honan fatwa No. 2020 tahun 2008 yang berisi:
Saya telah menikah dengan sejak empat
tahun yang lalu. Dari pernikahan tersebut saya memiliki dua orang anak,
yang pertama berumur tiga tahun dan yang kedua masih berusia lima
bulan. Umur saya sekarang 28 tahun, sedangkan suami saya berusia 30
tahun. Ia bekerja sebagai teknisi komputer bidang grafik dan desain
website. Saya juga berprofesi sama dengan suami saya. Saat ini, saya
sedang hamil empat bulan. Ketika saya sedang mengandung anak kedua, ayah
dan saudara suami saya menjadi anggota kelompok Ahmadiyah. Kelompok ini
muncul di Qadiyan, India dan dipimpin oleh Mirza Ghulam Ahmad yang
wafat pada tahun 1908.
Sejak itu keduanya berusaha untuk
meyakinkan saya dan suami saya agar mengikuti jejak mereka berdua.
Namun, saya tidak sepaham dengan kelompok itu, sehingga saya secara
tegas meminta keduanya agar tidak lagi membicarakan hal itu. Akhirnya
mereka pun tidak lagi membicarakan masalah itu.
Sayangnya, suami saya akhirnya
mengikuti kelompok Ahmadiyah itu karena ayahnya terus berusaha
meyakinkan dia. Karena ia menganggap bahwa ayahnya pasti akan memberikan
yang terbaik baginya dan selalu memperhatikan urusannya. Ayahnya adalah
seorang yang berpendidikan dan memiliki pengetahuan yang banyak
berkaitan dengan urusan kehidupan maupun urusan agama. Ayahnya juga
merupakan pakar hukum dan seorang purnawirawan angkatan bersenjata.
Suami saya pun akhirnya menandatangani dokumen bai'at kepada kelompok
Ahmadiyah tersebut dan dengan demikian berarti ia telah resmi bergabung
dengan kelompok tersebut hingga sekarang.
Orang-orang mengatakan bahwa kelompok
Ahmadiyah terbagi menjadi dua kelompok, pertama menamakan diri kelompok
Ahmadiyah dan yang kedua menamakan diri sebagai kelompok Qadiyaniyah.
Kelompok yang kedua ini (Qadiyan) mempunyai keyakinan yang menyimpang,
sehingga para ulama dan umat Islam telah sepakat mengafirkan mereka. Di
antara akidah mereka yang menyimpang itu adalah melakukan ibadah haji ke
Qadiyan, menghadap kiblat ke Qadiyan dan lain sebagainya. Adapun
kelompok yang pertama, yaitu kelompok yang saya maksud di sini, tidak
mempunyai keyakinan menyimpang seperti itu. Bahkan, saya tidak menemukan
perbedaan antara mereka dengan kita umat Islam pada umumnya.
Saya melihat kelompok ini melakukan
salat menghadap ke arah kiblat yang benar, membaca Alquran, mengamalkan
Sunnah Nabi kita Muhammad saw., bersyahadat bahwa tiada tuhan selain
Allah dan Muhammad adalah Rasulullah. Saya tidak menemukan adanya
penyimpangan sama sekali pada kelompok ini. Akan tetapi mereka tidak mau
melakukan salat di masjid-masjid Ahlus Sunnah, mereka hanya melakukan
salat di belakang imam yang berasal dari kelompok mereka, meyakini bahwa
Nabi Isa a.s. telah meninggal dunia dan Mirza Ghulam Ahmad (pendiri
kelompok ini) adalah al-Mahdi yang ditunggu-tunggu dan serupa dengan
Nabi Isa a.s..
Saya juga telah membaca dokumen
bai'at kepada mereka. Dalam dokumen tersebut tertulis kalimat dua
syahadat, perintah mengikuti Sunnah Rasulullah saw. dan mengamalkan
rukun Islam yang lima. Sebelum masuk ke dalam kelompok ini, suami saya
sama sekali tidak pernah mempunyai perhatian terhadap kelompok-kelompok
Islam, bahkan ia dahulu tidak peduli dengan agamanya. Memang, ia dahulu
masih melakukan salat, berpuasa dan melaksanakan kewajiban-kewajiban
lainnya. Ia hanya memperhatikan pekerjaannya saja dan urusan keluarganya
saja.
Saya mohon penjelasan beberapa masalah berikut:
1. Apakah hubungan
kami sebagai suami-istri dibolehkan? Jika tidak boleh, maka apakah ia
boleh memberi nafkah kepada saya dan anak-anak saya serta menyediakan
rumah untuk kami?
