ntaan fatwa No. 366 tahun 2006, yang berisi:
Ketika Hari Raya Idul Adha atau Idul
Fitri jatuh pada hari Jumat, apakah kewajiban shalat Jum'at menjadi
gugur? Apakah cukup dengan shalat Ied saja tanpa melakukan shalat Jumat?
|
||
|
||
Permasalahan yang ditanyakan merupakan satu masalah yang menjadi
perbedaan pendapat para ulama. Perbedaan ini berangkat dari perbedaan
mereka dalam menshahihkan hadits dan asar seputar masalah ini dalam satu
sisi, dan makna yang dimaksud olehnya dalam sisi lain.
Di antara hadits tersebut adalah
hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, Nasa`I, Ibnu Majah dan Hakim
dari Iyas bin Abi Ramlah asy-Syami, dia berkata, "Saya melihat Mu'awiyah
bin Abi Sufyan bertanya kepada Zaid bin Arqam r.a., "Apakah ketika
bersama Rasulullah saw. engkau pernah menjumpai dua hari raya bertemu
dalam satu hari?" Zaid bin Arqam menjawab, "Ya, saya pernah
mengalaminya". Mu'awiyah bertanya lagi, "Apa yang dilakukan Rasulullah
saw. ketika itu?" Dia menjawab, "Beliau melakukan shalat Ied dan memberi
keringanan untuk meninggalkan shalat Jumat. Beliau bersabda, "Barang
siapa ingin melakukan shalat Jumat maka lakukanlah."
Juga hadits riwayat Abu Hurairah
r.a., dari Nabi saw., beliau bersabda, "Pada hari ini telah bertemu dua
hari raya. Barang siapa tidak ingin menunaikan shalat Jumat, maka shalat
Ied ini sudah menggantikannya. Sedangkan kami akan tetap menunaikan
shalat Jumat." (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah dan Hakim).
Sebagian ulama ada yang berpendapat
bahwa pelaksanaan shalat Ied tidak mengakibatkan gugurnya kewajiban
shalat Jumat. Mereka berdalil dengan keumuman dalil kewajiban shalat
Jumat untuk seluruh hari. Di samping itu shalat Jumat dan shalat Ied
adalah ibadah yang masing-masing berdiri sendiri dan tidak bisa saling
menggantikan. Di sisi lain hadits dan atsar tentang keringanan untuk
tidak menunaikan shalat Jumat tidaklah kuat untuk mengkhususkan hadits
tentang kewajiban shalat Jumat tersebut, karena di dalam sanadnya
terdapat masalah. Ini adalah mazhab Hanafi dan Maliki.
Sedangkan Imam Ahmad berpendapat
–dan ini adalah salah satu pendapat dalam Mazhab Syafi'i— bahwa
kewajiban shalat Jumat menjadi gugur bagi orang yang menunaikan shalat
Ied, namun orang itu tetap wajib menunaikan shalat zhuhur. Hal ini juga
berdasarkan hadits dan atsar yang telah disebutkan sebelumnya.
Adapun jumhur ulama –termasuk Imam
Syafi'I dalam pendapatnya yang paling shahih—berpendapat wajibnya shalat
Jumat bagi orang-orang yang tinggal dalam kawasan yang di dalamnya
dilaksanakan shalat Jumat dan gugur dari orang-orang yang tinggal di
daerah pedalaman yang syarat-syarat kewajiban shalat Jumat terealisasi
pada mereka. Karena mewajibkan mereka untuk menunaikan shalat Jumat
setelah shalat Ied dapat menyebabkan kesulitan bagi mereka. Dalil jumhur
ulama adalah apa yang diriwayatkan oleh Imam Malik dalam al-Muwatha`
bahwa Utsman bin Affan r.a. berkata dalam khutbanya, "Sesungguhnya pada
hari ini telah bertemu dua Ied. Maka orang yang tinggal di daerah gunung
jika ingin menunggu pelaksanaan shalat Jumat maka hendaknya dia
menunggu, sedangkan orang yang ingin kembali ke rumahnya maka aku telah
mengizinkannya."
Perkataan Utsman ini tidak ditentang
oleh seorang sahabat pun, sehingga dianggap sebagai ijmak sukuti.
Berdasarkan penjelasan Utsman inilah jumhur ulama memahami hadits
keringanan untuk tidak melaksanakan shalat Jumat bagi orang yang telah
melakuan shalat Ied.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka
selama masalah ini merupakan masalah khilafiyah maka ia bersifat lapang,
dan tidak sepatutnya seseorang membenturkan pendapat satu mazhab dengan
pendapat mazhab yang lain. Dengan demikian, shalat Jumat tetap
dilaksanakan di masjid-masjid, sebagai pengamalan terhadap hukum asalnya
dan sebagai suatu kehati-hatian dalam pelaksanaan ibadah. Dan barang
siapa yang kesulitan untuk menghadiri shalat Jumat atau ingin mengambil
rukhshah dengan mentaklid pendapat yang menggugurkan kewajiban shalat
Jumat karena menunaikan shalat Ied, maka dia boleh melakukannya dengan
syarat dia tetap melakukan shalat zhuhur sebagai ganti dari shalat
Jumat. Juga dengan tidak menyalahkan orang yang menghadiri shalat Jumat,
mengingkari orang yang menunaikannya di masjid-masjid atau memicu
fitnah dalam perkara yang di dalamnya para salaf saleh menerima adanya
perbedaan pendapat.
Adapun gugurnya shalat Zhuhur karena
telah dilaksanakannya shalat Ied maka pendapat yang diambil oleh jumhur
ulama baik dahulu maupun sekarang adalah bahwa shalat Jum'at jika gugur
karena suatu rukhshah (keringanan), uzur atau terlewatkan waktunya maka
harus dilaksanakan shalat Zhuhur sebagai gantinya. Sedangkan Atha'
berpendapat bahwa shalat Jum'at dan Zhuhur dianggap gugur karena telah
dilaksanakannya shalat Ied. Dalil yang digunakan oleh Atha' adalah
hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, "Ibnu Zubair r.a. melaksanakan
shalat Ied yang jatuh pada hari Jum'at pada awal siang (pagi hari)
bersama kami. Lalu kami pergi untuk melaksanakan shalat Jum'at, namun ia
tidak datang. Akhirnya, kami pun melaksanakan shalat sendiri. Ketika
itu Ibnu Abbas r.a. sedang berada di Thaif. Ketika ia datang, maka kami
menceritakan hal itu. Beliau pun berkata, "Ia telah melaksanakan
sunnah."
Hanya saja riwayat ini tidak dapat
dijadikan sebagai dalil karena memiliki kemungkinan makna yang lain.
Sebuah dalil yang mengandung berbagai kemungkinan menjadi batal nilai
kedalilannya. Hadits ini tidak menunjukkan bahwa Ibnu Zubair tidak
melaksanakan shalat Zhuhur di rumahnya. Bahkan penjelasan Atha' bahwa
mereka melaksanakan shalat sendiri (shalat Zhuhur) mengisyaratkan bahwa
tidak ada yang mengatakan bahwa shalat Zhuhur menjadi gugur. Pendapat
ini mungkin dapat ditafsirkan sebagai mazhab yang berpendapat kebolehan
melaksanakan shalat Jum'at sebelum tergelincir matahari (zawal).
Pendapat ini diriwayatkan dari Imam Ahmad. Bahkan diriwayatkan dari
Atha' sendiri, dimana ia pernah mengatakan, "Setiap shalat Ied
dilaksanakan ketika telah masuk waktu Dhuha: shalat Jum'at, Iedul Adha
dan Iedul Fitri." Penafsiran ini diperkuat oleh riwayat Wahb bin Kaysan
yang diriwayatkan oleh Nasa`i: "Dua Ied telah berkumpul pada masa Ibnu
Zubair. Maka ia pun mengakhirkan keluar rumah hingga siang semakin
tinggi. Ia lalu keluar dan berkhutbah serta memanjangkan khutbahnya.
Lalu ia turun dan melaksanakan shalat lalu tidak melasakanakan shalat
Jum'at bersama masyarakat." Sebagaimana diketahui bahwa khutbah Jum'at
dilaksanakan sebelum shalat, sedangkan khutbah Ied dilaksanakan setelah
shalat. Oleh karena itu, Abul Barakat Ibnu Taimiyah berkata,
"Penjelasannya adalah bahwa ia memandang kebolehan mendahulukan shalat
Jum'at sebelum tergelinciri matahari. Zubair mensegerakan shalat Jum'at
dan menjadikannya sebagai pengganti shalat Ied."
