Memperhatikan permohonan fatwa nomor 1144 tahun 2007 yang berisi:
Apa hukum melaksanakan shalat lima
waktu dengan menggunakan pengeras suara? Dan apakah boleh
mengumandangkan bacaan Alquran –baik dari tape ataupun radio— dan suara tausyîh melalui pengeras suara satu jam sebelum azan Shubuh?
|
||
|
||
Islam merupakan agama yang toleran, seimbang, memiliki citarasa dan
seni, serta Islam juga merupakan agama kasih sayang. Hal ini di samping
Islam juga merupakan satu-satunya agama yang benar yang hanya diterima
oleh Allah SWT dari para hamba-Nya. Allah berfirman,
"Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam." (Âli 'Imrân [3]: 19).
Islam tidak memaksa seorang pun untuk
masuk ke dalamnya, juga tidak memaksa seorang pun untuk mendengarkan
isi ajarannya. Di dalam Alquran dinyatakan,
"Maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir." (Al-Kahfi [18]: 29).
"Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?" (Yûnus [10]: 99).
"Kamu bukanlah orang yang berkuasa atas mereka." (Al-Ghâsyiyah [88]: 22).
"Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam)." (Al-Baqarah [2]: 256).
Oleh karena itu, kaum muslimin wajib
menyebarkan syiar-syiar agama mereka dengan cara yang sesuai dengan
nilai-nilai dan norma-norma yang diajarkan. Seorang muslim tidak boleh
menjadi penyebab kekacauan dan pembuat masalah di tengah-tengah
masyarakat atau menjadi penghalang antara seorang hamba dengan Tuhannya
dengan alasan berdakwah. Hal ini seperti dengan memperdengarkan nasehat
atau ceramah agama dan bacaan-bacaan ayat Alquran tanpa memperhatikan
kondisi masyarakat sekitar, sehingga mengganggu ketenangan dan waktu
istirahat mereka, serta membuyarkan konsentrasi mereka yang sedang
bekerja. Padahal, penyampaian dakwah harus disesuaikan dengan waktu,
kemampuan dan kesiapan setiap mukallaf, sehingga tidak sepatutnya
menggunakan pengeras suara milik masjid untuk mengganggu ketenangan
masyarakat, baik di waktu malam maupun siang hari dengan alasan
memberikan nasehat agama dan pentingnya isi ceramah yang akan
disampaikan. Allah berfirman,
"Dan orang-orang yang menyakiti
orang-orang mu'min dan mu'minat tanpa kesalahan yang mereka perbuat,
maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata." (Al-Ahzâb [33]: 58).
Ahmad, Ibnu Majah dan Thabrani meriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda,
لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ
"Tidak boleh membuat kemudaratan atas diri sendiri dan orang lain."
Beliau juga bersabda,
اَلْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُوْنَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ
"Orang muslim adalah orang yang tidak menyakiti kaum muslimin lainnya dengan lisan dan tangannya." (HR. Muslim dan lainnya dari Jabir r.a.).
Salah satu pelajaran yang dapat kita
ambil dari perilaku Nabi saw. adalah beliau melaksanakan syiar-syiar
agama dengan tetap menjaga perasaan masyarakat dan nilai yang ada di
dalamnya. Beliau sangat memperhatikan kemaslahatan dan kepentingan orang
lain serta menjaga perasaan dan waktu istirahat mereka. Diriwayatkan
dari Abu Qatadah r.a. bahwa Nabi saw. bersabda,
إِنِّيْ لَأَقُوْمُ فِيْ الصَّلاَةِ أُرِيْدُ
أَنْ أُطَوِّلَ فِيْهَا، فَأَسمَعُ بُكَاءَ الصَّبِيِّ، فأَتَجَوَّزُ فِيْ
صَلاَتِيْ كَراهِيَةَ أَن أَشُقَّ عَلَى أُمِّهِ
"Sesungguhnya ketika aku
melaksanakan shalat, aku ingin untuk memanjangkan bacaan shalatku,
tetapi lalu aku mendengar tangisan anak kecil sehingga aku pun
memperpendek shalatku karena tidak ingin untuk menyusahkan ibunya." (HR. Bukhari).
Bukhari dan Muslim meriwayatkan dalam
kedua kitab Shahîh mereka bahwa pada suatu ketika Muadz bin Jabal r.a.
melaksanakan shalat bersama Nabi saw., lalu ia menemui kaumnya dan
menjadi imam shalat bagi mereka. Dalam shalat itu ia membaca surat
al-Baqarah. Akhirnya, ada seorang laki-laki yang memperpendek shalatnya.
Kejadian itu pun sampai kepada Muadz, maka ia berkata, "Itu adalah
orang munafik." Ucapan Muadz itu terdengar oleh laki-laki tersebut.