2. Apakah ia boleh mengambil anak-anak kami setelah mereka semua dewasa? Perlu kami sampaikan bahwa anak-anak kami itu semuanya adalah laki-laki.
Saya mohon jawaban tertulis dari Yang
Mulia Mufti yang dibubuhi stempel dari Darul Ifta` al-Mishriyah
(Lembaga Fatwa Mesir), sehingga keluarga saya dapat percaya dan
mendukung saya serta dapat dijadikan bukti dalam proses hukum
selanjutnya.
|
||
|
||
Kelompok Qadiyaniyah merupakan sebuah kelompok yang dinisbatkan kepada
sebuah daerah di Punjab, India, yang bernama Qadiyan. Kelompok ini
didirikan oleh Ghulam Ahmad yang merupakan keturunan bangsa Persia atau
Mongol. Ada yang mengatakan bahwa ayahnya berasal dari Samarkand,
Uzbekistan. Ia dilahirkan pada tahun 1839 di Qadiyan. Ia dibesarkan di
sebuah keluarga yang bekerja untuk kepentingan penjajah. Ayahnya, Ghulam
Murtadha, mempunyai hubungan erat dengan pemerintah Inggris. Ia
mempunyai posisi di salah satu instansi penjajah itu. Pada tahun 1851,
ayahnya ikut serta membantu penjajah Inggris dalam memerangi bangsanya
dan agama mereka. Ia membantu para penjajah dengan lima puluh tentara
dan lima puluh ekor kuda.
Setelah Ghulam Ahmad mempelajari
buku-buku berbahasa Urdu dan Arab serta beberapa buku hukum, ia lalu
bekerja sebagai pegawai di Siyalkot. Selajutnya, ia berusaha menyebarkan
bukunya yang berjudul Barâhîn Ahmadiyyah (Argumentasi Ahmadiyah) yang
ia tulis dalam beberapa jilid. Ia memulai mendakwahkan ajarannya yang
menyimpang itu sejak tahun 1877. Pada tahun 1885 ia mengumumkan bahwa
dirinya adalah pembaharu. Lalu pada tahun 1891 ia mengaku sebagai
al-Mahdi dan sosok al-Masih yang dijanjikan Allah. Ia pun mulai
mengatakan, "Saya adalah al-Masih; saya adalah Kalimullah (orang yang
berbicara langsung dengan Allah); saya adalah Muhammad dan juga Ahmad."
Oleh karena itulah, ia mengaku bahwa ia lebih baik dari seluruh nabi.
Ghulam Ahmad meninggal pada tanggal 26 Mei 1908 di kota Lahor dan
dimakamkan di Qadiyan.
Ghulam Ahmad adalah orang yang pandai
melakukan tipu daya jahat dalam dakwah dan ajarannya. Ketika ia
mendirikan kelompok Qadiyaniyah –dan memikul semua beban dosa akibat
perbuatannya itu—, ia tidak menyatakan secara terang-terangan memusuhi
Islam. Ia tidak menyatakan keluar dari Islam secara terus terang, tapi
ia memulai dakwahnya dengan mengaku sebagai ulama pembaharu. Setelah
itu, ia mulai mengembangkan pemikiran mengenai al-Mahdi dan akhirnya
mengaku sebagai al-Mahdi. Selanjutnya, ia mulai mengaku telah
mendapatkan wahyu, bukan sebagai seorang nabi atau rasul yang berdiri
sendiri, tapi sebagai seorang nabi pengikut, seperti Harun a.s. yang
mengikuti Musa a.s..
Guna mendukung pendapat-pendapatnya,
ia juga menafsirkan ayat-ayat Alquran secara tidak benar dan menyimpang.
Kerja sama yang telah dijalin dengan penjajah tambah diperkuat. Untuk
itu, ia mengeluarkan fatwa sesat bahwa kewajiban berjihad telah selesai
dan dihapus hukumnya (mansûkh), sehingga kaum muslimin tidak boleh
melawan para penjajah di India, karena mereka merupakan khalifah Allah
di bumi ini.
