Khilafah dan Status Negara-negara Muslim Saat Ini

JIKA TERDAPAT KESALAHAN/KEKELIRUAN DALAM ARTIKEL INI
DAPAT MENGHUBUNGI KAMI DENGAN CARA MENINGGALKAN PESAN... TERIMAKASIH

Setelah keruntuhan Khilafah Utsmaniyyah, apakah ada negara yang terhitung sebagai negara Islam? Dan apa hukum patuh kepada para penguasa dalam kondisi ini?
Jawaban : Dewan Fatwa

Menjadi khalifah adalah menempati posisi pemilik syariat untuk merealisasikan maslahat agama dan duniawi. Ibnu Khaldun dalam mukadimah kitab Târîkh berkata, “Khilafah adalah memimpin umat berdasarkan syariat demi kemaslahatan akhirat dan dunia mereka, karena seluruh urusan duniawi menurut syariat harus ditimbang sesuai maslahat akhirat. Maka sejatinya, ia adalah menggantikan posisi pemilik syariat dalam menjaga agama dan mengatur urusan dunia.” (Târîkh Ibni Khaldun, Vol. I, hlm. 239, Cet. Dar al-Fikr, Beirut).

Para ulama menyatakan bahwa menegakkan khilafah adalah fardhu kifayah bagi umat ini, karena harus ada yang menegakkan ajaran agama dan mengurus maslahat dunia mereka. Dengan khilafah, Allah menghindarkan terjadinya kezaliman, merealisasikan berbagai maslahat dan menjauhkan rakyat dari keburukan.

Sa’d al-Taftazani berkata, “Berdasarkan ijmak ulama, mengangkat seorang imam (pemimpin) adalah wajib.” (Syarh al-Aqâ’id an-Nasafiyyah, hlm. 96, Cet. Maktabah al-Kulliyât al-Azhariyyah).

Ibnu Abidin berkata, “Mengangkat imam adalah salah satu kewajiban yang terpenting, karena banyak kewajiban di dalam syariat Islam yang pelaksanaannya tergantung pada keberadaannya.” (Hâsyiyah Ibni `Âbidîn, Vol. I, hlm. 548, Cet. Dar al-Fikr).

Syaikh Islam Zakariya al-Anshari di dalam kitab Asnâ al-Mathâlib memaparkan, “Bab al-Imâmah al-Uzhmâ (kepemimpinan tertinggi). Ini adalah fardhu kifayah, seperti pengadilan (qadhâ’). Karena umat ini harus memiliki imam (pemimpin tertinggi) yang menegakkan agama, menjaga sunah, membela orang-orang yang terzalimi, memenuhi hak umat dan menempatkan hak-hak tersebut pada tempatnya. Jika hanya ada satu orang yang layak memegang posisi ini, namun orang-orang tidak memintanya untuk memegang posisi tersebut, maka dia harus memintanya, karena tidak ada pilihan lain selain dia. Jika menolaknya, maka dia boleh dipaksa.” (Vol. IV, hlm. 108, Cet. Al-Kitab al-Islami).
Al-Ramli al-Kabîr di dalam Hasyiyah-nya terhadap kitab Asnâ al-Mathâlib, berkata, “Sejumlah orang berkata, ‘Posisi imam (pemimpin tertinggi) adalah pimpinan umum dalam urusan agama dan dunia yang dipegang oleh seseorang. Sebutan yang lebih tepat untuk posisi ini adalah khalifah (pengganti) Rasulullah Shallallahu `alaihi wa Sallam dalam menegakkan agama dan menjaga ajaran-ajaran Islam, sehingga wajib diikuti oleh umat ini secara keseluruhan. Dan memegang posisi sebagai khalifah ini adalah fardhu kifayah berdasarkan ijmak para ulama. Ketika Rasulullah Shallallahu `alaihi wa Sallam meninggal dunia, para sahabat segera melakukan pengangkatan khalifah dan tidak menyibukkan diri dengan pengurusan jenazah beliau, karena mereka khawatir akan terjadi suatu perkara besar yang menyergap mereka. Di samping itu, jika orang-orang dibiarkan tanpa ada yang menyatukan mereka di atas kebenaran dan tidak ada yang menghalangi mereka dari kebatilan, pasti mereka semua akan hancur. Dan akhirnya, para penyeru kerusakan dapat mengalahkan mereka’. Allah Ta’ala berfirman, “Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebahagian umat manusia dengan sebagian yang lain -pasti rusaklah bumi ini-” (Al-Baqarah: 251).” (Hâsyiyah al-Ramli `alâ Asnâ al-Mathâlib, Vol. IV, hlm. 108).

