Tidak Mabit di Mina bagi Orang yang Lemah, Sakit dan Kaum Perempuan

JIKA TERDAPAT KESALAHAN/KEKELIRUAN DALAM ARTIKEL INI
DAPAT MENGHUBUNGI KAMI DENGAN CARA MENINGGALKAN PESAN... TERIMAKASIH

honan fatwa nomor 1609 tahun 2009 yang berisi:
    Apa hukum tidak melaksanakan mabit di Mina bagi jamaah haji yang lemah, sakit dan kaum perempuan? Dan apa hukum mewakilkan pelemparan jamrah mereka kepada orang lain?
 
Jawaban : Dewan Fatwa
     Sebagaimana diketahui bersama bahwa menjaga jiwa merupakan salah satu tujuan utama dalam syariat Islam. Dan jika terjadi pertentangan antara kemaslahatan dan kemudaratan maka kaidah fikih menetapkan bahwa mencegah kemudaratan lebih didahulukan daripada mengambil kemaslahatan. Jika terjadi pertentangan antar kemaslahatan maka diusahakan untuk dikompromikan, jika tidak bisa maka diambil maslahat yang lebih tinggi dengan meninggalkan yang lebih rendah.
    Ibadah haji merupakan ibadah yang dirindukan oleh setiap muslim. Hanya saja Allah SWT menjadikan kewajiban haji ini bagi orang-orang yang mampu menunaikannya. Allah juga menjadikan al-ihshâr (tertahan) sebagai uzur untuk tidak menyempurnakan manasik haji.
    Di sini lain, menjaga jiwa para jamaah haji adalah sebuah kewajiban yang ditetapkan oleh syarak. Semua pihak harus berupaya semaksimal mungkin untuk menjaganya karena keagungan nilainya. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a., ia berkata, "Ketika Rasulullah saw. memandang Ka'bah beliau bersabda,
مَرْحَباً بِكَ مِنْ بَيْتٍ، مَا أَعْظَمَكَ وَأَعْظَمَ حُرْمَتَكَ، وَلَلْمُؤْمِنُ أَعْظَمُ عِنْدَ اللهِ حُرْمَةً مِنْكَ
 
"Selamat berjumpa wahai Baitullah. Sungguh agung dirimu dan sungguh agung kesucianmu, tapi kesucian jiwa seorang mukmin lebih agung di hadapan Allah daripada dirimu." (HR. Baihaqi).
    Saat ini semakin diperlukan fatwa-fatwa yang memberikan kemudahan kepada para jamaah haji, sehingga merupakan tindakan bijak jika kita memperhatikan keadaan para jamaah ketika melaksanakan manasik haji dengan menjauhkan mereka dari hal-hal yang dapat menyebabkan mereka terjangkit penyakit atau wabah. Dengan ini semoga mereka dapat kembali ke negara masing-masing dengan selamat dan penuh kebahagiaan. Perhatian ini hendaknya lebih ditekankan pada tempat-tempat berkumpulnya banyak orang dan terdapat keringanan dari Allah terkait pelaksanaan ibadah di tempat itu.
    Hukum bermalam di Mina pada malam-malam hari Tasyrik merupakan masalah yang diperselisihkan oleh para ulama. Jumhur ulama dari kalangan Syafi'iyah, Hanabilah dan Malikiyah berpendapat bahwa hal itu adalah wajib. Sedangkan ulama Hanafiyah berpendapat bahwa hal itu adalah sunah. Pendapat ini juga disepakati oleh beberapa ulama dalam ketiga mazhab di atas (Syafi'i, Hambali dan Maliki), meskipun tidak menjadi pendapat yang mu'tamad (dipegangi) di dalam ketiganya.
    Seorang ulama Mazhab Hanafi, Damad, dalam kitab Majma' al-Anhâr berkata, "Hukumnya makruh tidak melakukan mabit di Mina pada malam-malam Tasyrik. Jika seseorang bermalam di luar Mina tanpa uzur, maka menurut mazhab kami ia tidak terkena kewajiban apapun."
