Memperhatikan permintaan fatwa tanggal 10/7/2012, yang tercatat pada nomor 295 tahun 2012 yang berisi:
Mohon penjelasan tentang hukum hormat
bendera dan berdiri saat dinyanyikan lagu kebangsaan. Sebagian orang
mengatakan hukumnya haram karena mengandung unsur ta`zhîm (pengagungan),
sedangkan ta`zhîm tidak boleh untuk makhluk, apalagi jika itu adalah
benda mati. Menurut mereka juga, pengagungan semacam ini adalah
kesyirikan, atau mengakibatkan terjadinya kesyirikan.
Di samping itu, hormat bendera dan
berdiri saat dinyanyikan lagu kebangsaan menyerupai kebiasaan
orang-orang kafir yang buruk. Ini juga terhitung sebagai bid`ah, karena
tidak ada pada masa Rasulullah Shallallahu `alaihi wa Âlihi wa Sallam,
juga tidak ada pada masa Khulafaur Rasyidin radhiyallahu `anhum.
|
||
|
||
Bendera
dalam Bahasa Arab adalah al-`alam. Al-`Alam ini mempunyai sejumlah
arti, antara lain: pemisah antara dua kawasan, sesuatu yang digunakan
sebagai petunjuk di jalan, gunung, gambar di kain atau pakaian, dan
bendera. (Tâj al-`Arûs karya al-Zabidi, Vol. 33, hlm 132, Cet. Dar
al-Hidayah).
Dalam fatwa ini akan dibahas tentang bendera yang menjadi lambang dan tanda bagi sebuah negara.
Menjadikan bendera sebagai lambang sudah
menjadi kebiasaan orang-orang Arab sejak zaman dahulu sebelum
kedatangan Islam, khususnya dalam peperangan. Di dalam syair-syair
jahili (syair-syair Arab sebelum kedatangan Islam), sering disebutkan
tentang bendera. Misalnya dalam syair yang dilantunkan oleh `Antarah
al-`Absi,
وتَرَى بها الراياتِ تَخْفُقُ والقَنَا ... وتَرَى العَجَاج كمثل بحر مُزْبِد “Kau lihat di sana banyak bendera berkibar dan para penyanyi Laksana lautan yang airnya melimpah ruah.” Dalam sejumlah hadis disbeutkan bahwa Rasullullah Shallallahu `Alaihi wa Âlihi Sallam mempunyai sejumlah râyah (bendera), liwa’ (panji) dan `alam (bendera).
Sejumlah muhaddits juga menyebutkan di
dalam kitab-kitab mereka bab-bab khusus tentang bendera dan panji-panji.
Imam Abu Dawud di dalam Sunannya membuat bab dengan judul: “Bab fî
al-Râyât wa al-Alwiyah (Bab Tentang Bendera dan Panji-panji). Imam
Tirmidzi juga membuat bab dengan judul: “Bab Mâ Jâ’a fî al-Alwiyah” (Bab
Hadis-hadis tentang Panji-panji)”. Imam al-Baihaqi dalam Sunannya juga
membuat bab dengan judul: “Bab Mâ Jâ’a fî `Aqd al-Alwiyah wa al-Râyât.
(Bab Hadis-hadis tentang Memasang Panji-panji dan Bendera).” Dan masih
banyak lagi yang lainnya.
Imam Tirmidzi dan Imam Ibnu Majah meriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu `anhumâ, ia berkata, كَانَتْ رَايَةُ النَّبِيِّ -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ- سَوْدَاءَ وَلِوَاؤُهُ أَبْيَضَ “Râyah (bendera) Rasulullah Shallallahu `alaihi wa Âlihi wa Sallam berwarna hitam, dan (liwâ’uhu) panji-panji beliau berwarna putih.” Imam Abu Dawud meriwayatkan dari Simak, dari seorang lelaki dari kaumnya, dari orang lain, ia berkata, رَأَيْتُ رَايَةَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ صَفْرَاءَ “Saya melihat râyah (bendera) Rasulullah Shallallahu `alaihi wa Sallam berwarna kuning.” Imam Tirmidzi meriwayatkan dari Jabir radhiyallahu `anhu bahwa Nabi Shallallahu `alaihi wa Âlihi wa Sallam memasuki Mekkah dan liwâ’uhu (panji beliau) adalah putih. Imam Ahmad dan Imam Ibnu Majah meriwayatkan dari al-Harits bin Hassan al-Bakri radhiyallahu `anhu, ia berkata, “Ketika kami memasuki Madinah, Rasulullah Shallallahu `alaihi wa Sallam sedang berpidato di atas mimbar dan Bilal berada di depan beliau dengan berkalungkan pedang. Kami juga melihat bendera-bendera hitam. Lalu saya bertanya, “Itu bendera-bendera apa?” Orang-orang menjawab, “Amr bin `Ash baru datang dari peperangan.” Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Rasulullah Shallallahu `alaihi wa Sallam, ketika dalam peperangan, menyerahkan sebuah panji (liwâ’) kepada setiap pemimpin kabilah. Masing-masing dari mereka berperang di bawah panji tersebut.” (Fath al-Bârî, Vol. VI, hlm. 127, Dar al-Ma`rifah).
Karena makna simbolik dari bendera atau
panji ini, maka sudah menjadi hal yang umum dalam peperangan, satu
pasukan menjadikan pembawa bendera lawan sebagai sasaran dan
menjatuhkannya sebelum menyerang yang lainnya. Hal ini bertujuan untuk
meruntuhkan mental dan semangat lawan. Ketika bendera atau panji masih
tegak berdiri, maka menunjukkan kemenangan, kekuatan dan pertahanan yang
masih kuat. Namun ketika panji atau bendera tersebut jatuh, maka itu
menunjukkan kekalahan. Dalam waktu yang sama, pembawa panji atau bendera
tersebut juga selalu berusaha untuk mempertahankannya agar tetap tegak
berdiri, walaupun harus mengorbankan jiwa dan raganya. Ia melakukannya
bukan demi bendera yang terbuat dari kain tersebut, akan tetapi karena
simbol yang dikandung oleh kain yang menjadi bendera tersebut.
Imam Bukhari meriwayatkan dari Anas bin
Malik r.a., ia berkata, “Nabi Shallallahu `alaihi wa Sallam bersabda
saat perang Mu’tah,
أَخَذَ الرَّايَةَ زَيْدٌ فَأُصِيبَ -يَعْنِي: فِي غَزْوَةِ مُؤْتَةَ-، ثُمَّ أَخَذَهَا جَعْفَرٌ فَأُصِيبَ، ثُمَّ أَخَذَهَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ رَوَاحَةَ فَأُصِيبَ “Awalnya panji dibawa oleh Zaid, lalu ia terluka. Kemudian diambil oleh Jakfar, lalu ia terluka. Kemudian diambil oleh Abdullah bin Rawâhah, lalu ia terluka.” Anas bin Malik berkata lagi, “Saya lihat air mata Rasulullah Shallallahu `alaihi wa Sallam bercucuran. Kemudian beliau bersabda lagi, ثُمَّ أَخَذَهَا خَالِدُ بْنُ الْوَلِيدِ مِنْ غَيْرِ إِمْرَةٍ فَفُتِحَ لَهُ “Kemudian bendera diambil oleh Khalid bin Walid tanpa adanya penunjukkan terhadapnya untuk memimpin pasukan, lalu ia berhasil memenangkan peperangan.”