Saat Islam datang, ia mengubah status bangsa Arab dari para penggembala domba menjadi pemimpin bangsa-bangsa. Islam menghantarkan mereka kepada peradaban yang maju dalam berbagai sendi kehidupan. Di antara bentuk peradaban yang dikenalkan Islam kepada mereka adalah sistem satu negara yang terwujud dalam sistem khilafah, menggantikan kehidupan yang bersuku-suku tanpa ada satu wadah yang menyatukan mereka. Kaum Muslimin terus menjaga sistem ini dan berusaha sekuat tenaga untuk menjaga keutuhannya.

Ketika otoritas khilafah pusat melemah, muncullah negara-negara dan kesultanan-kesultanan kecil, yang mayoritasnya tetap menunjukkan kepatuhan kepada khalifah, walaupun dengan sekedar mendoakannya saat berpidato di atas mimbar.

Beberapa tahun kemudian, terjadi bencana besar menimpa kaum muslimin, yaitu runtuhnya khilafah pada tahun 1342 H./1925 M.. Negara-negara Islam kemudian terpecah menjadi negara-negara kecil, yang batasan-batasannya ditetapkan dalam perjanjian Sykes-Picot.

Setiap negara pecahan ini memiliki konstitusi, pemimpin dan undang-undang tersendiri. Masing-masing juga memiliki kedaulatan atas wilayahnya. Berdasarkan hal ini, maka kita dapat mengategorikan negara-negara ini seperti negara-negara kecil yang muncul di era kelemahan khilafah. Saat itu, walaupun secara umum masih menginduk kepada khilafah pusat (secara formalitas), akan tetapi sebagiannya benar-benar telah terpisah dari khilafah pusat, sehingga terdapat lebih dari satu khilafah.

Ini sebagaimana terjadi pada negara Andalusia, yang awalnya berada di bawah Khilafah Abbasiyah di Irak. Setelah dipimpin oleh Abdurrahman al-Dakhil, ia tidak ada lagi berada di bawah kekuasaan Khilafah Abbasiyah, melainkan sekedar mendoakan saja dalam acara-acara formal. Pada tahap selanjutnya, al-Dakhil mengeluarkan larangan untuk mendoakan khalifah. Kepemimpinan negara baru ini disebut “Imarah/Emirat”, yang selanjutnya mendeklarasikan kekhilafahan.

Khilafah yang dipimpin al-Dakhil ini juga menunaikan semua fungsi khilafah, baik dalam perekonomian, militer, peradilan dan sebagainya. Para tentaranya juga tidak menolak untuk menunaikan tugas jihad membela negara. Para imam masjid, para qadhi dan para ulama juga menunaikan tugas mereka di pengadilan, fatwa, pengajaran dan penulisan buku.

Ibnu Khaldun di dalam mukadimah kitab Târîkh-nya menuturkan, “Kemudian negara Islam berubah menjadi kerajaan, namun spirit khilafah tetap terjaga, seperti semangat menegakkan ajaran agama dan mengikuti ajaran yang benar. Tidak ada perubahan sama sekali, kecuali dalam aura pemerintahan, yang awalnya bersifat agama, berubah menjadi fanatisme dan kekerasan.

Inilah yang terjadi pada masa Muawiyah, Marwan dan anaknya, Abdul Malik. Juga di awal kepemimpinan para khalifah Abbasiyah, hingga Harun al-Rasyid dan beberapa anaknya. Kemudian spirit khilafah hilang, yang tersisa hanya namanya saja. Selanjutnya, pemerintahan benar-benar menjadi kerajaan. Kekuatan menjadi alat untuk mencapai tujuan, kesewenangan menjadi sarana untuk mendapatkan keinginan, dan mereka juga bergelimang dalam nafsu-sayhwat dan kenikmatan dunia. Inilah yang terjadi pada anak Abdul Malik dan para penguasa bani Abbasiyah setelah Harun ar-Rasyid, sedangkan nama “khalifah” masih mereka sandang, karena masih ada fanatisme Arab yang mereka pegang.

Dalam dua fase di atas, ciri kekhilafahan dan kerajaan campur aduk. Kemudian nama dan pengaruh khilafah hilang sama sekali dengan hilangnya fanatisme Arab, punahnya generasi dan karakter mereka. Sedangkan sistem yang tersisa adalah murni kerajaan, sebagaimana yang terjadi pada kerajaan non-Arab di kawasan Timur. Mereka mengaku patuh kepada khalifah sebagai bentuk tabarruk saja, tapi kekuasaan dengan semua gelar dan kewenangannya adalah milik mereka sepenuhnya, khalifah pusat tidak memiliki bagian apapun darinya. Ini pula yang dilakukan oleh para raja Zenata di Maroko, seperti kabilah Shanhaja terhadap Abidiyyun (Fathimiyah), juga seperti suku Maghrawah dan Banu Ifran terhadap para khalifah Bani Umayyah di Andalusia, juga Abidiyyun (Fathimiyah) di Kairowan di Tunis.

Hal ini menjelaskan bahwa pada awalnya khilafah bukan kerajaan, kemudian khilafah dan kerajaan tercampur aduk. Setelah itu yang tersisa adalah kerajaan, karena bentuk fanatismenya berbeda dengan bentuk fanatisme dalam khilafah. Dan Allah lah yang telah mengatur malam dan siang, Dia pun Maha Esa lagi Maha Kuasa.” (Târîkh Ibni Khaldun, Vol. I, hlm. 260).

Berdasarkan penjelasan di atas, maka status hukum negara-negara yang ada saat ini adalah seperti status hukum Emirat/imârah. Oleh karena itu, rakyat harus patuh kepada para pemimpin dalam sistem negara ini, selama mereka tidak memerintahkan kepada kemaksiatan. Karena tujuan dari imâmah adalah sama persis dengan apa yang dilakukan oleh presiden atau pemimpin negara saat ini, seperti memimpin rakyat, mengatur urusan mereka, melaksanakan hukum, menyiapkan tentara, menindak orang-orang jahat dan menegakkan syiar-syiar agama. Dan inilah yang dilakukan oleh para pemimpin negara-negara kecil dahulu kala, juga yang dilakukan oleh sejumlah khilafah yang ada di luar khilafah pusat.

Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu `anhu, Dia berkata, “Pada suatu hari Rasulullah Shallallahu `alaihi wa Sallam berkhutbah, beliau bersabda [tentang perang Mu’tah]: “Panji diambil oleh Zaid, lalu ia terluka. Kemudian diambil oleh Jakfar, lalu dia terluka. Kemudian diambil oleh Abdullah bin Rawahah, lalu dia terluka. Kemudian diambil oleh Khalid bin Walid tanpa adanya penunjukkan terhadapnya, lalu ditangannya musuh dapat ditaklukkan (dikalahkan).”

