honan fatwa No. 176 tahun 2007 yang berisi:
Apa pendapat anda mengenai kelompok
Jamaah Tabligh dan pendirinya, Syaikh Muhammad Ilyas, yang pernah
menyatakan dalam salah satu suratnya kepada para pengikutnya, "Jika
Allah tidak menginginkan seseorang untuk melakukan suatu perbuatan, maka
dia tidak mungkin melakukannya, bahkan jika orang itu adalah nabi. Jika
Allah menginginkan para kaum lemah seperti kalian untuk melakukan suatu
perbuatan yang tidak dapat dilakukan oleh para nabi, niscaya Allah
dapat melakukannya. Oleh karena itu, kalian harus melakukan apa yang
diminta dari kalian dan jangan melihat kelemahan kalian."
Dalam suratnya yang lain dia berkata,
"Kita mempunyai kabar gembira dan janji yang benar bagi umat akhir
zaman, bahwa pahala satu orang dari kalian dapat setara dengan pahala
lima puluh orang sahabat."
Dengan ucapannya itu, apakah dia
telah berbuat kesalahan terhadap Allah dalam masalah pemilihan para
rasul? Karena, perkataannya itu mengandung pengertian bahwa Allah telah
mengutus para rasul yang tidak mampu mengemban risalah, padahal Allah
telah berfirman,
"Allah lebih mengetahui di mana Dia menempatkan tugas kerasulan". (Al-An'âm: 124).
Dan firman-Nya,
"Allah memilih utusan-utusan- (Nya) dari malaikat dan dari manusia". (Al-Hajj: 75).
Jika para rasul itu layak mengemban
risalah tapi Allah tidak menghendaki mereka untuk melaksanakan tugas
yang diembankan kepada mereka, maka ini berarti suatu kekurangan dalam
keinginan dan kehendak Allah. Syaikh Muhammad Ilyas menghendaki agar
para pengikutnya melakukan apa yang tidak dapat dilakukan oleh para
rasul, sehingga hal ini merendahkan martabat para rasul dan juga Allah
yang mengutus mereka.
Ucapannya dalam surat yang kedua pun
demikian. Semua ini tentu saja bertentangan dengan akidah kaum muslimin.
Apa pendapat anda mengenai masalah ini?
|
||
|
||
Para penuntut ilmu hendaknya menjauhi tindakan dan sikap suka
mengafirkan, memfasikkan, membid'ahkan dan menyesatkan orang lain,
sebagaimana banyak tersebar di kalangan pelajar pada zaman ini.
Hendaknya mereka memperhatikan etika berselisih dan berbeda pendapat
dengan saudara-saudara mereka dan tidak menjadikannya sebagai alasan
untuk menuduh kaum muslimin yang berbeda pendapat dengannya telah keluar
dari agama. Karena, sikap seperti ini merupakan tindakan jahat dalam
berselisih yang oleh Nabi saw. dikategorikan sebagai salah satu dari
tanda-tanda kaum munafik. Beliau bersabda,
أَرْبَعٌ مَنْ كُنَّ فِيْهِ كَانَ
مُنَافِقًا خَالِصًا، وَمَنْ كَانَتْ فِيْهِ خَصْلَةٌ مِنْهُنَّ كَانَتْ
فِيْهِ خَصْلَةٌ مِنَ النِّفَاقِ حَتَّى يَدَعَهَا: إِذَا اْؤتُمِنَ خَانَ،
وَإِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا عَاهَدَ غَدَرَ، وَإِذَا خَاصَمَ فَجَرَ
"Ada empat hal yang jika terkumpul pada diri seseorang maka ia menjadi seorang munafik sejati. Jika salah satu saja dari keempat hal itu terdapat pada diri seseorang maka ia memiliki sebagian sifat munafik sampai ia meninggalkannya. (Yaitu) jika dipercaya ia berkhianat, jika berbicara ia berdusta, jika berjanji ia tidak menepati dan jika berselisih ia berikap jahat (curang)." (Muttafaq alaih dari hadis Ibnu Umar r.a.).
Tidaklah sama antara perbedaan dalam
sarana dakwah yang digunakan –yang merupakan hal biasa dan dapat
diterima karena perbedaan tabiat dan fitrah manusia— dengan perbedaan
yang mengakibatkan perpecahan dan usaha mencari-cari kesalahan orang
lain guna menuduhnya telah fasik dan keluar dari tuntunan Allah. Bahkan,
terkadang tuduhan itu mencapai derajat pengafiran, sebagaimana yang
terjadi pada beberapa kelompok kaum muslimin di zaman ini. Perbedaan
dalam bentuk kedua ini telah dilarang oleh Allah SWT dalam Alquran,
"Dan janganlah kalian berbantah-bantahan yang menyebabkan kalian menjadi gentar dan hilang kekuatan kalian". (Al-Anfâl: 46).
Nabi saw. juga mengancam seseorang yang menuduh saudaranya dengan tuduhan kafir. Beliau bersabda,
لاَ يَرْمِي رَجُلٌ رَجُلاً بِالْفِسْقِ
وَلاَ يَرْمِيْهِ بِالْكُفْرِ إِلاَّ ارْتَدَّتْ عَلَيْهِ إِنْ لَمْ يَكُنْ
صَاحِبُهُ كَذَلِكَ
"Tidaklah seseorang menuduh orang lain dengan kefasikan atau kekafiran, kecuali tuduhan itu kembali kepadanya jika orang yang dia tuduh itu tidak demikian." (HR. Bukhari dari hadis Abu Dzar r.a.).
Dan sabda Rasulullah saw.,
إِذَا كَفَّرَ الرَّجُلُ أَخَاهُ فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا
"Jika seseorang mengafirkan saudaranya, maka kekafiran itu kembali kepada salah satu dari keduanya." (HR. Muslim dari hadis Abdullah bin Umar r.a.).
Secara hukum asal, perkataan dan
perbuatan yang berasal dari seorang muslim harus dipahami dengan makna
yang tidak bertentangan dengan akidah tauhid serta tidak boleh
terburu-buru menuduhnya sebagai kafir atau musyrik. Karena, keislaman
orang tersebut merupakan indikasi kuat yang mengharuskan kita untuk
tidak mengartikan perbuatannya itu dengan sesuatu yang mengandung
kekafiran. Ini adalah ketentuan atau kaidah umum yang sepatutnya
diterapkan pada semua tindakan dan ucapan yang berasal dari kaum
muslimin. Imam Malik berkata mengenai hal ini, "Barang siapa yang dari
dirinya keluar sesuatu yang dapat dimaknai sebagai bentuk kekafiran dari
sembilan puluh sembilan sisi, namun dapat juga dimaknai sebagai bentuk
keimanan dari satu sisi saja, maka hal itu harus dipahami sesuai dengan
makna keimanan itu."
Seorang muslim wajib meyakini bahwa
Nabi Isa a.s. dapat menghidupkan orang yang telah meninggal tapi dengan
izin Allah SWT. Beliau tidak dapat melakukan itu dengan kemampuannya
sendiri, melainkan dengan kekuasaan dan kekuatan Allah. Sedangkan kaum
Nasrani berkeyakinan bahwa beliau dapat menghidupkan orang yang telah
meninggal dengan kekuatan beliau sendiri. Mereka berkeyakinan bahwa Nabi
Isa a.s. adalah Allah, atau putra Allah, atau salah satu oknum Allah.
Dengan demikian, jika kita mendengar seorang muslim berkata, "Saya
berkeyakinan bahwa Nabi Isa a.s. dapat menghidupkan orang yang telah
meninggal.", maka perkataannya ini –yang juga dikatakan oleh orang
Kristen— tidak sepatutnya kita jadikan alasan bahwa orang muslim
tersebut telah murtad dan menjadi seorang Kristen. Akan tetapi, kita
wajib mengartikan perkataan tersebut dengan makna yang sesuai dengan
keislaman dan akidah tauhidnya.
Begitu pula, seorang muslim
berkeyakinan bahwa ibadah tidak boleh ditujukan kecuali kepada Allah,
dan sebaliknya, seorang musyrik berkeyakinan bahwa ibadah boleh
ditujukan kepada selain Allah. Oleh karena itu, jika kita melihat
seorang muslim melakukan suatu perbuatan untuk selain Allah yang bisa
mengandung arti penyembahan dan bukan, maka kita wajib mengartikannya
dengan makna yang sesuai dengan akidahnya sebagai seorang muslim.
Karena, seseorang yang benar-benar telah mengikrarkan diri sebagai
seorang muslim, maka ikrar tersebut tidak dapat dibatalkan dengan suatu
keraguan atau kebimbangan.
Jika hukum seperti ini saja
diberlakukan untuk para muslimin yang awam, maka tentu akan lebih layak
untuk diberlakukan pada orang yang dikenal kebenaran akidahnya. Apalagi
orang tersebut telah diakui kelebihan dan keutamaannya dalam berdakwah,
serta sosok yang berada di garda depan dalam menyampaikan agama Allah
dan mengajak kaum muslimin untuk kembali berpegang teguh kepada agama
mereka dan sunnah nabi mereka. Syaikh Muhammad Ilyas adalah termasuk
dalam kategori ini, insyaallah.
Adapun perkataan beliau, "Jika Allah
tidak menginginkan seseorang melakukan suatu perbuatan, maka dia tidak
mungkin melakukannya, bahkan jika dia seorang nabi pun", adalah
perkataan yang sesuai dengan akidah Islam. Karena, perkataan ini
menegaskan bahwa tidak ada sesuatu pun yang terjadi kecuali yang
dikehendaki oleh Allah. Hal ini sesuai firman Allah,
"Dan kalian tidak mampu (menempuh
jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah
Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana". (Al-Insân: 30).
Adapun perkataannya setelah itu,
"Jika Allah menginginkan para kaum lemah seperti kalian untuk melakukan
suatu perbuatan yang tidak dapat dilakukan oleh para nabi, maka Allah
pasti dapat melakukannya. Oleh karena itu, kalian harus melakukan apa
yang diminta dari kalian dan jangan melihat kelemahan kalian," maka
perkataan ini bisa saja menjadi kenyataan berdasarkan hukum akal (rasio)
yang masuk dalam lingkup kekuasaan Allah, namun tidak mungkin terjadi
berdasarkan hukum dan realitas syarak. Seandainya pun hal itu terjadi
dalam realitas, maka hal itu tidak berarti bahwa pelakunya lebih utama
dari para nabi. Karena keistimewaan tidak harus menyebabkan keutamaan.
Jihad para sahabat bersama Rasulullah saw., misalnya, merupakan
keistimewaan yang tidak diberikan kepada para nabi. Tapi, meskipun
demikian, para nabi lebih utama dari para sahabat.
Syaikh Muhammad Ilyas tidak
mengatakan bahwa orang yang dengan seizin Allah dapat melakukan sesuatu
yang tidak dilakukan oleh para nabi adalah lebih baik dari para nabi
tersebut. Lalu bagaimana perkataan yang dinukil darinya itu bisa
diartikan dengan makna yang tidak sesuai dengan isinya? Yaitu dianggap
mengandung pelecehan terhadap para nabi dan rasul, sehingga dianggap
telah menyalahkan Allah dalam hal pemilihan para rasul-Nya karena telah
memilih para rasul yang tidak mampu mengemban risalah-Nya. Dan jika para
rasul itu layak mengemban risalah itu tapi kemudian Allah tidak
menghendaki mereka melaksanakan tugas yang diembankan kepada mereka,
maka ini berarti terdapat kekurangan dan ketidaksempurnaan dalam
keinginan dan kehendak Allah itu. Sungguh, kata-kata ini sangat tidak
pantas dan tidak dapat diterima oleh akal maupun naql (dalil syarak).
Tuduhan ini dapat dibantah dari beberapa sudut:
1. Pemilik perkataan
ini (Syeikh Ilyas) tidak mengatakan bahwa perbuatan yang tidak diizinkan
oleh Allah untuk dilakukan oleh para nabi adalah tugas yang dibebankan
kepada mereka sehingga hal itu tidak bisa dianggap sebagai pelecehan
terhadap para rasul.
2. Bahkan, seandainya pun yang dimaksud adalah tugas yang dibebankan kepada para nabi itu, maka hal itu tidak mengharuskan adanya ketidaksempurnaan dalam keinginan dan kehendak Allah ataupun pelecehan terhadap para nabi. Karena, terdapat perbedaan antara kehendak penciptaan (al-masyî`ah al-kawniyyah) dan keinginan pensyar'iatan (al-irâdah asy-syar'iyyah). Allah terkadang memerintahkan suatu perbuatan berdasarkan keinginan pensyariatan (berdasarkan syarak), namun Allah tidak menghendaki hal itu terjadi dalam kehendak penciptaan (kenyataan). Misal untuk keinginan pensyariatan adalah Allah telah memerintahkan Nabi Adam a.s. untuk tidak memakan buah pohon Khuldi, tapi dalam kehendak penciptaan, Nabi Adam a.s. memakannya. Misalnya juga, secara keinginan pensyariatan Allah memerintahkan Ibrahim a.s. untuk menyembelih anaknya, tapi dalam kehendak penciptaan Allah tidak menghendaki hal itu terjadi dalam kenyataan. Tidak membedakan antara kedua hal tersebut merupakan pendapat kelompok Muktazilah dan para pelaku bid'ah yang bertentangan dengan Alquran, Sunnah dan ijmak salaf saleh. 3. Allah SWT adalah Maha Berkehendak, sehingga Dia tidak wajib atau tidak harus melakukan sesuatu. Allah melakukan sesuatu sesuai dengan kehendak-Nya dan memutuskan hukum sesuai dengan keinginan-Nya. Tidak ada seorangpun yang boleh menghukumi Allah dalam urusan makhluk-Nya dengan mengatakan bahwa jika para nabi tidak melakukan suatu perkara maka Allah tidak akan membiarkan orang lain melakukannya, walaupun hal itu tidaklah mustahil baik secara akal maupun syarak. 4. Adapun menuduh bahwa para rasul tidak mampu mengemban tugas risalah karena tidak melaksanakan beberapa hal yang diperintahkan kepada mereka, maka ini adalah sikap tidak sopan dan tidak tahu malu terhadap mereka. Para ulama muhaqqiqin menyatakan bahwa jika memang ada perintah Allah yang tidak dilakukan oleh sebagian rasul, maka hal itu sama sekali bukanlah suatu perbuatan maksiat dari mereka, tapi bisa saja mereka dimaafkan berdasarkan alasan mereka atau bisa jadi itu bukan perintah yang wajib.
Adapun perkataan Syaikh Muhammad
Ilyas, "Kita mempunyai kabar gembira dan janji yang benar bagi umat
akhir zaman, bahwa pahala satu orang dari kalian dapat setara dengan
pahala lima puluh orang sahabat," maka kata-kata ini sesuai dengan sabda
Rasulullah saw. dalam sebuah hadis shahih. Diriwayatkan dari Abu
Umayyah asy-Sya'bani, dia berkata, "Saya mendatangi Abu Tsa'labah
al-Khusyaniy r.a., lalu saya berkata padanya, "Apa pendapatmu mengenai
ayat ini?" "Ayat apa?" tanyanya. Saya menjawab, "Allah berfirman,
"Hai orang-orang yang beriman, jagalah
dirimu; tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudarat kepadamu
apabila kamu telah mendapat petujuk". (Al-Mâidah: 105).
Abu Tsa'labah al-Khusyaniy r.a.
menjawab, "Ketahuilah, demi Allah saya telah bertanya mengenai ayat ini
kepada pakarnya. Saya telah menanyakan hal itu kepada Rasulullah saw.,
maka beliau menjawab,
بَلِ ائْتَمِرُوْا بِالْمَعرُوْفِ
وَتَنَاهَوْا عَنِ الْمُنْكَرِ، حَتَّى إِذَا رَأَيْتَ شُحًّا مُطَاعًا،
وَهَوًى مُتَّبَعًا، وَدُنْيَا مُؤْثَرَةً، وَإِعْجَابَ كُلِّ ذِيْ رَأْيٍ
بِرَأْيِهِ، فَعَلَيْكَ بِخَاصَّةِ نَفْسِكَ وَدَعِ الْعَوَامَّ؛ فَإِنَّ
مِنْ وَرَائِكُمْ أَيَّامًا الصَّبْرُ فِيْهِنّ مِثْلُ الْقَبْضِ عَلَى
الْجَمْرِ، لِلْعَامِلِ فِيْهِنَّ مِثْلُ أَجْرِ خَمْسِيْنَ رَجُلاً
يَعْمَلُوْنَ مِثْلَ عَمَلِكُمْ، قِيْلَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَجْرُ
خَمْسِيْنَ رَجُلاً مِنَّا أَوْ مِنْهُمْ؟ قَالَ: لاَ، بَلْ أَجْرُ
خَمْسِيْنَ مِنْكُمْ
"Justru, lakukanlah amar makruf dan nahi mungkar, hingga jika kamu telah melihat kekikiran yang ditaati, hawa nafsu yang diikuti, urusan dunia yang lebih dipilih dari urusan agama dan kekaguman seseorang dengan pendapatnya sendiri, maka pikirkanlah dirimu sendiri dan tinggalkanlah orang-orang awam. Karena di belakang kalian terdapat masa-masa yang ketika itu bersikap sabar adalah seperti menggenggam bara api. (Pahala) orang yang berbuat kebajikan ketika itu seperti pahala lima puluh orang yang melakukan perbuatan seperti perbuatan kalian." Para sahabat berkata, "Wahai Rasulullah, sama dengan pahala lima puluh orang dari kami atau dari mereka?" Beliau menjawab, "Pahala lima puluh orang dari kalian." (HR. Abu Dawud, Tirmidzi dan dihasankan oleh Ibnu Majah serta dishahihkan oleh Ibnu Hibban." Hadis ini juga mempunyai jalur-jalur lain yang tidak sedikit.)
Maka, bagaimana mungkin perkataan
yang sesuai dengan sabda Nabi saw. seperti ini dituduh telah melecehkan
para nabi dan bertentangan dengan akidah kaum muslimin? Lihatlah,
bagaimana sikap senang berselisih telah membuat pelakunya melakukan hal
seperti ini, bahkan membuatnya mengingkari sabda Rasulullah saw. tanpa
berdasarkan ilmu dan pemahaman yang benar.
Sebagaimana diketahui pula bahwa
besarnya pahala tidak mengharuskan keutamaan secara mutlak. Kebersamaan
para sahabat dengan Rasulullah saw. merupakan satu keutamaan yang tidak
dapat disamai oleh keutamaan dan amalan yang lain. Menurut para ulama,
membandingkan pahala suatu perbuatan dapat dilakukan jika perbuatan yang
dibandingkan adalah sama. Adapun bertemu dengan Rasulullah saw., maka
itu adalah satu keutamaan yang tidak bisa ditandingi dengan keutamaan
dan kedudukan yang lain. Sebagaimana telah disebutkan juga bahwa sebuah
keistimewaan yang dimiliki seseorang tidak mengharuskan dia menjadi
lebih utama.
Oleh karena itu, kaum muslimin
hendaknya bertakwa kepada Allah dalam bersikap terhadap para saudaranya.
Janganlah sampai perbedaan yang bersifat variatif menyebabkan
perdebatan dan munculnya tuduhan kafir, fasik atau menyimpang. Seorang
muslim tidak boleh menyibukkan dirinya dengan mencari-cari kesalahan
saudaranya, karena hal itu ibarat berperang bukan di medan tempur. Semua
itu hanya akan menghancurkan barisan, mencerai-beraikan usaha dan
membuat kita lupa dari kewajiban membangun masyarakat dan persatuan
umat.
Imam Tirmidzi telah meriwayatkan
sebuah hadis yang menurut beliau berderajat hasan dari Abdullah bin Umar
r.a., dia berkata, "Rasulullah saw. menaiki mimbarnya dan menyeru
dengan suara yang keras, "Wahai orang-orang yang telah berikrar Islam
dengan mulutnya tapi belum sampai iman ke dalam hatinya! Janganlah
kalian menyakiti kaum muslimin, janganlah kalian menghina mereka dan
janganlah kalian mencari-cari kesalahan mereka. Karena barang siapa yang
mencari-cari kesalahan saudaranya semuslim, maka Allah akan
mencari-cari kesalahannya. Dan barang siapa yang kesalahannya
dicari-cari oleh Allah maka Allah pasti akan membuka aibnya itu meskipun
dia berada dalam rumahnya."
Kami memohon kepada Allah agar
menyatukan hati kaum muslimin dalam Alquran dan Sunnah serta memberikan
pemahaman yang baik dan maksud Allah dalam penciptaan-Nya.
Wallahu subhânahu wa ta'âlâ a'lam.
|
Sumber : Dar al Iftaa ( Lembaga Fatwa Mesir)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar