Sedangkan Imam Malik dan banyak ulama yang lain –atau mayoritas ulama yang lain— memahami nazar di atas sebagai nazar mutlak. Seperti perkataan seseorang, "Saya bernazar." Adapun Imam Ahmad dan sebagian ulama mazhab kami mengartikan nazar dalam hadits di atas sebagai nazar maksiat, seperti orang yang bernazar untuk minum khamr. Sedangkan sejumlah ulama dari kalangan fukaha ahli hadits memahaminya sebagai semua bentuk nazar. Mereka mengatakan bahwa orang tersebut mempunyai pilihan dalam semua nazar antara menunaikan nazarnya itu atau membayar kafarat sumpah". Demikian penjelasan Imam Nawawi.
    Jika kita amati perbedaan para mujtahid berbagai mazhab fikih di atas mengenai jenis nazar yang berat ini, maka kita akan mendapati adanya kemudahan yang selalu menyertai perbedaan para fukaha itu. Hal itu tampak dalam pendapat mereka yang memakruhkan jenis nazar ini –dari aspek pengaitannya dengan sesuatu dan sifatnya yang berulang-ulang, sebagaimana telah dijelaskan— karena menyebabkan kesulitan bagi mukallaf. Sebagian ulama yang lain memberikan pilihan antara memenuhi nazarnya tersebut atau membayar kafarat sumpah. Mereka adalah para fukaha ahli hadits.
    Sedangkan jumhur ulama sendiri mewajibkan nazar itu ditunaikan. Namun, diantara mereka –yaitu ulama Hanafiyah— ada yang memberikan kelapangan dalam pelaksanaannya dengan membolehkannya ditunaikan kapan saja, bukan terbatas pada waktu yang ditentukan dalam nazar. Hal itu karena waktu pelaksanaan tidak menjadi tertentu (spesifik) meskipun disebutkan dalam nazar.
    Jika orang yang bernazar untuk berpuasa itu tidak dapat berpuasa pada sebagian hari, maka para ulama Syafi'iyah dan sejumlah ulama lainnya menyatakan kebolehan pelaksanaannya secara tidak berurutan atau secara terpisah-pisah, sebagaimana dalam mengqadha` puasa Ramadhan. Jika ia benar-benar tidak mampu melaksanakan nazarnya, baik dengan berpuasa ada' (dilaksanakan pada waktunya) ataupun qadha' (setelah habis waktu), maka jumhur ulama mewajibkan atasnya membayar fidyah, yaitu memberi makan satu orang miskin untuk satu hari puasa yang ditinggalkan. Sedangkan para ulama Hanabilah –dalam salah satu riwayat mereka— hanya mewajibkannya membayar kafarat. Adapun ulama Malikiyah tidak mewajibkannya membayar apapun, baik fidyah maupun kafarat.
    Berdasarkan penjelasan di atas, maka jika Anda tidak dapat memenuhi nazar yang Anda ikrarkan, meskipun dengan melaksanakan puasa itu secara terpisah-pisah (tidak berurutan) baik jika dilaksanakan secara ada' (sesuai waktu) ataupun qadha` (setelah habis waktu), maka Anda harus membayar fidyah dengan memberi makan satu orang miskin untuk satu hari puasa yang ditinggalkan. Hal ini jika Anda mampu membayarnya. Tapi jika Anda tidak mampu, maka Anda dapat terbebas dari nazar ini dengan membayar kafarat sumpah, sebagaimana pendapat salah satu riwayat dalam mazhab Hambali dan pendapat sebagian fukaha dari ahli hadits. Namun, jika ternyata Anda pun tidak dapat membayar kafarat, maka ikutilah (taklidlah) pendapat ulama Malikiyah yang tidak mewajibkan apapun dalam masalah ini.
    Wallahu subhânahu wa ta'âlâ a'lam
Sumber : Dar al Iftaa ( Lembaga Fatwa Mesir)
Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tayangan Halaman