Dalam hadis ini disebutkan bahwa Khalid bin al-Walid R.a. mengambil posisi sebagai pemimpin tanpa adanya penunjukkan (pengangkatan). Dan kaum muslimin rida dengan hal tersebut serta mematuhinya hingga akhir peperangan. Nabi Saw. pun menyetujuinya, tanpa adanya penolakan sama sekali, bahkan beliau memujinya. Allah memberinya kemenangan, wahyu juga tidak ada yang turun untuk membatalkan atau mencela apa yang dilakukan oleh Khalid bin Walid. Ibnu al-Munayyir berkata; “Dari hadis bab ini, dapat disimpulkan bahwa orang yang tidak memiliki pilihan lain kecuali harus memimpin, dan sangat sulit untuk bertanya terlebih dahulu kepada imam (pemimpin pusat), maka kepemimpinannya sah berdasarkan syariat dan keputusannya harus ditaati.” Al-Hafizh Ibnu Hajar lalu berkata; “Tentu sudah diketahui dengan jelas, bahwa hal ini berlaku jika orang-orang yang hadir (di daerah tersebut) ketika itu menyetujuinya.” (Fath al-Bârî, Vol. IV, hlm. 180, Cet. Dar al-Ma`rifah).

Imam Haramain al-Juwaini di dalam kitab Ghiyâts al-Umam menukilkan dari sebagian ulama yang berkata; “Jika dalam suatu masa tidak ada pemimpin, maka penduduk setiap kawasan, kota atau desa harus mengajukan salah satu dari mereka yang berakal, pandai dan saleh untuk dijadikan pemimpin. Yaitu orang yang akan mereka patuhi nasehat dan perintahnya, dan mereka tinggalkan larangan-larangannya. Jika mereka tidak melakukan hal tersebut, maka mereka akan ragu-ragu mengambil keputusan saat menghadapi hal penting, juga akan bingung menghadapi peristiwa besar.” (Ghiyâts al-Umam, Hlm. 387, Cet. Maktabah Imam al-Haramain).

Abu Ishaq al-Isfirayini mengomentari kebolehan mengangkat dua imam (pemimpin) di dua kawasan jika diperlukan, sebagaimana disebutkan oleh Imam Nawawi di dalam kitab Rawdhah al-Thâlibîn, “Abu Ishaq al-Isfirayini berkata; “Boleh mengangkat dua imam (pemimpin pusat) di dua kawasan yang berbeda, karena terkadang hal itu diperlukan. Ini adalah pendapat yang dipilih oleh Imam al-Juwaini.” (Rawdhah al-Thâlibîn, Cet. Al-Maktab al-Islami, Vol. X, hlm. 47).

Hal tersebut sebagaimana dikuatkan oleh kaidah syariat, “al-Maisûr la yasqhuthu bi al-Ma`sûr (Sesuatu yang dapat dilakukan, tidak gugur karena sesuatu yang sulit dilakukan).” Idealnya berdasarkan syariat adalah para amir (gubernur) yang menjadi pemimpin negara-negara ini berada di bawah satu kepemimpinan, yaitu khalifah. Namun jika khalifah tidak dapat direalisasikan, maka kewajiban adanya pemimpin bagi negara-negara tidaklah gugur. Dan secara status, para presiden Negara saat ini juga sama dengan mereka.

Di samping itu, jika ada pendapat lain yang menyalahi pendapat ini akan mengakibatkan tidak adanya pemimpin yang memimpin dan mengatur rakyat. Walhasil, malah akan mengakibatkan kekacauan dan instabilitas negara dan masyarakat. Ini tentu bertentangan dengan tujuan syariat, karena kerusakan yang ditimbulkan sangat besar dan tidak sejalan dengan lima tujuan utama syariat Islam -yang juga diakui oleh semua agama-, yaitu menjaga jiwa, akal, agama, kehormatan dan harta.

Oleh karena itu, siapapun yang mengkaji fikih Islam akan mendapati bahwa fukaha telah menerima sejumlah hal yang pada prinsipnya tercela. Penerimaan mereka ini disebabkan karena hal-hal tersebut terlanjur terjadi, dan tidak ada cara lain untuk menghindarinya demi kebaikan masyarakat, stabilitas negara. Dengan alasan ini, mereka menerimanya dan menganggapnya sebagai perkara yang dibenarkan oleh syariat. Ia masuk dalam masalah mâ yughtafaru fi al-dawâm wa lâ yughtafaru fi al-ibtidâ’ (Sesuatu yang ditolerir karena terus menerus, yang mana pada awalnya tidak ditolerir).

Di antara permasalahan yang masuk dalam kategori ini adalah pengakuan terhadap kekuasaan orang yang berhasil merebut atau mengambil tampuk kekuasaan. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata; “Para ahli fikih bersepakat tentang kewajiban taat kepada pemimpin yang berhasil mengambil kekuasaan, juga wajib berjihad bersamanya. Mereka juga sepakat, bahwa patuh kepadanya adalah lebih baik daripada menentangnya. Karena hal itu dapat menghindari pertumpahan darah, juga akan menjaga ketenangan masyarakat secara umum. Para fukaha tidak ada memberikan pengecualian apapun dalam hal ini, kecuali jika penguasa tersebut benar-benar telah melakukan kekafiran yang jelas, maka pemimpin tersebut tidak boleh dipatuhi dalam kekufuran, bahkan wajib dilawan bagi orang yang mampu melakukannya.” (Fath al-Bârî, Vol. VII, hlm. 13).

Dalam Mathâlib Ulî al-Nuhâ, salah satu kitab fikih Hambali disebutkan, “Seandainya setiap penguasa berhasil merebut dan menguasai satu kawasan di muka bumi ini, sebagaimana yang terjadi pada zaman kita ini, maka status kekuasaan mereka terhadap masing-masing kawasan tersebut adalah seperti kekuasaan pemimpin tertinggi (imâm), dari aspek kewajiban patuh kepadanya dalam semua hal yang bukan berupa kemaksiatan, wajib menjadi makmumnya, mengakui para hakim dan para gubernur yang mereka angkat, mengakui keputusan mereka, dan tidak menentangnya setelah mereka berhasil menguasai kawasan tersebut. Karena penentangan ini hanya akan mengakibatkan perpecahan dalam tubuh umat. Pendapat inilah yang benar.” (Mathâlib Ulî al-Nuhâ, Vol. VI, hlm. 263, Cet. Al-Maktab al-Islami).

Contoh lain dari pembahasan di atas adalah tidak disyaratkannya sifat `adâlah (ketakwaan dan kesalehan) pada imam (pimpinan tertinggi). Hal ini bertujuan untuk menghindari kerusakan yang lebih besar sebagai akibat dari tidak adanya pemimpin, dan vonis tidak sahnya para hakim dan para pejabat lainnya yang dia angkat.

Al-`Izz bin Abdissalam dalam kitab Qawâ`id al-Ahkâm menuturkan; “Syarat `adâlah (ketakwaan dan kesalehan) dalam al-Imâmah al-`Uzhmâ (kepemimpinan tertinggi) menjadi perbedaan para ulama, karena kefasikan hampir merata pada para penguasa. Seandainya kita tetapkan syarat `adâlah ini secara ketat padanya, niscaya ada banyak hal yang sesuai dengan kebenaran akan terbengkalai, seperti pengangkatan hakim, gubernur, pengumpul zakat, dan panglima perang. Tidak ada yang mengambil apa yang seharusnya para pemimpin ambil (dari rakyat) dan memberikan apa yang seharusnya mereka berikan. Juga tidak ada yang mengumpulkan sedekah, tidak ada yang mengurus harta publik dan harta pribadi yang ada di bawah kekuasaan mereka. Oleh karena itu, tidak disyaratkan sifat `adâlah pada mereka terkait dengan hal-hal yang sesuai dengan kebenaran. Karena jika disyaratkan, dapat mengakibatkan terjadinya kerugian lebih besar yang akan menimpa seluruh umat. Dan ini dampaknya jauh lebih buruk daripada tidak terealisasinya sifat `adâlah pada penguasa.” (Qawâ`id al-Ahkâm, Cet. Dar al-Kutub al-`Ilmiyyah, Vol. I, hlm. 79).
Wallahu Subhânahu Watâ`lâ A`lam
Sumber : Dar al Iftaa ( Lembaga Fatwa Mesir)
Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tayangan Halaman