ntaan fatwa No. 2424 tahun 2003, yang berisi:
Bolehkah seorang perempuan melakukan operasi untuk mengembalikan selaput daranya seperti sedia kala?
|
||
|
||
Sebagaimana diketahui secara umum dalam syariah, bahwa Islam mengajak
umatnya untuk menjaga kehormatan dan sangat membenci perbuatan zina
serta menganggapnya sebagai salah satu perbuatan dosa besar. Islam juga
memerintahkan umatnya untuk menutup semua jalan yang mengarah kepada
maksiat tersebut, seperti memandang perempuan asing, berkhalwat dan lain
sebagainya. Allah berfirman,
"Dan janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk." (Al-Isrâ`: 32).
Islam juga menjadikan had sebagai hukuman pelaku zina jika perbuatan itu sampai kepada penguasa. Firman Allah,
"Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera." (An-Nûr: 2).
Namun demikian, dalam Islam, jika
seseorang terjerumus ke dalam maksiat maka secara hukum asal hendaknya
dia menutupi maksiat itu. Hal ini sesuai dengan hadis yang diriwayatkan
oleh Abdullah bin Umar r.a., bahwa Rasulullah saw. bersabda,
الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لاَ
يَظْلِمُهُ وَلاَ يُسْلِمُهُ وَمَنْ كَانَ فِي حَاجَةِ أَخِيهِ كَانَ
اللَّهُ فِي حَاجَتِهِ وَمَنْ فَرَّجَ عَنْ مُسْلِمٍ كُرْبَةً فَرَّجَ
اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرُبَاتِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ سَتَرَ
مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
"Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain. Dia tidak boleh menzaliminya dan tidak boleh pula menjerumuskannya kepada kesulitan. Barang siapa yang membantu keperluan saudaranya, maka Allah akan membantu keperluannya. Barang siapa yang meringankan kesulitan seorang muslim, maka Allah akan meringankan salah satu kesulitannya pada hari kiamat. Dan barang siapa yang menutupi aib seorang muslim, maka Allah akan menutupi aibnya pada hari kiamat."
Kaum muslimin juga dilarang untuk menyebarkan dan membuka maksiat yang ditutupi oleh Allah. Allah berfirman,
"Sesungguhnya orang-orang yang ingin
agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan
orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di
akhirat. Dan Allah Maha Mengetahui, sedang, kamu tidak mengetahui." (An-Nûr: 19).
Hal ini pun sesuai dengan hadis yang
diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a., dia berkata, "Saya mendengar
Rasulullah saw. bersabda,
كُلُّ أُمَّتِىْ مُعَافَاةٌ إِلاَّ
الْمُجَاهِرِيْنَ، وَإِنَّ مِنَ الإِجْهَارِ أَنْ يَعْمَلَ الْعَبْدُ
بِاللَّيْلِ عَمَلاً ثُمَّ يُصْبِحُ قَدْ سَتَرَهُ رَبُّهُ فَيَقُوْلُ: يَا
فُلاَنُ، قَدْ عَمِلْتُ الْبَارِحَةَ كَذَا وَكَذَا، وَقَدْ بَاتَ
يَسْتُرُهُ رَبُّهُ فَيَبِيْتُ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ، وَيُصْبِحُ يَكْشِفُ
سِتْرَ اللَّهِ عَنْهُ
"Setiap umatku dimaafkan perbuatan dosanya kecuali orang-orang yang membuka aibnya sendiri. Salah satu bentuk membuka aib itu adalah seorang hamba yang melakukan maksiat di malam hari, lalu hingga pagi Allah menutupi maksiatnya tersebut. Akan tetapi ketika pagi dia justru berkata kepada orang lain, "Wahai Fulan, saya tadi malam berbuat begini dan begitu." Sungguh Allah menutupi perbuatan maksiatnya itu ketika malam, akan tetapi dia malah membuka tabir Allah itu dari dirinya ketika pagi." (HR. Bukhari).
Para ulama mazhab Hanafi menegaskan bahwa bila selaput dara seorang perempuan terkoyak karena perbuatan zina khafiy
(perbuatan zina yang tidak sampai kepada penguasa sehingga pelakunya
tidak dihukum had) atau perempuan itu tidak berprofesi sebagai penjaja
seks sehingga dia telah terbiasa melakukannya, maka dia dihukumi sebagai
perawan meskipun pada hakikatnya dia bukan perawan. Dia pun dapat
menikah sebagaimana para perawan lainnya. Bahkan, dia tidak harus
menyetujui secara terang-terangan untuk menikah, karena posisinya
disamakan dengan para perawan. Sebagaimana diketahui bahwa Rasulullah
saw. memerintahkan para wali untuk meminta persetujuan seorang gadis
perawan jika hendak menikahkannya. Beliau bersabda,
الْبِكْرُ تُسْتَأْذَنُ وَإِذْنُهَا صَمَاتُهَا
"Seorang perawan dimintai persetujuannya. Dan sikap diamnya merupakan izin darinya."
Para ulama Hanafiyah menjelaskan
bahwa alasan mengenai hal itu adalah karena memintanya untuk berbicara
dapat membuka aibnya, padahal syariat menganjurkan agar menutupi
maksiat. (Lihat: Majma' al-Anhur fî Syarh Multaqa al-Abhur).
Dalam kitab Nashb ar-Râyah
dikatakan, "Menurut Abu Hanifah, jika masyarakat mengetahuinya sebagai
seorang perawan, maka mereka akan mencelanya jika dia mengakui perbuatan
zinanya. Oleh karena itulah, dia tidak perlu untuk mengakuinya. Dengan
demikian, cukuplah sikap diamnya (sebagai bentuk persetujuan nikahnya)
agar maslahatnya tidak terabaikan."
Dari penjelasan di atas, seorang
perempuan dengan kondisi di atas boleh melakukan operasi untuk
mengembalikan selaput daranya guna mencegah akibat buruk yang dapat
terjadi jika dia tidak melakukan operasi itu, meskipun hal itu tidak
akan terjadi kecuali di masa mendatang. Seorang dokter pun boleh
melakukan operasi tersebut meskipun dengan menetapkan biaya tertentu.
Namun jika perempuan itu telah diketahui secara umum sebagai pelaku zina –wal 'iyâdz billah
(semoga Allah melindungi kita dari kemaksiatan itu)— atau perempuan itu
telah dihukum had atas perbuatan zinanya, maka dia tidak boleh
melakukan operasi tersebut. Hal itu karena illat (sebab hukum) kebolehan
operasi tersebut tidak ditemukan dalam masalah terakhir ini.
Wallahu subhânahu wa ta'âlâ a'lam.
|
Home »
FATWA HUKUM ISLAM
» Operasi Selaput Dara
Operasi Selaput Dara
JIKA TERDAPAT KESALAHAN/KEKELIRUAN DALAM ARTIKEL INI
DAPAT MENGHUBUNGI KAMI DENGAN CARA MENINGGALKAN PESAN... TERIMAKASIH
DAPAT MENGHUBUNGI KAMI DENGAN CARA MENINGGALKAN PESAN... TERIMAKASIH
Tidak ada komentar:
Posting Komentar