ntaan fatwa No. 1267 tahun 2005, yang berisi:
Apa hukum merayakan peringatan maulid Nabi Muhammad saw.?
|
||
|
||
Kelahiran Nabi Muhammad saw. merupakan rahmat Allah yang terus mengalir
bagi seluruh manusia. Alquran menggambarkan keberadaan Nabi Muhammad
saw. sebagai "rahmatan lil 'alamîn" (rahmat bagi semesta alam). Beliau
merupakan rahmat tak bertepi yang mencakup semua sisi kehidupan, baik
tarbiyah (pendidikan), tazkiyah (penyucian hati), pengajaran dan
pemberian hidayah bagi manusia kepada jalan yang lurus. Semua itu
mencakup aspek materi dan immateri dalam kehidupan manusia. Rahmat ini
juga tidak terbatas pada manusia di zaman beliau saja, akan tetapi juga
terus berkelanjutan kepada seluruh manusia sepanjang masa. Allah
berfirman:
"Dan (juga) kepada kaum yang lain dari mereka yang belum berhubungan dengan mereka." (Al-Jumu'ah: 3).
Merayakan peringatan maulid Nabi
Muhammad saw. –sang penghulu dua alam; alam nyata dan alam ghaib,
penutup para nabi dan rasul, nabi pembawa rahmat dan penolong umat—
adalah salah satu amalan yang paling baik dan ibadah yang paling agung.
Karena, perayaan ini merupakan ungkapan rasa gembira dan cinta kepada
beliau, dan kecintaan kepada beliau merupakan salah satu pondasi dari
keimanan. Diriwayatkan dalam hadis shahih bahwa Rasulullah saw.
bersabda:
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُوْنَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلِدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِيْنَ
"Tidak beriman seseorang diantara kalian sehingga menjadikan diriku lebih dicintainya daripada ayahnya, anaknya dan seluruh manusia." (HR. Bukhari).
Ibnu Rajab berkata, "Mencintai Nabi
Muhammad saw. adalah salah satu pondasi keimanan. Kecintaan itu berjalan
beriringan dengan kecintaan kepada Allah 'azza wa jalla. Allah telah
menyebutkan kecintaan kepada Nabi Muhammad saw. berbarengan dengan
kecintaan kepada-Nya. Allah pun mengancam orang yang lebih mendahulukan
kecintaan kepada segala sesuatu yang dicintainya secara alami —seperti
keluarga, harta, tanah air dan lain sebagainya— dari kecintaan kepada
Allah SWT dan Nabi Muhammad saw.. Allah SWT berfirman,
"Katakanlah: "Jika bapak-bapakmu,
anak-anakmu, saudara-saudaramu, isteri-isterimu, kaum keluargamu, harta
kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya
dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah
dan Rasul-Nya serta dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai
Allah mendatangkan keputusan-Nya." (At-Taubah: 24).
Ketika Umar berkata kepada Nabi saw.,
"Wahai Rasulullah, sesungguhnya engkau lebih saya cintai dari segala
sesuatu kecuali dari diriku." Maka Nabi saw. bersabda kepadanya,
لاَ وَالَّذِي نَفْسِيْ بِيَدِهِ، حَتَّى أَكُوْنَ أَحَبَّ إِلَيْكَ مِنْ نَفْسِكَ
"Tidak. Demi Allah, sampai engkau menjadikan diriku lebih kau cintai dari pada dirimu sendiri." Maka Umar pun berkata, "Demi Allah, sesungguhnya sekarang engkau lebih saya cintai dari pada diriku sendiri." Maka Nabi saw. pun bersabda kepadanya, "Sekarang engkau telah mengetahuinya wahai Umar." (HR. Bukhari).
Memperingati maulid Nabi saw.
merupakan bentuk penghormatan kepada beliau. Dan menghormati Nabi saw.
merupakan amalan yang mutlak dianjurkan, karena ia merupakan pondasi dan
asas utama dalam akidah Islam. Allah SWT mengetahui derajat kemuliaan
Nabi-Nya, sehingga Dia memberitahukan kepada seluruh alam mengenai
namanya, pengutusannya serta derajat dan martabatnya. Seluruh semesta
pun senantiasa bergembira dan berbahagia dengan keberadaan beliau
sebagai cahaya, kelapangan, hujjah serta nikmat bagi seluruh makhluk
Allah.
Para salaf saleh kita, sejak abad
keempat dan kelima hijriyah, telah memberi contoh untuk merayakan
peringatan maulid Nabi saw.. Mereka menghidupkan malam maulidnya dengan
berbagai macam bentuk ibadah, seperti memberi jamuan makan, melantunkan
ayat-ayat Alquran, membaca zikir serta mendendangkan syair-syair dan
bait-bait pujian untuk beliau. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh
banyak ahli sejarah, seperti al-Hafiz Ibnu Jauzi, al-Hafiz Ibnu Katsir,
al-Hafiz Ibnu Dihyah al-Andalusi, al-Hafiz Ibnu Hajar dan penutup para huffâzh, al-Hafiz Jalaluddin as-Suyuti rahimahumullah.
Bahkan, beberapa orang ulama dan ahli
fikih telah menyusun kitab-kitab mengenai anjuran memperingati maulid
Nabi saw. dengan menyebutkan dalil-dalilnya yang shahih. Sehingga dalam
diri orang yang mempunyai akal, pemahaman dan pikiran yang jernih, tidak
akan ada sikap pengingkaran terhadap perayaan maulid yang telah
dilakukan oleh para salaf saleh kita itu.
Ibnu al-Hajj, dalam kitabnya al-Madkhal,
secara panjang lebar menyebutkan keutamaan perayaan maulid Nabi ini.
Dia memberikan penjelasan yang membuat lega hati kaum muslimin. Padahal,
bukunya itu dia tulis dengan tujuan menyebutkan perbuatan-perbuatan
bid'ah tercela yang tidak masuk dalam kerangka umum dalil-dalil syariat.
Imam Suyuthi juga menulis sebuah risalah dalam masalah ini dengan judul
Husnul Maqshid fî 'Amalil Maulid.
Kata ihtifâl (merayakan), dalam bahasa Arab, berasal dari kata hafala, yahfilu haflan, wa hufulan yang artinya berkumpul. Seperti dalam kalimat hafala al-labanu fi adh-dhar' (air susu terkumpul di ambing susu binatang). Sedangkan kata kerja tahaffala dan ihtafala berarti ijtama'a (berkumpul). Kata kerja hafala masuk dalam bab kata kerja dharaba. Ihtafalû berarti ijtama'û wa ihtasyadû (mereka berkumpul). Kalimat: "Wa'indahu hafl min an-nâs", maksudnya terdapat sekelompok orang di tempatnya. Asal kata ihtifâl ini adalah berbentuk nomina (mashdar). Mahfil al-qaum berarti tempat perayaan dan berkumpulnya suatu kaum. Kalimat hafalahu, berarti mengajaknya sehingga dia ikut berpesta dan merayakan. Kalimat hafala al-amra, berarti memperhatikan suatu perkara. Disebutkan juga: laa tahfil bihi, "jangan mempedulikannya".
Sedangkan maksud ihtifâl
(perayaan) dalam konteks ini tidak jauh berbeda dengan makna bahasanya.
Karena maksud dari perayaan maulid Nabi saw. adalah berkumpulnya
orang-orang untuk berzikir, mendendangkan nasyid pujian untuknya,
membuat jamuan makan sebagai sedekah karena Allah, mengungkapkan rasa
kecintaan kepada Nabi saw. serta menyatakan rasa bahagia dan gembira
kita dengan hari kelahirannya.
Masuk juga dalam hal ini kebiasaan
masyarakat yang membeli makanan ringan dan menghadiahkannya kepada
orang-orang ketika Maulid Nabi. Saling memberi hadiah sendiri merupakan
perbuatan yang dibolehkan, tidak ada dalil yang melarang untuk
melakukannya dalam waktu-waktu tertentu. Maka jika ia dibarengi dengan
maksud mulia, seperti membuat gembira keluarga dan menyambung tali
silatruahmi dengan kerabat, maka perbuatan tersebut menjadi dianjurkan
dan disunahkan. Lalu jika hal itu merupakan ungkapan rasa bahagia karena
kelahiran Nabi saw., maka hal itu lebih dimasyru'kan dan dianjurkan,
karena (wasilah) sarana mempunyai hukum tujuan. Sedangkan pendapat yang mengharamkannya merupakan bentuk sikap keras kepala yang tercela.
Ada suatu hal yang membuat sebagian
orang menjadi ragu-ragu untuk merayakan peringatan maulid ini, yaitu
ketiadaan perayaan semacam ini pada masa-masa awal Islam yang istimewa (al-qurûn al-ûlâ al-mufadhdhalah).
Argumen ini, demi Allah, bukanlah alasan yang tepat untuk melarang
perayaan itu. Karena, tidak ada seorang pun yang meragukan kecintaan
mereka radhiyallahu 'anhum terhadap Nabi saw.. Namun, kecintaan
ini mempunyai cara dan bentuk pengungkapan yang bermacam-macam. Dan
cara-cara yang berbeda-beda itu sama sekali tidak dilarang untuk
dilakukan. Karena, cara-cara tersebut bukanlah suatu bentuk ibadah jika
dilihat dari inti pelaksanaannya. Berbahagia dan bergembira dengan
adanya Nabi saw. merupakan ibadah, tapi cara pengungkapan kebahagiaan
itu hanya merupakan wasilah (sarana) yang diperbolehkan untuk
digunakan. Setiap orang dapat memilih cara yang paling sesuai dengan
dirinya untuk mengungkapkan hal itu.
Dalam Sunnah Nabi juga terdapat
riwayat yang menunjukkan perayaan para sahabat terhadap Nabi saw. dengan
adanya iqrâr (persetujuan) dan izin dari beliau langsung. Diriwayatkan
dari Buraidah r.a., dia berkata, "Pada suatu ketika Rasulullah saw.
pergi berperang. Lalu ketika pulang, seorang budak wanita hitam
mendatangi beliau lalu berkata, "Wahai Rasulullah, saya telah bernazar
jika Allah membawamu pulang ke Madinah dalam keadaan selamat maka saya
akan memainkan rebana dan bernyanyi di hadapanmu. Maka Rasulullah saw.
bersabda, "Jika engkau memang telah bernazar untuk memainkan rebana,
maka lakukanlah. Namun jika engkau tidak bernazar untuk melakukannya,
maka engkau tidak perlu melakukannya". Hadis ini diriwayatkan oleh Imam
Ahmad dan Tirmidzi, dan dia berkata, "Ini adalah hadis hasan shahih
gharib". Jika memainkan rebana sebagai ungkapan rasa bahagia karena
kedatangan Nabi saw. dari peperangan merupakan hal yang dimasyru'kan
yang diakui oleh Nabi saw. dan beliau mengizinkan orang yang bernazar
dengannya untuk melakukannya, maka mengungkapkan rasa bahagia karena
kedatangan beliau ke dunia –dengan rebana atau hal lain yang dibolehkan—
tentu lebih dimasyru'kan dan lebih dianjurkan.
Jika Allah saja meringankan azab Abu
Lahab di neraka dengan memberinya minuman dari lubang kecil di telapak
tangannya setiap hari Senin karena kegembiraannya atas kelahiran manusia
terbaik –yaitu dengan memerdekakan budaknya yang bernama Tsuwaibah
karena telah menyampaikan kabar gembira kepadanya atas kelahiran Nabi
saw., padahal Abu Lahab adalah orang yang paling kafir, sering menentang
dan memerangi Allah dan Rasul-Nya—, maka sudah barang tentu kaum
mukminin lebih berhak mendapatkan pahala karena kegembiraan mereka atas
kelahiran beliau sebagai cahaya yang menyinari semesta. Rasulullah saw.
sendiri telah mengajarkan kepada kita bagaimana cara bersyukur kepada
Allah atas kelahirannya itu. Dalam hadis shahih yang diriwayatkan dari
Abu Qatadah r.a., bahwa Nabi saw. berpuasa pada hari Senin dan bersabda,
ذَلِكَ يَوْمٌ وُلِدْتُ فِيْهِ
"Itu adalah hari dimana aku dilahirkan." (HR. Muslim, dari hadis Abu Qatadah).
Ini merupakan bentuk rasa syukur
beliau atas karunia Allah kepadanya dan kepada umatnya. Sehingga, sudah
sepatutnya umat ini juga mengikuti beliau untuk bersyukur kepada Allah
SWT atas karunia dan nikmat diutusnya beliau dengan segala bentuk cara
bersyukur. Bentuk bersyukur itu dapat diungkapkan dengan memberikan
jamuan makan, mendendangkan pujian-pujian, berkumpul untuk berzikir,
berpuasa, melakukan salat dan lain sebagainya.
Ash-Shalihi, dalam kitab sejarahnya, Subul al-Hudâ wa ar-Rasyâd fî Hadyi Khair al-'Ibâd,
menukil dari seorang saleh pada zamannya, bahwa dia bermimpi bertemu
dengan Nabi saw.. Orang itu mengadu kepada beliau bahwa ada sebagian
orang yang mengaku berilmu mengatakan bahwa perayaan maulid Nabi saw.
adalah bid'ah. Maka Nabi saw. bersabda kepadanya, "Barang siapa yang
bergembira karena kami, maka kami akan bergembira karenanya."
Demikian juga hukum merayakan
kelahiran para Ahlul Bait dan para wali Allah, serta menghidupkan
perayaan mengenang mereka dengan melakukan berbagai ketaatan.
Sesunggunya semua itu adalah hal yang dianjurkan secara syarak, karena
acara-acara tersebut mengandung upaya untuk meniru dan menauladani
mereka. Terdapat perintah syarak untuk senantiasa mengingat dan
mengenang para nabi dan para orang saleh. Allah berfirman,
"Ceritakanlah (hai Muhammad) kisah Ibrahim di dalam Al Kitab (Alquran) ini." (Maryam: 41).
Dan firman Allah,
"Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka), kisah Musa di dalam Al Kitab (Alquran) ini." (Maryam: 51).
Perintah ini tidak terdatas untuk
mengenang para nabi, namun masuk di dalamnya juga orang-orang saleh. Hal
ini karena Allah berfirman,
"Dan ceritakanlah (kisah) Maryam di dalam Alquran." (Maryam: 16).
Karena merupakan kesepakatan
muhaqqiqin, Maryam As. bukanlah seorang nabi melainkan seorang
shiddiqah. Demikian pula terdapat perintah untuk mengingatkan hari-hari
Allah, yaitu dalam firman-Nya,
"Dan ingatkanlah mereka kepada hari-hari Allah". (Ibrahim: 5).
Termasuk hari-hari Allah adalah hari
kelahiran dan termasuk hari-hari Allah adalah hari-hari kelahiran dan
hari-hari kemenangan. Oleh karena itu Rasulullah saw. berpuasa pada hari
Senin setiap minggunya sebagai rasa syukur kepada Allah atas nikmat
penciptaan juga sebagai perayaan bagi hari kelahiran beliau, sebagaimana
telah disebutkan dalam hadis riwayat Abu Qatadah al-Anshari dalam
shahih Muslim. Sebagaimana Rasulullah saw. juga berpuasa pada hari
Asyura (tanggal 10 Muharram) dan memerintahkan umat beliau untuk
berpuasa sebagai rasa syukur, bahagia dan perayaan terhadap keselamatan
Nabi Musa a.s.. Dan Allah telah memuliakan hari kelahiran di dalam
Kitab-Nya dan melalui ucapan para nabi-Nya. Allah berfirman,
"Kesejahteraan atas dirinya pada hari ia dilahirkan." (Maryam: 15).
Dan Allah berfirman melalui ucapan Isa al-Masih a.s.,
"Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari aku dilahirkan." (Maryam: 33).
Hal ini karena dalam hari kelahiran
terwujud kenikmatan penciptaan yang merupakan sebab dari diperolehnya
semua nikmat yang diperoleh manusia setelahnya.
Oleh karena itu, mengenang hari
kelahiran dan mengingatkan orang lain tentang hari kelahiran merupakan
pintu bagi orang-orang untuk bersyukur kepada nikmat Allah. Maka tidak
apa-apa menentukan hari tertentu guna mengadakan mengingat para wali
Allah.
Kemasyru'iatan acara semacam ini
tidak rusak karena terjadinya hal-hal yang diharamkan. Akan tetapi
acara-acara seperti ini tetap dilaksanakan dengan menolak terjadinya
kemungkaran-kemungkaran. Orang-orang yang merayakannya juga perlu
diingatkan bahwa kemungkaran-kemungkaran tersebut bertentangan dengan
tujuan utama acara-acara mulia tersebut.
Wallahu subhânahu wa ta'âlâ a'lam.
|
Sumber : Dar al Iftaa ( Lembaga Fatwa Mesir)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar