Mengubah Harga yang telah Disepakati Ketika Terjadi Kenaikan Harga di Pasar

JIKA TERDAPAT KESALAHAN/KEKELIRUAN DALAM ARTIKEL INI
DAPAT MENGHUBUNGI KAMI DENGAN CARA MENINGGALKAN PESAN... TERIMAKASIH

honan fatwa No. 1487 yang berisi:
    Kami adalah perusahaan properti yang membeli tanah lalu membangun perumahan di atasnya dan menjualnya kepada masyarakat. Pada tahun 2005, kami memulai pembangunan sebuah perumahan dan diperhitungkan bahwa perumahan itu akan diselesaikan dan diserahkan kepada pemesan pada Agustus 2008. Setiap pemesan wajib membayar cicilan hingga waktu penyerahan unit rumah. Mereka juga wajib menyerahkan uang muka yang dibayarkan pada awal akad sebesar seratus dua puluh lima ribu pound. Harga setiap unit rumah ditetapkan berdasarkan harga tanah, biaya pembangunan dan nilai keuntungan bagi perusahaan. Kami telah menerima pemesanan dari beberapa orang dan telah tercapai akad dengan mereka. Akan tetapi, ketika proyek pembangunan perumahan itu baru dimulai, kami dikejutkan dengan naiknya harga bahan-bahan bangunan, seperti semen, alumunium, kayu, kabel listrik dan lain sebagainya. Pertanyaannya adalah sejauhmana kemungkinan kebolehan pengubahan harga setiap unit rumah yang telah disepakati dalam akad dengan pertimbangan kenaikan berbagai bahan utama bangunan? Pembangunan setiap unit rumah di atas tentu saja terpengaruh proses pembangunannya karena perubahan harga itu.
Jawaban : Dewan Fatwa
    Sebagaimana diketahui bersama, sepanjang sejarah sebuah produk selalu menghadapi masalah kenaikan dan penurunan harga. Perubahan harga ini –baik meningkat maupun menurun— terjadi dengan presentase yang sangat kecil dalam rentang waktu yang panjang. Dengan kata lain, pada umumnya, dalam satu wilayah tidak terjadi perubahan harga yang berarti kecuali dalam kurun waktu yang sangat jauh. 
    Begitu pula, sejak perang dunia pertama dan kedua, hampir tidak pernah terjadi penurunan harga. Dalam waktu dekat inipun –berdasarkan perkiraan para pakar ekonomi— tidak akan mungkin tejadi penurunan harga, justru harga akan terus meningkat secara tajam atau biasa, atau dapat pula harga tetap bertahan dalam kurun waktu yang lama atau sebentar.
    Uang kertas dimasukkan dalam jenis fulûs – yaitu sejenis uang yang terbuat dari bahan logam selain emas atau perak dan memiliki nilai berdasarkan kesepakatan atau ketetapan penguasa— atau uang emas dan perak yang timbangannya kurang atau tercampur dengan bahan lain (maghsyusy). Para ulama tidak berbeda pendapat mengenai tidak rusaknya akad akibat perubahan nilai mata uang, karena masyarakat masih sepakat atas nilai yang dikandungnya. Namun, mereka berbeda pendapat mengenai cara pelunasannya, apakah disesuaikan dengan jumlah nominal yang ditetapkan dalam akad ataukah disesuaikan dengan nilainya sebelum berubah? Berdasarkan penelusuran terhadap pendapat para ulama dalam masalah ini didapati bahwa mereka berbeda pendapat dalam beberapa pendapat berikut:
    Pendapat pertama, dibayar sesuai dengan nominal yang disepakati dalam akad. Ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah dan para ulama Mazhab Empat. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam kitab Jâmi al-Mudhmarât wa al-Musykilât, "Seseorang membeli sesuatu dengan dirham yang digunakan di suatu wilayah tapi belum diserahkan hingga nilai dirham itu berubah. Jika dirham itu tidak berlaku lagi di pasar, maka akad jual beli itu menjadi rusak, karena harga yang digunakan tidak berlaku lagi. Namun, jika dirham itu masih berlaku di pasar dan nilainya berkurang maka akad itu tidak rusak dan penjualnya hanya berhak mendapatkan sejumlah nominal dirham itu."
