Kafarat Menggauli Istri Ketika Siang Hari Pada Bulan Ramadhan Sebanyak Beberapa Kali

JIKA TERDAPAT KESALAHAN/KEKELIRUAN DALAM ARTIKEL INI
DAPAT MENGHUBUNGI KAMI DENGAN CARA MENINGGALKAN PESAN... TERIMAKASIH

Memperhatikan permohonan fatwa nomor 347 tahun 2005 yang berisi:
    Seorang perempuan menikah 20 tahun yang lalu. Ia pernah tidak berpuasa Ramadhan selama sembilan hari karena digauli oleh suaminya, yaitu lima hari ketika bulan madu dan empat hari pada tahun berikutnya. Ia melakukan hal itu karena tidak tahu keharamannya dan beratnya konsekwensi yang ditimbulkannya.
    Ia lalu menanyakan masalah itu kepada beberapa orang. Sebagian mereka menasehatinya agar berpuasa dua bulan secara berturut-turut. Dan sebagian yang lain mengatakan bahwa ia tidak bersalah, karena semua dosanya ditanggung oleh suaminya. Ketika sebagian pihak memintanya untuk memberikan sejumlah uang guna memberi makan enam puluh fakir miskin, suaminya menolak untuk memberikannya. Suaminya itu juga menolak untuk berpuasa. Pertanyaannya adalah apa yang harus saya dan suami saya lakukan?
Jawaban : Dewan Fatwa
    Jika keadaannya seperti yang disebutkan dalam pertanyaan maka pasangan tersebut –baik suami maupun istrinya—wajib mengqadha puasa yang pernah mereka tinggalkan. Selain itu, sang suami juga harus membayar kafarat karena melanggar batas-batas hukum Allah. Kafarat tersebut berupa berpuasa sebanyak dua bulan berturut-turut untuk setiap satu hari yang di dalamnya ia menggauli istrinya. Jika ia tidak mampu melakukannya, baik seluruh atau sebagiannya, maka ia wajib memberi makan enam puluh orang miskin untuk hari yang tidak mampu ia bayar kafaratnya dengan puasa dua bulan. Makanan yang diberikan adalah makanan yang biasa dimakan oleh keluarganya. 
    Hukum ini didasarkan pada hadits shahih yang mengisahkan bahwa ada seorang sahabat yang mengadu kepada Rasulullah –shallallâhu 'alaihi wasallam—bahwa ia telah menggauli istrinya pada siang hari bulan Ramadhan. Dalam hadits itu disebutkan bahwa Nabi saw. hanya mewajibkan kafarat kepada sang suami saja. Tidak ada penjelasan bahwa beliau mewajibkan kafarat kepada istrinya juga, padahal waktu itu adalah waktu diperlukannya penjelasan hukum sehingga tidak boleh ditunda. Dengan demikian sang istri hanya wajib mengqadha puasa yang ditinggalkan.
    Wallahu subhânahu wa ta'âlâ a'lam.
Sumber : Dar al Iftaa ( Lembaga Fatwa Mesir)
Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tayangan Halaman