Kekuatan Hukum Sebuah Pengakuan di Pengadilan

JIKA TERDAPAT KESALAHAN/KEKELIRUAN DALAM ARTIKEL INI
DAPAT MENGHUBUNGI KAMI DENGAN CARA MENINGGALKAN PESAN... TERIMAKASIH

honan fatwa No. 882 tahun 2005, yang berisi:
    Saya sedang mengajukan tuntutan terhadap Dinas Perkebunan yang menguasai tanah pertanian dan barang-barang milik saya. Dalam tuntutan itu saya mempunyai dua bukti penting, yaitu dua pengakuan tertulis resmi dari Dinas Pertanian sendiri bahwa saya memiliki tanah dengan luas tertentu. Karena itulah saya memohon kepada Lembaga Fatwa Mesir untuk memberikan penjelasan mengenai kekuatan hukum sebuah pengakuan dalam syariat Islam dan sejauh mana hak saya sesuai dengan pengakuan tersebut.
Jawaban : Mufti Agung Prof. Dr. Ali Jum'ah Muhammad
Pengakuan atau ikrar (al-iqrâr) dalam literatur ilmu Fikih didefinisikan sebagai: pemberitahuan seseorang tentang adanya hak orang lain pada dirinya. Pijakan syar'i mengenai kekuatan hukum pengakuan ini –selain ijmak para ulama – adalah Alquran dan Sunnah. Allah berfirman,
"Dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu)." (Al-Baqarah: 282).
Dalam ayat ini Allah memerintahkan agar seseorang yang wajib menunaikan hak tertentu mendiktekan (menyampaikan) pengakuannya. Jika pengakuan orang tersebut tidak diterima, maka perintah untuk mendiktekan itu tentu tidak ada artinya.
Nabi saw. telah merajam Ma'iz dan perempuan dari kabilah Ghamidiyah berdasarkan pengakuan keduanya. Jika hukuman had saja dapat dijatuhkan karena pengakuan seseorang, maka lebih utama pengakuan dalam masalah harta.
Landasan disyariatkannnya pengakuan pun dapat diambil dari dalil rasio (akal). Karena, seseorang yang berakal tidak akan berbohong atas nama dirinya dengan mengakui sesuatu yang dapat merugikan dirinya atau hartanya. Sehingga, sisi kejujuran mengenai dirinya lebih kuat, dikarenakan tidak adanya kecurigaan terhadap dirinya dan dia benar-benar memiliki hak menyampaikan pengakuan itu. Sebuah pengakuan berlaku juga terhadap sesuatu yang dilakukan seseorang pada masa yang lalu.
Pengakuan adalah argumen yang berdiri sendiri dan lebih diutamakan daripada bukti-bukti yang lain. Karena itulah, dalam pengadilan seorang hakim menanyakan terlebih dahulu apakah pihak terdakwa mengakui tuntutan yang ditujukan kepadanya atau tidak, sebelum menanyakan adanya saksi. Hanya saja, pengakuan merupakan argumen yang terbatas pada orang yang mengaku saja, karena seseorang tidak mempunyai kekuasaan terhadap orang lain.
Abu Dawud meriwayatkan bahwa ada seorang laki-laki mendatangi Rasulullah saw. dan mengaku telah berzina dengan seorang perempuan yang dia sebutkan namanya. Maka Nabi saw. mengutus seseorang untuk memanggil perempuan itu. Lalu beliau menanyakan masalah itu kepada perempuan tersebut, tapi dia tidak mengakuinya. Maka, Rasulullah saw. pun menjatuhkan hukuman had pada laki-laki yang mengaku tadi dan tidak menghukum perempuan itu.
Namun demikian, terdapat beberapa kondisi yang di dalamnya seorang qadi membutuhkan bukti lain selain pengakuan seseorang itu. Jika terdapat bukti lain ini, maka hukum yang ditetapkan juga merambat kepada orang lain.
Rukun pengakuan atau ikrar, menurut jumhur (mayoritas ulama), ada empat, yaitu orang yang mengaku, pihak yang dituju dalam pengakuan, obyek yang diaku dan kata-kata pengakuan.
Obyek yang diaku mempunyai dua macam, yaitu obyek yang berkaitan dengan hak Allah dan obyek yang berkaitan dengan hak makhluk. Jenis yang pertama juga dibagi menjadi dua macam, yaitu hak yang murni milik Allah dan hak Allah yang di dalamnya terdapat hak makhluk.
Pembatalan pengakuan mempunyai pengaruh yang berbeda-beda sesuai dengan status obyek yang diakui; apakah obyek tersebut merupakan hak Allah ataukah hak makhluk. Pembatalan pengakuan dapat juga dilakukan secara terang dan jelas, seperti seseorang berkata, "Saya menarik pengakuan saya itu," atau mengatakan, "Saya tidak membenarkan pengakuan itu." Dan dapat juga dilakukan secara tidak langsung, seperti jika orang itu melarikan diri ketika hendak dihukum berdasarkan pengakuannya, karena melarikan diri merupakan tanda dari pembatalan pengakuan itu.
Jika pengakuan itu berkaitan dengan hak Allah yang dapat gugur karena ketidakpastian (syubhat), seperti zina, maka menurut jumhur ulama –yaitu mazhab Hanafi, pendapat yang masyhur dalam mazhab Maliki, mazhab Syafi'i dan mazhab Hambali—, dibolehkan menarik pengakuan itu dan pelakunya tidak dikenai hukuman had. Hal ini karena orang tersebut bisa saja berkata benar dalam pembatalan pengakuannya itu dan dapat juga sebaliknya. Jika dia benar dalam pembatalan pengakuannya itu, berarti dia telah berbohong dalam pengakuan awalnya. Namun jika dia tidak berkata benar dalam pembatalan pengakuannya, maka berarti dia telah berkata benar dalam pengakuan awalnya. Sehingga, semua itu mempunyai pengaruh dalam pemberlakuan suatu hukuman had, dan hukuman had itu sendiri tidak dapat dijatuhkan jika terdapat syubhat.
Diriwayatkan bahwa ketika Ma'iz mengaku telah berbuat zina di hadapan Rasulullah saw., maka beliau menuntunnya untuk membatalkan atau menarik kembali pengakuannya itu. Kalau seandainya suatu pengakuan tidak mungkin ditarik kembali, tentu tidak ada gunanya Rasulullah saw. menuntun Ma'iz untuk membatalkan pengakuannya itu, baik pembatalan itu setelah ditetapkan hukuman itu atau sebelumnya, dan baik setelah pemberlakuan hukuman itu atau sebelumnya.
Adapun seseorang yang mengaku dengan benar tentang adanya kewajiban atasnya yang berkaitan dengan hak makhluk atau hak Allah yang tidak dapat gugur dengan syubhat (ketidakpastian), seperti qishash, qadzaf, zakat dan kafarat, lalu ia membatalkan pengakuannya itu, maka pembatalannya itu tidak dapat diterima. Hal ini adalah kesepakatan seluruh ulama. Karena, hak itu telah terkait dengan orang lain, sehingga tidak mungkin digugurkan kecuali dengan kerelaan orang yang mendapatkan hak itu. Hak makhluk tidak dapat gugur dengan pembatalan pengakuan karena hak tersebut ditetapkan berdasarkan kepastian. Sehingga, jika hak itu telah ditetapkan untuk seseorang, maka tidak mungkin digugurkan kecuali dengan kerelaannya.
Dalam kitab al-Furûq, al-Qarafi menjelaskan pengakuan-pengakuan yang dapat ditarik kembali dan yang tidak dapat ditarik kembali. Dia berkata, "Secara hukum dasar, sebuah pengakuan bersifat mengikat, baik pengakuan itu berasal dari orang yang baik maupun orang yang tidak baik. Karena, pengakuan merupakan tindakan yang bertentangan dengan tabiat manusia. Pengakuan yang tidak dapat ditarik kembali adalah pengakuan yang tidak mempunyai alasan biasa. Sedangkan pengakuan yang mempunyai alasan biasa, maka boleh untuk ditarik kembali. Jika salah seorang ahli waris menyatakan bahwa seluruh harta yang ditinggalkan oleh ayahnya adalah harta warisan yang dibagikan untuk seluruh ahli waris sesuai dengan syariat Islam, lalu datang beberapa orang dan bersaksi bahwa ayahnya telah mempersaksikan mereka bahwa dia memberikan rumahnya kepada ahli waris tersebut, maka jika ahli waris tersebut menarik kembali pernyataannya dengan alasan adanya persaksian itu dan bahwa dia tidak mengetahui peristiwa pemberian itu sebelumnya, maka penarikan pernyataannya tersebut diterima. Pernyataan awalnya mengenai pembagian seluruh harta warisan kepada seluruh ahli waris tidak dianggap mendustakan kebenaran persaksian tersebut, sehingga penarikan pernyataan itu dapat diterima."
Al-Qarafi juga menyatakan, "Jika seseorang berkata, "Saya mempunyai tanggungan seratus dirham kepada orang ini jika dia bersumpah.", lalu ternyata orang yang mendapat pengakuan itu bersumpah, sedangkan orang yang mengaku itu langsung menarik kembali pernyataannya dengan alasan bahwa dia mengira orang yang mendapat pengakuan itu tidak akan bersumpah, maka orang yang mengaku itu tidak wajib memberikan uang seratus dirham itu. Karena dalam kebiasaan masyarakat, memberikan syarat dalam suatu pengakuan menunjukkan tidak adanya keyakinan bahwa memenuhi pengakuan itu adalah wajib. Kebiasaan masyarakat juga menyatakan bahwa kata-kata seperti itu tidak masuk dalam pengakuan."
Wallahu subhânahu wa ta'âlâ a'lam.
Sumber : Dar al Iftaa ( Lembaga Fatwa Mesir)
Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tayangan Halaman