Menyumbang Peralatan Medis dari Harta Zakat

JIKA TERDAPAT KESALAHAN/KEKELIRUAN DALAM ARTIKEL INI
DAPAT MENGHUBUNGI KAMI DENGAN CARA MENINGGALKAN PESAN... TERIMAKASIH

Memperhatikan permohonan fatwa No. 316 tahun 2008, yang berisi:
    Salah seorang dermawan ingin menyumbangkan seperangkat peralatan medis ke sebuah rumah sakit sosial. Dia menanyakan apakah boleh menjadikan biaya perangkat medis tersebut sebagai zakat dari harta yang dia miliki?
Jawaban : Dewan Fatwa
    Hukum dasar dalam zakat adalah tidak boleh memberikannya kecuali kepada kedelapan ashnaf zakat yang disebutkan oleh Allah SWT dalam Alquran,
    "Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah. Dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana." (At-Taubah: 60).
    Dapat dipahami dari sini bahwa zakat hanya diberikan kepada manusia, bukan digunakan untuk bangunan atau hal-hal yang berkaitan dengannya.
    Para ulama pun mensyaratkan adanya perpindahan kepemilikan harta zakat tersebut kepada orang yang berhak, kecuali jika hal itu sulit dilakukan, seperti dalam zakat untuk golongan fi sabilillah. Sejumlah ulama membatasi zakat untuk golongan fi sabilillah ini pada aktivitas jihad, menuntut ilmu dan dakwah. Karena dakwah sebagaimana dapat dilakukan dengan senjata, dapat juga dilakukan dengan kata-kata. Hal ini sesuai dengan firman Allah,
    "Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah terhadap mereka dengan Alquran dengan jihad yang besar." (Al-Furqân: 52).
    Hanya saja, sebagian ulama ada yang menggunakan makna fi sabilillah untuk memperluas cakupan penyaluran zakat jika diperlukan. Perluasan makna itu mencakup semua bentuk ibadah, amal kebajikan dan kegiatan yang memberikan maslahat kepada masyarakat, meskipun tidak memungkinkan adanya perpindahan kepemilikan di dalamnya.
    Imam Kasani dalam Badâi' ash-Shanâi' berkata, "Adapun firman Allah, "Untuk jalan Allah" (fi sabîlillah), maka maksudnya adalah seluruh amal ibadah, sehingga masuk di dalamnya semua orang yang berupaya melakukan ketaatan kepada Allah dan melakukan kebajikan selama dia membutuhkannya."
    Imam Fakhrurrazi dalam tafsirnya mengatakan, "Ketahuilah makna zahir dari ayat: "untuk jalan Allah", tidak mengharuskan pembatasan pada orang-orang yang berperang saja. Karena itulah, al-Qaffal menukil dari beberapa fuqaha tentang kebolehan membayarkan zakat untuk seluruh bentuk kebajikan, seperti membeli kafan untuk orang meninggal dunia, mendirikan benteng dan membangun masjid. Karena lafal "untuk jalan Allah" bersifat umum sehingga mencakup semua itu."
    Mazhab Syiah Imamiyah pun mempunyai pendapat yang sama dengan pendapat di atas. Sebagian ulama Syiah Zaidiyah juga ada yang memilih keumuman makna ayat tersebut.
    Oleh karena itu, pendapat ini dapat diambil jika diperlukan, yaitu jika tidak terdapat dana sedekah maupun sumbangan untuk rumah sakit-rumah sakit sosial atau fasilitas umum lainnya yang memberikan manfaat besar kepada kaum muslimin. Hal ini dengan catatan bahwa memenuhi kebutuhan kaum fakir miskin berupa sandang, pangan, tempat tinggal, biaya hidup, pendidikan dan seluruh kebutuhan mereka lebih diutamakan dan harus dijadikan sebagai prioritas. Hal ini guna merealisasikan hikmah pensyariatan zakat sebagaimana yang digambarkan Rasulullah saw. dalam sabdanya,
تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ فتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ
    "(Zakat) diambil dari orang-orang kaya mereka (kaum muslimin) dan dikembalikan kepada para fakir miskin dari mereka."
    Mendirikan rumah sakit sosial dan membelikan perangkat medis, meskipun pada akhirnya akan kembali untuk kepentingan kaum fakir miskin, hanya saja hal itu tidak memenuhi syarat berpindahnya kepemilikan harta zakat tersebut secara khusus kepada kaum fakir, sedangkan hal ini merupakan tujuan utama dari zakat ini. Karena itulah, kebolehan hal itu mungkin dapat diterima sebagai sebuah pengecualian karena adanya keperluan.
    Jika kita mengikuti pendapat ini maka kepemilikan fasilitas umum, rumah sakit, peralatan medis dan lainnya, adalah di tangan kaum muslimin secara keseluruhan, sebagaimana halnya jalan umum dan jembatan. Hal ini tidak menghalangi orang-orang non muslim untuk memanfaatkan fasilitas– fasilitas tersebut. Hal ini pun tidak perlu dipertentangkan dengan ketentuan bahwa zakat hanya diberikan untuk kaum muslimin. Karena, memanfaatkan suatu benda setelah benda itu dibuat, berbeda dengan proses untuk memilikinya. Hal ini seperti seorang muslim yang menerima zakat, lalu dia mengundang orang non muslim untuk menikmatinya. Para ulama sepakat atas kebolehan hal ini. Dalam kaidah fikih hal ini masuk dalam kaidah: Yajûzu fid dawâm mâ lâ yajûzu fil ibtidâ` (Sesuatu yang dibolehkan setelah terjadinya, namun tidak dibolehkan pada permulaannya).
    Dengan demikian, berdasarkan pertanyaan yang diajukan, selama rumah sakit itu membutuhkan peralatan medis tersebut, sedang dia tidak mempunyai dana, baik yang berasal dari sumbangan sosial maupun sedekah yang dapat digunakan untuk membelinya, maka tidak ada halangan secara syarak untuk menerima sumbangan peralatan medis tersebut sebagai zakat dari penyumbang. Pemberian peralatan tersebut dianggap sah sebagai zakat hartanya sesuai dengan biaya yang dikeluarkan. Hal ini didasarkan pada pendapat yang telah dijelaskan di atas. Meskipun demikian, yang terbaik adalah menjadikan bantuan itu sebagai wakaf atau amal jariyah yang pahalanya akan kembali kepada orang yang mewakafkan sampai kinerja peralatan medis tersebut berhenti secara penuh dan tidak dapat dimanfaatkan lagi. Dalam hal ini rumah sakit itu menjadi pengelola harta wakaf yang mengatur pemanfaatan peralatan tersebut sesuai dengan kemaslahatan pasien dan pahala bagi pemberi wakaf.
    Wallahu subhânahu wa ta'âlâ a'lam.
Sumber : Dar al Iftaa ( Lembaga Fatwa Mesir)
Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tayangan Halaman