Al-Hakim di dalam al-Mustadrak
meriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu `anhumâ, ia berkata, “Ketika
Rasulullah Shallallahu `alaihi wa Sallam duduk di dekat Asma’ bin Umais,
tiba-tiba beliau membalas salam, kemudian bersabda,
يَا أَسْمَاءُ، هَذَا جَعْفَرُ بْنُ أَبِي طَالِبٍ مَعَ جِبْرِيلَ وَمِيكَائِيلَ وَإِسْرَافِيلَ سَلَّمُوا عَلَيْنَا فرُدِّي عَلَيْهِمُ السَّلَامَ، وَقَدْ أَخْبَرَنِي أَنَّهُ لَقِيَ الْمُشْرِكِينَ يَوْمَ كَذَا وَكَذَا -قَبْلَ مَمَرِّهِ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ بِثَلَاثٍ أَوْ أَرْبَعٍ- فَقَالَ: لَقِيتُ الْمُشْرِكِينَ فَأُصْبِتُ فِي جَسَدِي مِنْ مَقَادِيمِي ثَلَاثًا وَسَبْعِينَ بَيْنَ رَمْيَةٍ وَطَعْنَةٍ وَضَرْبَةٍ، ثُمَّ أَخَذْتُ اللِّوَاءَ بِيَدِي الْيُمْنَى فَقُطِعَتْ، ثُمَّ أَخَذْتُ بِيَدِي الْيُسْرَى فَقُطِعَتْ، فَعَوَّضَنِي اللَّهُ مِنْ يَدِي جَنَاحَيْنِ أَطِيرُ بِهِمَا مَعَ جِبْرِيلَ وَمِيكَائِيلَ أَنْزِلُ مِنَ الْجَنَّةِ حَيْثُ شِئْتُ، وَآكُلُ مِنْ ثِمَارِهَا مَا شِئْتُ “Wahai Asma’, ini Jakfar bin Abi Thalib bersama Jibril, Mikail, dan Israfil mengucapkan salam kepada kita, maka jawablah salam mereka. Jakfar memberitahu saya, bahwa ia telah bertemu dengan orang-orang musyrik pada hari tertentu –tiga atau empat hari sebelum menjumpai Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam—, lalu berkata, “Saya bertempur melawan orang-orang musyrik. Ada tujuh puluh luka di bagian depan tubuh saya, ada luka karena anak panah, tombak dan tebasan pedang. Kemudian saya mengambil bendera dengan tangan kanan saya. Lalu tangan kanan saya putus ditebas musuh. Kemudian saya mengambilnya dengan tangan kiri, lalu ditebas lagi. Kemudian Allah menggantikan kedua tangan saya dengan dua sayap yang saya gunakan untuk terbang bersama Jibril dan Mika’il. Di dalam surga, saya dapat singgah di manapun yang saya kehendaki, dan makan dari buah apa saja yang saya inginkan.” Lalu Asma’ berkata, “Berbahagialah Jakfar atas kebaikan yang diberikan oleh Allah kepadanya. Akan tetapi aku khawatir orang-orang tidak mempercayai hal ini. Pergilah Anda ke mimbar dan sampaikanlah hal ini kepada orang-orang.” Lalu Rasulullah saw. naik ke mimbar, lalu memuji Allah, kemudian bersabda, يَا أَيُّهَا النَّاسُ، إِنَّ جَعْفَرًا مَعَ جِبْرِيلَ وَمِيكَائِيلَ لَهُ جَنَاحَانِ عَوَّضَهُ اللَّهُ مِنْ يَدَيْهِ سَلَّمَ عَلَيَّ “Wahai orang-orang, sesungguhnya Jakfar bersama Jibril dan Mika’il. Ia memiliki dua sayap yang dengannya Allah menggantikan dua tangannya yang terputus. Dan ia telah mengucapkan salam kepadaku.” Kemudian beliau memberitahu mereka tentang bagaimana kondisi Jakfar ketika menghadapi orang-orang musyrik. Setelah itu, orang-orang mengetahui hari saat Jakfar bertempur melawan musuh, sebagaimana yang diberitahukan oleh Rasulullah Shallalahu `alaihi wa Âlihi wa Sallam. Oleh karena itu Jakfar dijuluki dengan ath-Thayyar (yang selalu terbang) di surga.”
Hormat bendera dengan isyarat tangan
dalam bentuk tertentu, atau berseru dengan kata-kata yang berisi doa
untuk kejayaan negara saat pengibaran bendera, masuk dalam kategori
gerakan atau ucapan. Mengingat hal ini sudah sangat biasa dilakukan
orang-orang dan terulang-ulang, seperti yang kita saksikan,
menjadikannya sebagai sebuah `âdah (tradisi). Karena, `âdah (kebiasaan)
adalah nama bagi aksi (perbuatan) atau reaksi yang terulang-ulang,
sehingga ia sangat mudah untuk dilakukan, tanpa rasa canggung sama
sekali. Seakan-akan ia sudah menjadi watak bawaan seseorang. Oleh karena
itu dikatakan bahwa “al-`aadah thabi`ah ats-tsaaniyah (Kebiasaan adalah
karakter yang kedua) pada diri seseorang”. (Al-Mufradât fî Gharîb
Al-Qur’an, karya al-Ashfahani, hlm. 594, Cet. Darul Qalam).
Hukum asal bagi perkara di atas adalah dibolehkan (ibâhah), selama tidak ada dalil yang melarangnya. Allah Ta’ala berfirman,
وَقَدْ فَصَّلَ لَكُمْ مَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ “Padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu.” [Qs. Al-An`âm: 119]. Imam Tirmidzi meriwayatkan dari Salman radhiyallahu `anhu bahwa Rasulullah saw. bersabda, الْحَلَالُ مَا أَحَلَّ اللَّهُ فِي كِتَابِهِ، وَالْحَرَامُ مَا حَرَّمَ اللَّهُ فِي كِتَابِهِ، وَمَا سَكَتَ عَنْهُ فَهُوَ مِمَّا عَفَا عَنْهُ “Perkara yang halal adalah yang Allah halalkan di dalam Kitab Suci-Nya, dan perkara yang haram adalah yang Dia haramkan di dalam Kitab Suci-Nya. Sedangkan sesuatu yang Dia diamkan adalah termasuk yang Dia maafkan.”
Kemudian praktik-praktik yang disebutkan
di dalam pertanyaan umumnya terkait dengan kecintaan kepada tanah air.
Orang-orang juga hampir sepakat bahwa kecintaan kepada tanah air inilah
yang menjadi spirit di dalamnya. Oleh karena itu, praktik-praktik
tersebut menjadi cara yang sudah umum untuk mengekspresikan rasa cinta,
keberpihakan, dan pembelaan (walâ’) kepada tanah air.
Dalam kaidah syariat telah ditetapkan bahwa hukum sarana sesuai dengan hukum tujuannya. Apabila di dalam syariat Islam cinta tanah air termasuk perkara yang diharuskan, sebagaimana ditetapkan dalam sejumlah dalil, maka sarana untuk merealisasikannya -yang hukum asalnya adalah dibolehkan— juga disyariatkan dan diharuskan. Keharusan ini lebih ditekankan lagi apabila sikap tidak mau berdiri saat pengibaran bendera dalam pandangan orang-orang menjadi tanda atau indikasi bagi tidak adanya penghormatan dari pelakunya.Ini terkait dengan hormat bendera atau berdiri saat pengibarannya.