    Al-'Allamah al-Mirghinani al-Hanafi berkata dalam al-Hidâyah, "Hukumnya makruh tidak melakukan mabit pada malam pelemparan jamrah, karena Nabi saw. melakukan mabit di Mina. Umar r.a. juga menghukum orang yang tidak melakukannya. Jika seseorang dengan sengaja bermalam di tempat lain selain Mina, maka menurut mazhab kami ia tidak terkena tanggungan apapun. Hal ini berbeda dengan mazhab Syafi'i rahimahullah. Diwajibkannya mabit di Mina adalah untuk memudahkan pelemparan pada esok harinya, sehingga ia bukan termasuk manasik haji. Oleh karena itu jika seseorang tidak mabit di Mina maka dia tidak berkewajiban untuk membayar penggantinya (jabr)."
     Kesunahan melakukan mabit juga merupakan pendapat Imam Syafi'i. Syaikh Abu Ishaq asy-Syirazi dalam al-Muhadzdzab ketika memberikan alasan untuk pendapat ini berkata, "Karena itu adalah bermalam, sehingga tidak wajib seperti bermalam pada malam Arafah."
    Dalam al-Inshâf, al-'Allamah al-Mardawi al-Hambali juga menukil salah satu pendapat Imam Ahmad yang mengatakan kesunahannya.
    Pendapat ini juga diperkuat dengan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim) dari Ibnu Umar r.a. bahwa Abbas r.a. meminta izin kepada Nabi saw. untuk bermalam di Mekah selama malam-malam Tasyrik guna menjalankan tugas siqayah (memberi minum jamaah haji). Lalu beliau pun mengizinkannya. Jika mabit merupakan ibadah yang wajib niscaya ia tidak boleh ditinggalkan dengan alasan tugas siqayah, sehingga dapat dipahami bahwa ibadah itu adalah sunah. (Lihat: Fathul Qadîr karya al-Kamal bin Humam, Vol. II, hlm. 501, 502, Darul Fikr).
    Selain itu, mabit tidak dimaksudkan secara definitif, tapi disyariatkan karena tujuan yang logis, yaitu memberikan kemudahan bagi orang yang melaksanakan haji dengan mendekatkan jaraknya dengan tempat pelemparan jamrah. Sehingga, ibadah ini disyariatkan untuk tujuan ibadah lain, bukan untuk mabit itu sendiri. Suatu ibadah yang memiliki karakter seperti ini tidaklah bersifat wajib.
    Jika hal ini ditambah dengan kondisi yang telah disebutkan sebelumnya mengenai keadaan jamaah haji yang sangat letih, sempitnya tempat dan kekhawatiran akan terjangkit penyakit, maka pendapat yang menyunahkan mabit di Mina adalah pendapat yang tepat untuk difatwakan.
    Jika kita katakan bahwa mabit di Mina adalah sunah, maka sebagian ulama berpendapat bahwa orang yang sama sekali tidak mabit di Mina disunahkan juga untuk untuk membayar dam. Dan barang siapa tidak mabit satu malam, maka ia dapat menyempurnakan ibadanya dengan bersedekah satu mud makanan. Ini berdasarkan pendapat kedua Imam Syafi'i yang mengatakan kesunahan mabit di Mina.
    Imam Nawawi berkata di dalam al-Majmû', "Jika kita katakan bahwa mabit adalah wajib, maka orang yang tidak melaksanakannya wajib membayar dam. Namun jika kita katakan bahwa mabit adalah sunah, maka damnya adalah sunah juga."
    Para ulama Mazhab Hanafi dan Imam Ahmad dalam salah satu pendapatnya mengatakan bahwa orang yang tidak mabit di Mina tidak wajib melakukan apa-apa untuk menggantikannya.
    Imam Ahmad juga berkata, "Ia tidak mempunyai tanggungan apa-apa, namun tindakannya itu tidak bagus."
    Bahkan jumhur ulama yang berpendapat bahwa mabit di Mina adalah wajib memberi keringanan bagi orang yang mempunyai uzur syar'i untuk tidak mabit di Mina. Dalam kondisi ini, orang tersebut tidak berdosa dan tidak melakukan suatu kemakruhan, juga tidak mempunyai tanggungan apa-apa. Tentunya sudah dimaklumi bersama bahwa kekhawatiran akan terjangkit penyakit termasuk alasan syar'i yang dipertimbangkan.
    Imam Nawawi berkata dalam kitab al-Mansak, "Barang siapa yang meninggalkan mabit di Muzdalifah atau Mina karena uzur maka ia tidak terkena kewajiban apapun. Uzur itu bermacam-macam… Yang ketiga: orang yang memiliki uzur karena orang lain, seperti… orang yang khawatir atas dirinya atau harta yang dibawanya… Pendapat yang benar adalah mereka boleh tidak melaksanakan mabit. Mereka juga boleh melakukan nafar setelah terbenam matahari dan mereka tidak terkena kewajiban apa-apa." (Al-Mansak, hlm. 399-402, dengan Hâsyiyah al-'Allamah al-Haitami, cet. Dar al-Hadits, Beirut).
    Syaikh al-Khatib asy-Syarbini, salah seorang ulama Mazhab Syafi'i, berkata dalam Mughnil Muhtâj, "Diizinkan untuk tidak melaksanakan mabit dan tidak wajib membayar dam seseorang yang khawatir atas keselamatan diri dan hartanya atau khawatir kehilangan sesuatu yang dia cari, seperti budak yang melarikan diri, atau keselamatan orang sakit jika tidak terus dijaga. Orang seperti ini memiliki uzur, seperti para pengembala dan orang yang ditugaskan melakukan siqâyah (memberi minum jamaah haji). Ia juga boleh melakukan nafar setelah terbenam matahari sebagaimana disimpulkan dari penyerupaan para petugas siqâyah." (Vol. II, hlm. 266, Cet. Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah).
    Imam Ibnu Qudamah dalam al-Mughni mengatakan, "Para pemilik uzur selain para penggembala, seperti orang-orang yang sakit dan orang yang memilik harta dan kawatir atas keselamatan hartanya jika tidak dia jaga dan sebagainya, hukumnya adalah seperti para penggembala dalam kebolehan tidak melakukan mabit. Karena Nabi saw. memberi keringanan kepada orang-orang tersebut sebagai isyarat untuk yang lainnya. Atau dapat kita katakan bahwa hal itu (uzur penggembala) disebutkan dalam nash untuk menegaskan suatu makna yang juga terdapat pada orang lain, sehingga hukumnya disamakan dengan mereka."
    Terdapat keringanan dari syarak untuk para penggembala dan para pemberi minum untuk tidak melakukan mabit di Mina. Imam Malik dalam kitab al-Muwatha` meriwayatkan dari Ashim bin Adi r.a. bahwa Rasulullah saw. memberikan rukhshah kepada para penggembala unta untuk bermalam di luar Mina. Mereka melempar pada hari Nahr, kemudian melempar pada esok harinya, kemudian esok lusa untuk dua hari, kemudian melempar pada hari nafar.
    Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Ibnu Umar r.a., ia berkata, "Abbas bin Abdul Muthalib r.a. meminta izin Rasulullah saw. untuk bermalam di Mekah selama malam-malam Mina untuk melaksanakan tugas siqâyah. Maka beliau pun mengizinkannya."
    Seyogyanya kita tidak hanya berhenti pada nash ini saja, tapi harus lebih memahami maksud syariat dari pernyataan ini. Jika tidak maka kita terjebak pada kejumudan. Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bârî berkata, "Apakah izin ini hanya untuk tugas siqâyah dan Abbas r.a., atau untuk kondisi-kondisi lain yang bisa diterapkan padanya hukum ini? Ada yang mengatakan bahwa hukum ini khusus untuk Abbas, namun ini adalah bentuk kejumudan. Ada juga yang mengatakan bahwa hukum ini mencakup keluarganya. Yang lain mengatakan bahwa kaumnya juga masuk, yaitu Bani Hasyim. Ulama lain mengatakan setiap orang yang memerlukan izin untuk melakukan siqâyah maka ia boleh melakukannya. Lalu ada juga yang mengatakan bahwa hukum ini hanya khusus pada tugas siqâyah yang dilakukan Abbas, sehingga jika tugas ini dilakukan oleh orang lain maka ia tidak diberi keringanan mabit karenanya. Ada juga ulama yang menggeneralisirnya dan inilah pendapat yang benar dalam dua masalah ini (yaitu apakah untuk Abbas saja atau untuk umum, dan apakah untuk siqâyah saja atau yang lainnya juga, penj). Alasan hal itu adalah menyiapkan air bagi orang-orang yang hendak minum. Lalu apakah hal ini khusus untuk tugas memberi minum ataukah mencakup semua hal yang semakna dengannya seperti memberi makan dan lainnya? Ini merupakan dua kemungkinan yang tercakup dalam permasalahan di atas. Para ulama Syafi'iyah menegaskan bahwa status hukum seseorang yang khawatir akan kehilangan hartanya, khawatir tidak mendapatkan apa yang dia cari atau menjaga orang sakit adalah disamakan dengan petugas pemberi minum." (Fathul Bârî , Vol. III, hlm. 579, Cet. Dar al-Ma'rifah).
    Al-Hafizh Abu Umar Ibnu Abdil Barr berkata dalam at-Tamhîd, "Atha' meriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. ia berkata, "Jika seseorang memiliki barang di Mekah dan ia khawatir barang itu dapat hilang jika ia bermalam di Mina, maka tidak apa-apa baginya untuk bermalam di Mekah bersama barangnya itu." Riwayat ini lebih tepat karena ia khawatir dan terpaksa sehingga diberi keringanan."
    Sebagaimana dimaklumi bahwa melaksanakan mabit dan mewajibkan hal itu bagi para jamaah ditambah dengan manasik-manasik lainnya membuat mereka semakin letih dan lemah. Jika semua ini ditambah dengan kondisi saat ini, yaitu tersebarnya wabah penyakit yang mematikan dalam taraf internasional yang mudah menular di tempat-tempat yang padat dan ramai orang, maka tubuh seseorang akan lebih mudah terjangkit oleh penyakit. Dapat dipastikan bahwa orang yang paling rentan dan lemah menghadapi bahaya tersebut adalah kaum wanita, anak-anak, orang sakit dan orang yang lemah. Sehingga, tepatlah jika mereka mengambil hukum orang yang mendapatkan keringanan. Apalagi mabit di Mina bukanlah termasuk rukun haji menurut semua mazhab fikih yang mu'tabar.
    Adapun mewakilkan melempar jamrah bagi orang lemah dan sakit serta kaum wanita maka hal itu dibolehkan. Alasannya adalah seseorang dibolehkan menggantikan orang lain untuk melaksanakan ibadah hajinya secara penuh, maka menggantikan pelemparan jamrah saja tentu lebih dibolehkan.
    Mewakilkan pelemparan jamrah merupakan keringanan bagi para pemiliki uzur, seperti orang sakit dan sejenisnya. Para ulama telah menyebutkan berbagai bentuk keringanan yang tidak dinyatakan secara langsung dalam nash yaitu dengan menggabungkan bentuk-bentuk keringanan itu pada keringanan yang disebutkan dalam nash. Misalnya, orang yang khawatir atas keselamatan diri dan hartanya, orang yang bertugas menjaga orang sakit, orang yang bertugas menyiapkan perlengkapan ibadah haji, dan lain sebagainya.
    Dalam kitab al-Majmû' Imam Nawawi berkata, "Imam Syafi'I dan para ulama Syafi'iyah rahimahumullah berkata, "Orang yang tidak mampu melempar jamrah sendiri karena sakit, tertahan dan sejenisnya boleh mewakilkan kepada orang lain untuk melemparkan untuk dirinya."
    Imam Nawawi juga berkata, "Jika seseorang sakit atau tertahan atau dia memiliki uzur lain, maka ia boleh mewakilkan orang lain untuk melemparkan bagi dirinya."
    Oleh karena itu, dibolehkan bagi orang yang lemah dan sakit serta kaum wanita untuk tidak melakukan mabit di Mina. Mereka juga boleh mewakilkan kepada orang lain untuk melempar jamrah bagi mereka, tanpa adanya kewajiban membayar dam karenanya.
Wallahu subhânahu wa ta'âlâ a'lam.
Sumber : Dar al Iftaa ( Lembaga Fatwa Mesir)
Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tayangan Halaman