Melecehkan Sahabat Nabi Saw. dan Imam Bukhari

JIKA TERDAPAT KESALAHAN/KEKELIRUAN DALAM ARTIKEL INI
DAPAT MENGHUBUNGI KAMI DENGAN CARA MENINGGALKAN PESAN... TERIMAKASIH

nbsp; Memperhatikan permintaan fatwa No. 536 tahun 2007, yang berisi:     Kami membaca sebuah artikel yang dimuat oleh jurnal al-Fajr pada edisi ke-96 tahun ke-2 tanggal 9 April 2007. Judul maupun isi artikel ini secara terang-terangan melecehkan seorang sahabat mulia Abu Hurairah r.a. dan perawi hadis terkenal Imam Bukhari. Saya dan para pembaca lainnya benar-benar terkejut ketika membacanya. Artikel itu telah berani melanggar hal-hal yang tetap (tsawâbit) dalam agama yang lebih tinggi nilainya dibanding diri, keluarga maupun harta saya sendiri. Berikut ini saya sertakan artikel yang sarat dengan pelecehan-pelecehan tersebut.
    Apa pendapat agama mengenai masalah ini? Dan apa hukum orang yang melakukan hal itu?
 
Jawaban : Dewan Fatwa
    Setelah membaca artikel yang dimaksud dan memastikan kebenaran isinya, kami menemukan bahwa penulis artikel tersebut telah menyitir isi sebuah buku yang sarat dengan hinaan dan pelecehan terhadap sahabat Nabi saw. yang mulia, Abu Hurarirah r.a.. Buku itu dia dapatkan dari seorang temannya. Sayangnya, dia tidak mengecek kebenaran isi buku itu dan mencari tahu bantahan-bantahan para ulama terhadapnya. Seakan-akan dia menemukan sesuatu yang begitu menarik hatinya.
    Ada beberapa hal yang dapat disimpulkan dari isi artikel tersebut:
    1. Di awal artikel penulis menyebutkan tentang sebuah artikel lama yang menyebutkan tentang adanya hadis-hadis maudhu' (palsu) dalam shahih Bukhari.
    2. Penulis menukil serangkaian pelecehan yang ditujukan kepada Abu Hurairah r.a.. Di antaranya adalah bahwa Abu Hurairah adalah orang miskin dan dia datang ke Khaibar agar kebutuhannya dapat ditanggung oleh Nabi saw..
   3. Menurutnya, nama Abu Hurairah tidak dikenal, baik di masa jahiliyah maupun di masa Islam. Penulis juga menyatakan, "Nampaknya dia mempunyai seekor kucing yang selalu menemaninya."
   4. Menurutnya tidak ada yang mengetahui sejarah hidupnya. Informasi yang ada tentang dirinya sebatas bahwa dia adalah orang miskin dan bekerja sebagai buruh upahan pada anak perempuan Ghazwan. Dia adalah orang yang tidak bisa baca tulis dan hanya seorang penggembala kambing.
   5. Menurutnya juga, Abu Hurairah telah memalsukan hadis mengenai keutamaan Ja'far bin Abu Thalib r.a..
    6. Menurutnya, ketika di Khaibar, Aban bin Said bin 'Ash menghina Abu Hurairah namun Nabi saw. tidak membelanya.
    7. Dia menyebutkan beberapa riwayat yang menjelaskan bahwa Abu Hurairah pernah menderita kelaparan. Dan dia menyimpulkan dari riwayat-riwayat tersebut bahwa Abu Hurairah meminta-minta kepada penduduk Madinah dengan memaksa.
     8. Abu Hurairah melarikan diri dari perang Mu`tah.
    9. Abu Hurairah sebenarnya mengetahui ilmu kedokteran sebagaimana dikatakan oleh ats-Tsa'alibi dalam kitab Tsimâr al-Qulûb fîl-Mudhâf wal-Mansûb.
    10. Penulis menyebutkan kisah madhîrah (sejenis makanan) guna menuduh Abu Hurairah sebagai orang yang suka makan tapi pengecut di medan perang.
    11. Abu Hurairah adalah orang yang suka bercanda. Penulis lalu menukil kisah bercandanya Abu Hurairah dengan beberapa anak kecil ketika dia menjabat sebagai gubernur. Dari kisah ini penulis menyimpulkan sesuatu yang sangat mengherankan.
    12. Disebutkan juga kisah mengenai pengutusan Abu Hurairah dan Ala` al-Hadrami kepada Mundzir bin Sawi. Menurut penulis artikel, sebenarnya pengutusan itu merupakan upaya Nabi saw. untuk mengasingkan dirinya.
    13. Kisah pengangkatan Abu Hurairah sebagai gubernur Bahrain oleh Umar pada tahun 21 H. Lalu Umar mengaudit seluruh harta kekayaannya. Penulis juga mengklaim bahwa sebenarnya Abu Hurairah ditugaskan ke Bahrain karena dia seorang sahabat yunior.
    14. Kisah larangan Umar terhadap Abu Hurairah untuk menyebarkan hadis, kisah pemukulan Umar terhadap dirinya dan perkataan Abu Hurairah setelah kematian Umar, "Saya akan menyebutkan hadis-hadis yang jika saya sebutkan ketika Umar masih hidup, niscaya dia akan melukai kepala saya."
Artikel ini –sebagaimana juga buku referensinya— tidak berupaya mencari sumber-sumber yang valid. Buku itu banyak menyitir dari buku-buku sastra, seperti kitab Rabî' al-Abrâr karya Zamakhsyari dan kitab Syarh Nahj al-Balâghah karya Ibnu Abi Hadid. Para penulis kitab ini tidak menyebutkan sanad bagi kisah-kisah yang disebutkan dalam kitab mereka. Padahal, sanad adalah bagian dari agama dan merupakan ukuran kebenaran suatu riwayat.
    Kebanyakan para penulis buku sastra tidak menyebutkan sanad pada riwayat-riwayat yang mereka nukil. Mereka tidak terlalu memperhatikan benar-tidaknya kisah-kisah dalam riwayat-riwayat tersebut. Ditambah lagi, kedua pengarang kitab di atas adalah orang-orang Muktazilah. Bahkan pengarang kitab yang kedua dituduh sebagai pengikut mazhab Rafidhah. Karena itulah, bantahan para ulama terhadap kisah-kisah yang dijadikan landasan kritik penulis artikel tersebut didasarkan pada asumsi kebenaran riwayat kisah tersebut. Sedangkan mereka sebenarnya tahu bahwa kisah-kisah itu tidak benar adanya.
