Memperhatikan permohonan fatwa nomor 154 tahun 2008 yang berisi:
Apakah boleh mengeluarkan zakat
fitrah pada awal Ramadhan? Dan apakah boleh mengeluarkan zakat fitrah
dalam bentuk uang bukan biji-bijian (bahan makanan)?
|
||
|
||
Menurut ulama Hanafiyah, kewajiban mengeluarkan zakat fitrah dimulai
sejak terbitnya fajar pada hari raya Idul Fitri. Sedangkan para ulama
Syafi'iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa kewajiban itu dimulai sejak
tenggelamnya matahari pada hari terakhir bulan Ramadhan. Menurut para
ulama Malikiyah dan Hanabilah boleh mengeluarkan zakat dua hari sebelum
waktu kewajibannya. Pendapat ini didasarkan pada perkataan Ibnu Umar
r.a., "Mereka (para sahabat) mengeluarkan zakat fitrah sehari atau dua
hari sebelum hari raya."
Namun demikian, secara syarak tidak
ada larangan untuk mengeluarkan zakat fitrah sejak masuknya bulan
Ramadhan. Hal ini sesuai dengan pendapat yang shahih dalam Mazhab
Syafi'i. Ini juga merupakan pendapat yang dishahihkan dalam Mazhab
Hanafi.
Menurut salah satu pendapat dalam
Mazhab Syafi'i dibolehkan mengeluarkan zakat fitrah sejak hari pertama
bulan Ramadhan, bukan sejak malam pertamanya. Bahkan, menurut satu
pendapat yang lain dibolehkan mengeluarkannya sebelum datangnya bulan
Ramadhan.
Adapun mengenai hukum mengeluarkan
zakat fitrah dalam bentuk uang, maka para ulama Hanafiyah berpendapat
bahwa zakat fitrah yang wajib dikeluarkan adalah setengah sha' gandum,
tepung biasa, tepung sawiq (tepung yang bahannya disangan
terlebih dahulu) dan kismis (anggur kering), atau satu sha' kurma dan
jelai, atau nilai dari benda-benda tersebut. Menurut mereka, penyebutan
bahan-bahan makanan yang wajib dizakati dalam nas-nas syariat adalah
karena statusnya sebagai harta yang mempunyai nilai harga, bukan karena
statusnya sebagai bahan makanan itu sendiri. Sehingga, menurut mereka
boleh mengeluarkan zakat dengan nilai atau harga dari bahan-bahan
makanan tersebut, baik dalam bentuk uang dirham, dinar, fulus (uang
tembaga), barang niaga dan lain sebagainya.
Imam Sarkhasi dalam kitab al-Mabshûth
mengatakan, "Jika seseorang membayarkan zakat dengan nilai dari gandum,
maka itu boleh menurut kami (ulama mazhab Hanafi). Karena tujuan
pemberian itu adalah tercapainya kecukupan bagi orang miskin, sehingga
dapat direalisasikan baik dengan uang maupun dengan gandum.
Sedangkan menurut Imam Syafi'i hal
itu tidak dibolehkan. Yang menjadi sebab perbedaan pendapat dalam
masalah ini adalah sama dengan sebab perbedaan dalam masalah zakat
harta. Abu Bakar al-A'masy berpendapat bahwa mengeluarkan gandum lebih
baik daripada mengeluarkan nilainya (uang). Karena hal itu lebih sesuai
dengan perintah dan jauh dari perdebatan ulama. Sehingga mengeluarkan
zakat fitrah dengan gandum merupakan bentuk kehati-hatian dalam
beribadah. Adapun Abu Ja'far berpendapat bahwa membayar nilainya (uang)
adalah lebih baik, karena lebih sesuai dengan keperluan orang miskin. Di
samping itu, dengan uang itu dia dapat membeli apa yang dia butuhkan
saat itu.