Kmudian ia mendatangi Nabi saw. dan berkata, "Wahai Rasulullah, kami
adalah orang-orang yang bekerja dengan tangan-tangan kami sendiri dan
menyiram kebun kami dengan unta-unta kami sendiri juga (maksudnya mereka
adalah pekerja berat). Tadi malam, Muadz menjadi imam bagi kami lalu ia
membaca surat al-Baqarah, maka saya pun mempersingkat shalat saya.
Kemudian ia menuduh saya sebagai munafik." Mendengar pengaduan itu, Nabi
saw. bersabda, "Wahai Muadz, apakah kamu ingin membuat orang-orang
menjauh dari agama ini?!" Beliau berkata demikian sebanyak tiga kali,
lalu melanjutkan, "Bacalah wasy-syamsi wa dhuhâhâ (surat asy-Syams) dan sabbihisma rabbikal-a'lâ (surat al-A'lâ), serta surat-surat sejenisnya."
Bukhari dan Muslim juga meriwayatkan
dari Abu Mas'ud al-Anshari r.a., ia berkata, "Ada seorang laki-laki
berkata kepada Rasulullah saw., "Wahai Rasulullah, saya hampir tidak
mengikuti shalat jamaah karena si Fulan memanjangkan shalat ketika
menjadi imam kami." Lalu saya tidak pernah melihat Rasulullah saw.
sangat marah ketika memberikan nasehat melebihi kemarahan beliau dari
hari itu. Beliau bersabda,
أَيُّهَا النَّاسُ، إِنَّ مِنْكُمْ
مُنَفِّرِيْنَ، فَمَنْ صَلَّى بِالنَّاسِ فَلْيُخَفِّفْ، فَإِنَّ فِيْهِمُ
الْمَرِيْضَ وَالضَّعِيْفَ وَذَا الْحَاجَةِِ
"Wahai orang-orang, sesungguhnya
diantara kalian ada yang orang yang suka membuat orang-orang menjauh
dari agama ini. Barang siapa yang menjadi imam bagi orang-orang,
hendaknya ia memendekkan shalatnya, karena sesungguhnya diantara mereka
ada orang sakit, orang yang lemah dan orang yang memiliki keperluan."
Nas-nas di atas –begitu juga nas-nas
serupa lainnya— secara jelas melarang umat Islam menyakiti orang-orang
dan memerintahkan mereka untuk menjaga perasaan masyarakat dalam
melaksanakan syiar-syiar Islam. Nas-nas itu pun memperingatkan agar
tidak bertindak sewenang-wenang dan berbuat zalim baik dengan perkataan
maupun perbuatan.
Apabila korban dari tindakan
sewenang-wenang dan kezaliman itu para tetangga, maka dosanya akan lebih
besar. Hal ini berdasarkan dalil-dalil yang memerintahkan bersikap baik
terhadap mereka. Seperti firman Allah,
"Dan berbuat baiklah kepada dua
orang ibu-bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin,
tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil
dan hamba sahayamu." (An-Nisâ` [4]: 36).
Nabi saw. juga bersabda,
وَاللهِ لاَ يُؤْمِنُ، وَاللهِ لاَ يُؤْمِنُ،
وَاللهِ لاَ يُؤْمِنُ، قِيْلَ: مَنْ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: اَلَّذِيْ
لاَ يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ
"Demi Allah tidak beriman, demi
Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman." "Siapa itu, wahai
Rasulullah?" tanya seorang sahabat. Beliau menjawab, "Orang yang
tetangganya tidak selamat dari kejahatannya."
Mengumandangkan tausyîh dengan
pengeras suara sebelum shalat Shubuh tentu saja sangat mengganggu
istirahat masyarakat dan merupakan satu kezaliman terhadap mereka.
Padahal bisa jadi di antara mereka ada yang sedang sakit yang bisa jadi
semakin parah jika terbangun ketika itu; ada ibu-ibu yang tidak tidur
sepanjang malam untuk menidurkan anaknya lalu ketika hendak istirahat,
tiba-tiba terdengar suara keras yang menghalanginya untuk istirahat; ada
para pekerja yang kelelahan karena bekerja berat sepanjang hari atau
sepanjang malamnya, sementara ia tidak menemukan waktu untuk istirahat
kecuali pada waktu tersebut. Tentu hanya Allah-lah yang mengetahui
kondisi setiap anggota masyarakat tersebut. Dengan demikian, orang yang
mengumandangkan suara keras tersebut telah mengumpulkan
perbuatan-perbuatan dosa dan kezaliman terhadap makhluk sementara ia
merasa telah melakukan perbuatan baik.
