Menggunakan Sel Punca untuk Eksperimen Ilmiah

JIKA TERDAPAT KESALAHAN/KEKELIRUAN DALAM ARTIKEL INI
DAPAT MENGHUBUNGI KAMI DENGAN CARA MENINGGALKAN PESAN... TERIMAKASIH

honan fatwa No. 1401 tahun 2008 yang berisi:
    Apa hukum menggunakan sel punca/sel induk dewasa (adult stem cell) yang diambil dari hewan eksperimen, seperti kelinci atau domba? Prosesnya adalah sel tersebut diambil dari seekor hewan eksperimen. Setelah dikembangkan, dipisahkan dan dipastikan karakteristik dan kesehatannya, sel induk tersebut lalu dikembalikan lagi ke hewan yang sama untuk diteliti pengaruhnya dalam bidang rekayasa jaringan dan pembentukan jaringan sel baru. Jika percobaan pada hewan ini sukses maka akan dicoba untuk diterapkan pada manusia, yaitu dengan mengambil sel punca dewasa dari tubuh seseorang lalu dikembalikan ke tubuhnya setelah dilaksanakan proses medis tertentu. Semua ini dilakukan setelah mendapatkan izin dari pasien untuk melaksanakan eksperimen tersebut guna mengobati penyakitnya.
Jawaban : Dewan Fatwa
    Sel punca (sel induk) adalah sebuah sel yang mempunyai potensi untuk berdiferensiasi menjadi berbagai jenis sel lain yang dapat membentuk jaringan tubuh yang berbeda-beda. Para ilmuwan saat ini telah berhasil mengidentifikasi sel-sel ini lalu memisahkanya dan mengembangkannya. Inovasi medis ini bertujuan untuk digunakan sebagai salah satu teknik pengobatan beberapa jenis penyakit.
    Terdapat beberapa cara untuk mendapatkan sel punca ini, di antaranya adalah dengan mengambilnya dari embrio hasil keguguran dalam fase kehamilan apapun, dari darah tali pusat, dari anak-anak kecil atau orang dewasa, atau juga dapat diperoleh melalui proses kloning dengan mengambil sel tersebut dari bagian dalam sel.
    Adapun penggunaan hewan sebagai obyek eksperimen dan riset ilmiah berkaitan dengan sel punca yang bertujuan untuk kepentingan umat manusia maka itu dibolehkan dan tidak dilarang oleh syariat. Hal itu karena hewan diciptakan dan ditundukkan untuk kepentingan manusia sebagaimana firman Allah,
"Allah telah menundukkan untuk (kepentingan)mu apa yang di langit dan apa yang di bumi." (Luqmân: 20).
    Allah SWT juga telah memperbolehkan kita untuk menyembelih berbagai jenis hewan untuk dimakan dagingnya. Sehingga, penggunaan hewan-hewan tersebut untuk eksperimen ilmiah yang bertujuan membantu manusia adalah lebih dibolehkan, karena manfaat daging hewan untuk dikonsumsi tentu lebih kecil dibanding manfaat yang diperoleh dari ilmu pengetahuan yang dihasilkan oleh riset ilmiah yang menggunakan hewan sebagai obyeknya.
    Meskipun demikian, disyaratkan tetap bersikap baik terhadap hewan obyek penelitian dan sedapat mungkin menghindari tindakan yang dapat menyakitinya selama proses riset. Imam Muslim meriwayatkan dari Syadad bin Aus r.a., ia berkata, "Dua hal yang selalu saya ingat dari perkataan Rasulullah saw.,
إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ الإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ، فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا الْقِتْلَةَ، وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذِّبْحَةَ، وَلْيُحِدَّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ وَلْيُرِحْ ذَبِيْحَتَهُ
"Sesungguhnya Allah mewajibkan berbuat baik dalam segala sesuatu. Oleh karena itu, jika kalian membunuh maka bersikap baiklah dalam membunuh, dan jika kalian menyembelih, maka bersikap baiklah dalam menyembelih. Hendaknya kalian menajamkan pisaunya dan memberi ketenangan pada hewan sembelihannya."
Diriwayatkan pula dari Muslim dan Abu Dawud dari Jarir bin Abdullah al-Bajali r.a., ia berkata, "Rasulullah saw. bersabda,
مَنْ يُحْرَمُ الرِّفْقُ يُحْرَمُ الْخَيْرُ كُلُّهُ
"Barang siapa yang tidak mempunyai rasa sayang, maka ia terhalangi dari seluruh kebaikan."
    Tirmidzi dan lainnya meriwayatkan dari Abdullah bin 'Amr r.a., ia berkata, "Rasulullah saw. bersabda,
الرَّاحِمُوْنَ يَرْحَمُهُمُ الرَّحْمَنُ بِرَحْمَتِهِ، ارْحَمُوْا مَنْ فِي اْلأَرْضِ يَرْحَمُكُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ
"Orang-orang yang mengasihi makhluk Allah akan dikasihi oleh Sang Maha Pengasih dengan rahmat-Nya. Kasihilah makhluk-makhluk Allah yang ada di bumi, maka kalian akan dikasihi oleh Allah."
    Begitu pula dibolehkan mengambil sel punca dewasa dari tubuh orang sakit dengan tujuan untuk mengobatinya selama hal itu tidak membahayakan jiwanya. Selain itu, harus ada izin dari orang yang sakit tersebut jika ia adalah orang yang memiliki hak untuk memberikan izin, yaitu ia telah dewasa, berakal dan tidak dipaksa. Jika ia tidak dapat memberikan izin maka hak pemberian izin tersebut ada di tangan walinya.
    Syariat Islam mengajak umatnya untuk berobat jika sakit. Imam Tirmidzi dan Abu Dawud meriwayatkan dari Usamah bin Syarik r.a., ia berkata, "Saya mendatangi Nabi saw. yang sedang bersama para sahabat yang seakan-akan terdapat burung di atas kepala mereka. Saya mengucapkan salam lalu duduk bersama mereka. Kemudian datang beberapa orang Arab badui dari arah sana dan berkata, "Wahai Rasulullah, apakah kami boleh berobat?" Beliau menjawab,
تَدَاوَوْا، فَإِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ لَمْ يَضَعْ دَاءً إِلاَّ وَضَعَ لَهُ دَوَاءً غَيْرَ دَاءٍ وَاحِدٍ الْهَرَمُ
"Berobatlah kalian, karena sesungguhnya Allah 'Azza wa Jalla tidak membuat penyakit kecuali membuat obatnya, kecuali sebuah penyakit yaitu tua."
    Hadis ini menganjurkan untuk berobat secara mutlak tanpa dibatasi dengan kriteria-kriteria tertentu. Dalam kaidah usul fikih dinyatakan bahwa teks yang mutlak (tidak terbatas) diartikan secara mutlak pula, selama tidak ada dalil lain yang membatasinya. Imam Khathabi berkata, "Dalam hadis ini terdapat penjelasan mengenai pengobatan dan bahwa berobat itu adalah dibolehkan, tidak dimakruhkan." Pendapat kami yang membolehkan penggunaan bentuk pengobatan di atas sesuai dengan kemutlakan yang diambil dari makna hadis. Barang siapa yang menyatakan hal itu tidak dibolehkan maka ia harus mendatangkan dalil.
Wallahu subhânahu wa ta'âlâ a'lam.

Sumber : Dar al Iftaa ( Lembaga Fatwa Mesir)
Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tayangan Halaman