Adapun instrument lagu kebangsaan adalah
alunan musik dan lagu yang diaransemen berdasarkan lirik-lirik lagu
kebangsaan yang menjadi simbol suatu bangsa atau negara. Musik ini
dimainkan dalam acara-acara kemiliteran dan acara-acara umum lainnya.
Pendapat yang kami pilih, musik sebagai
musik itu sendiri, hukum mendengarkannya atau memainkannya tidak haram,
karena ia adalah sekedar suara. Dan suara yang bagus adalah baik,
sedangkan suara yang buruk adalah buruk. Dalil tentang keharaman musik
adalah shahih, tapi tidak sharîh, sedangkan dalil yang sharîh statusnya
tidak shahih.
Tidak haramnya musik adalah pendapat
yang dinukil dari sejumlah sahabat, tabi’in, dan para ulama setelah
mereka. Di antara sahabat yang berpendapat bahwa musik tidak haram
adalah Abdullah bin Umar, Abdullah bin Zubair dan Amr bin Ash
radhiyallahu `anhum. Di antara tabi’in yang berpendapat bahwa musik
tidak haram adalah Kharijah bin Zaid, Said bin Musayyab, Atha’,
asy-Sya`bi, dan kebanyakan ahli fikih Madinah. Di antara ulama setelah
fase mereka yang tidak mengharamkannya adalah Ibnu Hazm, Syaikh Abu
Ishaq asy-Syirazi, Syaikh Abdul Ghani al-Nabulsi dan banyak ulama
lainnya.
Ketika Syaikh Izzuddin bin Abdissalam
ditanya tentang alat-alat musik secara umum, ia menjawab, “Hukumnya
mubah (dibolehkan)”. Lalu Syaikh Syarafuddin al-Tilimsani, yang saat itu
ada di dekat Syaikh Izuddin, mencoba menjelaskan ucapan Syaikh Izzuddin
tersebut, “Maksud beliau adalah tidak ada dalil yang shahih dari Sunnah
yang mengharamkannya.” Ketika mendengar apa yang dikatakan oleh Syaikh
Syarafuddin al-Tilimsani tersebut, maka Syaikh Izzuddin berkata, “Bukan
itu yang aku maksud. Yang aku maksud hukumnya memang mubah.” (Dinukil
dari buku Farah al-Asma` bi Rukhash al-Sima`, karya Abu al-Mawahib
al-Syadzili, hlm. 12, Cet. India).
Sejumlah ulama menulis kitab khusus
untuk menguatkan tentang kebolehannya mendengar musik ini. Di antara
mereka adalah Ibnu Hazm, Ibnu al-Sam`ani, Ibnu al-Qaisarani, al-Udfuy,
Abu al-Mawahib al-Syadzili al-Maliki, dan yang lainnya.
Status lagu kebangsaan adalah seperti
bendera jika dilihat dari sifatnya sebagai simbol. Dan tujuan dari
berdiri saat lagu kebangsaan dinyanyikan atau instrumennya dimainkan,
tidak lain adalah menghormati, menghargai dan memuliakan apa yang
diwakili oleh lagu tersebut, yaitu tanah air atau negara. Dan cinta
tanah air adalah fitrah manusia. Hingga seorang filsuf berkata, “Fitrah
laki-laki tercampur dengan cinta tanah air.” (Al-Hanîn ila al-Awthân
karya al-Jahizh, hlm. 10, Cet. Dar al-Kitab al-`Arabi).
Imam Bukhari meriwayatkan dari Hamid
ath-Thawil, bahwa ia mendengar Anas bin Malik radhiyallahu `anhu
berkata, “Rasulullah Shallallahu `alaihi wa Âlihi wa Sallam, jika datang
dari perjalanan jauh, lalu melihat jalanan-jalanan tinggi di Madinah,
beliau segera mempercepat jalan unta tunggangannya. Jika tunggangan
beliau bukan unta, maka beliau menggerak-gerakannya.” Al-Bukhari
berkata, “Al-Harits bin Umari menambahkan dari Humaid, “Beliau
menggerak-gerakkan tunggangannya karena kecintaan beliau kepada
Madinah.”
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Di dalam
hadis ini terkandung dalil tentang keutamaan Madinah, disyariatkannya
cinta tanah air dan rindu kepadanya.” (Fath al-Bâri, Vol. III, hlm. 621,
Cet. Dar al-Ma`rifah).
Imam Ibnu al-Baththal di dalam syarahnya
terhadap Shahih Bukhari berkata, “Kecintaan Rasulullah Shallallahu
`alaihi wa Sallam kepada Madinah, karena Madinah adalah tanah air
beliau. Di dalamnya terdapat keluarga beliau dan putri beliau, orang
yang paling beliau cintai. Allah telah menciptakan jiwa manusia dengan
fitrah mencintai tanah airnya dan rindu kepadanya. Dan ini juga
dilakukan oleh Nabi Shallallahu `alaihi wa Sallam, dan beliau adalah
tauladan yang paling mulia.” (Vol. IV, hlm. 453, Cet. Al-Rusyd).
Ekspresi cinta yang disebutkan di dalam
hadis di atas memiliki bentuk yang bermacam-macam. Ada yang diwujudkan
dengan ucapan dan ada pula yang dengan perbuatan. Di antara bentuk
ekspresi cinta adalah seperti yang dituangkan Qais bin al-Mulawwih dalam
bait-bait syairnya,
أَمُرُّ عَلى الدِّيارِ دِيارِ لَيلى ... أُقَبِّلُ ذا الجِدارَ وذا الجِدارا
وَما حُبُّ الدِّيارِ شَغَفْنَ قَلبي ... ولَكِنْ حُبُّ مَن سَكَنَ الدِّيارا “Aku hampiri tempat tinggal Laila Kuciumi dinding-dindingnya Bukanlah kecintaan kepada tempat tinggalnya yang memenuhi hatiku Tetapi cinta kepada yang pernah tinggal di dalamnya.” Hukum asal dalam semua perkara yang disebutkan di atas adalah dibolehkan, hingga terdapat dalil yang menyebutkan tentang keharamannya.
Di antara hal yang menjadi ekspresi
cinta tanah air adalah berdiri untuk memberikan penghormatan kepada
lambang dan simbol negara, yaitu bendera atau lagu kebangsaan. Dan orang
yang mencintai sesuatu selalu terpaut dengan semua yang mempunyai
keterkaitan dengan apa yang ia cintai. Dan hal ini tidak tercela kecuali
bagian-bagian tertentu yang dicela syariah.
Kemudian tentang klaim bahwa hormat
bendera dan berdiri saat lagu kebangsaan dinyanyikan adalah haram karena
mengandung unsur pengagungan (ta`zhîm), sedangkan ta`zhîm tidak boleh
ditujukan kepada makhluk, khususnya jika makhluk tersebut adalah benda
mati.
Jawaban kami bagi klaim ini adalah walaupun terdapat unsur ta`zhîm (pengagungan) di dalam hormat bendera dan berdiri saat bendera dikibarkan, akan tetapi mengatakan bahwa ta`zhîm untuk makhluk secara mutlak tidak dibolehkan adalah tidak benar. Karena, yang tidak dibolehkan adalah apabila ta`zhîm tersebut untuk menyembah atau beribadah kepada apa yang diagungkan, sebagaimana orang-orang jahiliyah saat mengagungkan berhala-berhala mereka. Mereka meyakini bahwa berhala-berhala tersebut adalah tuhan selain Allah yang dapat memberi manfaat dan madharat. Dan ini adalah kesyirikan. Sedangkan ta`zhîm (pengagungan) yang hanya menunjukkan penghormatan dan pemuliaan adalah dibolehkan, jika yang diagungkan tersebut memang layak untuk diagungkan walaupun benda mati.