Tindakan ini tidak dapat dibenarkan meskipun lantunan suara tersebut berisi tausyîh
dan puji-pujian untuk Rasulullah saw. yang baik dan dianjurkan. Hal itu
karena seorang muslim diperintahkan untuk menjaga perasaan para
saudaranya dan dilarang mengganggu mereka ketika sedang beristirahat.
Alasan ingin berbuat baik tidak dapat dijadikan sebagai dalil
pembenaran, karena mencegah kemudaratan lebih diutamakan daripada
melakukan kebaikan. Sementara memperhatikan kondisi masyarakat yang
sedang beristirahat dan tidak mengganggu mereka merupakan suatu
kewajiban dalam syariat.
Seorang muslim dilarang mengusik
agama yang dianut oleh orang lain walaupun dengan sesuatu yang
dibenarkan dalam agama Islam. Hal ini karena Allah –subhânahu wa ta'âlâ—
melarang kaum muslimin untuk melecehkan sesembahan kaum musyrikin,
padahal hakikat tindakan itu sendiri adalah benar, bahkan itu merupakan
salah satu bukti terbebasnya ia dari kekafiran. Larangan itu ditetapkan
agar tidak membuat kaum musyrikin itu membalasnya dengan melecehkan
Allah. Maka bagaimana dengan mengumandangkan tausyîh dengan
pengeras suara –meskipun hakikatnya dibolehkan— yang dapat mengganggu
istirahat masyarakat sehingga membuat mereka membenci bacaan-bacaan itu?
Selain itu, Allah juga menyebut waktu sebelum fajar sebagai "waktu aurat". Allah berfirman,
"Hai orang-orang yang beriman,
hendaklah budak-budak (lelaki dan wanita) yang kamu miliki, dan
orang-orang yang belum balig diantara kamu, meminta izin kepada kamu
tiga kali (dalam satu hari) yaitu: sebelum shalat Shubuh, ketika kamu
menanggalkan pakaian (luar)mu di tengah hari dan sesudah sesudah shalat
Isya'. (Itulah) tiga 'aurat bagi kamu." (An-Nûr [24]: 58).
Ayat di atas berisi penjelasan
rabbani untuk memperhatikan kondisi dan perasaan makhluk terutama di
waktu tersebut. Dapat saja dikatakan bahwa mengumandangkan bacaan shalat
lima waktu lebih sedikit mudaratnya dibandingkan dengan mengumandangkan
tausyîh. Namun, mengingat pemerintah Mesir telah melarang
pengumandangan bacaan shalat lima waktu dengan pengeras suara, maka
pelanggaran terhadap larangan tersebut dapat dianggap sebagai sikap
tidak tunduk kepada pemimpin. Padahal penguasa memiliki kewenangan untuk
menetapkan batasan pada hal-hal yang mubah (dibolehkan). Tentunya
kewenangan pemerintah dalam hal ini lebih besar jika hal yang dibolehkan
itu berdampak negatif kepada masyarakat.
Disamping itu, mengeraskan suara
dengan cara tersebut dapat mengganggu orang-orang yang sedang
melaksanakan shalat di masjid, di rumah atau di tempat kerja yang ada di
sekitar masjid itu. Padahal Allah telah berfiman,
"Dan jangan kamu mengeraskan
suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkannya dan carilah
jalan tengah di antara kedua itu." (Al-Isrâ` [17]: 110).
Diriwayatkan dari Abu Hazim at-Tammar
dari al-Bayadhi r.a. bahwa Rasulullah saw. mendatangi orang-orang yang
sedang shalat dengan mengeraskan suara. Beliau lalu bersabda,
إِنَّ الْمُصَلِّيَ يُناجِي رَبَّهُ فَلْيَنْظُرْ مَاذَا يُنَاجِيْهِ بِهِ، وَلاَ يَجْهَرُ بَعْضُكُمْ عَلَى بَعْضٍ فِي الْقُرْآنِ
"Sesungguhnya orang yang shalat
itu bermunajat kepada Tuhannya, maka hendaknya ia memperhatikan apa ia
yang ia pergunakan untuk bermunajat kepada-Nya. Dan hendaknya kalian
tidak saling mengeraskan bacaan Alqurannya." (HR. Nasa`i dan lainnya).
Wallahu subhânahu wa ta'âlâ a'lam.
|
Home »
FATWA HUKUM ISLAM
» Mengumandangkan Tausyîh dengan Pengeras Suara
Mengumandangkan Tausyîh dengan Pengeras Suara
JIKA TERDAPAT KESALAHAN/KEKELIRUAN DALAM ARTIKEL INI
DAPAT MENGHUBUNGI KAMI DENGAN CARA MENINGGALKAN PESAN... TERIMAKASIH
DAPAT MENGHUBUNGI KAMI DENGAN CARA MENINGGALKAN PESAN... TERIMAKASIH
Tidak ada komentar:
Posting Komentar