    Masalah ini juga dijelaskan dalam kitab Majma' al-Anhâr, "Jika seseorang membeli dengan mata uang itu –maksudnya mata uang yang tercampur dengan bahan lain (maghsyusy)— dan dia masih berlaku lalu nilainya berkurang sebelum uang itu diserahkan, maka akad jual beli itu tetap berlaku berdasarkan ijmak. Penjual tidak dapat memilih (untuk membatalkan atau melanjutkan). Dan sebaliknya, jika mata uang itu menjadi mahal dan nilainya bertambah, maka akad itupun tetap berlaku dan pembeli tidak dapat memilih."
    Penjelasan ini pun disebutkan dalam al-Fatâwâ al-Hâmidiyyah, "Jika nilai fulûs yang dijadikan transaksi sewa menyewa menjadi mahal atau murah, maka ia berkewajiban membayar sesuai dengan nominal yang disepakati dalam akad itu."
    Dalam kitab ini juga disebutkan sebuah pertanyaan, yaitu Zaid berhutang kepada Amr sejumlah uang dalam jumlah tertentu, lalu nilai uang tersebut berkurang tapi masih dapat dijumpai dalam masyarakat. Zaid telah menggunakan uang itu dan hendak mengembalikannya sesuai dengan nominalnya. Apakah itu dibolehkan? Jawab: hutang dibayar sesuai dengan jumlah nominalnya."
    Dalam Fatâwa Qâdhi Khân dinyatakan bahwa diwajibkan membayar sesuai dengan nominalnya. Al-Isbijabi juga berkata, "Tidak dilihat nilainya."
    Pendapat kedua, wajib membayar sesuai dengan nilai fulus pada hari transaksi. Ini adalah pendapat Abu Yusuf. Dinyatakan dalam kitab al-Bazzâziyyah dari al-Muntaqâ, "Jika nilai fulus bertambah atau berkurang maka menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Abu Yusuf tidak diwajibkan selain jumlah nominal. Namun kemudian Imam Abu Yusuf berpendapat bahwa diwajibkan membayar nilai fulus tersebut sesuai dengan nilainya pada hari berlangsungnya transaksi jual beli atau pada hari penerimaan uang [oleh orang yang berhutang]. Inilah yang dijadikan fatwa."
    Maksud dari redaksi "hari berlangsungnya transaksi jual beli" adalah jika uang itu diterima melalui transaksi jual beli. Sedangkan maksud dari redaksi "hari penerimaan uang" adalah jika uang itu diterima melalui akad pinjam meminjam. Pendapat ini diambil oleh Ibnu Abidin dan gurunya yang secara tegas menyatakan bahwa yang dijadikan fatwa adalah pendapat itu dalam berbagai kitab rujukan. Oleh karena itu, pendapat inilah yang harus dipegangi baik dalam fatwa maupun dalam keputusan pengadilan. Hal ini karena mufti dan hakim wajib cenderung kepada pendapat yang kuat dari pendapat imam dan orang yang diikuti oleh keduanya.
    Dalam kitab Tanbîh ar-Ruqûd fî Masâil an-Nuqûd, Ibnu Abidin meriwayatkan dari Syaikhnya al-Allamah al-Ghazi, "Saya telah menelurusi banyak kitab rujukan karya para syekh kami yang dipegangi, tapi saya tidak menemukan seorangpun dari mereka mengeluarkan fatwa sesuai dengan pendapat Abu Hanifah radhiyallahu 'anhu. Mereka juga mengatakan bahwa pendapat itu awalnya juga diambil oleh al-Qadhi al-Imam (Abu Yusuf). Adapun pendapat Abu Yusuf [yang kedua], maka mereka menjadikannya sebagai fatwa dalam banyak kitab rujukan, sehingga pendapat inilah yang dijadikan pegangan."
    Dalam kitab yang sama, Ibnu Abidin juga membicarakan mengenai pendapat yang dijadikan fatwa dan dipegangi berkaitan dengan masalah nilai mata uang. Dia berkata, "Menurut Imam Kedua (Abu Yusuf) nilai mata uang tersebut disesuaikan dengan nilainya pada hari penerimaan uang. Sedangkan menurut Imam Ketiga (Muhammad bin Hasan) nilai uang itu disesuaikan dengan nilainya pada hari terakhir berlakunya mata uang itu. Dan inilah yang dijadikan pegangan."
    Kesimpulan pendapat ini adalah bahwa pendapat yang dipegangi adalah pembayaran sesuai dengan nilai fulûs bukan jumlah nominalnya. Ini adalah pendapat kedua sahabat Abu Hanifah (Abu Yusuf dan Muhammad) serta beberapa ulama dari mazhab Malikiyah.
    Pendapat ketiga, wajib membayar sesuai dengan nilainya jika perubahan yang terjadi sangat besar. Ini adalah pendapat ar-Rahuni, salah seorang ulama Malikiyah. Yang menjadi ukurannya adalah jika perubahan itu melebihi sepertiga nilai asli. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah saw.,
وَالثُّلُثُ كَثِيْرٌ
"Sepertiga adalah banyak."
    Menurut kami, dalam masalah ini yang perlu perlu dilakukan adalah membedakan antara dua hal, yaitu antara kondisi transaksi dengan kadar perubahan nilai. Pendapat jumhur ulama diterapkan jika kadar kenaikan nilai tersebut tersebut kecil dan tidak terjadi penundaan pembayaraan tanpa alasan dari orang yang berkewajiban membayar, baik orang yang berhutang, pembeli, penyewa dan lain sebagainya. Begitu juga, jika pemilik hak merelakan tambahan nilai tersebut –walaupun secara tidak langsung— meskipun perubahannya besar, seperti dalam hutang yang berjangka waktu lama, juga mahar yang belum terbayar dan istri rela untuk menerima mahar berapapun nilainya meskipun diketahui bahwa nilainya akan berkurang pada hari pembayaran (yaitu ketika salah satu pasangan wafat atau istri ditalak). Dalam masalah terakhir ini, sepertinya sang istri telah rela dengan terjadinya penurunan nilai ketika ia menyetujui pengakhiran pembayaran sebagian maharnya hingga waktu tertentu yang terkadang waktu tersebut adalah pada hari kematian. Pendapat ini didasarkan pada hukum asli, yaitu bahwa kaum muslimin wajib menepati janji yang dibuatnya. Di samping itu, hal ini masuk dalam lingkup kerelaan pemilik hak untuk tidak mengambil haknya, karena ia telah memperkirakan akan terjadi perubahan nilai mahar dalam kadar sedikit yang masih dapat diterima atau terjadi perubahan besar pada nilainya tapi ia rela untuk melepaskannya. Dengan demikian, istri tersebut telah bertindak sesuai dengan hak yang dimilikinya. Tidak dapat disebut sebagai tindakan zalim jika seseorang telah berbuat sesuai dengan haknya, tapi yang dinamakan zalim adalah jika seseorang berbuat sesuatu terhadap hak orang lain tanpa izin darinya.
    Namun, jika perubahan itu besar atau terjadi penundaan pembayaran tanpa alasan, maka sikap adil dan fair dalam kondisi ini adalah mengambil pendapat yang mengatakan perlunya membayar berdasarkan nilai, sebagaimana pendapat Abu Yusuf dan beberapa ulama Malikiyah. Perpindahan dari kewajiban asli (yaitu membayar sesuai nominal) menjadi kewajiban membayar sesuai dengan nilai ini disebabkan karena tidak adanya tanda yang menunjukkan kerelaan pemilik hak untuk melepaskan tambahan nilai yang di luar kebiasaan. Selain itu, juga tidak terdapat kerelaannya terhadap penundaan pembayaran tanpa alasan.
    Kami kira apa yang kami sebutkan cukup menjelaskan permasalahan ini. Bagi pembaca yang ingin informasi lebih mendalam seputar masalah ini dipersilahkan membuka halaman Masalah Keislaman.
    Dengan demikian, akibat terjadinya perubahan besar dalam upah buruh dan harga bahan bangunan sebagaimana diketahui oleh setiap orang yang mengikuti perkembangan ekonomi nasional maupun global, maka pendapat yang menyatakan bahwa pembayaran dilakukan berdasarkan nilai adalah pendapat yang paling tepat dalam masalah ini dan paling dekat dengan ruh syariah. Semua ini berlaku jika tidak ada kesepakatan awal antara pihak perusahaan dan para pembeli seputar harga baru yang telah disepakati bersama. Dan masing-masing tidak boleh membatalkan transaksi secara sepihak, tapi hendaknya pembeli meminta perusahaan membatalkan akad, atau membayar biaya tambahan kepadanya sesuai kesepakatan atau sesuai keputusan para pakar yang netral berdasarkan perubahan harga di pasar.
Wallahu subhânahu wa ta'âlâ a'lam.

Sumber : Dar al Iftaa ( Lembaga Fatwa Mesir)
Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tayangan Halaman