Ditambah lagi bahwa syariat tidak
pernah menjadikan shalat fardhu empat kali dalam keadaan apapun, bahkan
dalam keadaan sakit parah atau di tengah-tengah pertempuran. Shalat
fardhu tetap dilaksanakan lima kali sebagaimana ditetapkan dalam
dalil-dalil qath'I, seperti sabda Rasulullah saw. kepada seorang Arab
badui yang bertanya tentang kewajiban Islam,
خَمْسُ صَلَوَاتٍ فِي الْيَوْمِ وَاللَّيْلَةِ
"Lima shalat dalam sehari semalam." (Muttafaq alaih dari hadits Thalhah bin Ubaidillah r.a.).
Nabi saw. juga pernah bersabda kepada Muadz bin Jabal r.a. ketika mengutusnya ke Yaman,
فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِيْ كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ
"Beritahulah mereka bahwa Allah 'azza wa jalla mewajibkan mereka melakukan shalat lima kali dalam sehari semalam." (Muttafaq alaih dari hadits Ibnu Abbas r.a.).
Rasulullah saw. juga bersabda,
خَمْسُ صَلَوَاتٍ كَتَبَهُنَّ اللهُ عَلَى الْعِبَادِ
"Lima shalat yang diwajibkan Allah kepada para hamba-Nya." (HR. Malik, Abu Dawud, Nasa`I dari hadits Ubadah bin Shamit r.a.).
Dan masih banyak lagi dalil yang
menjelaskan mengenai hal ini. Jika shalat fardhu tidak dapat gugur
dengan melaksanakan shalat fardhu lainnya, maka bagaimana mungkin dapat
gugur dengan melaksanakan shalat Ied yang hukumnya hanyalah fardhu
kifayah dalam skala komunitas dan sunah dalam sekala pribadi?
Syariat Islam telah mewajibkan
shalat lima waktu ini dalam keadaan, tempat, person dan keadaan apapun,
kecuali yang dikecualikan seperti wanita haid dan nifas. Bahkan, ketika
Nabi saw. menjelaskan lama hidup Dajjal di dunia, beliau bersabda,
أَرْبَعُوْنَ يَوْماً، يَوْمٌ كَسَنَةٍ، وَيَوْمٌ كَشَهْرٍ، وَيَوْمٌ كَجُمُعَةٍ، وَسَاِئُر أَيَّامِهِ كَأَيَّامِكُمْ
"Empat puluh hari. Satu hari seperti setahun, satu hari seperti sebulan dan satu hari seperti satu jum'at. Sisa hari-harinya seperti hari-hari kalian." Para sahabat bertanya, "Pada hari yang seperti setahun itu, apakah kita cukup melaksanakan shalat satu hari saja?" Beliau menjawab, "Tidak. Tapi perkirakan kadar waktu-waktu shalat itu." (HR. Muslim).
Ini adalah nash bahwa shalat fardhu tidak dapat gugur pada keadaan atau waktu apapun.
Dengan demikian, pendapat yang
menyatakan bahwa shalat Jum'at dan Zhuhur menjadi gugur dengan
melaksanakan shalat Ied adalah tidak dapat dipegangi karena kelemahan
dalilnya dalam satu sisi dan karena ketidakpastian penisbatan pendapat
ini kepada ulama yang mengatakannya.
Wallahu subhânahu wa ta'âlâ a'lam.
|
Home »
FATWA HUKUM ISLAM
» Hukum Shalat Jum'at Ketika Hari Raya Ied Jatuh Pada Hari Jum'at
Hukum Shalat Jum'at Ketika Hari Raya Ied Jatuh Pada Hari Jum'at
JIKA TERDAPAT KESALAHAN/KEKELIRUAN DALAM ARTIKEL INI
DAPAT MENGHUBUNGI KAMI DENGAN CARA MENINGGALKAN PESAN... TERIMAKASIH
DAPAT MENGHUBUNGI KAMI DENGAN CARA MENINGGALKAN PESAN... TERIMAKASIH
Tidak ada komentar:
Posting Komentar