honan fatwa No. 794 tahun 2007 yang berisi:
Di Universitas East Anglia, Norwich,
Inggris, dibentuk sebuah sistem parlementer untuk masjid universitas
itu. Di dalamnya berkumpul beberapa wanita keturunan Arab dan Inggris.
Keputusan dalam majlis parlemen tersebut dilakukan melalui pemberian
suara (voting). Apakah perempuan dibolehkan memberikan suaranya dalam
majlis ini? Ataukah pemberian suara hanya dikhususkan bagi laki-laki?
|
||
Agama Islam menyetarakan antara hak dan kewajiban lelaki dan perempuan,
kecuali dalam beberapa hal yang berkaitan dengan sifat alami
masing-masing. Islam telah memberikan kepada kaum wanita hak-hak mereka
secara penuh dan mengangkat martabat mereka. Islam juga memberi wanita
hak penuh untuk memiliki harta, serta mengakui secara hukum semua bentuk
tindakannya terhadap hak-haknya.
Kaum wanita dibolehkan menjalankan
seluruh hak sipilnya selama hal itu tidak bertentangan dengan
sifat-sifat alamiahnya sebagai seorang perempuan. Di antara hak itu
adalah kesetaraannya dengan kaum laki-laki dalam mengambil dan
memberikan pendapat, baik yang berkaitan dengan masalah umum maupun
pribadi, dan baik yang berkaitan dengan urusan agama maupun bukan.
Banyak dalil yang menjelaskan hal itu, di antaranya firman Allah,
"Dan orang-orang yang beriman, lelaki
dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi
sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf,
mencegah dari yang munkar." (At-Taubah: 71).
Ayat di atas tidak membedakan antara
kaum mukminin laki-laki maupun perempuan dalam dua perbuatan penting,
yaitu amar makruf dan nahi mungkar. Memberikan suara adalah salah satu
bentuk nasehat yang masuk dalam lingkup amar makruf dan nahi mungkar.
Selain itu, kisah para sahabiyat yang
memberikan sumpah setia (bai'ah) kepada Rasulullah saw. untuk menolong
agama. Alquran telah mengisyaratkan hal itu dalam firman Allah,
"Hai Nabi, apabila datang kepadamu
perempuan-perempuan yang beriman untuk mengadakan janji setia, bahwa
mereka tiada akan menyekutukan Allah, tidak akan mencuri, tidak akan
berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat dusta yang
mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka dan tidak akan
mendurhakaimu dalam urusan yang baik, maka terimalah janji setia mereka
dan mohonkanlah ampunan kepada Allah untuk mereka. Sesungguhnya Allah
maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Al-Mumtahanah: 12).
Nabi saw. juga pernah meminta
pendapat istrinya, Ummu Salamah r.a., ketika peristiwa Hudaibiyah. Asma'
binti Abu Bakar radhiyallahu 'anhumâ juga pernah memberi nasehat kepada
anaknya, Abdullah bin Zubair, untuk berjuang demi agama Islam.
Di samping itu, pelarangan kaum
wanita untuk memberikan suara berarti memerintahkan mereka untuk
menyembunyikan ilmu mereka dan menghalangi mereka dalam memberikan
nasehat yang keduanya dilarang dan dicela dalam syariat Islam serta
termasuk tindakan buruk dalam pandangan akal. Allah berfirman mengenai
akibat menyembunyikan ilmu,
"Dan (ingatlah), ketika Allah
mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi kitab (yaitu):
"Hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu kepada manusia, dan jangan
kamu menyembunyikannya," lalu mereka melemparkan janji itu ke belakang
punggung mereka dan mereka menukarnya dengan harga yang sedikit. Amatlah
buruknya tukaran yang mereka terima." (Âli 'Imrân: 187).
Sudah maklum bersama bahwa
orang-orang yang diberi kitab adalah orang-orang yang dibebani tanggung
jawab syariat (mukallaf), baik laki-laki maupun perempuan. Tidak ada
seorangpun yang mengatakan bahwa orang-orang mukallaf itu adalah kaum
lelaki saja. Memang, ayat ini menggunakan isim maushûl (kata sambung)
"alladzîna" yang menunjukkan jenis maskulin, tapi hal itu merupakan
metode yang umum dipakai oleh teks Alquran dan hadis ketika
menggabungkan antara kata ganti lelaki dengan wanita.
Nabi saw. juga bersabda,
مَنْ سُئِلَ عَنْ عِلْمٍ فَكَتَمَهُ أَلْجَمَهُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِلِجَامٍ مِنْ نَارٍ
"Barang siapa yang ditanya mengenai suatu ilmu lalu dia menyembunyikannya maka pada hari Kiamat Allah akan mengekangnya dengan kekang dari api." (HR. Abu Dawud, Tirmidzi –dan ia menghasankannya--, Ibnu Majah dan Ahmad dari Abu Hurairah r.a.).
Allah berfirman mengenai ajakan memberi nasehat sesuai dengan kemampuan dan bahwa hal itu merupakan bagian dari agama,
"Tiada dosa (lantaran tidak pergi
berjihad) atas orang-orang yang lemah, orang-orang yang sakit dan atas
orang-orang yang tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan,
apabila mereka berlaku ikhlas kepada Allah dan Rasul-Nya. Tidak ada
jalan sedikitpun untuk menyalahkan orang-orang yang berbuat baik." (At-Taubah: 91).
Ayat ini menjelaskan bahwa
orang-orang yang tidak ikut berperang bersama Rasulullah saw. –bahkan
orang-orang yang tidak ikut berperang karena tubuhnya yang lemah dan
orang sakit— dapat terbebas dari hukuman syariat dengan syarat mereka
memberikan nasehat bagi Allah dan Rasul-Nya.
Nabi saw. juga pernah bersabda,
إِنَّ الدِّيْنَ النَّصِيْحَةُ إِنَّ
الدِّيْنَ النَّصِيْحَةُ إِنَّ الدِّيْنَ النَّصِيْحَةُ، قَالُوْا: لِمَنْ
يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: لِلهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُوْلِهِ
وَلِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِيْنَ وَعَامَّتِهِمْ
"Sesungguhnya agama adalah nasehat. Sesungguhnya agama adalah nasehat. Sesungguhnya agama adalah nasehat." Para sahabat bertanya, "Bagi siapa, wahai Rasulullah?" Beliau menjawab, "Bagi Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, para pemimpin kaum muslimin dan seluruh umat." (HR. Muslim, Abu Dawud, Nasa`i dan Ahmad dari Tamim ad-Dari r.a.. Diriwayatkan pula oleh Tirmidzi –dan ia hasankan—dan Nasa`i dari Abu Hurairah r.a.).
Ketika konsep kesetaraan dalam hak
dan kewajiban ini telah mengakar dan diterima oleh seluruh ulama serta
mereka pun telah menyebutkan banyak dalil, maka konsep kesetaraan
tersebut berubah menjadi salah satu kaidah dalam syariat Islam yang
berbunyi: "An-Nisâ`u Syaqâ`iq ar-Rijâl", "Kaum perempuan adalah
saudara kandung kaum lelaki". Kaidah ini diambil dari hadis yang
diriwayatkan oleh Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad dari Aisyah r.a..
Munawi mengatakan bahwa sanad hadis ini adalah jayyid. Hadis inipun
diriwayatkan oleh Abu Dawud, ad-Darimi, Abu Uwanah dan Bazzar dari Anas
r.a.. Ibnu Qaththan berkomentar, "Sanadnya shahih."
Jika sebagian orang mengira bahwa
kaum perempuan –dilihat dari tabiat keperempuanannya— memerlukan
berbagai ilmu agar dapat memberikan suaranya terutama dalam
masalah-masalah syariat, maka kami mempersilahkannya melihat kepada
Ummul Mukminin Aisyah r.a. dan madrasah fikihnya yang banyak menelurkan
ulama dari kaum lelaki. Begitu juga kami mempersilahkannya melihat
kepada anak perempuan Said bin Musayyib, Karimah perawi Bukhari, dan
kepada banyak sekali perempuan yang mencapai derajat ulama yang
tersohor, bertakwa dan bersih.
Dan sebagaimana diketahui bersama,
salah satu hikmah pernikahan Nabi saw. dengan beberapa orang perempuan
adalah banyaknya riwayat dari sebagian besar istri beliau mengenai
berbagai hal yang mereka dengar dan lihat dari tindakan Rasulullah saw..
Hal ini merupakan pengamalan firman Allah,
"Dan ingatlah apa yang dibacakan di
rumahmu dari ayat-ayat Allah dan hikmah (sunnah nabimu). Sesungguhnya
Allah adalah Maha Lembut lagi Maha Mengetahui." (Al-Ahzâb: 34).
Dengan demikian, berdasarkan
pertanyaan di atas, dibolehkan bagi perempuan untuk memberikan suara
mereka dalam majlis parlemen yang dimaksud sebagai salah satu bentuk
kesamaan hak mereka dengan para lelaki.
|
Home »
FATWA HUKUM ISLAM
» Memberikan Suara dalam Pemilihan Anggota Parlemen bagi Perempuan
Memberikan Suara dalam Pemilihan Anggota Parlemen bagi Perempuan
JIKA TERDAPAT KESALAHAN/KEKELIRUAN DALAM ARTIKEL INI
DAPAT MENGHUBUNGI KAMI DENGAN CARA MENINGGALKAN PESAN... TERIMAKASIH
DAPAT MENGHUBUNGI KAMI DENGAN CARA MENINGGALKAN PESAN... TERIMAKASIH
Tidak ada komentar:
Posting Komentar