honan fatwa No. 559 tahun 2008 yang berisi:
Apakah seorang perempuan boleh
mengajar Alquran yang mencakup cara membaca Alquran, ilmu Rasm Mushaf,
matan-matan ilmu dan lain sebagainya, kepada kaum lelaki dikarenakan
tidak adanya guru laki-laki yang dapat mengajarkan ilmu-ilmu tersebut
kepada mereka?
|
||
|
||
Hukum seorang perempuan belajar dari guru lelaki atau seorang lelaki
belajar dari guru perempuan adalah dibolehkan dalam syariat. Hukum yang
berlaku di kalangan kaum muslimin sejak dahulu hingga sekarang adalah
bahwa keberadaan laki-laki dan perempuan dalam satu tempat tidaklah
diharamkan karena alasan keberadaan itu sendiri. Tetapi yang membuat
perbuatan tersebut diharamkan adalah terjadinya kondisi yang
bertentangan dengan ajaran agama yang melingkupi perbuatan itu, seperti
jika perempuannya menampakkan aurat, pertemuan itu bertujuan untuk
kemungkaran, atau mereka berdua dalam keadaan khalwat. Para ulama
menegaskan bahwa perbuatan ikhtilat yang diharamkan –yang disebabkan
oleh perbuatan ikhtilat itu sendiri— adalah jika lelaki dan perempuannya
saling menempel dan saling bersentuhan, bukan murni karena keberadaan
seorang lelaki dan perempuan di satu tempat.
Hal ini sesuai dengan hadis yang
diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Sahal bin Sa'ad as-Sa'idi
r.a., ia berkata, "Ketika Abu Usaid as-Sa'idi melakukan resepsi
pernikahan, dia mengundang Nabi saw. dan para sahabat. Tidak ada yang
membuatkan dan menghidangkan makanan untuk mereka kecuali istrinya, Ummu
Usaid." Imam Bukhari membuat judul untuk hadis ini dengan: "Bab
Perempuan Melayani Kaum Lelaki dalam Acara Resepsi Pernikahan Secara
Langsung."
Al-Qurthubi berkata dalam kitab
tafsirnya, "Para ulama kami (madzhab Maliki) berkata, "Hadis ini
menunjukkan kebolehan seorang istri melayani suami dan para undangan
dalam acara resepsi pernikahannya."
Dalam Syarh al-Bukhari, Ibnu Baththal
berkata, "Hadis ini menunjukkan bahwa kain pembatas yang memisahkan
lelaki dengan perempuan dalam berinteraksi langsung adalah tidak wajib
bagi para wanita mukmin. Hal itu hanya khusus bagi para istri Nabi saw..
Hal ini seperti yang disebutkan oleh Allah dalam Alquran,
"Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir." (Al-Ahzâb: 53).
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam Fathul Bâri,
"Hadis ini mengandung penjelasan kebolehan seorang perempuan melayani
suaminya dan tamu undangannya. Tentu saja, kebolehan itu jika tidak
dikhawatirkan akan terjadi fitnah dan perempuan tersebut selalu menjaga
auratnya dalam keadaan tertutup. Hadis ini juga menunjukkan kebolehan
seorang suami meminta istrinya untuk melakukan pelayanan seperti itu."
Dalam kitab Shahîh Bukhari dan
Muslim, Abu Hurairah r.a. meriwayatkan kisah Abu Thalhah al-Anshari dan
istrinya yang melayani tamu mereka. Dalam kisah itu disebutkan bahwa
keduanya berpura-pura makan di hadapan tamu mereka, padahal mereka tidak
makan sama sekali, sehingga mereka berdua pun tidur dengan perut kosong
tanpa makan malam terlebih dahulu.
Dalam kitab Qirâ adh-Dhayf,
Ibnu Abi Dunya meriwayatkan dari Anas r.a. bahwa seorang lelaki berkata
kepada istrinya, "Buatlah roti ini menjadi tsarid (makanan yang terbuat
dari roti yang diremuk lalu direndam dengan kuah dan daging) dan
tambahkanlah mentega sebagai lauknya lalu hidangkanlah kepada tamu kita.
Suruhlah pembantu untuk mematikan lampu." Kemudian ketika menemani tamu
mereka makan, keduanya menggerakkan mulut mereka seperti sedang makan,
sehingga tamu mereka mengira bahwa keduanya juga ikut makan." Zahir
kisah ini mengisyaratkan bahwa mereka makan dalam satu nampan.
Nabi saw. lalu berkata kepada mereka,
قَدْ عَجِبَ اللهُ مِنْ صَنِيْعِكُمَا بِضَيْفِكُمَا اللَّيْلَةَ
"Allah takjub dengan perilaku kalian terhadap tamu kalian tadi malam."
Allah pun menurunkan ayat berkaitan dengan kisah mereka,
"Dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan." (Al-Hasyr: 9).
Dalam Shahîh Bukhari diriwayatkan
dari Abu Juhaifah r.a., ia berkata, "Nabi saw. mempersaudarakan antara
Salman dan Abu Darda`. Pada suatu hari, Salman berkunjung ke rumah Abu
Darda`. Ia bertemu dengan Ummu Darda` yang ketika itu memakai pakaian
yang lusuh. Salman lalu bertanya kepadanya, "Apa yang terjadi denganmu?"
Ia menjawab, "Saudaramu, Abu Darda`, tidak lagi menyukai dunia."
Sebentar kemudian, Abu Darda` muncul dan membuatkan Salman makanan", dan
seterusnya.
Al-Hafizh Ibu Hajar dalam Fathul Bâri
berkata, "Di dalam hadis ini terdapat beberapa faedah..[Antara lain]
kebolehan berbicara dan bertanya kepada wanita yang bukan mahram tentang
sesuatu yang mendatangkan maslahat."
Adapun berkaitan dengan perempuan
mengajar ilmu-ilmu syariat kepada kaum lelaki, maka sebagaimana
diketahui dalam Sunnah bahwa para istri Nabi saw. mengajarkan ilmu dan
menyebarkan agama kepada siapa saja. Kitab-kitab Sunnah penuh dengan
hadis yang diriwayatkan dari mereka, bahkan dari para perawi wanita
setelah mereka. Dalam kitab al-Ishâbah fî Tamyîz ash-Shahâbah,
Ibnu Hajar al-'Asqalani menyebutkan biografi seribu lima ratus empat
puluh tiga (1543) perawi wanita, di antara mereka ada ulama fikih, ulama
hadis dan sastrawan.
Dahulu, para wanita muslimah selalu
berpartisipasi dengan kaum lelaki dalam berbagai aktifitas kehidupan
sosial secara umum dengan tetap menjaga cara berpakaian dan adab-adab
islami. Bahkan, ada di antara para wanita sahabat Nabi saw. yang menjadi
penanggung jawab hisbah (polisi syariat), seperti yang diriwayatkan
oleh ath-Thabrani dalam al-Mu'jam al-Kabîr –dengan sanad yang
terdiri dari para perawi tsiqât— dari Abu Balaj Yahya bin Abi Sulaim, ia
berkata, "Saya melihat Samra` binti Nuhaik –seorang perempuan yang
pernah bertemu dengan Nabi saw.— memakai pakaian perang dan kerudung
yang kasar serta memegang sebuah cambuk. Ia bertugas menertibkan
masyarakat serta melakukan amar makruf dan nahi mungkar."
Dengan demikian, tidak ada seorang
pun yang berhak mengingkari kenyataan sejarah yang disebutkan oleh
Sunnah Nabawiyah dan sejarah Islam. Kebiasaan atau adat masyarakat pada
suatu tempat dan waktu tertentu tidak dapat dijadikan standar bagi
kebenaran agama dan syariat. Ajaran agama berada pada tingkat tertinggi
dan tidak ada yang dapat melampauinya. Jika ada seseorang yang ingin
memilih bersikap wara' dengan lebih berhati-hati, maka ia tidak boleh
memaksa orang lain untuk mengikutinya, atau bersikap keras dan
mempersempit urusan yang dimudahkan dan dilapangkan oleh Allah.
Wallahu subhânahu wa ta'âlâ a'lam.
|
Home »
FATWA HUKUM ISLAM
» Perempuan Mengajar Lelaki
Perempuan Mengajar Lelaki
JIKA TERDAPAT KESALAHAN/KEKELIRUAN DALAM ARTIKEL INI
DAPAT MENGHUBUNGI KAMI DENGAN CARA MENINGGALKAN PESAN... TERIMAKASIH
DAPAT MENGHUBUNGI KAMI DENGAN CARA MENINGGALKAN PESAN... TERIMAKASIH
Tidak ada komentar:
Posting Komentar