Alasan penyebutan gandum dan jelai
dalam nas-nas syar'i adalah karena transaksi jual beli di Madinah pada
masa itu masih menggunakan bahan makanan tersebut. Adapun di
negeri-negeri kita, transaksi dilakukan dengan uang. Uang menjadi barang
yang paling berharga sehingga mengeluarkan zakat dengannya adalah lebih
baik." Demikian penjelasan Sarkhasi.
Pendapat ini juga merupakan pendapat
sejumlah tabi'in dan ulama yang diakui. Diantara para tabi'in tersebut
adalah Hasan al-Bashri yang mengatakan, "Tidak apa-apa memberikan uang
dirham dalam zakat fitrah." Demikian pula Abu Ishaq as-Sabi'i.
Diriwayatkan dari Zuhair, dia berkata, "Saya mendengar Abu Ishak
as-Sabi'i berkata, "Saya melihat para sahabat memberikan zakat fitrah
dengan dirham sesuai dengan harga makanan." Ini juga pendapat Umar bin
Abdul Aziz, sebagaimana diriwayatkan oleh Waki' dari Qurrah, dia
berkata, "Umar bin Abdul Aziz mengirim surat kepada kami yang isinya:
"Setengah sha' dari setiap orang atau nilainya sebesar setengah dirham."
Seluruh atsar dari para tabi'in ini diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf.
Pendapat ini juga dipilih oleh Sufyan
ats-Tsauri, Ishak bin Rahawaih dan Abu Tsaur. Hanya saja kedua ulama
yang disebutkan terakhir mensyaratkan adanya keadaan darurat,
sebagaimana disebutkan oleh Imam Nawawi dalam al-Majmû' Syarh al-Muhadzdzab.
Mengeluarkan uang dalam zakat fitrah
inipun dibolehkan oleh Syekh Taqiyuddin Ibnu Taimiyah (seorang ulama
Hambali) jika ada kemaslahatan di dalamnya. Hal ini sebagaimana
disebutkan dalam Majmû' al-Fatâwâ tentang membayar zakat, kafarat
dan sejenisnya dalam bentuk nilai. Ibnu Taimiyah menyatakan, "Pendapat
yang kuat dalam masalah ini adalah bahwa mengeluarkan zakat fitrah dalam
bentuk nilai barang tanpa adanya keperluan atau maslahat adalah tidak
dibolehkan. Sedangkan mengeluarkannya dalam bentuk nilai karena
keperluan, maslahat atau keadilan maka tidak apa-apa".
Pendapat yang membolehkan membayar
zakat fitrah dengan uang inipun merupakan salah satu riwayat dari Imam
Ahmad, sebagaimana disebutkan oleh Mardawi dalam kitabnya, al-Inshâf.
Pendapat yang kami pilih dalam fatwa
–dan yang kami pandang lebih sesuai dengan tujuan-tujuan syariah serta
lebih tepat bagi kemaslahatan masyarakat— adalah kebolehan mengeluarkan
zakat fitrah dengan uang. Ini merupakan pendapat Mazhab Hanafi. Pendapat
inilah yang difatwakan dan yang dipraktikkan dalam Mazhab Hanafi dalam
semua jenis zakat, kafarat, nazar, kharâj (pajak bumi) dan lainnya. Ini juga merupakan pendapat sejumlah tabi'in sebagaimana telah disebutkan di atas.
Wallahu subhânahu wa ta'âlâ a'lam.
|
Home »
FATWA HUKUM ISLAM
» Mengeluarkan Zakat Fitrah dalam Bentuk Uang, Bukan Biji-bijian
Mengeluarkan Zakat Fitrah dalam Bentuk Uang, Bukan Biji-bijian
JIKA TERDAPAT KESALAHAN/KEKELIRUAN DALAM ARTIKEL INI
DAPAT MENGHUBUNGI KAMI DENGAN CARA MENINGGALKAN PESAN... TERIMAKASIH
DAPAT MENGHUBUNGI KAMI DENGAN CARA MENINGGALKAN PESAN... TERIMAKASIH
Tidak ada komentar:
Posting Komentar