Setelah itu, anaknya dan
penggantinya, Mahmud, menyebarkan ajaran-ajaran ayahnya tersebut dan
meneruskan tongkat estafet kekafiran itu. Ia pun mengatakan, "Kami
mengafirkan semua orang selain para pengikut Qadiyaniyah, karena Alquran
telah memberitahu kami bahwa barang siapa yang mengingkari salah
seorang rasul, maka ia telah menjadi kafir. Oleh karena itulah, barang
siapa yang mengingkari Ghulam Ahmad sebagai nabi dan rasul, maka ia
telah kafir kepada Allah."
Lalu anaknya yang kedua pun menambah
kesesatan kelompok tersebut dengan mengatakan, "Setiap orang yang
beriman kepada Musa tapi tidak beriman kepada Isa, atau beriman kepada
Isa tapi tidak beriman kepada Muhammad, maka ia telah kafir. Begitu
juga, barang siapa yang tidak beriman kepada Ghulam Ahmad maka ia telah
kafir."
Buku-buku ajaran Qadiyaniyah
mengklaim bahwa Allah telah menurunkan wahyu kepada Ghulam Ahmad dengan
mengatakan, "Siapa yang mencintai-Ku dan taat kepada-Ku maka ia harus
mengikutimu dan beriman kepadamu. Jika tidak, berarti ia tidak
mencintai-Ku, tapi ia adalah musuh-Ku. Jika orang-orang yang
mengingkarimu tidak menerima ini, tapi justru mendustakanmu dan
menyakitimu, maka Kami akan memberinya balasan yang buruk. Dan Kami akan
menyediakan bagi orang-orang kafir itu neraka Jahanam sebagai penjara
bagi mereka."
Salah satu akidah kelompok
Qadiyaniyah yang juga dianggap sesat adalah kepercayaan mereka bahwa
kenabian tidak ditutup dengan Nabi Muhammad saw.. Mereka mengatakan,
"Kami meyakini bahwa Allah akan selalu mengutus para nabi untuk
memperbaiki umat ini dan memberi hidayah kepada mereka sesuai dengan
keperluan." Keyakinan seperti ini adalah kekafiran yang nyata, karena
bertentangan dengan firman Allah,
"Muhammad itu sekali-kali bukanlah
bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah
Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui
segala sesuatu." (Al-Ahzâb: 40).
Begitu juga bertentangan dengan sabda Rasulullah saw.,
لاَ نَبِيَّ بَعْدِيْ
"Tidak ada nabi setelahku." (HR. Bukhari).
Perbuatan-perbuatan fasik yang
dilakukan oleh para pengikut kelompok Qadiyaniyah adalah penyerangan dan
pelecehan terhadap derajat para nabi dan rasul, juga terhadap para
Khulafaur Rasyidin dan para sahabat radhiyallahu 'anhum. Mereka juga
bersikap tidak sopan terhadap penghulu para pemuda surga, Hasan dan
Husein, dengan mengatakan, "Orang-orang mengatakan bahwa aku telah
melebihkan diriku dari Hasan dan Husein, maka aku tegaskan bahwa, 'Ya,
memang aku melebihkan diriku daripada Hasan dan Husein. Allah akan
menampakkan kelebihan ini."
Di antara kesesatan mereka yang lain
adalah penyimpangan mereka dalam menafsirkan ayat-ayat Alquran.
Penafsiran sesat ini begitu banyak sehingga tidak mungkin dijelaskan di
tempat ini. Contoh penafsiran menyimpang itu adalah penafsiran mereka
atas Masjidil Aqsa. Allah berfirman,
"Maha Suci Allah, yang telah
memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjid haram ke Masjid
al-Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan
kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia
adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat." (Al-Isrâ`: 1).
Mereka mengatakan, "Maksud dari
Masjidil Aqsa dalam ayat di atas adalah bukan masjid Baitul Maqdis
sebagaimana disepakati oleh para ulama tafsir dan sejarah. Tapi maksud
dari Masjidil Aqsa dalam ayat ini adalah masjid Qadiyan, karena
Rasulullah saw. melakukan perjalanan isra` ke masjid tersebut yang
berada di timur Qadiyan."
Ghulam Ahmad juga menyerupakan masjid
Qadiyan ini dengan Masjidil Haram dan mengatakan bahwa masjid
Qadiyan-lah yang dimaksudkan oleh Allah dalam firman-Nya,
"Barang siapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia". (Âli 'Imrân: 97).
Salah satu omong kosongnya yang lain berkaitan dengan penafsiran ayat adalah penafsirannya terhadap ayat,
"Muhammad itu adalah utusan Allah dan
orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang
kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka". (Al-Fath: 29).