    Perlu ditambahkan juga bahwa penulis artikel di atas, selain menukil kisah-kisah yang tidak benar tersebut, dia juga menarik kesimpulan-kesimpulan yang sangat aneh dan mengherankan darinya. Kesimpulan-kesimpulan itu benar-benar jauh dari isi kisah yang dia nukil. Namun dia menyebutkan kesimpulan-kesimpulannya itu dengan penuh keyakinan akan kebenarannya.
    Sebelum kami membantah satu persatu kritikan penulis artikel, perlu kami tegaskan di sini mengenai 'adâlah (keadilan) para sahabat. Maksud 'adâlah di sini adalah taat terhadap ajaran Islam dan tidak melakukan hal-hal yang melanggar etika masyarakat. 'Adâlah ini telah dijelaskan langsung oleh sejumlah ayat Alquran. Di antara ayat-ayat tersebut adalah firman Allah,
   "Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan." (Al-Baqarah [2]: 143).
    Dan firman-Nya,
    "Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia." (Âli 'Imrân [3]: 110).
    Kedua ayat di atas ditujukan kepada para sahabat yang hidup di masa itu, sebagaimana dikatakan dalam kitab Tadrîb ar-Râwî karya Imam Suyuthi.
    Di dalam kitab-kitab hadis yang diterima sepanjang zaman oleh umat Islam dan dijadikan pegangan oleh para ulama dalam memahami agama ini, disebutkan bab-bab mengenai keutamaan para sahabat secara umum dan keutamaan beberapa orang sahabat secara khusus. Di antaranya adalah riwayat mengenai keutamaan Abu Hurairah r.a. yang disebutkan oleh Tirmidzi. Dalam riwayat itu Abu Hurairah berkata, "Saya mendatangi Rasulullah saw. dengan membawa beberapa butir kurma. Saya lalu berkata, "Wahai Rasulullah, doakanlah supaya kurma-kurma ini mendapatkan keberkahan." Lalu Rasulullah saw. mengumpulkan kurma-kurma itu dan mendoakannya supaya mendapatkan keberkahan. Lalu beliau bersabda,
خُذْهُنَّ وَاجْعَلْهُنَّ فِيْ مِزْوَدِكَ هَذَا -أَوْ فِيْ هَذَا الْمِزْوَدِ-، كُلَّمَا أَرَدْتَ أَنْ تَأْخُذَ مِنْهُ شَيْئًا فَأَدْخِلْ فِيْهِ يَدَكَ فَخُذْهُ وَلاَ تَنْثُرْهُ نَثْرًا
   
    "Ambilah kurma-kurma ini lalu letakkanlah di dalam tempat bekalmu itu. Jika kamu ingin mengambilnya, maka masukkanlah tanganmu ke dalamnya dan jangan kamu membukanya."
    Abu Hurairah lalu melanjutkan kata-katanya, "Saya telah mengambil sekian wasaq (satu wasaq sekitar 150 Kg) dari kurma itu untuk berjihad di jalan Allah. Saya makan dari kurma itu dan menyedekahkannya juga. Kantong tempat kurma-kurma itu tidak pernah terlepas dari pinggangku sampai hari terbunuhnya Utsman. Pada hari itu, kurma itu terhenti keberkahannya." (Tirmdzi berkata, "Hadis ini hasan gharib.").
    Dalam Jâmi' at-Tirmidzi juga disebutkan, "Seorang lak-laki mendatangi Thalhah bin Ubaidillah dan berkata, "Wahai Abu Muhammad, tahukah engkau tentang orang Yaman itu –maksudnya Abu Hurairah—. Dia lebih mengetahui hadis Rasulullah saw. daripada kalian. Kami mendengar darinya hadis-hadis yang belum kami dengar dari kalian." (Atau lelaki itu berkata, "Dia mengatakan sesuatu yang tidak dikatakan oleh Rasulullah saw.!). Maka Thalhah pun berkata, "Kalau dia mendengar suatu hadis yang tidak kami dengar dari Rasulullah saw., maka saya tidak meragukan bahwa dia memang mendengarnya dari Rasulullah saw.. Karena dia dahulu adalah orang miskin yang tidak mempunyai apa-apa. Dia menjadi tamu Rasulullah saw.. Dia selalu bersama Rasulullah saw., sedangkan kami adalah para pemilik rumah dan berkecukupan. Kami mendatangi Rasulullah saw. hanya ketika pagi dan sore. Maka kami tidak meragukan bahwa dia mendengar dari Rasulullah saw. apa yang tidak kami dengar. Dan kami tidak pernah menemukan seorang pun yang mempunyai kebaikan, berani berdusta atas nama Rasulullah saw.." (Tirmidzi berkata, "Ini adalah hadis hasan gharib.").
    Tirmidzi juga meriwayatkan bahwa Ibnu Umar r.a. pernah berkata, "Wahai Abu Hurairah, engkau dahulu adalah orang yang paling sering bersama Rasulullah saw. dan orang yang paling hafal dengan hadis beliau." (Tirmidzi berkata, "Ini adalah hadis hasan.").
    Diriwayatkan pula dari Abu Hurairah r.a. bahwa dia berkata kepada Rasulullah saw., "Wahai Rasulullah, saya mendengar banyak hal darimu tapi saya tidak dapat menghafalnya." Maka Rasulullah saw. bersabda, "Hamparkan kain serbanmu." Maka saya hamparkan kain serban yang saya pakai. Setelah peristiwa itu, beliau menyebutkan banyak hadis dan tidak ada satu hadis pun yang beliau sampaikan yang saya lupa." (Tirmidzi berkata, "Ini adalah hadis hasan shahih.").
    Dalam kitab Tuhfatul Ahwadzî dikatakan, "Penulis kitab as-Si'âyah fî Kasyf Syarh al-Wiqâyah (salah seorang ulama mazhab Hanafi) menyebutkan, "Anggapan bahwa Abu Hurairah bukan ulama fikih adalah tidak benar. Yang benar adalah bahwa dia termasuk salah seorang ulama fikih yang memberikan fatwa pada zaman Rasulullah saw., sebagaimana yang ditegaskan oleh Ibnu Humam dalam kitab at-Tahrîr dan Ibnu Hajar dalam al-Ishâbah fî Ahwâl ash-Shahâbah."
    Dalam salah satu hâsyiyah atas kitab Nûrul-Anwâr disebutkan bahwa Abu Hurairah adalah seorang ahli fikih. Hal ini sesuai dengan penegasan Ibnu Humam dalam at-Tahrîr. Ini sangat wajar karena Abu Hurairah memang tidak pernah mengamalkan fatwa orang lain, melainkan mempunyai pendapat fikih sendiri. Abu Hurairah juga memberikan fatwa pada zaman para sahabat. Beliau pun pernah membantah fatwa salah seorang sahabat besar, seperti Ibnu Abbas. Ibnu Abbas pernah berfatwa bahwa iddah bagi orang hamil yang ditinggal mati oleh suaminya adalah salah satu dari dua masa iddah yang terlama. Yaitu, jika masa iddah hamilnya lebih lama dari masa iddah karena kematian suaminya, maka dia mengambil masa iddah hamil, begitu pula sebaliknya. Abu Hurairah membantah fatwa ini dan mengatakan bahwa iddahnya adalah sampai perempuan itu melahirkan." Menurut saya (penulis kitab Tuhfatul Ahwâdzî) Abu Hurairah adalah salah seorang ahli fikih dari kalangan sahabat dan salah satu ulama besar yang mengeluarkan fatwa."
    Dalam kitab Tadzkiratul-Huffâzh, adz-Dzahabi berkata, "Abu Hurairah ad-Dawsi al-Yamani, seorang hafizh, ahli fikih, sahabat Rasulullah saw.. Dia adalah salah seorang ulama besar dan pemilik sejumlah fatwa. Dia adalah seorang yang berwibawa, suka beribadah dan tawadu."
    Ibnu Qayyim, dalam I'lâmul-Muwaqqi'în, berkata, "Setelah Rasulullah saw. wafat, orang-orang yang memberikan fatwa adalah para pembawa Islam, kader Iman, pusat Alquran dan tentara Allah. Mereka adalah para sahabat Rasulullah saw.. Di antara mereka ada yang banyak mengeluarkan fatwa, ada yang sedang-sedang saja dan ada pula yang sedikit mengeluarkan fatwa. Para sahabat yang banyak mengeluarkan fatwa ada tujuh orang, yaitu Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas'ud, Aisyah Ummul Mukiminin, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Abbas dan Abdullah bin Umar. Sedangkan para sahabat yang tidak terlalu banyak mengeluarkan fatwa adalah Abu Bakar ash-Shiddiq, Ummu Salamah, Anas bin Malik, Abu Sa'id al-Khudri, Abu Hurairah.....". Dengan dimikian, tidak diragukan lagi bahwa Abu Hurairah merupakan ahli fikih dan salah satu ulama besar yang mengeluarkan fatwa." Demikian penjelasan pengarang kitab Tuhfatul-Ahwâdzî.
    Terdapat banyak sekali hadis yang melarang menghina para sahabat. Di antaranya adalah hadis yang diriwayatkan dari Abu Said al-Khudri, dia berkata, "Rasulullah saw. bersabda,
لاَ تَسُبُّوْا أَحَدًا مِنْ أَصْحَابِيْ، فَإنَّ أَحَدَكُمْ لَوْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا أَدْرَكَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلاَ نَصِيْفَهُ

    "Janganlah kalian mencela seorang pun dari para sahabatku. Karena sesungguhnya jika salah seorang dari kalian bersedekah dengan emas sebesar gunung Uhud, niscaya dia tidak akan dapat menyamai ukuran mud mereka, tidak pula setengahnya." (HR. Bukhari dan Muslim). Satu mud adalah ukuran dua telapak tangan rata-rata pria.
    Diriwayatkan dari beberapa jalur periwayatan bahwa Nabi saw. bersabda,
مَنْ سَبَّ أَصْحَابِيْ فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللهِ وَالْمَلاَئِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِيْنَ

    "Barang siapa yang menghina sahabatku maka dia akan mendapatkan laknat dari Allah, para malaikat serta seluruh manusia."
    Telah diketahui bersama bahwa perbuatan yang dilaknat merupakan salah satu tanda bahwa itu termasuk perbuatan dosa besar.
    Diriwayatkan pula dari Abdullah bin Mughaffal r.a., dia berkata, "Rasulullah saw. bersabda,
اللَّهَ اللَّهَ فِيْ أَصْحَابِيْ، اللَّهَ اللَّهَ فِيْ أَصْحَابِيْ، لاَ تَتَّخِذُوْهُمْ غَرَضًا بَعْدِيْ، فَمَنْ أَحَبَّهُمْ فَبِحُبِّيْ أَحَبَّهُمْ، وَمَنْ أَبْغَضَهُمْ فَبِبُغْضِيْ أََبْغَضَهُمْ، وَمَنْ آذَاهُمْ فَقَدْ آذَانِيْ، وَمَنْ آذَانِيْ فَقَدْ آذَى اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ، وَمَنْ آذَى اللَّهَ فيُوشِكُ أَن يَأخُذَهُ

    "Takutlah kalian pada Allah, takutlah kalian pada Allah atas sahabatku. Takutlah kalian pada Allah, takutlah kalian pada Allah atas sahabatku. Janganlah kalian menjadikan mereka sasaran setelahku. Karena barang siapa yang mencintai mereka, maka karena kecintaan padakulah dia mencintai mereka. Dan barang siapa yang membenci mereka maka karena kebencian kepada dirikulah dia membenci mereka. Barang siapa yang menyakiti mereka berarti telah menyakitiku. Dan barang siapa yang menyakitiku berarti dia telah menyakiti Allah 'azza wa jalla. Dan barang siapa yang menyakiti Allah, maka Allah nyaris mengazabnya."
    Melecehkan para sahabat Nabi saw. merupakan salah satu tindakan yang bertentangan dengan penghormatan kepada Nabi saw., yang merupakan kewajiban kita. Apalagi pelecehan tersebut disebabkan hal-hal yang tidak terbukti kebenarannya.
    Qadi 'Iyadh dalam kitab asy-Syifâ berkata, "Salah satu bentuk penghormatan dan ketaatan terhadap Rasulullah saw. adalah hormat dan bersikap baik kepada para sahabat beliau, memenuhi hak-hak mereka, mengikuti mereka, memuji mereka, memohon ampun untuk mereka, tidak membicarakan perselisihan antar mereka, menentang orang-orang yang menentang mereka, serta mengabaikan cerita-cerita para sejarawan, para perawi yang bodoh, para pengikut Syiah yang sesat dan para ahli bid'ah yang melecehkan mereka. Hendaklah dicarikan alasan terbaik dan jalan keluar yang paling tepat dalam menyikapi perselisihan yang terjadi antar mereka. Karena mereka adalah orang-orang yang pantas menerima hal itu. Hendaknya pula tidak menyebutkan kejelekan-kejelekan mereka dan tidak membuat berita bohong tentang mereka. Namun sebaliknya, kebaikan dan keutamaan mereka harus disebutkan, begitu juga kisah hidup mereka yang baik. Dan hendaknya kita tidak menyebutkan hal-hal selain kebaikan mereka itu."
    Imam Ghazali dalam al-Iqtishâd fil-I'tiqâd mengatakan, "Ketahuilah bahwa di dalam Kitab Allah terdapat pujian untuk kaum Muhajirin dan Anshar. Begitu juga banyak hadis dengan redaksi yang berbeda-beda dan mencapai derajat mutawatir yang berisi pujian Rasulullah saw. terhadap mereka". Kemudian Imam Ghazali juga berkata, "Tidak ada seorang pun dari sahabat Nabi saw. kecuali terdapat pujian khusus untuknya yang tidak mungkin disebutkan di sini. Keyakinan seperti ini harus senantiasa ditanamkan dan hendaknya tidak berburuk sangka terhadap mereka. Di samping itu, terdapat juga sejumlah riwayat tentang peristiwa-peristiwa yang melibatkan para sahabat yang sulit untuk disikapi dengan husnuzhan (baik sangka). Namun kebanyakan riwayat tersebut adalah dusta dan tidak berdasar, disebabkan faktor sikap fanatik. Sedangkan riwayat-riwayat shahih yang berkaitan dengan hal tersebut, maka semuanya mempunyai celah untuk ditafsirkan. Tapi tetap tidak boleh ditafsirkan dengan penafsiran yang tidak dapat diterima akal, karena hal itu mempunyai kemungkinan terjadinya kesalahan dan kelalaian. Dan hendaknya tindakan-tindakan mereka dipahami sebagai tindakan-tindakan yang bertujuan baik, meskipun tidak tepat mengenai sasaran."
    Dalam Ihyâ` 'Ulûmiddîn, Imam Ghazali juga menjelaskan mengenai keyakinan yang wajib dianut oleh setiap muslim terhadap para shahabat. Dia mengatakan, "Harus bersikap husnuzhan kepada seluruh sahabat. Seorang muslim harus memuji mereka sebagaimana Allah dan Rasul-Nya saw.. Semua itu telah dijelaskan dalam banyak hadis dan riwayat. Barang siapa yang mempercayai semua itu dengan penuh keyakinan, maka dia termasuk golongan yang benar dan para pembela Sunnah, dan mereka telah menjauhi kaum yang tersesat dan kelompok bid'ah."
    Semua penjelasan di atas berkaitan dengan seluruh sahabat. Adapun khusus mengenai Abu Hurairah, Imam Abu Bakar Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah (pemilik kitab Shahîh), sebagaimana dinukil oleh al-Hakim dalam al-Mustadrak, berkata, "Orang yang mengritik Abu Hurairah guna menolak hadis-hadisnya adalah orang-orang yang hati mereka telah dibutakan oleh Allah, sehingga mereka tidak memahami makna hadis. Mereka bisa jadi merupakan pengikut sekte Jahmiyah. Para pengikut sekte Jahmiyah ini bila mendengar hadis riwayat Abu Hurairah yang bertentangan dengan mazhab mereka yang merupakan kekafiran, akan menghujat Abu Hurairah dan menuduhnya dengan hal-hal yang telah Allah sucikan darinya. Tujuan mereka dari hal itu adalah untuk menipu orang-orang bodoh bahwa hadis Abu Hurairah tidak dapat dijadikan hujjah. Mereka bisa juga merupakan pengikut paham Khawarij yang selalu memerangi umat Islam, serta tidak taat dan tunduk kepada khalifah atau imam. Jika mereka mendengar hadis riwayat Abu Hurairah yang bertentangan dengan mazhab mereka yang sesat, sedang mereka tidak mempunyai dalil dan argumen untuk membantah hadis itu, maka cara mereka untuk terbebas dari hadis itu adalah dengan menghujat Abu Hurairah. Mereka bisa jadi juga para pengikut paham Qadariyah yang telah keluar dari Islam. Mereka mengafirkan umat Islam yang meyakini adanya takdir Allah yang telah ditetapkan sebelum seseorang melakukan suatu perbuatan. Jika mereka mendapati hadis Rasulullah saw. yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah yang berisi ketetapan adanya takdir dan mereka tidak menemukan alasan untuk membela keyakinan mereka yang kafir dan syirik, maka mereka mengatakan bahwa hadis Abu Hurairah tidak dapat dijadikan hujjah. Atau bisa juga dia adalah orang bodoh yang belajar fikih tapi tidak mengambil dari sumbernya. Jika dia mendengar hadis Abu Hurairah yang bertentangan dengan mazhab orang yang dipilihnya secara taklid buta tanpa dalil dan hujjah, maka dia akan mengritik Abu Hurairah dan menolak hadis-hadisnya yang bertentangan dengan mazhabnya. Tapi, orang ini akan memakai hadis Abu Hurairah untuk melawan rivalnya jika hadis tersebut sesuai dengan mazhabnya. Bahkan, ada sebagian dari kelompok ini yang menolak hadis Abu Hurairah karena mereka tidak memahami maknanya."
    Adapun hukum fikih mengenai orang yang melecehkan para sahabat Nabi saw., maka tidak ada perbedaan antar para ulama tentang keharaman tindakan tersebut. Hal itu didasarkan pada hadis,
لاَ تَسُبُّوْا أَصْحَابِيْ فَلَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلاَ نَصِيْفَهُ

    "Janganlah kalian mecela sahabatku. Karena sesungguhnya jika salah satu dari kalian bersedekah dengan emas sebesar gunung Uhud, niscaya dia tidak akan dapat mencapai satu mud yang mereka sedekahkan, tidak pula setengahnya."
    Jumhur (mayoritas) ulama berpendapat bahwa orang yang menghina sahabat Nabi saw. adalah orang fasik, bahkan ada sebagian ulama yang mengafirkannya.
    Ibnu Hajar al-Haitami berkata dalam kitab Az-Zawâjir, "An-Nawawi dan ar-Rafi'i, serta para ulama syafi'iyah yang lain berpendapat bahwa pelecehan terhadap sahabat adalah dosa besar. Jalal al-Bulqini berkata, "Perbuatan itu termasuk dalam tindakan keluar dari jamaah. Itu adalah perbuatan bid'ah yang ditunjukkan dengan meninggalkan Sunnah. Sehingga, barang siapa yang melecehkan sahabat, maka, sesuai dengan kesepakatan ulama, dia telah berbuat dosa besar."
    Dalam Ash-Shârim al-Maslûl Ibnu Taimiyah berkata, "Orang yang mencela para sahabat dengan sesuatu yang tidak mengurangi 'adâlah ataupun kwalitas keagamaan mereka –seperti mengatakan bahwa sahabat tertentu kikir, pengecut, tidak berilmu, tidak zuhud dan sebagainya—, harus dita'zir (hukuman yang kadarnya diserahkan kepada hakim) dan diberi pelajaran, tapi dia tidak dikafirkan. Pendapat sebagian ulama yang tidak mengafirkan orang yang melecehkan para sahabat harus dipahami sesuai dengan penafsiran ini."
    Khatib al-Baghdadi, dalam kitab al-Kifâyah, menulis sebuah bab khusus yang menjelaskan tentang 'adâlah para sahabat. Di dalam bab itu dia menyebutkan nas-nas yang menunjukkan 'adâlah mereka. Dia menutup pembahasan itu dengan menyebutkan sebuah ucapan yang diriwayatkan dengan sanadnya dari Imam Abu Zur'ah ar-Razi (salah seorang ulama besar hadis), dia berkata, "Jika engkau melihat seseorang melecehkan salah seorang sahabat Rasulullah saw., maka ketahuilah bahwa dia adalah seorang zindik. Hal ini karena menurut kita Rasulullah saw. adalah benar dan Alquran adalah benar. Orang yang menyampaikan Alquran dan Sunnah adalah para sahabat Rasulullah saw.. Orang yang melecehkan para sahabat sebenarnya ingin melecehkan para saksi (perantara risalah) kita itu guna menolak Alquran dan Sunnah. Jadi orang-orang itu lebih pantas untuk dilecehkan, karena mereka adalah kaum zindik."
    Adapun jawaban secara terperinci terhadap kebohongan yang ditulis oleh penulis artikel di atas adalah sebagai berikut:
    1. Kemiskinan Abu Hurairah.
    Salah satu hal yang menunjukkan keutamaan orang-orang miskin, terutama jika mereka adalah para sahabat yang telah lebih dahulu memeluk Islam, adalah firman Allah yang ditujukan kepada Nabi-Nya,
    "Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan petang hari, sedang mereka menghendaki keridhaan-Nya." (Al-An'âm: 52).
    Karena itulah Rasulullah saw. sangat menghormati dan memuliakan para fakir miskin, terutama para ahlush shuffah. Mereka adalah orang-orang miskin dari kaum Muhajirin yang tinggal di halaman Masjid Nabawi. Setiap sahabat yang berhijrah akan bergabung bersama mereka, sehinga jumlah mereka menjadi banyak. Keadaan mereka sangat memprihatinkan, namun mereka bersabar dan tabah. Al-Hafizh Abu Nu'aim menjelaskan mengenai ahlush shuffah ini secara terperinci di awal kitabnya Hilyatul-Awliyâ`.
    2. Penggembala kambing.
    Hal ini bukanlah suatu kekurangan, tapi justru merupakan pujian untuk Abu Hurairah. Karena hal ini sesuai dengan keadaan para nabi sebagaimana yang disebutkan dalam sabda Rasulullah saw.,
ما بَعَثَ اللَّهُ نَبِيًّا إلاّ رَعَى الغَنَمَ

"Tidaklah Allah mengutus seorang Nabi kecuali ia pernah menggembala kambing."
Lalu para sahabat berkata, "Dan Engkau juga, wahai Rasulullah?" "Ya," jawab beliau. "Aku dahulu menggembala kambing penduduk Mekkah untuk mendapatkan beberapa qirath." (HR. Bukhari). Satu qirath adalah seperenam dirham.
    3. Abu Hurairah dipermalukan ketika berdebat dengan Aban setelah perang Hunain.
    Klaim ini sama sekali tidak benar. Yang benar adalah keduanya seimbang dalam perdebatan itu. Aban tidak berbicara kepada Abu Hurairah kecuali setelah Abu Hurairah berkata mengenai dirinya, "Ini adalah pembunuh Ibnu Qawqal (salah seorang sahabat yang terbunuh pada perang Uhud)." Perdebatan itu bukan karena meminta jatah dari harta rampasan perang. Adapun tentang siapa dari keduanya yang meminta jatah tersebut, maka terdapat sejumlah riwayat yang berbeda-beda. Sebagian riwayat menjelaskan bahwa yang memintanya adalah Abu Hurairah dan sebagian yang lain menerangkan bahwa yang memintanya adalah Aban. Ibnu Hajar berusaha mengompromikan riwayat itu dengan menyimpulkan bahwa keduanya memang meminta jatah dari harta rampasan, namun keduanya tidak diberi sama sekali. Maka, mengapa penulis artikel hanya menyebut Abu Hurairah saja dan tidak menyebutkan Aban? Di samping itu, seseorang yang meminta jatah dari harta rampasan perang karena mengira dia mempunyai hak di dalamnya bukanlah tindakan tercela. Setelah perang Badar saja, para pemuda berselisih dengan para orang tua mengenai harta rampasan perang. Sehingga Allah menurunkan ayat,
    "Mereka menanyakan kepadamu tentang (pembagian) harta rampasan perang. Katakanlah, "Harta rampasan perang kepunyaan Allah dan Rasul. Oleh sebab itu bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah perhubungan di antara sesamamu. Dan taatlah kepada Allah dan rasul-Nya jika kamu adalah orang-orang yang beriman." (Al-Anfâl [8]: 1).
    Padahal para sahabat yang ikut serta dalam perang Badar adalah para tokoh penting dari kalangan mereka.
    4. Abu Hurairah memeluk Islam supaya mendapatkan makanan.
    Klaim ini merupakan pelecehan terhadap keikhlasan dan ketulusan para sahabat. Ini adalah pernyataan yang tidak sopan dan jauh dari etika. Meninggalkan negeri sendiri untuk mendatangi seorang laki-laki yang dimusuhi oleh seluruh bangsa Arab bukanlah perbuatan gampang. Itu merupakan bukti keseriusan niatnya.
    5. Abu Hurairah tidak dikenal namanya, tapi yang dikenal gelarnya saja.
    Hal ini tidaklah berpengaruh sama sekali terhadap 'adalah-nya. Sangat banyak sahabat, juga para ulama setelah mereka, yang tidak diketahui namanya tapi hanya diketahui kuniyah dan gelarnya saja. Terdapat juga yang diketahui namanya namun lebih dikenal dengan kuniyah dan gelarnya, sehingga jika disebut namanya maka tidak ada yang mengetahuinya. Buku biografi para tokoh Islam dan buku-buku ilmu hadis adalah bukti terkuat mengenai hal itu. Apalagi Ibnu Hajar dalam al-Ishâbah, menyatakan bahwa perbedaan nama Abu Hurairah tidak keluar dari tiga buah nama yang disebabkan perbedaan keshahihan riwayat.

    6. Abu Hurairah selalu ditemani oleh seekor kucing.
    Menjadikan hal di atas sebagai alat untuk melecehkan Abu Hurairah menunjukkan kebodohan dan kacaunya standar yang digunakan oleh penulis. Dampaknya, dia pun menganggap kasih sayang sebagai sifat yang tercela. Islam tidaklah menganggap perhatian terhadap hewan sebagai sikap yang tercela. Ini adalah sesuatu yang tidak mungkin diingkari oleh orang yang berakal.
    Tirmidzi meriwayatkan kehidupan masa kecil Abu Hurairah dalam suatu riwayat yang derajatnya dia hukumi hasan. Abu Hurairah berkata, "Saya dahulu menggembalakan kambing keluarga saya. Saya mempunyai seekor kucing kecil. Jika malam datang, saya menaruhnya di pohon. Ketika siang hari saya mengambilnya dan bermain dengannya. Maka orang-orang pun menggelari saya Abu Hurairah (Bapak seekor kucing kecil)." Sedangkan riwayat-riwayat lain tentang kehidupan Abu Hurairah bukanlah riwayat yang valid. Rasulullah saw. sendiri selalu memanggil beliau dengan gelarnya itu sebagai pujian dan ungkapan kasih sayang.
    7. Abu Hurairah tidak dapat menulis dan membaca.
    Karakteristik ini merupakan hal yang umum bangsa Arab pada waktu itu, sebagaimana ditegaskan dalam Alquran. Sebagian besar sahabat adalah orang-orang yang tidak dapat menulis dan membaca. Abu Hurairah sendiri, sebagaimana diriwayatkan Tirmidzi, mengatakan, "Tidak ada seorang pun yang mengumpulkan hadis Nabi saw. yang lebih banyak dari diriku, kecuali Abdullah bin 'Amr. Karena dia dapat menulis sedangkan aku tidak." (Tirmidzi berkata, "Ini adalah hadis hasan shahih.").
    8. Umar mengangkat Abu Hurairah menjadi gubernur Bahrain karena dia termasuk sahabat kecil (yunior), Umar juga pernah mengaudit hartanya serta memukulnya.
    Jawaban atas klaim ini adalah bahwa Umar tidaklah mengangkat seseorang menjadi gubernur kecuali dia dari kalangan orang-orang saleh. Umar juga tidak bersikap keras terhadap Abu Hurairah dalam urusan harta karena tuduhan korupsi. Tapi itu merupakan ijtihad keduanya dalam urusan harta kekayaan. Buktinya, Umar pernah menawarkan kembali kepada Abu Hurairah untuk menjadi gubernur, tapi dia menolaknya sebagaimana disebutkan dalam kitab al-Istî'âb. Ini menunjukkan bahwa dia tidak ambisius terhadap kekuasaan dan harta. Adapun sikap tegas Umar, maka itu merupakan karakteristik yang dimilikinya, bukan hanya ditujukan kepada Abu Hurairah. Dan ini merupakan sesuatu yang umum diketahui mengenai Umar. Bukti atas hal ini adalah kisah Mu'adz bin Jabal yang kehabisan harta karena kedermawanannya. Kemudian Rasulullah saw. mengutusnya ke Yaman agar dia bisa mendapatkan harta untuk memenuhi kebutuhannya. Ketika Mu'adz kembali ke Madinah, Umar menuntut agar dilakukan audit terhadap harta yang diperoleh Mu'adz, sehingga akhirnya Abu Bakar –yang merupakan khalifah— menyelesaikan masalah itu. Kemudian di masa kekhalifahan Umar, ketika Abu Ubaidah –gubernur Syam— meninggal dunia, Umar pun mengangkat Mu'adz sebagai gubernur Syam menggantikan Abu Ubaidah. Jika sikap tegas Umar terhadap para pemimpin umat adalah karena tuduhan korupsi, maka tidak mungkin Umar akan mengangkat kembali Mu'adz untuk menjadi gubernur setelah peristiwa yang terjadi di masa Abu Bakar.
    9. Abu Hurairah pernah bekerja pada anak perempuan Ghazwan untuk mencukupi kebutuhan hidupnya.
   Melecehkan Abu Hurairah karena hal di atas merupakan hal yang sangat aneh. Cukuplah menjadi suatu kebanggaan bagi seorang pekerja upahan bahwa Nabi Musa a.s. juga pernah menjadi seorang pekerja upahan. Allah berfirman,
   "Berkatalah dia (Syu'aib): "Sesungguhnya Aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu." (Al-Qashash [28]: 27).
    Karena pentingnya kisah perjalanan hidup Abu Hurairah ini, maka berikut ini kami nukilkan kisah tersebut dari kitab al-Ishâbah karya Ibnu Hajar. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, "Dalam kitab Hilyatul-Auliya` dari kitab at-Târîkh karya Abu Abbas as-Sarraj, dengan sanad shahih dari Mudharib bin Hazan, dia berkata, "Pada suatu malam, ketika saya sedang berjalan, saya mendengar seorang laki-laki bertakbir. Saya lalu menghampirinya dan bertanya kepadanya, "Ada apa?" Dia berkata, "Saya sangat bersyukur kepada Allah. Saya dahulu adalah seorang buruh upahan pada Busrah binti Ghazwan untuk memenuhi kebutuhan dan makanan saya. Jika mereka menaiki tunggangan maka saya yang akan menuntunnya. Jika mereka singgah di suatu tempat maka saya akan memenuhi keperluan mereka. Lalu Allah menikahkan saya dengannya. Sehingga, saat ini sayalah yang menaiki tunggangan. Dan jika saya singgah di suatu tempat, maka semua kebutuhan saya akan dipenuhi."
    Lihatlah ketawaduan (rendah hati) Abu Hurairah dan rasa syukurnya kepada Allah. Semua itu tidak akan mungkin dilakukan oleh orang yang sombong dan tidak bersyukur.
    10. Abu Hurairah memalsukan hadis tentang keutamaan Ja'far karena dia bersimpati padanya.
    Tuduhan ini menunjukkan kebodohan penulis artikel di atas. Karena, Abu Hurairah tidak menisbatkan perkataan itu kepada Nabi saw., tapi dia menisbatkannya pada dirinya sendiri. Karena hal itu merupakan pendapat pribadinya mengenai Ja'far sebagaimana yang dilakukan oleh para sahabat lainnya. Penulis artikel melakukan kesalahan ini, karena dia tidak dapat membedakan antara hadis marfu' dan hadis mauquf. Namun anehnya, dia berani melecehkan dan menuduh Abu Hurairah dan Bukhari.
    11. Kisah kelaparan Abu Hurairah yang kemudian mendatangi Umar untuk bertanya mengenai  makna suatu ayat dengan tujuan mendapatkan makanan.
    Ada beberapa hal yang menjadi kesalahan penulis artikel tentang kisah ini. Pertama, penulis menjadikan peristiwa itu seakan-akan sebagai kebiasaan Abu Hurairah r.a.. Kedua, dalam kisah ini Abu Hurairah tidak meminta makanan secara langsung, akan tapi dia hanya mengharap agar mendapatkan makanan dengan tetap menjaga 'iffah (harga dirinya). Tindakan ini dibolehkan apalagi bagi seseorang yang kelaparan. Adapun pernyataan Umar bahwa Abu Hurairah ketika itu menyusahkannya, maka itu adalah hak Umar. Bisa jadi ketika itu Umar tidak memahami maksud Abu Hurairah, dan ini bisa saja terjadi. Atau mungkin juga Umar tidak memiliki makanan yang dapat dia berikan, tapi dia malu untuk berterus terang. Kemungkinan ini juga bukanlah hal yang aneh. Karena hal ini pernah terjadi pada Umar dan Abu Bakar, bahkan terjadi pada Rasulullah saw.. Diriwayatkan oleh Muslim, "Pada suatu siang –atau malam— Rasulullah saw. keluar dari rumahnya. Tiba-tiba beliau bertemu dengan Abu Bakar dan Umar. Maka Rasulullah saw. pun berkata, "Apa yang menyebabkan kalian keluar dari rumah pada saat seperti ini?" Mereka menjawab, "Rasa lapar wahai Rasulullah." Beliau berkata, "Demi Zat yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya, aku pun keluar karena sebab yang sama." Lalu beliau melanjutkan, "Marilah kita berjalan." Lalu keduanya pergi bersama Rasulullah saw. menuju rumah seorang sahabat dari kaum Anshar...." Apa pendapat penulis artikel mengenai hadis ini?
    12. Kisah pendelegasian Abu Hurairah bersama 'Ala` al-Hadrami kepada Mundzir bin Sawi guna mengajaknya masuk Islam.
    Tidak ada yang dapat disimpulkan dari peristiwa ini kecuali bukti akan keutamaan Abu Hurairah. Pengiriman Abu Hurairah bersama delegasi tersebut menunjukkan kepercayaan Rasulullah saw. terhadapnya. Adapun pesan Rasulullah saw. kepada ketua delegasi agar bersikap santun terhadap Abu Hurairah, maka itu adalah bukti kecintaan beliau kepadanya, bukan sebaliknya. Terpilihnya Abu Hurairah untuk mengumandangkan azan di tempat itu juga merupakan bukti keutamaan dirinya.
    Pendelegasian sahabat seperti ini adalah hal yang sering berlangsung. Banyak sekali sahabat yang pernah dikirim oleh Rasulullah saw. untuk suatu tugas khusus, seperti Muadz, Khalid, Ali dan Abu Musa. Maka, atas dasar apa penulis artikel mengkhususkan pendelegasian salah seorang dari mereka sebagai suatu upaya untuk mengasingkannya? Jika Nabi saw. ingin untuk mengasingkannya, tentu beliau dapat melakukannya dengan mudah, sebagaimana yang beliau lakukan terhadap Hakam bin Abul 'Ash yang diasingkan ke Thaif. Padahal Hakam bin Abul 'Ash mempunyai posisi lebih kuat dan lebih banyak pengikut daripada Abu Hurairah. Kisah pengasingan Hakam ini disebutkan dalam al-Ishâbah dan buku biografi lainnya.
    13. Abu Hurairah suka bercanda.
    Hukum dasar bercanda adalah boleh. Kisah bercanda Abu Hurairah dengan anak-anak kecil merupakan sikapnya yang terpuji. Kisah itu adalah ketika dia menjabat sebagai gubernur Madinah, sehingga itu menujukkan kerendahan hati beliau dan perilakunya yang baik. Adapun bercanda dengan anak-anak, maka terdapat hadis yang menceritakan tentang kisah bercanda Nabi saw. dengan salah seorang anak kecil yang burungnya mati. Beliau berkata kepadanya, "Wahai Abu Umair, apa yang sedang dilakukan oleh Nughair (nama burung)?" Nabi saw. juga bercanda, akan tetapi beliau tetap mengatakan hal yang benar.
    14. Abu Hurairah mengklaim dirinya tahu tentang ilmu kedokteran.
    Dalam hal ini penulis artikel hanya menukil satu perkataan Abu Hurairah tentang pengobatan. Tentu ini tidak bisa dikatakan sebagai klaim. Di samping itu, tidak ada salahnya jika seseorang menukil perkataan para pakar kedokteran di masanya, dan ini sah sah saja. Hal ini jika penisbatan kata-kata itu Abu Hurairah adalah benar.
    15. Abu Hurairah melarikan diri dari perang Mu`tah.
    Ini adalah tuduhan yang sangat aneh. Karena, sebagaimana diketahui, ketika itu seluruh pasukan muslim mundur dari medan perang sebagai taktik jitu dari Khalid bin Walid setelah terjadinya pertempuran hebat. Jika penulis artikel menganggap bahwa itu adalah tindakan melarikan diri dari medan pertempuran, maka mengapa dia mengkhususkan hal itu pada Abu Hurairah, bukan pada shahabat yang lain?
    16. Pada perang Shiffin, Abu Hurairah ketika shalat dia menjadi makmum Ali a.s., namun ketika makan dia bersama Muawiyah. Ketika ditanya mengenai hal itu, dia menjawab, "Madhîrah (nama makanan) Muawiyah lebih lezat. Dan salat di belakang Ali lebih afdal dan nikmat." Karena itulah dia dikenal dengan Syaikh Madhirah. Juga tentang kisah Abu Hurairah tidak ikut perang membela salah satu kelompok.
    Kisah ini hanya disebutkan dalam buku-buku sastra tanpa disertai sanad. Zamakhsyari menyebutkan kisah-kisah ini dalam Rabî'ul Abrâr dan Ibnu Abi Hadid dalam Syarh Nahjul Balâghah. Keduanya menukil apa saja yang sesuai dengan mazhab mereka meskipun tanpa sanad. Selain itu, kisah tersebut juga tidak dikenal kecuali berasal dari para pengikut pemikiran sesat. Seandainya pun kita menerima kisah tersebut, maka di dalamnya tidak ada sesuatu pun yang menunjukkan kejelekan Abu Hurairah. Berpindah-pindahnya Abu Hurairah antara kedua kelompok yang berseteru tersebut selama peperangan, menunjukkan bahwa dia adalah orang yang dipercaya oleh kedua kelompok. Tidak ada satu kelompok pun yang merasa bahwa dia datang untuk memata-matai mereka. Adapun ucapannya ketika dia bersama Muawiyah, "Shalat bersama Ali lebih afdal", maka ini menunjukkan kuatnya kepribadian Abu Hurairah dan ketegarannya dalam kebenaran. Seandainya dia hanya ingin mendapatkan makanan, tentu dia akan berpura-pura di hadapan mereka. Ditambah lagi pada waktu itu Abu Hurairah telah menjadi orang yang berkecukupan setelah menjadi gubernur Bahrain di masa Nabi saw. dan di masa Umar. Adapun sikapnya yang tidak ikut dalam salah satu kelompok ketika peperangan itu, maka sikap itu juga yang diambil oleh para sahabat yang lain, seperti Abdullah bin Umar dan Saad bin Abi Waqqash yang merupakan salah satu dari sepuluh sahabat yang mendapat kabar gembira akan masuk surga.
    17. Larangan Umar terhadap Abu Hurairah untuk meriwayatkan hadis, dan perkataannya bahwa Umar akan melukai kepalanya jika mendengarnya menyebutkan sejumlah hadits tertentu.
    Kisah ini tidaklah benar. Kisah ini hanya disebutkan dalam buku Ibnu Abi Hadid, seorang yang berpaham Muktazilah dan dituduh sebagai Rafidhah. Seandainya pun kita menerima kebenaran kisah ini, maka larangan Umar agar tidak menyebarkan hadis adalah berlaku umum untuk semua sahabat. Kisah Umar dengan Abu Musa dalam masalah hadis meminta izin yang diriwayatkan oleh Muslim, bukanlah hal yang asing bagi banyak orang. Oleh karena sikap Umar tersebut tidak khusus untuk Abu Hurairah saja. Seandainya kisah larangan itu benar, maka itu perlu dipahami sebagai larangan untuk menyebarkan hadis-hadis yang berkaitan dengan rukhshah (keringanan) atau tentang peristiwa-peristiwa perselisihan umat Islam, yang harus benar-benar diperhatikan hikmah dari periwayatannya.
    18. Klaim penulis artikel bahwa dia telah membongkar kesalahan Imam Bukhari dan kitab Shahihnya.
    Imam Bukhari adalah imam para ulama hadis. Adapun kitabnya, ash-Shahîh, adalah kitab yang isinya paling benar setelah Alquran. Ini sebagaimana ditegaskan dalam buku-buku mushthalah hadis. Syarat-syarat ketat dalam periwayatan yang ditetapkan Bukhari di dalam kitabnya merupakan hal yang umum diketahui di kalangan para ulama. Adapun pelecehan terhadap kitab itu karena beberapa hadis yang tidak dipahami oleh otak orang-orang seperti penulis artikel tersebut, tidak akan merubah hakekat yang sebenarnya. Bantahan terhadap hal ini adalah perkataan Imam Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah yang telah disebutkan di depan ketika membela Abu Hurairah.
    Dengan demikian, berdasarkan pertanyaan di atas, orang yang melecehkan para sahabat adalah orang fasik dan tertolak kesaksiannya. Begitu pula dengan orang yang menjelekkan Imam Bukhari. Hal ini karena orang seperti itu berbicara mengenai agama Allah tanpa bekal ilmu. Juga karena orang yang mencela para ulama perawi hadis, baik dari kalangan sahabat ataupun ulama-ulama setelah mereka, seakan-akan ingin membatasi syariat Islam pada generasi awal saja, tanpa bisa dinikmati oleh generasi-generasi selanjutnya. Sudah umum diketahui bahwa orang seperti ini telah didahului oleh orang-orang yang sepaham yang akhirnya tenggelam dalam tong sampah sejarah.
    Orang yang melakukan hal-hal di atas harus dijatuhi hukuman ta'zir. Jika syariah dan hukum positif (buatan manusia) saja menghukum orang yang menyebarkan berita bohong karena dapat menimbulkan keresahan, maka orang yang mencoba menggoyahkan akidah kaum muslimin dan menyebarkan info bohong mengenai perkara yang tetap (tsawâbit) dalam agama, tentunya lebih pantas untuk dihukum.
    Oleh karena itu kita tidak boleh takut atau ragu untuk menjatuhkan sanksi dan memberi pelajaran kepada orang yang telah menjual agamanya dengan dunia dan orang yang mencari popularitas dengan mencemarkan pokok-pokok agama dan ajaran-ajaran utamanya. Hal ini agar menjadi pelajaran bagi orang lain yang juga tergoda untuk mengusik ketenangan dan kestabilan masyarakat. Saat ini kondisi umat Islam relatif tenang, maka telaknatlah orang yang menyulut kekacauan di dalamnya.
Wallahu subhânahu wa ta'âlâ a'lam.

Sumber : Dar al Iftaa ( Lembaga Fatwa Mesir)
Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tayangan Halaman