Imam Bukhari meriwayatkan bahwa Urwah
bin al-Zubair radhiyallahu `anhu, ketika menceritakan tentang para
sahabat Nabi Shallallahu `alaihi wa Sallam, ia berkata, “Mereka tidak
pernah memandang tajam kepada beliau karena ta`zhîm mereka terhadap
beliau.”
Ahmad dan Hakim meriwayatkan bahwa Aisyah radhiyallahu `anhâ berkata, “Saya melihat ta`zhîm Rasulullah Shallallahu `alaihi wa Sallam terhadap paman beliau, Abbas, sangatlah menakjubkan.” Al-Baihaqi meriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu `alaihi wa Âlihi wa Sallam ketika melihat Baitullah Ka`bah, beliau bersabda, اللَّهُمَّ زِدْ هَذَا الْبَيْتَ تَشْرِيفًا، وَتَعْظِيمًا، وَتَكْرِيمًا، وَمَهَابَةً “Ya Allah tambahkanlah kemuliaan, ta`zhîm (pengagungan), penghormatan dan kewibawaan terhadap rumah ini.” Al-Darimi meriwayatkan dari Ikrimah bin Abi Jahl radhiyallahu `anhu bahwa ia menempelkan mushaf di wajahnya sembari berkata, كِتَابُ رَبِّيْ، كِتَابُ رَبِّيْ “Kitab Tuhanku, Kitab Tuhanku.” Imam Malik berkata, “Dikatakan bahwa di antara bentuk ta`zhîm (pengagungan) kepada Allah `Azza wa Jalla adalah ta`zhîm kepada orang Muslim yang sudah beruban (tua).” (Al-Muwaththa’, Vol. I, hlm. 265, Cet. Al-Imarat). Sebagai penjelasannya, terdapat perbedaan yang besar antara wasîlah (sarana) dan kesyirikan. Melakukan sesuatu yang menjadi wasîlah yang diperintahkan oleh syariat adalah mendekatkan diri kepada Allah dengan apa yang Dia syariatkan. Salah satu bentuknya adalah mengagungkan apa yang diagungkan oleh Allah, berupa tempat, waktu, orang, dan kondisi. Sehingga, orang muslim, misalnya, berusaha dengan sungguh-sungguh untuk melakukan shalat di Masjidil Haram, berdoa di sisi makam Nabi Muhammad Shallallahu `alaihi wa Âlihi wa Sallam dan di Multazam, sebagai bentuk pengagungan terhadap tempat yang diagungkan oleh Allah. Seorang muslim juga berusaha melakukan salat di malam Lailatul Qadar, berdoa pada waktu dikabulkan doa pada hari Jum’at dan di sepertiga malam terakhir. Semua ini sebagai bentuk pengagungan terhadap waktu yang diagungkan oleh Allah.
Orang Muslim juga mendekatkan diri
kepada Allah dengan cinta kepada para nabi dan orang-orang saleh,
sebagai bentuk pengagungan kepada orang-orang yang diagungkan oleh
Allah. Orang Muslim juga berusaha untuk berdoa ketika dalam perjalanan,
ketika turun hujan, dan sebagainya, sebagai bentuk pengagungan terhadap
kondisi yang diagungkan oleh Allah. Jadi, semua itu adalah pengagungan
karena Allah, dan pengagungan karena Allah adalah pengagungan kepada
Allah. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala,
ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ “Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syi'ar-syi'ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” (Al-Hajj: 32). Taat kepada Rasulullah Shallallahu `alaihi wa Âlihi wa Sallam juga merupakaan ketaatan kepada Allah yang mengutusnya, مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ “Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah.” (An-Nisâ’: 80). Dan berbaiat kepada Rasulullah Shallallahu `alaihi wa Âlihi wa Sallam adalah berbaiat kepada Allah, إِنَّ الَّذِينَ يُبَايِعُونَكَ إِنَّمَا يُبَايِعُونَ اللَّهَ يَدُ اللَّهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ “Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka.” (Al-Fath: 10).
Adapun kesyirikan adalah mengagungkan
yang lain bersama Allah, atau mengagungkan selain Allah. Oleh karena
itu, sujud para malaikat kepada Nabi Adam `alaihis-salâm adalah keimanan
dan pengesaan. Sedangkan sujud orang-orang musyrik kepada patung-patung
adalah kekafiran dan kemusyrikan. Padahal, sujud yang dilakukan para
malaikat dan sujud yang dilakukan orang-orang musyrik adalah sama-sama
sujud kepada makhluk. Akan tetapi karena sujud para malaikat kepada Nabi
Adam `alaihis-salâm adalah pengagungan terhadap apa yang diagungkan
oleh Allah sesuai perintah-Nya, maka itu adalah sebuah wasilah yang
pelakunya berhak mendapatkan pahala. Sedangkan sujud orang-orang musyrik
kepada berhala-berhala adalah sebuah pengagungan yang sama dengan
pengagungan kepada Allah, maka itu adalah kesyirikan yang tercela, dan
pelakunya berhak mendapatkan hukuman.
Berdasarkan hal di atas maka terdapat
perbedaan besar antara berdiri untuk menyembah dengan berdiri untuk
menghormati. Yang pertama, yaitu berdiri untuk menyembah, adalah
dilarang jika dilakukan untuk selain Allah. Sedangkan untuk yang kedua,
yaitu berdiri untuk menghormati, maka terdapat hadis yang menjadi dasar
bagi kebolehannya. Di dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim dari hadis
Abu Sa`id al-Khudri radhiyallahu `anhu disebutkan bahwa ketika Sa`d bin
Mu`adz mendatangi Nabi Shallallahu `alaihi wa Âlihi wa Sallam, beliau
bersabda kepada orang-orang Anshar,
قُومُوا إِلَى سَيِّدِكُمْ “Berdirilah kepada tuan kalian.” Al-Allamah Khathib asy-Syarbini berkata, “Disunahkan berdiri ketika menyambut orang yang mulia karena keilmuannya, kesalehannya, kemuliaannya dan semacamnya, sebagai bentuk penghormatan, bukan karena pamer dan pengagungan. Penulis kitab Raudhah al-Thalibîn berkata, “Terdapat sejumlah hadis shahih tentang hal ini.” (Mughni al-Muhtâj, Vol. IV, hlm. 219, Cet. Dar al-Kutub al-`Ilmiyyah).
Sebagian ulama menyatakan dianjurkannya
berdiri untuk menyambut mushaf. Imam Nawawi berkata, “Disunahkan untuk
berdiri ketika mushaf didatangkan. Karena, berdiri disunahkan untuk
menyambut orang-orang yang mulia, seperti para ulama dan orang-orang
yang baik, dan Mushaf lebih utama untuk dihormati.” (Al-Tibyân fî Âdâb
Hamalah Al-Qur’an, Hlm. 191, Dar Ibnu Hazm).
