honan fatwa No. 878 tahun 2007 yang berisi:
Apa hukum dari kesepakatan yang
disebutkan dalam dokumen resmi pernikahan antara saya dan suami saya
berikut ini: "Kedua suami istri sepakat bahwa rumah yang ditempati
selama kehidupan rumah tangga adalah milik istri jika terjadi perceraian
atau sang suami meninggal dunia."
|
||
|
||
Salah satu bentuk kemudahan dalam syariat Islam adalah kebolehan
seorang muslim atau muslimah untuk merelakan haknya diberikan kepada
orang lain, selama hak tersebut tidak berkaitan dengan hak Allah atau
hak orang lain. Oleh karena itu, kesepakatan yang berlangsung antar kaum
muslimin dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam dianggap sah dan
dibolehkan. Bahkan Islam mewajibkan seorang muslim memenuhi
kesepakatannya dengan orang lain. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah
saw.,
الْمُسْلِمُوْنَ عَلَى شُرُوْطِهِمْ إِلاَّ شَرْطًا أَحَلَّ حَرَامًا أَوْ حَرَّمَ حَلاَلاً
"Kaum muslimin harus memenui syarat yang mereka sepakati, kecuali syarat yang menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal." (HR. Tirmidzi dan dia berkata, "Hadis hasan shahih.").
Hadis ini mencakup seluruh
kesepakatan yang dilakukan oleh kaum muslimin. Adapun kesepakatan
terhadap syarat yang dicantumkan dalam pernikahan maka itu lebih utama
untuk dipenuhi, hal ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Uqbah
bin 'Amir al-Juhani r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda,
إِنَّ أّحَقَّ الشُّرُوْطِ أَنْ تُوَفُّوْا بِهِ مَا اسْتَحْلَلْتُمْ بِهِ الْفُرُوْجَ
"Syarat yang paling utama untuk kalian penuhi adalah syarat yang menghalalkan kemaluan." (HR. Jamaah).
Dengan demikian, berdasarkan
pertanyaan di atas, maka kesepakatan terhadap syarat yang disebutkan
dalam dokumen resmi pernikahan adalah sah dalam pandangan syariat dan
berlaku semua akibat hukumnya, yaitu hak istri atas kepimilikan rumah
jika terjadi perceraian atau suaminya meninggal dunia.
Wallahu subhânahu wa ta'âlâ a'lam.
|
Sumber : Dar al Iftaa ( Lembaga Fatwa Mesir)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar