Mengulangi Akad Nikah di Masjid setelah Dilakukan di Rumah

JIKA TERDAPAT KESALAHAN/KEKELIRUAN DALAM ARTIKEL INI
DAPAT MENGHUBUNGI KAMI DENGAN CARA MENINGGALKAN PESAN... TERIMAKASIH

honan fatwa No. 1425 yang berisi:
    Saya menikahkan sepasang pengantin di rumah salah seorang mempelai dengan dihadiri keluarga mereka dan beberapa undangan lainnya. Setelah akad dilaksanakan, kami melakukan walimah di sebuah ruang pertemuan di masjid sambil mengulangi prosesi akad nikah di hadapan para hadirin. Lalu sebagian hadirin ada yang memprotes hal itu dan mengatakan bahwa hal itu tidak pernah dilakukan oleh Nabi saw.. Apa hukum masalah ini?
Jawaban : Dewan Fatwa
    Hakikat shigat akad nikah sebenarnya adalah kalimat berita (al-khabar) bukan kalimat insyâ` (kalimat yang tidak berbentuk informasi, seperti kalimat perintah dan kalimat tanya). Namun, kita perlu mengalihkan maknanya ke dalam makna kalimat insyâ` dengan tujuan agar akad tersebut berlangsung secara sempurna dan kata-kata yang diucapkan menunjukkan keadaan yang sebenarnya, tanpa mengandung kemungkinan benar atau salah sebagai suatu sifat yang tidak dapat dilepaskan dari sebuah berita. Ini merupakan tujuan penting dan benar yang menuntut pembatalan makna kalimat berita dalam shigat akad dan digantikan dengan makna kalimat insyâ`. 
    Jika shigat itu kemudian diucapkan kembali dalam bentuk kalimat berita sebagai bentuk asli dari shigat itu, maka dari sisi bahasa hal itu adalah benar dan dari sisi hukum syariat hal itu dibolehkan. Hal itu seperti perkataan seorang wali kepada menantunya tanpa bermaksud membuat akad baru, "Aku nikahkan dirimu dengan anak perempuanku," lalu menantunya menjawab, "Saya terima," maka sepertinya wali tersebut mengatakan, "Saya telah menikahkan dirimu sejak dua tahun lalu," dan menantunya menjawab, "Saya telah menerimanya ketika itu." Perbuatan ini tidak apa-apa dilakukan dalam pandangan syariah.
    Penolakan terhadap pengulangan prosesi pernikahan tersebut dengan alasan tidak adanya riwayat dari Nabi saw. tentang hal itu tidaklah dapat diterima. Karena, tidak adanya riwayat dari Nabi saw. mengenai hal tersebut tidak menunjukkan bahwa beliau tidak pernah melakukannya sama sekali. Bahkan seandainya pun beliau tidak pernah melakukannya, bukan berarti hal itu tidak boleh dilakukan.
    Orang yang menolak pengulangan prosesi tersebut menggunakan at-tark (tidak adanya perbuatan Nabi saw.) sebagai dalil. Padahal penggunaan at-tark sebagai dalil tidak dapat diterima sebagaimana dijelaskan dalam ilmu Ushul Fikih.
    Dengan demikian, berdasarkan pertanyaan di atas, apa yang Anda lakukan adalah benar dan dibolehkan dalam syariat.
Wallahu subhânahu wa ta'âlâ a'lam.

Sumber : Dar al Iftaa ( Lembaga Fatwa Mesir)
Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tayangan Halaman