Para ulama menyatakan bahwa berdiri
untuk menyambut orang lain sebagai tanda penghormatan yang sudah menjadi
kebiasaan orang-orang, mengakibatkan tidak berdiri untuk sesuatu yang
lebih layak untuk dihormati sebagai perbuatan yang pantas mendapatkan
celaan. Syaikh Taqiyuddin Ibnu Taimiyah al-Hambali di dalam al-Fatâwâ
al-Kubrâ berkata, “Apabila orang-orang terbiasa berdiri untuk mengormati
orang lain, maka dapat dikatakan bahwa tidak berdiri untuk menyambut
mushaf adalah tindakan yang tidak baik dan tidak terpuji, dan karenanya
mereka lebih pantas mendapatkan celaan. Karena mereka berdiri ketika
menyambut orang, namun tidak berdiri untuk menyambut mushaf yang lebih
pantas untuk disambut dengan berdiri, padahal mushaf wajib dimuliakan
dan diagungkan, melebihi yang lainnya… Sebagian tokoh ulama juga
meyinggung tentang kebiasaan sebagian orang yang berdiri untuk menyambut
mushaf dan mereka menyetujuinya, tanpa ada pengingkaran sama sekali.”
(Al-Fatâwâ al-Kubrâ, Vol. I, Hlm. 49, Dar al-Kutub al-`Ilmiyyah).
Ada sesuatu yang menjadi kebiasaan kaum
Muslimin terdahulu yang serupa dengan berdiri saat hormat bendera atau
saat dinyanyikan lagu kebangsaan. Para ulama mengatakan bahwa di antara
adab yang baik adalah berdiri ketika mendengar paparan tentang pendapat
seorang imam. Dari permasalahan ini, mereka menyimpulkan tentang lebih
utamanya untuk berdiri saat menyambut mushaf. Sedangkan tidak berdiri
untuk menyambutnya, walaupun tetap menghormatinya, adalah kebiasaan pada
masa-masa sebelumnya. Kemudian ketika berdiri untuk menyambut mushaf
sudah menjadi kebiasaan orang-orang pada umumnya, dan jika tidak
melakukannya mengesankan sikap melecehkan, maka hukumnya berubah dari
dibolehkan menjadi dianjurkan.
Di dalam kitab Ghâyah al-Muntahâ karya
Syaikh Mar’i al-Karami dan syarahnya, Mathâlib Uli al-Nuhâ karya Syaikh
Mushthafa al-Rahibani, salah satu kitab Mazhab Hambali (1/158, Cet.
Al-Maktab al-Islami), disebutkan, “Dibolehkan berdiri untuk menyambut
Mushaf Al-Qur’an. Syaikh Taqiyuddin berkata, “Jika orang-orang sudah
terbiasa berdiri untuk menyambut dan menghormati orang lain, maka Kitab
Allah lebih pantas untuk mendapatkan penghormatan seperti itu. Di dalam
kitab al-Furû` dan al-Mubdi` disebutkan, “Dari perbuatan Imam Ahmad
dapat disimpulkan kebolehan berdiri menyambut Mushaf. Dikisahkan bahwa
pada suatu Imam Ahmad duduk bersandar dalam kondisi santai. Namun ketika
mendengar nama Ibrahim bin Thahman ia langsung duduk tegak dan berkata,
“Tidak sepatutnya saat orang-orang saleh disebutkan kita duduk dengan
bersandar (santai).”
Ibnu `Aqil berkata, “Dari apa yang
dilakukan Imam Ahmad ini saya mengambil kesimpulan bahwa termasuk adab
yang baik adalah apa yang dilakukan oleh orang-orang, yaitu bangkit saat
disebutkan tentang imam pada zamannya untuk mendengarkan paparan
mengenai pendapat-pendapatnya.”
Penulis al-Furû` berkata, “Dapat
diketahui bahwa apa yang kita bahas ini lebih utama. Ibnu al-Jauzi
menyebutkan bahwa awalnya orang-orang tidak berdiri saat menyambut
orang. Kemudian ketika tidak berdiri dianggap seperti sikap meremehkan,
maka dianjurkan berdiri untuk menyambut orang yang layak mendapatkan
perlakuan seperti itu.”
Berdiri untuk menyambut mushaf atau
orang yang mulia tidak lain adalah untuk menunjukkan pernghormatan dan
pemuliaan. Penjelasan para ulama tentang `illahnya menunjukkan hal ini.
Oleh karena itu, tidak apa-apa berdiri ketika dikibarkan bendera atau
dinyanyikan lagu kebangsaan, karena `illahnya sama.
Adapun klaim bahwa berdiri saat
dikibarkan bendera atau saat dinyanyikan lagu kebangsaan adalah
menyerupai orang-orang kafir dalam kebiasaan yang buruk, maka kami
katakan bahwa klaim ini tidak dapat diterima. Karena, itu bukan
kebiasaan yang hanya dimiliki oleh mereka. Klaim tersebut juga tidak
berdasarkan dalil sama sekali. Seandainya klaim itu benar, maka kami
katakan bahwa hal tersebut bukan lagi hanya menjadi kebiasaan mereka,
akan tetapi kebiasaan yang sudah masuk ke negara-negara Muslim, dan
mereka semua melakukannya hingga sumber asalnya sudah terlupakan.
Sehingga, ini masuk dalam kaidah,
“Yughtafaru fî al-dawâm mâ lâ yughtafaru fî al-ibtida’ (“Dimaafkan pada kelanjutan perbuatan dan tidak dimaafkan pada permulaannya.” (Al-Mantsûr, karya al-Zarkasyi, Vol. III, hlm. 375, Cet. Departemen Wakaf Kuwait).
Seandainya berdiri saat pengibaran
bendera atau saat dinyanyikan lagu kebangsaan adalah salah satu bentuk
menyerupai orang-orang kafir, maka sekedar menyerupai tidaklah
diharamkan, kecuali yang berkaitan dengan akidah dan hal-hal khusus di
dalam agama mereka. Banyak dalil akan hal ini, antara lain adalah:
- Hadis yang menyebutkan bahwa Nabi Shallallahu `alaihi wa Alihi wa Sallam memerintahkan agar orang-orang mewarnai kumis mereka. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dan yang lainnya dari Abu Hurairah radhiyallahu `anhu, beliau bersabda, غَيِّرُوا الشَّيْبَ وَلَا تَشَبَّهُوا بِالْيَهُودِ “Ubahlah warna kumis kalian, dan janganlah kalian menyerupai orang-orang Yahudi.” Pada masa itu banyak juga sahabat yang tidak mewarnai kumis dan rambut mereka. Namun tidak ada riwayat yang menyebutkan bahwa para sahabat lain yang mewarnai rambut mereka mencela dan mengingkari para sahabat tersebut dan menganggap mereka telah melakukan perbuatan yang haram karena telah menyerupai non-Muslim. Imam Thabari di dalam Tahdzîb al-Âtsâr menukilkan adanya ijmak (konsensus) bahwa perintah untuk mewarnai kumis dan larangan menyerupai non-Muslim di sini adalah menunjukkan kemakruhan, bukan keharaman.” (Tahdzîb al-Âtsâr, Cet. Dar al-Ma’mûn li al-Turâts, Hlm. 518). - Dalil lainnya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Syaddad bin Aws radhiyallahu `anhu bahwa Rasulullah Shallallahu `alaihi wa Âlihi wa Sallam bersabda, خَالِفُوا الْيَهُودَ فَإِنَّهُمْ لَا يُصَلُّونَ فِي نِعَالِهِمْ، وَلَا خِفَافِهِمْ “Berbedalah dengan orang-orang Yahudi. Sesungguhnya mereka tidak melakukan shalat dengan memakai sandal dan tidak memakai khuf.” Dan tidak ada satupun ulama yang mengatakan kewajiban melakukan shalat dengan memakai sandal, akan tetapi mereka berbeda pendapat apakah hukumnya Sunnah, boleh atau makruh. (Faidh al-Qadîr, Vol. IV, hlm. 67, Cet. Al-Maktabah al-Tijâriyyah al-Kubrâ). - Dalil lainnya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad di dalam Musnadnya dari `Amr bin Ash radhiyallahu `anhumâ bahwa Rasulullah Shallallahu `alaihi wa Âlihi wa Sallam bersabda, إِنَّ فَصْلَ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ أَهْلِ الْكِتَابِ أَكْلَةُ السَّحَرِ “Pembeda antara puasa kita dengan puasa Ahlul Kitab adalah makan sahur.” Dan hukum sahur adalah Sunnah. Imam al-Mundziri menukilkan tentang adanya ijmak akan hal ini di dalam kitabnya al-Ijmâ`. (Hlm. 49, cet. Dar al-Muslim). - Dalil lainnya adalah yang diriwayatkan oleh Ibnu Sa’d di dalam Thabaqât dari Ibnu Abbas radhiyallahu `anhumâ, bahwa Rasulullah Shallallahu `alaihi wa Âlihi wa Sallam bersabda kepada Jakfar bin Abi Thalib radhiyallahu `anhu, “Wahai Jakfar, kau menyerupai rupa dan akhlakku”. Maka Jakfar bangkit dan berjalan meloncat-loncat dengan satu kaki mengitari Rasulullah Shallallahu `alaihi wa Âlihi wa Sallam. Maka Nabi Shallallahu `alaihi wa Âlihi wa Sallam bersabda kepadanya, “Apa ini wahai Jakfar?” Ia menjawab, “Wahai Rasulullah, Raja Najasyi jika membuat senang seseorang, maka ia bangkit dan berjalan meloncat-loncat dengan satu kaki mengitari orang tersebut.” (Thabaqât Kubrâ, Vol. I, hlm. 159, 160, Cet. Dar Shadir). Makna zhahir dari riwayat di atas adalah apa yang dilakukan Jakfar tersebut merupakan kebiasaan orang-orang Nasrani Habasyah (Ethiopia). Dan sikap Rasulullah Shallallahu `alaihi wa Âlihi wa Sallam adalah iqrâr (persetujuan) terhadapnya, karena beliau tidak mengingkari Jakfar ketika mencontoh apa yang dilakukan orang-orang Nasrani Habasyah. Jadi ini adalah nash yang benar-benar jelas (sharih) bahwa berbeda dengan non-Muslim bukanlah perkara yang wajib. - Dalil lainnya adalah hadis yang diriwayatkan oleh al-Hakim di dalam al-Mustadrak dari Ibnu Abbas radhiyallahu `anhumâ, ia berkata, “Ketika Fathimah sakit berat, ia berkata kepada Asma’ bintu `Umais radhiyallahu `anhumâ, “Tidakkah engkau melihat kondisiku ini. Apakah nanti aku akan dibawa di atas ranjang yang di atasnya tubuhku akan tampak jelas?” Asma’ radhiyallahu `anhumâ menjawab, “Tidak akan seperti itu. Tapi aku akan membuatkan keranda sebagaimana yang pernah aku lihat di negeri Habasyah.” Fathimah berkata, “Perlihatkanlah padaku bentuknya.” Lalu Asma’ mengirim seseorang menuju ke pelapah-pelapah kurma yang kering yang diambil dari Aswâf. Lalu di atas ranjangnya dibuat keranda. Dan itu adalah keranda yang pertama dibuat. Lalu Fathimah radhiyallahu `anhâ tersenyum. Saya tidak pernah melihatnya tersenyum setelah ayahnya meninggal dunia kecuali ketika itu. Kemudian kami membawa jenazahnya dan memakamkannya pada malam hari.” Peristiwa ini berlangsung di hadapan para shahabat mulia radhiyallahu `anhum. Dan tidak ada riwayat sama sekali yang menyebutkan bahwa salah seorang dari mereka mengingkari apa yang dilakukan Fathimah tersebut dan menganggapnya perbuatan yang menyerupai orang-orang Nashrani Habasyah. Sikap para shahabat ini adalah ijma` sukuti. Dan ijma` sukuti adalah hujjah. Di dalam kitab Jam’ al-Jawâmi` dan syarahnya karya al-`Allâmah al-Mahalli, disebutkan, “Yang benar, ijma` sukûti adalah hujjah secara mutlak.” (Jam`ul-Jawâmi` dan syarahnya beserta Hâsyiyah al-`Aththâr, Vol. II, hlm. 221, cet. Dar al-Kutub al-`Ilmiyyah).
Di antara ulama yang mengisyaratkan
bahwa serupa dengan non-Muslim tidak secara otomatis diharamkan adalah
al-Hafizh Ibnu Hajar di dalam kitab Fath al-Bârî. Yaitu ketika ia
membahas tentang sebab-sebab diharamkannya menggunakan wadah dari emas
dan perak. Ia berkata, “Ada pendapat yang mengatakan bahwa `illah dari
larangan memakai wadah emas dan perak adalah menyerupai orang-orang
non-Arab. Pendapat ini perlu ditinjau kembali, karena di dalam larangan
tersebut terdapat ancaman terhadap pelakunya. Sedangkan sekedar serupa
dengan mereka tidaklah membuat seseorang pantas mendapatkan ancaman
tersebut.” (Fath al-Bârî, Vol. X, hlm. 98, Cet. Dar al-Ma`rifah).
Imam al-Mawwaq al-Maliki di dalam kitab
Sunan al-Muhtadîn fî Maqâmât al-Dîn berkata, “Seorang Imam yang saya
percaya keilmuannya menyatakan bahwa tidak semua yang dilakukan non-Arab
dilarang untuk dilakukan. Kecuali jika syariat melarangnya dan
kaidah-kaidah syariat juga menunjukkan itu harus dilarang.” Ia
melanjutkan, “Larangan tersebut khusus bagi apa yang mereka lakukan yang
tidak sesuai dengan tuntunan syariat. Jika yang mereka lakukan sesuai
dengan apa yang disunahkan, diwajibkan dan dibolehkan di dalam syariat
kita, maka kita tidak akan meninggalkannya hanya karena mereka
melakukannya. Karena, syariat tidak melarang kita untuk menyerupai orang
yang melakukan sesuatu yang diizinkan oleh Allah. Rasulullah
Shallallahu `alaihi wa Sallam telah menggali parit di Madinah ketika
perang Khandak dengan menyerupai orang-orang non-Arab, hingga hal itu
membuat terkejut pasukan musuh. Kemudian mereka tahu bahwa itu adalah
usulan dari Salman al-Farisi.” (Sunan al-Muhtadîn fî Maqâmât al-Dîn,
hlm. 249, Cet. Mu’assasah Syaikh Murabbîh Rabbuh, Maroko).
Jika kita terima bahwa menyerupai
non-Muslim adalah dilarang dalam semua hal, maka ketika ada kemiripan
antara apa yang kita lakukan dengan apa yang dilakukan Ahlul Kitab yang
terjadi dengan sendirinya, tidak dapat disebut tasyabbuh (sengaja
menyerupai). Kecuali jika pelakunya bermaksud untuk menyerupai. Karena
wazan tasyabbuh adalah tafa`ul. Bentuk ini menunjukkan adanya niat dan
keinginan untuk melakukan.
Imam Suyuthi dalam kitab Jam` al-jawâmi`
dan syarahnya, Ham` al-hawâmi`, sebuah kitab tentang ilmu Bahasa Arab,
berkata, “Bentuk Tafa`ul (تَفَعُّل) adalah muthawa`ah dari kata fa`ala
(فَعَّل) seperti kata kasartuhu fatakassara (aku mematahkannya, lalu ia
patah), dan `allamtuhu fata`allama (aku mengajarnya, lalu ia belajar).
Dan “al-takalluf” seperti tahallum, tashabbur dan tasyajju`. Kata
tahallama artinya seseorang berusaha dengan sungguh-sungguh untuk
bersikap bijak. Kata tashabbara artinya seseorang berusaha dengan
sungguh-sungguh untuk bersikap sabar. Dan kata tasyajja`a artinya
seseorang berusaha dengan sungguh-sungguh untuk bersikap berani.
Padahal, sifat-sifat tersebut tidak ada menjadi wataknya.” (Vol. III,
hlm. 305, Cet. Maktabah Taufiqiyyah, Cairo).
Di antara hal yang menjadi landasan
pokok dalam syariat adalah dijadikannya tujuan seorang mukallaf sebagai
salah satu pijakan untuk menetapkan hukum. Ini juga ditunjukkan oleh
hadis yang diriwayatkan oleh Muslim dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu
`anhhumâ, ia berkata, “Ketika Rasulullah Shallallahu `alaihi wa Âlihi
wa Sallam sakit, kami bermakmum salat kepada beliau dan beliau salat
dalam posisi duduk. Lalu beliau menoleh ke arah kami yang salat dalam
posisi berdiri. Beliau lalu memberi isyarat kepada kami untuk duduk,
maka kami duduk. Setelah selesai salat beliau bersabda,
إِنْ كِدْتُمْ آنِفًا لَتَفْعَلُونَ فِعْلَ فَارِسَ وَالرُّومِ؛ يَقُومُونَ عَلَى مُلُوكِهِمْ وَهُمْ قُعُودٌ، فَلَا تَفْعَلُوا، ائْتَمُّوا بِأَئِمَّتِكُمْ؛ إِنْ صَلَّى قَائِمًا فَصَلُّوا قِيَامًا، وَإِنْ صَلَّى قَاعِدًا فَصَلُّوا قُعُودًا “Sungguh kalian tadi hampir saja melakukan kebiasaan orang-orang Persia dan Romawi. Mereka berdiri untuk memuliakan para raja mereka sedangkan para raja tersebut dalam posisi duduk. Jangan lakukan itu. Ikutilah imam kalian, jika ia salat dengan posisi berdiri, maka salatlah dengan posisi berdiri. Jika ia salat dalam posisi duduk, maka salatlah dalam posisi duduk.” Kata “كاد” yang disebutkan di dalam hadis di atas, jika berada dalam kalimat positif, menunjukkan bahwa apa yang disebutkan dalam khabarnya tidak terwujud walaupun ia hampir terjadi. Jadi, kebiasaan orang-orang Persia dan Romawi memang telah dilakukan oleh para sahabat pada saat itu. Akan tetapi, karena para sahabat tidak bermaksud untuk meniru mereka, maka dalam timbangan syariat tasyabbuh tidak terwujud pada mereka. Dan ketika seorang Muslim melakukan hormat bendera atau berdiri saat dinyanyikan lagu kebangsaan, tidak terlintas di dalam hati mereka adanya unsur serupa (tasyabbuh) dengan orang-orang non-Muslim, apalagi memang bermaksud untuk menyerupainya.
Imam al-Thahthawi dalam Hâsyiyahnya
terhadap kitab Marâ`qi al-Falâh, berkata, “Menyerupai orang-orang Ahlu
Kitab tidak seluruhnya dibenci (tercela), karena kita makan dan minum
seperti mereka. Yang diharamkan adalah menyerupai mereka dalam perbuatan
yang tercela atau bermaksud untuk menyerupai mereka. Ini dikatakan oleh
Qadhikhan dalam syarah al-Jâmi` al-Shaghîr.” (Marâqi al-Falâh, Vol. I,
hlm. 336, Cet. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah).
Al-`Allâmah Ibnu Abidin dalam Radd
al-Muhtâr, ketika mengomentari kata-kata penulis al-Dur al-Mukhtâr,
berkata, “Serupa (tasyabbuh) dengan Ahlu Kitab tidak seluruhnya dibenci
(tercela), karena kita makan dan minum seperti yang mereka lakukan. Dan
ini didukung di dalam al-Dzakhîrah sebelum Bab al-Taharrî. Hisyam
berkata, “Saya melihat Abu Yusuf memakai sepasang sandal yang dipasang
paku-paku di sisinya, lalu saya bertanya kepadanya, “Apakah menurutmu
besi ini tidak apa-apa?” Ia berkata, “Iya, tidak apa-apa.” Maka saya
katakan, “Sufyan dan Tsaur bin Yazid tidak menyukainya, karena ia
menyerupai para pendeta.” Lalu ia menjawab, “Rasulullah Shallallahu
`alaihi wa Âlihi wa Sallam dahulu memakai sandal yang ada wolnya,
padahal itu adalah pakaian para pendeta.” Di sini Abu Yusuf
mengisyaratkan bahwa bentuk tasyabbuh (serupa) yang mengandung kebaikan
bagi orang-orang, itu tidak apa-apa, karena jarak yang jauh tidak dapat
ditempuh kecuali dengan memakai sandal jenis tersebut.” (Radd
al-Mukhtâr, Vol. I, Hlm. 624, Cet. Dar al-Fikr).
Ini juga mengandung isyarat bahwa maksud dari tasyabbuh “serupa” adalah perbuatan itu sendiri, maksudnya serupa tapi tidak ada maksud menyerupai sama sekali.”
Adapun klaim bahwa itu termasuk bid’ah
karena tidak ada pada zaman Nabi Rasulullah Shallallahu `alaihi wa Alihi
wa Sallam, juga tidak ada pada zaman Khulafaur Rasyidin radhiyallahu
`anhum, maka kami katakan, “Benar, kami terima bahwa hal tersebut adalah
bid’ah, akan tetapi statusnya sebagai bid’ah tidak membuatnya otomatis
haram. Karena, terdapat lima hukum bagi bid’ah, sehingga bid’ah
maknanya bukan haram, dan keduanya mempunyai posisi yang berbeda.
Syaikh Al-Islam, Imam `Izzuddin bin
Abdissalam dalam masterpiecenya, Qawâ`id al-Ahkâm fî Mashâlih al-Anâm
(Vol. II, Hlm. 204, 205, Cet. Dar al-Kutub al-`Ilmiyyah), menjelaskan,
“Bid`ah adalah melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan pada zaman
Rasulullah Shallallahu `Alaihi wa Âlihi wa Sallam. Bid`ah ini terbagi
menjadi bid`ah yang wajib, bidah yang haram, bid`ah yang disunnahkan,
bid`ah yang makruh dan bid`ah yang mubah (yang dibolehkan).
Cara untuk mengetahui semua ini adalah
menimbang bid`ah tersebut dengan kaidah-kaidah syariat. Jika ia masuk
dalam kaidah yang mewajibkan maka hukumnya wajib, jika masuk dalam
kaidah yang mengharamkan maka hukumnya haram, jika masuk dalam kaidah
yang disunahkan maka hukumnya sunah, jika masuk dalam kaidah yang
dimakruhkan maka hukumnya makruh, dan jika masuk dalam kaidah yang
dibolehkan maka hukumnya mubah.
Di antara contoh bid`ah yang wajib
adalah mempelajari ilmu nahwu yang menjadi salah satu alat untuk
memahami firman Allah dan sabda Rasul-Nya Shallallahu `alaihi wa Alihi
wa Sallam. Ini hukumnya adalah wajib, karena menjaga syariat adalah
wajib, dan syariat tidak dapat dijaga kecuali dengan mengetahui ilmu
tersebut. Jika suatu kewajiban tidak dapat terwujud kecuali dengan suatu
sarana, maka sarana tersebut hukumnya wajib.”
Kemudian ia berkata, “Contoh bid`ah yang
haram adalah mazhab mujassimah. Contoh bid`ah yang disunahkan adalah
shalat tarawih. Contoh bid`ah yang makruh adalah menghiasi mushaf. Dan
contoh bid’ah yang mubah adalah bersalaman setelah salat Subuh dan
Ashar.”
Terdapat permasalahan lain yang hampir
serupa dan mirip dengan apa yang kita bahas ini. Yaitu permasalahan
mencium roti karena memuliakan nikmat Allah. Titik kesamaan antara
mencium roti dengan permasalahan yang kita bahas adalah unsur memuliakan
yang terkandung di dalamnya, tanpa melihat apa yang dimuliakan itu
sendiri, melainkan melihat substansi yang ia wakili.
Imam Suyuti pernah ditanya tentang
mencium roti, apakah hal tersebut bid’ah? Ia menjawab, “Jika mencium
roti disebut bid’ah maka itu benar, akan tetapi tidak semua bid’ah
hukumnya haram, melainkan terbagi menjadi lima hukum. Dan tidak mungkin
kita menghukumi perbuatan mencium roti ini sebagai perkara yang haram,
karena tidak ada dalil yang mengharamkannya, juga tidak ada dalil yang
memakruhkannya. Karena, perkara yang dimakruhkan adalah jika terdapat
larangan khusus baginya, sedangkan dalam permasalahan ini tidak ada
larangan khusus baginya. Bagi saya, mencium roti adalah bid’ah yang
dibolehkan. Jika tujuannya adalah untuk memuliakannya, karena terdapat
sejumlah hadis yang berisi tentang pemuliaan terhadapnya, maka itu
adalah perbuatan yang baik.” (Al-Hâwî li al-Fatâwî, Vol. I, hlm. 221,
Cet. Dar al-Fikr).
Al-Allamah Ibnu Abidin menukilkan secara
umum hukum tentang mencium roti ini dari para ulama Mazhab Syafi`I,
kemudian ia berkata, “Kaidah-kaidah mazhab kami (Mazhab Hanafi) tidak
menolak hal tersebut.” (Hâsyiyah Ibni Abidin, Vol. VI, hlm. 384, Cet.
Darul Kutub al-`Ilmiyyah).
Setelah penjelasan di atas, maka menjadi
jelas bahwa hukum asal permasalahan yang ditanyakan adalah dibolehkan.
Dan “dibolehkan” artinya boleh untuk dilakukan dan boleh juga untuk
tidak dilakukan. Kemudian, ketika orang-orang sudah terbiasa dan sudah
tahu bahwa hormat bendera dan berdiri saat dinyanyikan lagu kebangsaan
menunjukkan penghormatan kepada tanah air, ekspresi rasa cinta
kepadanya, dan merupakan sarana untuk menunjukkan kedua hal tersebut,
bahkan dapat mempengaruhi hubungan dengan negara-negara lain, maka
hukumnya dibolehkan.
Jika hal tersebut ditambah dengan adanya anggapan umum bahwa tidak melakukan hal tersebut mengindikasikan adanya pelecehan, atau sikap tidak menghormati, juga dapat mengakibatkan permusuhan, ketegangan, perpecahan, tuduhan-tuduhan negatif, atau kondisi-kondisi lain yang kontraproduktif dalam hubungan internasional, maka dalam kondisi ini seseorang harus berdiri saat pengibaran bendera atau saat dinyanyikan lagu kebangsaan demi menghindari hal-hal negatif tersebut.
Di antara ulama yang menyatakan hal ini
adalah Imam Syihabuddin al-Qarafi di dalam kitab al-Furûq (Vol. IV, hlm.
430, Cet. Dar al-Kutub al-`Ilmiyyah), yang menukil dari Syaikh Islam
al-`Izz bin Abdissalam. Dan Imam Syihabuddin al-Qarafi menyetujui
pendapat al-`Izz bin Abdissalam tersebut. Imam al-Qarafi berkata, “Pada
suatu hari saya hadir di majelis Syaikh al-`Izz bin Abdissalam. Ia
adalah seorang ulama besar, sosok yang bersungguh-sungguh dalam
menunaikan ajaran agama, sangat memperhatikan maslahat kaum Muslimin
yang khusus dan umum, teguh di atas Al-Qur’an dan Sunnah, tidak takut
kepada para raja terlebih lagi yang lainnya, dan tidak peduli terhadap
celaan orang-orang ketika menunaikan perintah Allah. Saat itu ada sebuah
permintaan fatwa diajukan kepadanya yang isinya, “Apa yang dikatakan
oleh para imam –semoga Allah memberi taufik kepada mereka— tentang
berdiri (untuk memberikan pernghormatan) yang dilakukan oleh orang-orang
pada zaman kita ini, padahal itu tidak pernah dilakukan oleh generasi
salaf, apakah itu dibolehkan? Ataukah tidak boleh dan diharamkan?” Lalu
al-`Izz mengirimkan fatwa kepadanya yang isinya, “Rasulullah
Shallallahu `alaihi wa Âlihi wa Sallam bersabda,
لَا تَبَاغَضُوا، وَلَا تَحَاسَدُوا، وَلَا تَدَابَرُوا، وَلَا تَقَاطَعُوا وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا “Janganlah kalian saling membenci, saling mendengki, saling berpaling, dan saling memutus hubungan. Jadilah hamba-hamba Allah yang bersaudara.” Tidak berdiri untuk menghormati orang lain pada zaman ini akan mengakibatkan terjadinya permusuhan dan kebencian, sehingga tidak berlebihan jika dikatakan bahwa hukumnya wajib.” Berdasarkan penjelasan di atas, hormat bendera atau berdiri saat dinyanyikan lagu kebangsaan adalah diperbolehkan, tidak makruh dan tidak haram sama sekali, bukan seperti yang diributkan oleh sebagian orang yang tidak berilmu.
Jika dalam acara-acara umum yang di
dalamnya berdiri saat dinyanyikan lagu kebangsaan atau saat dikibarkan
bendera merupakan tanda penghormatan, sedangkan tidak melakukannya dapat
dianggap sebagai sikap tidak menghormati, maka dalam kondisi berdiri
lebih dianjurkan. Dalam kondisi ini pula, seseorang harus berdiri untuk
menghindari munculnya sebab-sebab kebencian dan perpecahan, juga sebagai
wujud dari etika yang baik dan akhlak yang mulia.
Wallahu Subhânahu wa Ta`âlâ a`lam.
|
Home »
FATWA HUKUM ISLAM
» Hukum Hormat Bendera dan Berdiri Saat Dinyanyikan Lagu Kebangsaan
Hukum Hormat Bendera dan Berdiri Saat Dinyanyikan Lagu Kebangsaan
JIKA TERDAPAT KESALAHAN/KEKELIRUAN DALAM ARTIKEL INI
DAPAT MENGHUBUNGI KAMI DENGAN CARA MENINGGALKAN PESAN... TERIMAKASIH
DAPAT MENGHUBUNGI KAMI DENGAN CARA MENINGGALKAN PESAN... TERIMAKASIH
Tidak ada komentar:
Posting Komentar