Ia berkata, "Yang dimaksud dengan
Muhammad dalam ayat ini adalah diriku, karena Allah telah menamakan
diriku dalam wahyu ini dengan Muhammad dan rasul. Sebagaimana menyebut
diriku dengan nama ini di beberapa tempat yang lain." Ia tidak malu
untuk menyebut pernyataannya ini dalam bukunya Tablîgh ar-Risâlah.
Ia melanjutkan, "Akulah yang dimaksud dalam ayat:
"Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam." (Al-Anbiyâ`: 107).
Ia juga berkata, "Akulah yang dimaksud dengan firman Allah dalam surat ash-Shaff,
"Dan memberi kabar gembira dengan (datangnya) seorang Rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad (Muhammad)." (Ash-Shaff: 6).
Salah satu musibah yang ditimbulkan
oleh kelompok Qadiyaniyah ini adalah usaha mereka untuk memalingkan para
pengikutnya dari tempat diturunkannya wahyu, dari Ka'bah dan dari
Masjidil Haram. Ia menjadikan Qadiyan sebagai kiblat dan Ka'bah mereka
sebagai ganti dari Ka'bah di Mekah. Mereka juga menjadikan kewajiban
ibadah haji dalam agama mereka yang sesat itu dengan menghadiri muktamar
tahunan para pengikut Qadiyaniyah di Qadiyan, India. Pemimpin mereka,
Ghulam Ahmad, mengatakan, "Mendatangi Qadiyan adalah haji."
Selain itu, para pengikut Qadiyaniyah
juga menjadikan Rabwah, nama sebuah wilayah di Pakistan, sebagai pusat
dakwah mereka. Mereka membuat tempat itu menjadi begitu terhormat dan
menyucikannya.
Ghulam Ahmad mengaku bahwa Allah
telah menurunkan Alquran kepadanya dengan nama al-Kitâb al-Mubîn. Ia
juga mengklaim bahwa ia telah mendapatkan wahyu yang jumlahnya lebih
banyak daripada yang diturunkan kepada para nabi. Sebagian kitab Ghulam
Ahmad telah dicetak dan disebarluaskan, seperti Barâhîn Ahmadiyyah,
Izâlat al-Awhâm, Haqîqat al-Wahy, Safînat Nûh, Tablîgh ar-Risâlah dan
Khutbah Ilhâmiyyah.
Kelompok ini juga menggunakan nama
Ahmadiyah guna menipu kaum muslimin dan guna menunjukkan dakwaan dusta
mereka bahwa mereka adalah pengikut Ahmad (Muhammad saw.), tapi yang
benar adalah bahwa kata itu dinisbatkan kepada pendiri kelompok ini
yaitu Ghulam Ahmad.
Para pengikut Qadiyaniyah telah
membuat kekuatan kaum muslimin dalam menghadapi penjajah menjadi lemah.
Mereka juga membatalkan kewajiban berjihad melawan penjajah itu. Karena
itulah, ia menyebarkan bahwa tidak ada jihad setelah hari ini. Ia
mengatakan, "Allah telah meringankan beratnya jihad secara gradual.
Allah telah membolehkan untuk membunuh anak-anak pada masa Musa. Lalu,
pada masa Muhammad, Allah membatalkan kebolehan membunuh anak-anak,
orang tua dan perempuan. Lalu, pada masaku, kewajiban jihad dibatalkan
secara keseluruhan."
Ia juga berkata, "Hari ini kewajiban
jihad dengan pedang saya hapuskan. Tidak ada jihad setelah hari ini.
Barang siapa yang mengangkat senjata melawan orang kafir dan menamakan
dirinya sebagai pejuang, maka ia telah menentang Rasulullah yang telah
memberitahu sejak tiga belas abad yang lalu bahwa kewajiban jihad
dibatalkan pada zaman munculnya al-Masih yang dijanjikan Allah. Akulah
al-Masih itu. Tidak ada jihad setelah kemunculanku sekarang. Kami
mengangkat panji perdamaian dan kasih sayang."
Di tempat lain, ia juga mengatakan,
"Aku telah menghabiskan sebagian besar umurku untuk mendukung pemerintah
Inggris dan membatalkan kewajiban jihad. Dan aku akan terus berjuang
hingga seluruh kaum muslimin menjadi pendukung sejati bagi pemerintah
ini."
Tidak cukup dengan
perbuatan-perbuatan bid'ahnya itu, Ghulam Ahmad malah mengatakan bahwa
tidak boleh melakukan salat di belakang seorang muslim kecuali dia
adalah seorang pengikut Ahmadiyah. Ia berkata, "Ini adalah pendapatku
yang telah dikenal umum, yaitu tidak boleh bagi kalian untuk melakukan
salat kecuali di belakang pengikut Ahmadiyah, dalam keadaan apapun dan
siapa pun orangnya. Meskipun imam itu mendapatkan penghormatan dari
masyarakat. Ini adalah hukum Allah dan inilah yang diinginkan Allah.
Orang yang merasa ragu-ragu atau tidak yakin maka ia termasuk
orang-orang yang mendusatkannya. Allah ingin membedakan kalian dengan
kelompok-kelompok lain."
Jamaah Ahmadiyah juga menganut paham
taqiyah (menyembunyikan keyakinan yang sebenarnya, Penj.), sehingga
mereka kadang membolehkan salat di belakang selain pengikut Ahmadiyah
karena keperluan tertentu dengan syarat mengulangi salat itu kembali.
Penyair Islam, Muhammad Iqbal, telah
menulis serangkaian tulisan yang berisi penjelasan
kebohongan-kebohongan dan kesesatan-kesasatan mereka yang beliau tulis
sekitar tahun 1930-an. Selain itu, beberapa ulama dan cendekiawan muslim
pun melakukan hal yang sama. Namun demikian, jamaah Ahmadiyah tetap
dalam kesesatan dan penyimpangan itu karena didukung oleh penjajah.
Kelompok ini memanfaatkan minimnya pemahaman yang benar tentang Islam,
tersebarluasnya ketidaktahuan terhadap kesesatan mereka dan kondisi yang
mendukung diterimanya dusta-dusta, pembodohan dan kesalahan-kesalahan
mereka.
Kesimpulan mengenai kelompok
Ahmadiyah ini adalah bahwa jamaah ini merupakan alat kotor pihak
penjajah yang berpura-pura menjadi bagian dari umat Islam, sedangkan
Islam sendiri tidak mengakui keberadaan mereka. Muslihat penjajah telah
mampu menundukkan aliran sesat dan menyesatkan ini untuk merealisasikan
tujuan-tujuan mereka yang selalu berusaha menjelek-jelekkan Islam dan
melemahkan kaum muslimin. Namun, Islam akan selalu hidup meskipun
musuh-musuhnya terus melakukan makar untuk menghancurkannya. Allah
berfirman,
"Dan Allah berkuasa terhadap urusan-Nya, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahuinya." (Yûsuf: 21).
Oleh karena itulah, kaum muslimin
berijmak bahwa akidah Ahmadiyah bukan akidah Islam dan orang yang
mengikuti jamaah ini maka ia bukan termasuk kaum muslimin. Jika ada
seorang muslim yang mengikuti kelompok ini maka ia berarti telah murtad
dan keluar dari agama Islam. Allah berfirman,
"Barang siapa yang murtad di antara
kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah
yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah
penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya." (Al-Baqarah: 217).
Para ulama fikih juga berijmak bahwa
orang yang murtad dari Islam, jika ia telah menikah, maka akad nikahnya
tersebut tidak sah, baik akad itu dilakukan atas wanita muslimah ataupun
bukan. Karena Islam tidak mengakui pernikahan itu jika orang tersebut
tidak bertaubat dan kembali kepada Islam serta berlepas diri dari agama
yang diikutinya itu.
Pada masa Syaikhul Azhar Syaikh
Jadul Haq Ali Jadul Haq, Majma' al-Buhûts al-Islâmiyyah, sebuah lembaga
riset Islam milik al-Azhar, mengeluarkan fatwa mengenai kelompok
Ahmadiyah yang menjelaskan bahwa kelompok tersebut merupakan salah satu
kelompok yang menggunakan Islam sebagai kedok. Islam tidak mempunyai
keterkaitan sama sekali dengan Kelompok tersebut.
Kemudian pada tahun 2007, Majma'
al-Buhûts al-Islâmiyyah kembali mengeluarkan fatwa mengenai Ahmadiyah
secara terperinci. Dalam fatwa tersebut, lembaga fatwa milik al-Azhar
ini menjelaskan bahwa para pengikut Ahmadiyah bukanlah dari kaum
muslimin dan bahwa kelompok ini tidak ada kaitannya sama sekali dengan
Islam meskipun sebagian pengikut kelompok itu telah melakukan perubahan
terhadap beberapa keyakinan mereka dalam beberapa tulisan mereka, yaitu
mereka menyatakan bahwa Ahmadiyah tidak sama dengan Qadiyaniyah. Majma'
al-Buhûts al-Islâmiyyah juga memperingatkan bahwa sebagian masyarakat
masih mempercayai bahwa Qadiyaniyah adalah salah satu kelompok dalam
Islam dan bahwa para pengikut Qadiyaniyah terus mencoba untuk
menyebarkan hal itu sehingga mereka dapat masuk dalam barisan kaum
muslimin. Mereka menyebarkan pemahaman bahwa perbedaan antara mereka
dengan kaum muslimin hanya sebatas beberapa masalah fikih saja. Tentu
ini sama sekali tidak benar. Jika dilihat dari tulisan-tulisan mereka,
sangat jelas bahwa Qadiyaniyah bertentangan dengan ajaran-ajaran dasar
Islam yang diketahui secara umum oleh kaum muslimin.
Majma' al-Fiqh al-Islamy ad-Dawly,
sebuah lembaga fatwa di bawah naungan Organisasi Konferensi Islam (OKI),
dalam sidangnya pada konferensi kedua tanggal 10-16 Rabi'ul Akhir 1406
H, bertepatan dengan tanggal 22-28 Desember 1985, mengeluarkan fatwa
tentang jamaah Qadiyaniyah dan kelompok yang bercabang darinya dan
menamakan diri sebagai kelompok Ahmadiyah Lahor, apakah mereka masuk
dalam kelompok Islam atau tidak. Yaitu bahwa kenabian dan wahyu yang
diklaim oleh Ghulam Ahmad merupakan pengingkaran nyata terhadap sesuatu
yang sudah pasti di dalam Islam dan diketahui secara umum oleh umat
Islam mengenai tertutupnya risalah Islam dengan diutusnya Muhammad saw.
dan bahwa wahyu tidak akan diturunkan kepada seorang pun setelah beliau.
Pengakuan Ghulam Ahmad ini menjadikan dirinya dan seluruh orang yang
mengikutinya menjadi murtad dan keluar dari Islam. Kelompok Ahmadiyah
Lahor juga dianggap telah murtad seperti kelompok Qadiyaniyah, meskipun
mereka berpendapat bahwa Ghulam Ahmad hanyalah bayang-bayang dan
penampakan dari Nabi saw..
Begitu pula, telah dikeluarkan fatwa
dengan No. 3 oleh Majma' al-Fiqh al-Islamy, sebuah lembaga fatwa di
bawah naungan Rabithah Alam Islami, dalam sidang pertamanya, yang para
pesertanya dengan sepakat menyatakan bahwa keyakinan kelompok
Qadiyaniyah yang juga disebut Ahmadiyah merupakan keyakinan yang
benar-benar telah keluar dari Islam, sehingga para pengikutnya menjadi
kafir dan keluar dari Islam. Pengakuan mereka sebagai muslim hanya untuk
menutupi kedustaan dan kesesatan mereka. Kaum muslimin, baik
pemerintah, para ulama, cendikiawan, para dai dan lainnya, wajib
menentang ajaran sesat ini dan para pengikutnya di belahan dunia manapun
ia berada.
Fatwa yang sama juga pernah
dikeluarkan oleh al-Lajnah ad-Dâimah li al-Buhûts wa al-Iftâ`, lembaga
fatwa milik Pemerintah Saudi Arabia.
Dengan demikian, berdasarkan
pertanyaan dan penjelasan di atas, karena orang yang ditanyakan telah
mengikuti ajaran Qadiyaniyah atau Ahmadiyah sebagai agamanya, maka ia
telah keluar dari Islam. Sehingga, penanya yang merupakan seorang
muslimah tidak boleh menikah dengannya. Jika akad nikah itu telah
dilaksanakan, maka akad itu dianggap batal dan tidak sah, sehingga jika
terjadi hubungan badan antar keduanya, maka itu dianggap zina. Suami
anda itu juga tidak boleh mengambil kedua anak anda jika mereka telah
dewasa secara hukum, karena dikhawatirkan kedua anak tersebut dapat
mengikuti ajaran yang sesat tersebut. Allah berfirman,
"Barang siapa mencari agama selain
agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)
daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi." (Âli 'Imrân: 85).
Wallahu subhânahu wa ta'âlâ a'lam.
|
Sumber : Dar al Iftaa ( Lembaga Fatwa Mesir)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar