ntaan fatwa No. 1104 tahun 2007, yang berisi:
Apakah boleh menggunakan pengeras
suara di masjid ketika pelaksanaan salat-salat jahr (dengan bacaan
keras) dan ketika pengajian harian agar para penduduk sekitar dapat
mendengarnya? Alasan dilakukannya hal ini adalah karena ia merupakan
ajakan kepada kebaikan dan untuk memperdengarkan firman-firman Allah
kepada masyarakat. Perlu kami sampaikan bahwa suara bacaan salat yang
berasal dari masjid tersebut dapat terdengar juga oleh para jamaah salat
di masjid lain yang berada di desa itu. Apakah hal ini bisa dikuatkan
dengan sabda Rasulullah saw., "Tidaklah Allah lebih mendengarkan
sesuatu melebihi kepada bacaan seorang nabi yang bersuara indah yang
membaca Alquran dengan keras."
|
||
|
||
Perbuatan dalam pertanyaan adalah diharamkan, bahkan hal itu termasuk
perbuatan yang dapat menghalangi seseorang dari jalan Allah. Allah
berfirman,
"Dan orang-orang yang menyakiti
orang-orang yang mukmin dan mukminat tanpa ada kesalahan yang mereka
perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang
nyata". (Al-Ahzâb: 58).
Ahmad, Thabrani dan Ibnu Majah meriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda,
لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرارَ
"Tidak boleh membuat kemudaratan untuk diri sendiri ataupun untuk orang lain."
Diriwayatkan dalam hadis Jabir r.a. bahwa Nabi saw. bersabda,
اَلْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُوْنَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ
"Orang muslim adalah orang yang kaum muslimin lainnya selamat dari lisan dan tangannya." (HR. Muslim).
Nas-nas ini menjelaskan larangan
menyakiti orang lain dan memperingatkan agar tidak berbuat
sewenang-wenang terhadap mereka, baik dengan perkataan maupun perbuatan.
Jika perbuatan yang menyakiti itu dilakukan terhadap para tetangga,
maka dosanya menjadi lebih besar. Hal itu didasarkan pada nash-nash yang
menjelaskan pentingnya berbuat baik terhadap tetangga. Seperti firman
Allah SWT,
"Dan berbuat baiklah kepada kepada
dua orang ibu-bapa, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin,
tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh dan teman sejawat". (An-Nisâ`: 36).
Begitu juga sabda Rasulullah saw.,
وَاللهِ لاَ يُؤْمِنُ، وَاللهِ لاَ يُؤْمِنُ،
وَاللهِ لاَ يُؤْمِنُ، قِيْلَ: مَنْ يَا رَسُوْلُ اللهِ؟ قَالَ: اَلَّذِيْ
لاَ يَأمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ
"Demi Allah tidak beriman, demi
Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman." "Siapa dia wahai
Rasulullah?" tanya seorang sahabat. Beliau menjawab, "Orang yang
tetangganya tidak selamat dari kejahatannya."
Mengeraskan suara dengan alat-alat
pengeras suara termasuk dari perbuatan yang mengganggu dan sikap
sewenang-wenang terhadap sesama manusia. Hal itu tidak dapat dimaafkan
meskipun suara yang disiarkan itu adalah ayat-ayat Alquran, nasehat
ataupun pengajian agama. Justru, hal itu bisa berakibat lebih buruk.
Suara keras yang membuat resah masyarakat dan mengganggu istirahat
mereka itu justru dapat membuat mereka marah dan membenci orang yang
melakukannya, tempat sumber suara itu (masjid) dan suara itu sendiri
(Alquran dan nasehat). Sehingga hal itu dapat membuat mereka terjerumus
ke dalam maksiat karena kebencian mereka tersebut.
Allah SWT telah melarang menghina
tuhan-tuhan kaum musyrikin –dan hal ini merupakan salah satu pondasi
keimanan dan akidah Islam—, karena khawatir mereka akan mencela Allah
dengan lebih kasar. Allah berfirman,
"Dan janganlah kalian memaki
sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti
akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan". (Al-An'âm: 108).
Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar dari Nabi saw., bahwa beliau bersabda,
مِنَ الْكَبَائِرِ شَتْمُ الرَّجُلِ وَالِدَيْهِ
"Termasuk dosa besar seorang lelaki yang menghina kedua orang tuanya."
Ada yang bertanya, "Wahai Rasulullah, adakah seseorang yang menghina kedua orang tuanya?" Beliau menjawab,
نَعَمْ؛ يَسُبُّ أَبَا الرَّجُلِ فيَسُبُّ أَبَاهُ وَيَسُبُّ أُمَّهُ فيَسُبُّ أُمَّهُ
"Ya. Dia menghina bapak orang lain
sehingga orang itu menghina bapaknya. Dia menghina ibu orang lain
sehingga orang itu menghina ibunya." (HR. Bukhari dan Muslim).
Mengeraskan suara dengan cara ini juga dapat mengganggu para jamaah salat di masjid lain. Allah berfirman,
"Dan janganlah kamu mengeraskan
suaramu dalam salatmu dan janganlah pula merendahkannya dan carilah
jalan tengah di antara kedua itu". (Al-Isrâ`: 110).
Diriwayatkan dari Abu Hazim at-Tammar
dari Bayadhi r.a., bahwa Rasulullah saw. mendatangi orang-orang yang
sedang melakukan salat dengan suara yang keras. Maka beliau bersabda,
إِنَّ الْمُصَلِّيَ يُناجِي رَبَّهُ فَلْيَنْظُرْ مَاذَا يُنَاجِيْهِ بِهِ، وَلاَ يَجْهَرُ بَعْضُكُمْ عَلَى بَعْضٍ فِي الْقُرْآنِ
"Sesungguhnya orang yang salat itu
melakukan munajat kepada Tuhannya, maka hendaknya ia memperhatikan
dengan apa ia bermunajat kepada-Nya. Dan hendaknya kalian tidak saling
mengeraskan bacaan dengan Alquran." (HR. Nasa`i dan lainnya).
Adapun sabda Rasulullah saw. yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a.,
مَا أَذِنَ اللهُ لِشَيْءٍ مَا أَذِنَ لِنَبِيٍّ حَسَنِ الصَّوْتِ يَتَغَنَّى بِالْقُرْآنِ يَجْهَرُ بِهِ
"Tidaklah Allah lebih mendengarkan
sesuatu melebihi kepada bacaan seorang nabi yang bersuara indah yang
mendendangkan Alquran dengan keras." (HR. Bukhari dan Muslim).
Ibnu Baththal, dalam Syarh Bukhâri mengatakan, "Rasulullah saw. bersabda, "Hiasilah Alquran dengan suara kalian."
Dalam hadis ini Rasulullah saw. memerintahkan agar membaca Alquran
dengan nada yang membuat bacaan itu enak didengar, bukan nada yang tidak
enak didengar yang mengganggu orang yang mendengarnya. Allah telah
berfirman, "Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai".
(Luqmân: 19). Suara keledai itu jelek karena sangat keras –wallahu
a'lam— dan mengganggu pendengaran. Begitu pula, diikutinya hadis di atas
dengan hadis: "Tidaklah Allah lebih mendengarkan sesuatu melebihi
kepada bacaan seorang nabi yang bersuara indah yang membaca Alquran
dengan keras."
Hal ini memperkuat pendapat kami itu
dan menjadi dalil baginya. Hadis ini telah disebutkan dalam bab
Keutamaan Alquran. Tapi di sini kami akan menerangkannya kembali agar
lebih jelas. Maksud dari kalimat: "membacanya dengan keras" adalah tidak
membaca huruf-huruf Alquran itu seperti orang bercerita sebuah kisah.
Akan tetapi membacanya dengan cara membuat nikmat telinga orang yang
mendengarkan dengan suara yang merdu dan dengan melakukan tarji'
(melantunkannya). Bukan dengan mengeraskan suara yang membuat telinga
menjadi terganggu. Hal itu sebagaimana firman Allah kepada Nabi saw., "Dan
janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam salatmu dan janganlah pula
merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua itu". (Al-Isrâ`: 110). Dan firman-Nya, "Dan janganlah kamu berkata padanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebagian kamu terhadap sebagian yang lain." (Al-Hujurât: 2). Dan firman-Nya, "Supaya tidak hapus (pahala) amalanmu sedangkan kamu tidak menyadari."
(Al-Hujurât: 2). Firman Allah ini adalah dalil bahwa berbicara dengan
orang lain dengan suara yang lebih keras dari suara orang lain tersebut
adalah perbuatan yang mengganggunya. Dan perbuatan yang mengganggau
adalah dosa." Demikian penjelasan Ibnu Baththal.
Dengan demikian, menggunakan hadis di
atas sebagai dalil kebolehan mengganggu ketenangan masyarakat dengan
mengeraskan suara adalah tidak tepat. Karena maksud dari hadis ini
adalah anjuran agar para nabi a.s. membaca kitab yang Allah turunkan
kepada mereka dengan suara yang indah. Dan anjuran agar mereka
menjadikan kitab itu sebagai sesuatu yang membuat mereka merasa tidak
lagi memerlukan ilmu-ilmu yang lain. Serta agar mereka tidak malu-malu
untuk mendakwahkan isi kitab kepada kaum mereka. Bukan untuk menjadikan
kitab-kitab suci itu alat untuk menyakiti dan berbuat tidak baik
terhadap makhluk.
Wallahu subhânahu wa ta'âlâ a'lam.
|
Home »
FATWA HUKUM ISLAM
» Menggunakan Pengeras Suara Saat Pelaksanaan Salat dan Pengajian
Menggunakan Pengeras Suara Saat Pelaksanaan Salat dan Pengajian
JIKA TERDAPAT KESALAHAN/KEKELIRUAN DALAM ARTIKEL INI
DAPAT MENGHUBUNGI KAMI DENGAN CARA MENINGGALKAN PESAN... TERIMAKASIH
DAPAT MENGHUBUNGI KAMI DENGAN CARA MENINGGALKAN PESAN... TERIMAKASIH
Tidak ada komentar:
Posting Komentar